semangat menghukum vs semangat mendidik #wisdom1

Wisdom. Entah kenapa saya lagi kesengsem sama kata itu. Kalau saya diminta memvisualisasikan kata “wisdom”, maka saya membayangkan hal-hal berikut : pohon besar yang kokoh, kuat dan meneduhkan, lautan air yang menyejukkan, pelukan dan usapan di kepala yang lembut.

Buat kita-kita yang udah berkepala 3 (umurnya), kita bisa merasakan bahwa … penambahan usia setiap tahun, tak selalu diringi dengan perubahan “penghayatan” akan usia. Perubahan “penghayatan” itu, mungkin tidak terjadi setiap tahun. Bisa 5 tahun sekali, atau random. Saya mengalami hal demikian. Sampai umur 35, “penghayatan” saya tak berubah, tetap serasa 25 tahun. Tapi di tahun belakang ini, penghayatan saya berubah. Gak tau ya, susah jelasinnya. Tapi yang jelas, sekarang ini saya sangat “concern” pada bagaimana akhir hidup saya nanti. Itu yang amat saya hayati saat ini. Saya juga merasa…. rasanya dari segi pengetahuan, tak banyak lagi “pengetahuan baru” yang saya dapat. Sehingga saya menghayati, mungkin di usia ini memang bukan saatnya mencari pengetahuan baru. Tapi ini saatnya “menata” ilmu-ilmu yang sudah dimiliki selama ini, dalam pikiran dan hati kita.

Oleh karena itu, gak tau kenapa juga saya sekarang lagi seneng banget “bergaul” sama orang-orang yang lebih tua, atau yang memang sudah “tua” secara objektif. Saya tak lagi terlalu “terpesona” dengan dinamis dan konstruktifnya anak muda. Saya lagi kesengsem sama satu hal yang tak bisa diperoleh dari buku, dari workshop, dari pelatihan secanggih apapun. Hal itu, hanya saya dapatkan dari berinteraksi dengan orang-orang yang sudah menjalani kehidupan ini, lebih lama dari saya. Hal itu, saya sebut “wisdom”. Apa ya, bahasa Indonesianya? “arif”. “kearifan”.

Salah satu wisdom yang saya pelajari dari para senior saya adalah, semangat yang kita miliki saat kita melihat hal yang “tidak baik”. Saya memperhatikan, orang-orang yang belum punya “wisdom”, cenderung menghukum. Sebaliknya orang-orang yang sudah punya “wisdom”, benar-benar mendidik. Abstrak. Contoh konkritnya, begini:

Di awal-awal menjadi dosen, saya pernah “mengusir” seorang mahasiswa keluar dari kelas saya. Karena mahasiswa itu melakukan sesuatu yang menurut saya sangat tidak pantas. Beberapa tahun setelahnya, saya mengajar dengan seorang senior. Di salah satu kelas yang kami ajar, ada seorang mahasiswa yang beberapa kali pertemuan kami mengajar, jelas-jelas tidak memperhatikan. Dia malah membaca novel, dengan sangat demonstratif. Maksudnya demonstratif itu, dia tidak berusaha membacanya dengan sembunyi-sembunyi. Tapi novel yang ia baca itu ia letakkan di atas kursi, sehingga kami dosennya bisa melihat dengan jelas. Saya jengkel sekali. Saya lalu bilang ke dosen senior bahwa mahasiswa itu harus diberi konsekuensi.

Di luar dugaan saya, senior saya tidak menyetujui. Beliau berkata begini: “mungkin dia anak “aksel”. Mungkin kuliah ini terlalu mudah buat dia sehingga ia tidak merasa tertantang. Mungkin cara kita menyampaikan juga kurang menarik buat dia”. Tadinya saya bertanya-tanya apa alasan dari dugaan itu. Tapi ketika senior saya bertanya novel apa yang sedang dibaca oleh mahasiswa itu dan saya jawab novel berbahasa Inggris, saya jadi manggut-manggut sendiri.  Dan pelajaran berharga itu saya dapatkan saat minggu depannya, senior saya mengajak mahasiswa tersebut “ngobrol”. NGOBROL dalam artian sesungguhnya. Tak ada nada “superior”. Yang beliau sampaikan fakta, dan sangat terasa beliau “menyetarakan diri” dan “mendengarkan”.

