Mungkin kita pernah mendengar kata-kata ini. Anak bukan miniatur orang dewasa. Ia bukan orang orang dewasa berukuran mini. Apa maksudnya? Ayo….yang pernah mendengar rangkaian kalimat “anak bukan miniatur orang dewasa”, pause sejenak. Kita hayati apa makna rangkaian kalimat tersebut.
Udah dapet? pertanyaan selanjutnya sekarang adalah, bagaimana aplikasi dari konsep “anak bukan miniatur orang dewasa” dalam pengasuhan?
Saya punya satu cerita. Cerita lucu dan sederhana yang barangkali pernah juga dialami oleh teman-teman. Tapi dibalik cerita lucu dan sederhana tersebut, kita bisa hayati dan lalu kita AMALKAN penghayatan bahwa “anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini” itu.
Begini ceritanya…..
Setelah seminggu lalu melewati UTS, hari Jumatnya Umar si kelas 4 dan Hana si kelas 1 menunjukkan segepok berkas-berkas UTSnya. UTS kali ini istimewa. Karena untuk pertamakalinya Umar dan Hana pake kurtilas alias Kurikulum 2013. Kekhasan yang paling terasa adalah, tidak ada soal yang berupa pilihan ganda. Semuanya essay. Anak-anak dilatih untuk mengeluarkan gagasannya, merangkai kalimat. Dan saya suka banget konsep ini.
Maka, rutinitas membaca hasil Ujian anak-anak menjadi lebih mengasyikkan. Anak-anak berkumpul “ngariung” di sekitar saya dan abahnya, yang membacakan soal-demi soal lalu membaca jawaban yang mereka tulis. Diiringi tanggapan, pujian, umpan balik, atau tertawa bersama saat jawaban yang ditulis “ngaco”. Favorit Umar adalah saat membaca jawaban Bahasa Sunda.
Yups, pagi itu kami tertawa-tawa membaca ke”ngaco”an Umar menjawab pertanyaan bahasa Sunda. Misalnya pada pertanyaan “Keur panas poe kieu mah ngeunah nginum…..” Umar mengisi titik-titik dengan kata “rujak”. Lalu untuk pertanyaan “Isuk-isuk teh manehna sok sarapan ….” Umar menjawab “peuyeum”. Tawa kami makin heboh saat membaca soal “vocabulary”, dimana ia harus menjelaskan makna kata-kata dalam soal. Umar menjawabnya pake bahasa campur yang lucu banget haha… Misalnya untuk soal “Jilbab”, dia menjawab “pakean nu nutup aurat perempuan”. “Tajil : makanan abis shaum”. Shodaqoh: ngabere uang ka orang miskin”. Yang paling lucu adalah pada soal membuat kalimat. Ngaduruk: Eza ngaduruk ikan di imahnya. Ngitung : Doni lagi ngitung uang buat meuli mainan. Hahaha…..dan ibu guru membetulkan jawaban-jawaban itu. Memang dalam pertemuan dengan orangtua beberapa waktu lalu, pihak sekolah bilang bahwa untuk bahasa Sunda, tuntutan mereka realistis saja. Mengingat kenyataan, bahwa hampir seluruh anak tak terpapar bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Termasuk anak-anak sayah hehe…
Beralih ke dokumen UTS Hana. Terus terang saya gak berharap banyak ke Hana. Tuntutan saya berbeda dibanding pada dua kakaknya. Ia adalah “anak percobaan”. Saya menjadikannya “percobaan” untuk membuat saya yakin, apakah benar kalau seorang anak matang kemampuan dasar belajarnya, meskipun ia tak terpapar latihan akademik nantinya akan mudah “mengejar?”. Yups, kombinasi dari kepribadiannya yang sangat menikmati bermain dengan keriweuhan saya membuatnya tidak terlalu mendapatkan stimulasi akademik. Lulus TK, dua kakaknya sudah lancar membaca, menulis dan membaca Qur’an. Dia? lulus TK belum hafal semua huruf, belum bisa menulis, dan masih Iqro 1 halaman 5. Itu yang bikin abahnya deg2an saat seleksi masuk SD lalu. Saya deg2an juga sih, tapi gak pol khawatir karena tau bahwa sekolah yang akan dimasukinya, memiliki pemahaman yang sama dengan saya. Kesiapan, bukan keterampilan calistung anak yang dijadikan penialaian.
Saya yakin Hana punya dasar yang kuat. Justru minat besar dia untuk bereksplorasi, membuat saya yakin seluruh milestone dasar belajar ia kuasai. Bahwa ia tak suka materi akademik, ya…karena tak saya stimulasi dengan intensif. Itu pula yang saya sampaikan pada gurunya pada saat saya menemui beliau. Bahwa Hana belum bisa membaca dan menulis. Ibu Guru bilang, memang Hana tertinggal dibanding teman-temannya dalam hal itu. Syukurlah saya lihat bahwa kurikulum 2013 ini sangat “ramah anak”. Materi-materi pertama adalah mengenai pola dan logika. Dengan gambar, tanpa harus menulis huruf dan angka.
Maka, jadilah di ulangan harian-ulangan harian Hana (salah satu operasionalisasi kurtilas, adalah ulangan tiap minggu untuk mengecek pemahaman per tema), berkasnya selalu berisi bintang, nilai A plus catatan guru. Bagaimana tidak? kalau dia menulis, semua hurufnya kebalik. Tulisannya besar-besar, naik turun dan kadang dari arah kiri ke kanan, kadang dari kanan ke kiri …haha…. Tapi dengan senyum mengembang di wajah saya, ia tetap ceria mengjalani hari-harinya. Saya tersenyum karena yakin…begitu ia belajar, ia akan melesat. Fondasinya sudah kuat.
Dan, sampai tengah semseter ini, abahnya yang rajin mendiktekan kata-kata lucu, mengajaknya “membuat karangan”, tulisannya sudah terbentuk, bisa dibaca. Semua nilai UTSnya tak ada yang diremedial. Sebagian besar seratus. Gigi oheng-nya senantiasa terlihat saat saya dan abahnya membaca soal demi soal dan jawaban yang ia tuliskan. Sampailah pada soal terakhir. Soal no. 30. Tentang tata tertib di perpustakaan.
Pertanyaannya : “mengapa di perpustakaan tidak boleh berteriak?”
Jawaban Hana : “agar buku di perpustakaan tidak jatuh”.
Bentar…bentar …saya mengerutkan kening. Tidak mengerti. “Ibu gak ngerti teh…kenapa kalau berteriak bukunya jadi jatuh?”
Dengan wajah riang khasnya, dia menjawab ….“ih…ibu…pernah gak liat di film…kalau kita teriak keras, kan buuuur,,,,nanti dindingnya runtuh, rak-rak lemari buku juga akan bergerak,,,jadi kan bukunya pada jatuh!”.
Ahahahaha….mana kepikiran ama kita orang dewasa jawaban seperi itu ….. khas imajinasi anak kecil. Tapi…apakah itu jawaban yang salah? Lihatlah tanda centang yang menunjukkan bu guru membetulkan jawaban itu. Salam takzim untuk bu Guru.
Ia, adalah guru yang memahami bahwa anak, bukan miniatur orang dewasa. Logika yang disampaikan Hana dan beberapa temannya, tak salah dalam dunia mereka. Dan saya, sangat takzim pada pengajar-pemgajar seperti ini. Ia tak memaksa anak-anak yang lugu, polos, penuh imajinasi dan semangat itu untuk berpikir “dewasa”. Ia, begitu menghargai ada dunia lain , ada cara pikir lain dalam kepala-kepala mungil dan wajah-wajah polos itu. Ia, begitu menghargai pengalaman yang dimiliki anak-anak itu. Dan ia menghargai keberanian anak-anak ini mengungkapkan pengalamannya.
Hana pun menceritakan jawaban beberapa temannya yang lain. Jawaban-jawaban lugu anak kecil. Andaikan bu guru menyalahkan jawaban-jawaban ini, mungkin anak-anak ini akan “layu sebelum berkembang”, saat apa yang mereka miliki tak dihargai, dan mereka dipaksa untuk menghafal sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Ya…banyak sekali puisi, kata-kata mutiara, tulisan, pesan-pesan para trainer parenting tentang menghargai anak. Tapi, sejatinya kita tak akan bisa menghargai anak kalau kita tak paham bahwa anak, bukalah orang dewasa yang bertubuh kecil.
Kita, akan selalu tak bisa menahan diri untuk melekatkan predikat “orang dewasa” pada anak, jika kita tak menghayati bahwa anak, bukanlah orang dewasa-mini. Kita akan mengatakan anak kita “pemalas”, “pemalu”, “pemarah”….
Kita, juga mungkin akan menakar ke”pintar”an anak-anak kita, dengan standar orang dewasa. Saat kita tak bisa menghayati bahwa anak bukan orang dewasa-mini, maka kita akan pelit memberikan jempol dengan tulus (catat: memberikan jempol DENGAN TULUS, bukan jempol basa-basi). Kita akan menyampaikan penghargaan yang tulus dari lubuk hati saat kita betul-betul paham bahwa untuk anak 3 tahun, berbagi itu sangat sulit.Bahwa untuk anak 4 tahun, berhenti main tablet pada waktu yang telah disepakati itu, bukan hal yang mudah.
Dan percayalah, anak tau mana pujian dan acungan jempol yang tulus dan yang tidak.
Satu kebaikan akan mengundang kebaikan yang lain. Penghayatan kita bahwa anak bukan dewasa-mini, juga akan membuat kita mampu menghargai orang-orang yang mampu menghayati hal itu. Kita akan tulus berterima kasih pada guru-guru anak kita, bahkan untuk “hal sederhana” yang mereka lakukan. Kita akan berterima kasih, karena mereka telah bersusah payah membuat skenario teater dan memberi peran si Playgroup untuk menari dengan gerakan super sederhana, repetitif dan dalam rentang waktu yang pendek. Sehingga si anak-anak tiga tahun itu, bisa tampil dengan “memuaskan”, sesuai dengan dunia mereka. Kita akan berterima kasih, si 4 tahun itu lebih banyak belajar dengan tubuhnya di lapangan dibandingkan diberikan worksheet-worksheet tak berwarna.
Bagaimana caranya menghayati bahwa anak itu bukan orang dewasa dalam wujud kecil? banyak mengamati, banyak berbincang, banyak mendengarkan mereka. Pasti kita akan banyak belajar dari mereka. Gampang kan? Tapi sssst….sini saya bisikin sesuatu….untuk bisa begitu, kita perlu rendah hati…….
Recent Comments