We need you dad ….

Salah seorang mahasiswa bimbingan skripsi saya, Divo, melakukan penelitian mengenai peran ayah pada  remaja awal, usia 12-14 tahun. Penelitian ini didasari studi literatur yang menunjukkan bahwa penelitian mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, lebih banyak dilakukan pada anak usia dini sampai usia pra remaja. Di sisi lain, usia remaja awal merupakan usia yang “khas” dengan isu perpindahan “dunia” dari “dunia keluarga” menjadi “dunia teman”. Melalui penelitian ini, ingin diketahui 2 hal; (1) bagaimana persepsi remaja awal mengenai pentingnya peran ayah dalam kehidupannya? (2) bentuk perilaku ayah yang bagaimana yang dirasa bermakna bagi remaja awal?

Penelitian kualitatif menggunakan teknik wawancara mendalam (depth interview) dilakukan pada 102 remaja awal usia 12-14 tahun, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua bulan terakhir ini. Hasil wawancara dicatat secara verbatim, lalu dicoding melalui beberapa tahap analisis. Singkat kata singkat cerita, hasilnya menunjukkan bahwa remaja awal, merasakan bahwa mereka masih sangat membutuhkan keterlibatan ayah dalam kehidupan mereka, baik keterlibatan yang sifatnya kehangatan, support material maupun kontrol. Mengapa? secara umum jawaban-jawabannya mengelompok menjadi nada-nada kasih sayang (misal: seneng deket sama ayah), nada-nada kompetensi (misal: ayah tahu mana yang lebih baik), dan yang secara pribadi menarik buat saya adalah, jawaban-jawaban bahwa ayah yang terlibat dalam kehidupan mereka merupakan “standar keluarga yang baik”. Jujur saja, entah mengapa saya merasa…terharu gitu dengan jawaban anak-anak remaja yang ini.

Salah satu temuan  menarik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua adalah, bentuk perilaku ayah yang dirasa bermakna adalah aktifitas bersama dalam kegiatan keseharian dan kumpul keluarga. Ini muncul dalam dimensi-dimensi yang terkait dengan kehangatan dan kasih sayang. Sedangkan dalam dimensi yang terkait dengan kontrol dan support material, tema sekolah mendominasi. Yang menarik,  mereka juga menyatakan bahwa saat ayah  memberikan support material tanpa diminta (misal membelikan sepatu yang sudah rusak, buku pengayaan yang mereka butuhkan), itu mereka rasakan sebagai perilaku yang bermakna. Kaitannya kayaknya dengan rasa “diperhatikan” ya…

Dalam tataran pemikiran, penelitian ini adalah satu dari sekian banyak penelitian mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yang memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Ini hanya salah satu bukti empiris-akademis,  memperkuat saya untuk semakin  tegas menyuarakan ketidaksetujuan  pribadi terhadap pembagian tugas hitam-putih; ayah cari nafkah-ibu ngurus anak.

Dalam literatur-literatur mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, kesediaan ayah untuk dengan sengaja meluangkan waktu, tenaga dan pikiran bagi anak-anaknya, digambarkan memiliki 2 panah dampak positif. (1) pengaruh langsung pada anak; seperti dalam penelitian mahasiswa saya di atas, (2) pengaruh tidak langsung melalui ibu. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, akan membuat ibu merasa didukung. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa bagi seorang ibu, seorang wanita, dukungan psikologis itu sudah cukup untuk menghasilkan energi tak terhingga -yang kadang tak masuk akal- untuk menghadapi seluruh kebutuhan anak-anaknya; fisik-kognitif-emosi-sosial-spiritual.