“Kami melihat anda selama beberapa pertemuan ini tidak memperhatikan kuliah, anda sepertinya sangat asik membaca novel. Boleh kami tau, itu novel tentang apa?” si mahasiswa pun mengeluarkan novel tebal berbahasa Inggris dengan tata bahasa “advance” itu, lalu dengan semangat ia menceritakan isinya. Senior saya benar-benar mendengarkan dan menanggapi dengan antusias. Lalu senior saya menyampaikan kekagumannya pada mahasiswa itu, bagaimana kemampuan bahasa inggris mahasiswa itu begitu baik. Oh, ternyata memang anak ini sering mewakili sekolahnya untuk pidayo sampai debat ke luar negeri, dengan tentu saja menggunakan bahasa Inggris. Lalu mulailah senior saya bertanya, bagaimana pendapat si mahasiswa mengenai kuliah kami, masukan apa yang bisa ia berikan untuk kuliah kami, apa yang ia butuhkan dalam kuliah ini, apa konsekuensi buat dia kalau ia terus berperilaku seperti itu… diskusi gimana caranya mengubah perilaku itu menjadi lebih baik….

Ajaibnya, minggu depannya, si mahasiswa tsb terlibat sangat aktif dalam diskusi kelas. Senior saya benar. ia mahasiswa yang cerdas, sangat kritis. Rajin membaca materi yang akan didiskusikan, mengaitkan dengan situasi nyata dan bisa mengelaborasikan materi kuliah yang satu dengan materi kulaih lainnya.

“Semangat” saya untuk memberikan “konsekuensi” pada mahasiswa ini, adalah “semangat menghukum”. Apakah saya benar? benar. Apakah saya berhak? saya berhak. Namun “semangat” senior saya pada mahasiswa ini, adalah “semangat mendidik”. Ia “menyelamatkan”, bukan “memvonis”. Ia “peduli”, bukan “menuntut”.

Ada beberapa peristiwa lain yang semakin mengajarkan saya bedanya semangat mendidik dan semangat menghukum. Saat menghadapi mahasiswa yang selalu tertidur di kelas, menghadapi mahasiswa yang selalu terlambat masuk kelas, saat menghadapi mahasiswa yang “menghilang” di tengah semester….

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, menurut penghayatan saya, agar kita memiliki “semangat mendidik” dan bukan “semangat menghukum”, maka yang harus kita miliki adalah :

  • Cakrawala pengetahuan yang luas. Dalam contoh diatas, kalau senior saya tak tahu dan tak memahami karakteristik anak “cerdas istimewa”, maka akan lain ceritanya sikap terhadap mahasiswa tersebut. Kalau kita tak tahu bahwa ada 4 alternatif untuk menjadi baik, maka kita hanya akan “mengukur” kebaikan itu dengan satu penggaris yang kita tau.
  • Kesediaan untuk mendengarkan. Ah, MENDENGARKAN ini, klasik banget tapi…..susah banget. Secara filosofis, mari kita renungi.  Kita hanya  mau mendengarkan jika seusatu itu kita rasa “berguna” bukan? berarti, kalau kita gak mau mendengarkan, kiat sudah men-judge bahwa yang akan ia katakan tidak berguna. Lebih parah lagi, kita mungkin menilai bahwa orang tsb “tidak berguna”. Nah, untuk mau mau “merendahkan diri” dan menilai bahwa apa yang akan dikatakan orang lain bisa jadi berguna, bisa jadi mengandung kebaikan, bisa jadi mengandung kebenaran, itu perlu seseorang dengan “hati seluas samudera”. Itu wisdom.
  • Percaya bahwa dalam diri setiap orang, ada kebaikan dan setiap orang itu ingin menjadi baik.  Kalau senior saya tidak percaya pada mahasiswa yang mengatakan bahwa ia terlambat karena ia “insomnia”, maka tak akan mungkin mahasiswa itu kemudian mau diarahkan ke TPBK untuk mendapatkan layanan konseling, lalu terkuak masalahnya yang cukup kompleks, dan kemudian ia bisa dibantu untuk menyelesaikannya.

Bener kan, hal-hal diatas gak akan bisa kita dapet dari hal-hal lain selain melalui pengalaman yang kita hayati? Bahasa agamanya “hikmah”. Dengan penghayatan di atas, saya jadi paham betul…. bahwa saat kita menjadi ibu, saat kita menjadi “dai” yang mengajak orang lain agar selamat dunia akhirat, semangat “mendidik” itu yang harus kita miliki.

Mengatakan kwisdomebenaran, mengajak kebaikan, mengatakan ini salah itu keliru…. siapapun bisa melakukannya.Tapi mengatakan kebenaran tanpa meremehkan, mengajak kebaikan tanpa menyalahkan, mengatakan ini salah itu keliru tanpa mempermalukan,  tak semuanya bisa melakukannya. Hanya orang-orang yang punya “wisdom” yang bisa melakukannya.

Semoga Allah mengkaruniai kita kemampuan untuk belajar menjadi “arif”.

 

sumber gambar : http://www.lifehack.org/articles/communication/what-are-the-differences-between-knowledge-wisdom-and-insight.html

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: