Keluarga : Prioritas atau Excuse ?

Suatu waktu, saya mencuri dengar pembicaraan tiga orang wanita yang sedang serius bicara dekat saya. Mereka adalah tiga wanita paruh baya. Dari pembicaraan mereka, tampaknya mereka tengah membicarakan anak dan menantu perempuan mereka. Dari kurang lebih setengah jam mencuri dengar, saya mulai bisa menyimpulkan bahwa pokok pembicaraan mereka adalah, menyayangkan anak dan menantu perempuan mereka yang terancam drop out dari kuliahnya.

Salah seorang ibu itu menyampaikan kalimat yang katanya ia katakan dengan tegas pada anak perempuannya, yang telah memiliki putra. “Kalau teteh berhenti mengerjakan tesis karena teteh memprioritaskan si dede, Bunda setuju. Gak mubadzir waktu dua tahun yang sudah teteh jalani. Gak mubadzir uang dari si aa untuk membiayai teteh kuliah. Tapi Bunda minta kamu merenung. Benar, teteh tidak akan melanjutkan pengerjaan tesis karena teteh memprioritaskan si dede, atau si dede teteh jadikan alasan kurang fight-nya teteh ngerjain tesis. Kalau teteh berhenti mengerjakan tesis karena si dede selalu rewel, selalu demanding, Bunda oke. Bunda setuju dengan keputusan teteh. Tapi kalau si dede anak yang anteng, punya jadwal tidur yang teratur; apa yang teteh lakukan waktu si dede tidur? Kalau teteh tidak punya orang yang bisa dipercaya untuk dititipin si dede saat harus bimbingan, oke Bunda setuju. Tapi teteh punya Bunda, yang siap nemenin si dede selama teteh dua jam bimbingan.  Si aa  juga siap membantu, mendukung. Sekali lagi Bunda minta teteh merenung. Anak ini, Keluarga ini, teteh jadikan prioritas, atau excuse.”.

Kedua ibu itu mengangguk tanda setuju. Seorang ibu menimpali. “Ya, saya juga ajak ngobrol menantu saya. Kalau nanti anak ini sudah besar dan kamu bilang dulu mama DO sekolah karena ngurus kamu; bagaimana perasaan dia? Kamu pikir dia akan bangga? yakin?”

Setelah berpisah dengan tiga ibu itu, dua rangkaian kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga saya. Ini “vocabulary” baru bagi saya. Dan saya butuh waktu untuk mencernanya. Selama ini, saya selalu berpikir bahwa seorang wanita meninggalkan “prestasi di luar rumah” dengan alasan keluarga, adalah suatu pilihan yang “romantis”, mulia dan agung. Saya, jujur saja tidak siap mendengar perspektif lain seperti yang saya dengar tadi.

Tapi semakin saya pikirkan, saya merasa bahwa apa yang dikatakan ibu-ibu itu, ada benarnya. Bahkan seratus persen benar. Ada perbedaan mendasar antara menjadikan keluarga sebagai prioritas dengan menjadikan keluarga sebagai alasan. Sejak saat itu, saya berusaha mengamati lingkungan dan mengamati diri sendiri, berusaha lebih menghayati dua konsep ini.

Setelah memakai kacamata itu, yups…barulah saya bisa melihat dengan terang benderang. Bahwa memang berbeda perilaku dan hasil perilaku orang-orang yang menjadikan keluarga sebagai prioritas, dengan orang-orang yang menjadi keluarga sebagai alasan.

Seorang kenalan saya, mengabaikan LoA dari sebuah universitas ternama, dengan alasan tidak mungkin meninggalkan anaknya yang ABK untuk pergi ke luar negeri. Akhirnya ia melanjutkan S3 di dalam negeri, dan hasilnya….excellent. Cum laude.  Seorang teman yang lain, saat memperlihatkan folder penelitian di laptopnya, ada kosong 3×2 tahun dimana ia tak meneliti. Saya perhatikan tahunnya…Owh, itu selalu 2 tahun pertama kelahiran 3 anaknya. Di tahun-tahun yang lain, ia produktif sekali. Seorang ibu senior di lingkungan saya, aktivis sebelum menikah, vakum full menjadi IRT selama anak-anaknya kecil, dan sekarang….setelah anak-anaknya “lepas landas” -istilah beliau; beliau lanjutkan keaktifannya. Ia sangat peduli pada lingkungannya, mau “bersusah payah” lebur membangun masyarakat. Seorang nun jauh disana, mengatakan kalau hasil kerjanya di kantor selalu dikomplen karena sedang ada masalah dengan suami. Saat ia tak punya masalah dengan suami, bagaimana hasil kerjanya? dikomplen juga. Seorang nun jauh di sana juga, mengatakan tak sempat memasak makanan sehat karena anak-anaknya rewel. Bagaimana saat anak-anaknya tidak rewel? ia gunakan untuk medsos-an; tetep juga gak masak makanan sehat.

