Ternyata, buku yang direncanakan untuk dibaca Syawal, yang saya beli tadi siang jam 13 di Toga Mas, sejam lalu sudah saya tamatkan. Tadinya iseng buka, baca-baca dalam perjalanan tadi sore ke Purwakarta. Lalu iseng dilanjutkan sambil mengawasi Hana dan Azzam riang bermain dengan sepupu-sepupunya di rumah neneknya ini. Lalu diselang ngelonin Azzam, tau-tau tak bisa berhenti.
Buku ini, “gizi”nya sekaliber Laskar Pelangi. Namun dalam novel ini, saya begitu merasa bahwa Andre Hirata, penulisnya, lebih “centil”. Kalau saya analogikan makanan, kandungan gizinya sama dengan Laskar Pelangi, tapi bumbu-bumbunya terasa lebih berlimpah, dan penulisnya memberi perhatian khusus pada penyajiannya, sehingga makanan ini tak hanya nikmat di lidah, tapi sedap juga dipandang. Kalau dianalogikan dengan penyanyi, maka kali ini penulis tak hanya mengandalkan kekuatan vokalnya, tapi sedemikian rupa juga membuat koreografi tampilan yang memikat. Hal ini membuat kita tak mau melepaskan pandangan ke arah panggung, sambil menikmati merdunya suara sang penyanyi.
Ke”berlimpahan” bumbu dalam novel ini, sangat terasa dalam bumbu humornya. Meskipun saat membaca Laskar Pelangi kita pun akan “nyengir-nyengir sendiri”, namun frekuensi dan intensitas “nyengir” kita akan meningkat saat membaca novel ini. Kerasa banget bahwa penulisnya “iseng” banget dan menikmati sekali humor-humor yang ia sajikan dalam novel ini.
Ke”centilan” penulis di novel ini, tampak dari alurnya yang dibuat tak biasa. Dari awal-awal saya sudah menduga bahwa alur-alur yang tak nyambung di bab-bab awal, adalah skenario cermat dari penulis. Tapi penulis berhasil membuat saya menjadi begitu “curious” dengan hal ini. Apalagi di tengah, mulailah alur-alur di awal bab dipertemukan, meskipun hebatnya, tetap….. ujungnya tak terduga. Saya seperti sedang membaca karya-karya detektifnya Agatha Christie….
Di luar ke “berlimpahan” bumbu humor dan ke”centilan” penyajian alurnya, saya menemukan kesamaan antara isi novel ini dengan Laskar Pelangi dan seri 4 anak mamak-nya Tere Liye.
Nilai-nilai kebaikan yang diungkapkan dengan sangat kuat melalui ketulusan dan keluguan tokoh-tokohnya. Keteguhan untuk menjaga ketulusan itu. Balutan pilihan kata yang begitu kaya, dicampur keluwesan sastra yang indah melalui puisi-puisi yang banyak bertebaran di novel ini, begitu menyenangkan untuk dinikmati. Kalau kembali dianalogikan dengan makanan, kita tak akan rela mengunyahnya hanya 32 kali. Kita akan menguyahnya dalam waktu yang lamaaa….kita nikmati setiap titik rasanya sebelum kita telan.
Salah satu kepiawaian Andrea Hirata yang sangat saya kagumi adalah, bahwa ia, melalui buku-bukunya mampu “menyihir” kemiskinan, kesederhanaan, kegagalan, keterbatasan, dan ke-tiada-an, menjadi begitu romantis. Ia mampu menjalin rangkaian rasa dan peristiwa dari para tokohnya; yang membuat kemiskinan, kesederhanaan, kegagalan, keterbatasan, dan ke-tiada-an itu, menjadi sesuatu yang tidak melemahkan. Efek ajaibnya, setelah membaca novel-novelnya, kita menjadi merasa bahwa menjadi miskin, menjadi buruk rupa, menjadi gagal, menjadi terbatas, itu bukan hal yang memalukan atau menyedihkan. Tapi sesuatu yang bisa kita nikmati. Sesuatu yang amat mahal sekarang ini.
Kemampuannya mengaduk perasaan, membangkitkan emosi yang dalam dalam diri kita, jelas adalah kepiawayan Andrea Hirata yang lain. Cermat sekali ia mengatur alur ceritanya. Mudah sekali baginya memilih rangkaian kata. Tiga bab terakhir, membuat mata berkaca-kaca. Dua bab terakhir, kaca-kaca itu mengalir menjadi air mata. Bab terakhir, saya sudah tak sanggup untuk tak terisak. Dan setengah jam setelahnya, saya masih terisak. Penulis mampu membangkitkan perasaan terdalam tentang makna cinta. Kerja keras. Ketulusan. Kebaikan. Kebaikan. Kebaikan. Kebaikan yang begitu lugu, tulus dan sederhana.
Waktu 6 tahun yang dihabiskan Andrea Hirata untuk menyiapkan novel ini, tak sia-sia. Entah pesan apa yang ingin ia sampaikan melalui novel ini. Tapi pada saya, novel ini berhasil menguatkan keterpesonaan saya terhadap kebaikan, terhadap keluguan, terhadap kesederhanaan, terhadap ketulusan. Novel ini membuat saya meyakini bahwa di tengah dunia yang tampaknya penuh dengan beragam “hiasan”; kebaikan yang lugu itu, ketulusan itu, kasih sayang yang sederhana itu, tetap ada.
Buku ini, dan nilai- nilai yang ada di dalamnya, akan saya wariskan pada anak cucu saya.
Sekarang, mari kita kembali pada Khittah 10 hari terakhir Ramadhan. “Allahumma innafa afuwwun. Tuhibbul afwa fa’fuanni” 😉
Recent Comments