Ini adalah tulisan kedua mengenai attachment. Di tulisan pertama, https://fitriariyanti.wordpress.com/2015/08/29/attachment-akar-mengakar-yang-bisa-kita-bekalkan-pada-anak-part-one/ telah dijelaskan apakah attachment itu, dan apa fungsinya buat anak. Di tulisan ini akan dipaparkan bagaimana bentuk perilaku attachment anak pada setiap tahapan perkembangan usianya. Sumber utama yang saya gunakan masih sama dengan di tulisan pertama, namun saya tambahkan aplikasi di kehidupan nyata sesuai pengalaman yang saya ketahui.
Perilaku attachment anak pada setiap tahapan perkembangan usia bisa jadi sangat berbeda. Namun kesemuanya didasari oleh satu fungsi utama attchment : PERASAAN AMAN.
Perilaku attachment anak di usia 0-5 tahun
Bayi sampai dengan usia 1 dan 2 tahun menunjukkan bahwa ia memiliki kelekatan emosi dengan figur attachmentnya dengan cara “ingin selalu dekat” dan “mencari”. Mereka akan menangis dan “rewel” saat berpisah dengan figur attachmentnya. Perilaku takut atau tidak mau berpisah ini, memuncak di usia 2 tahun. Bayi dan anak sampai usia 2 tahun, biasanya mau menjelajah lingkungan, dengan catatan figur attachmennya nerada dekat dengannya. Ia akan mencari jika figur attachmentnya “tidak terlihat”, atau mengajak figur attachmentnya untuk mendekat ke tempat yang tengah ia eksplorasi.
Aplikasinya, biasanya mulai usi 9-12 bulan, bayi sangat takut pada”orang asing”. Ini adalah tanda perkembangan attachment yang normal. Demikian pula bagi ibu-ibu yang beraktivitas di luar rumah dan harus meninggalkan anaknya, jangan khawatir bila setiap pagi anak “ngamuk” gak mau ditinggal. Itu tandanya, ia punya kelekatan emosional dengan ibunya. Itu adalah hal yang baik !
Anak usia 3 tahun, biasanya sudah mulai bisa mengatasi ketakutan berpisahnya. Ia sudah bisa menjelajah hal baru dengan dampingan figur “secondary attachment” (lihat penjelasan mengenai hirarki attachment di tulisan pertama) seperti kakak-kakaknya atau gurunya. Meskipun secara fisik sudah tidak “lengket” lagi, tapi sebenarnya hubungan emosinya terus berlanjut.
Anak usia 3 tahun ke atas biasanya sudah mulai masuk sekolah. Bagaimana caranya mengenalkan orang baru agar anak kita mau “percaya” pada orang baru tersebut, misalnya gurunya? kita harus bekerjasama dengan guru, agar guru bisa jadi figur yang tidak diientifikasi anak sebagai figur baru yang “mengancam”. ada 3 hal yang bisa kita lakukan menurut buku ini. (1) kita bisa membantu guru mendekati anak perlahan-lahan dengan hal-hal yang familiar dengannya. (2) Biarkan anak yang memegang “kontrol” dalam interaksinya dengan guru. Misalnya, kalau anak menjauh, guru pun jangan mendekat. Kalau anak mulai mendekat, maka guru pun mendekat. (3) Jika kita bersikap positif pada guru, maka anak pun akan bersikap positif. Ini namanya social referencing.
Saya mempraktekkan tiga hal diatas saat sebulan pertama si bungsu, Azzam masuk playgroup. Nanti saya cerita pengalaman saya mendampingi si tiga tahun itu dari mulai ngamuk dan muntah setiap hari, sampai sekarang pengen sekolah terus meskipun libur, di tulisan yang lain.
Perilaku attachment anak di usia 6-12 tahun
Di usia ini, toleransi anak terhadap keberpisahan fisik dengan figur attachment, semakin meningkat. Mereka tak lagi selalu membutuhkan kontak fisik. Kontak nonfisik; seperti ketika orangtua menelpon anaknya, akan membuat mereka merasakan “aman”. Anak di usia ini masih ingin dekat dengan orangtuanya, namun tidak dalam bentuk kontak fisik yang intensif. Misalnya, saat kita di dapur, si 6-12 tahun ada di dapur juga, tapi engga “nempel”.
Pengalaman saya dengan anak-anak saat umur segini adalah, mereka masih pengen dipeluk, tapi saat-saat tertentu aja, misalnya pas mau tidur.
Perilaku attachment usia remaja (13-19 tahun)
Kita sering mendengar atau mungkin mengalami bahwa anak remaja, justru “malu” dengan kehadiran orangtuanya. Pengalaman saya sendiri, di usia SD kelas 1- 6 awal, biasanya anak-anak pada pengen ibunya datang ke sekolah, misal untuk pengajian. Pas jamnya, bisanya anak-anak nongol, melambai, atau bahkan mendekat. Tapi di usia kelas 6 akhir, saya ingat si sulung Azka bilang “ibugak usah ke sekolah ya”…. apalagi udah SMP, waktu kami mengantar ke sekolah untuk ekskul, Azka bilang: “nanti ibu dan abah parkir di atas aja ya, kaka jalan aja ke kelasnya”.
Apakah anak yang “menghindar” dari orangtuanya berarti mereka tidak “terikat secara emosional” dengan orangtuanya? Kata buku ini, justru sebaliknya. Justru perilaku tersebut adalah hasil dari rasa aman yang diperoleh anak, atau istilahnya adalah “secure attachment”. Mereka, sudah merasa bahwa “ibu dan ayah akan ada untuk aku”, meskipun secara fisik, ia tak melihatnya. Pada saat mengalami permasalahan, remaja yang memiliki kelekatan emosi dengan orangtuanya, akan “kembali” pada orangtuanya.
Bagi yang punya anak remaja, mungkin memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Azka, si sulung kelas 1 SMP yang begitu terbuka menceritakan segala macam pada saya, sekarang tidak seterbuka itu. Diarynya terkunci rapat. Laptop yang berisi cerpen-cerpen hasil karyanya, dikasih password. Apalagi hapenya. Tadinya saya khawatir akan “kehilangan” dia. Tapi sepertinya saya tak perlu khawatir. Ia masih cerita. Saat ia mau cerita. Baik hal-hal yang menyenangkan ataupun mengesalkan. Yang pasti, kalau ada kesulitan ia pasti akan “curhat” pada ibunya.
……………
Sudah hampir tengah malam. Tulisan selanjutnya insya allah besok.
Recent Comments