Dari beragam contoh itu, saya berusaha menemukan keywords yang memembedakan antara menjadikan keluarga sebagai prioritas dengan menjadikan keluarga sebagai alasan. Dan saya menemukan dua hal. Produktifitas dan Kualitas. Itu yang menjadi pembedanya. Jangan anggap produktifitas dan kualitas ini hanya dalam dunia kerja ya….itu pandangan yang terlalu picik.

Dulu, saya sempat  sependapat dengan pandangan para feminis yang menentang pernikahan; dengan alasan mereka “pernikahan membuat wanita menjadi low achiever”. Tapi setelah mengamati teman-teman saya, saya menolak tegas pendapat itu. Tidak. Pernikahan, berkeluarga, tidak membuat wanita menjadi low achiever. Wanita yang high achiever, ia akan tetap menjadi high achiever; menjadi apapun dia, di mana pun dia berada, siapapun yang ia hadapi. IRT yang punya manajemen diri yang baik, jelas akan berbeda dengan IRT yang tak punya manajemen diri yang baik. Prinsip ini berlaku juga bagi ibu bekerja. Ibu bekerja yang kerjaannya asal, setinggi apapun posisinya, tetap aja akan selalu membuat orang lain menghindar menjadi timnya.

Ini bukan basa-basi. Saya meyakininya. Saat memasak bersama Azka, saya selalu sambil mengatakan hal ini. Memasak, semua ibu pasti bisa. Tapi memasak dengan waktu yang efisien? apa dulu yang harus dikerjakan, memanage dua kompor, memilih alat masak biar cucian gak terlalu banyak, menentukan jumlah bumbu dan urutan mengulek bumbu biar gak bolak-balik…itu butuh strategic planning …haha….eh, tapi ini serius loh…istilah temen-temen mah apa…Ibu IRT profesional. Yups! that’s right ! Dengan waktu yang efisien, berarti dia akan punya space waktu lebih buat quality time sama anak-anaknya. Buat belajar. Buat menyiapkan diri menyambut suami.

Jadi, buat kita yang punya anak perempuan, didik biar mereka jadi tangguh. Punya manajemen diri yang baik. High achiever. Pengelolaan emosi yang baik juga. Bentuk “pertempuran” yang akan ia hadapi nanti apa, itu hanya media. Tapi kalau ia sudah punya bekal, entah dia menjalani profesi formal tertentu atau tidak, ia pasti jadi seorang yang produktif.

Jadi, kini setiap hari saya berusaha menimbang diri.

6738_595616927129658_344174525_n-485x500Tidak berprestasi karena mempriotaskan keluarga, that’s oke. Tidak berprestasi dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Sulit mengembangkan diri karena memprioritaskan keluarga, that’s oke. Tidak mengembangkan diri dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Tidak berkontribusi pada masyarakat karena memprioritaskan keluarga, that’s oke. Tidak berkontribusi pada masyarakat dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Tidak memberikan layanan prima pada suami karena memprioritaskan menangani anak yang rewel dengan baik, that’s oke. Tidak memberikan layanan prima pada suami dan menjadikan anak rewel sebagai alasan, that’s not oke.

Mmmmmhhh….jujur saja, meskipun sudah berlangsung lama “berlatih” untuk menakar dua hal ini dalam diri saya, namun saya merasa belum “ahli” juga. Perlu waktu bagi saya untuk menutup mata, berefleksi menghayati dengan jujur dan tulus; priority or an excuse….

Tapi jujur saja, secara pribadi saya bersyukur sekali Allah menskenariokan kejadian sore itu, kejadian saat saya mencuri dengan pembicaraan tiga ibu itu, mengenal dua konsep yang berbeda itu.  Dan karena tak ada yang kebetulan bagiNya, saya merasa ilmu ini adalah dariNya. Dan saya bersyukur sekali mengenal ilmu ini.

sumber gambar : http://iampoopsie.com/if-its-important-to-you/