Sebenarnya, saya curiga sih….keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak ini punya satu panah lagi. Yang belum banyak diteliti. Yaitu…bagi ayah itu sendiri. Sering saya melihat, ayah-ayah yang begitu enjoy main dengan anak-anaknya. Di lapangan mesjid telkom setiap ahad jam 8-10.30, saat pengajian Percikan Iman,  saya banyak dan sering menyaksikan ayah-ayah yang begitu enjoy main bola, main gelembung sama anak-anaknya. Tertawa bersama, menikmati bersama permainan-permainan itu. Demikian pula di tempat-tempat umum lainnya. Saya berpikir, mungkin bagi para ayah yang bergelut dengan “dunia maskulin yang keras”, bermain tanpa melibatkan kognisi  itu, adalah refreshing banget. Bahkan ada seorang ayah yang bilang bahwa kalau dia ada kerjaan lebih dari dua hari di luar kota, dia jadi gak produktif. Stress. Makanya dia selalu nyempetin pulang buat liat dan ketemu anak-anaknya. Itu sih ayahnya anak-anak saya haha…(ssst….sebenernya kayaknya kangen sama ibunya juga sih, cuman gengsi mengakuinya … kkkk).

Kalau saat anak kecil, kebayang lah bagaimana bentuk dukungan dan keterlibatan ayah pada anak. Ngajak main. Bentuk dukungan pada ibu: bantuin pegang anak-anak saat ibu riweuh ngurus ini-itu yang lain. Dalam beberapa tulisan saya di folder “father involvement”, sudah banyak saya menuliskan hal tersebut.

Bagaimana kontribusi langsung ayah pada tumbuh kembang remaja awal? Penelitian Divo di atas sudah menjawabnya. Nah…dua minggu lalu dan minggu, saya punya pengalaman yang membuat saya menghayati bagaimana ibu juga sangat  membutuhkan ayah dalam menghadapi anak remaja.

Salah satu “isu” antara saya dan si sulung kelas 1 SMP adalah soal penampilan. Kami  selalu mengingatkan dia untuk memperhatikan pakaiannya. Kenapa? karena bentuk tubuhnya sekarang sedang “mekar-mekarnya” ibarat bunga mah. Jadilah kami polisi fashion. Kalau pake celana panjang, kaosnya yang panjang juga. Kerudung harus diurai, biar dadanya ketutup. Pilih kerudung yang gak tipis….. Namanya anak remaja ya….meskipun Azka anak yang “baik” dan sekolahnya juga cukup ketat soal pakaian, tetep we….ada eksplorasinya. Ngumpet2 pake jins yang ketat meskipun udah dibikinin celana  jeans yang agak longgar. Kerudung, harus selalu diingetin untuk dijulurkan ke dada.

Nah dua minggu lalu, saya liat dia kok gak pake daleman kerudung (selanjutnya akan disebut ciput kkkk). Ya jelaslah rambutnya keliatan melalui kerudungnya yang transparan. Waktu itu, kami pergi sekeluarga untuk makan. Ya jelaslah, saya tegur soal ia tidak memakai ciput. Tentu dengan nada kesal, karena saya inget banget, saya sering belikan dia ciput, bros dan segala perlengkapan kerudung. Sering banget malah. Bla…bla..bla…..Di luar dugaan, ternyata reaksinya tidak hanya cemberut, tapi dia menangis sesenggukan. Berlanjut sampai di tempat makan. Sesenggukan.

Si abah lalu bertanya kenapa…saya jelaskanlah kekesalan saya. “Caranya de, caranya…. dirimu bener, maksudnya baik….tapi caranya…”. Gitu kata si abah. “Ade udah pelan-pelan bah caranya….ade tadi tanya, kenapa kakak gak pake ciput..ibu kan udah sering beliin….bla..bla..bla..” saya berusaha menjelaskan bahwa saya mengingatkan Azka dengan cara yang “lemah lembut dan pelan-pelan”. Kkkkk…sebenarnya anak TK juga akan tahu bahwa jelas-jelas saya “mengomeli”, bukan “mengingatkan”. Tau gak…saat itu ya, saya tiba-tiba ingat ada istilah yang mengatakan “boy will be boy”. Ungkapan itu sering dikatakan sebagai kelakar bahwa buat seorang wanita, jumlah anaknya adalah plus , yaitu suaminya. Untuk menunjukkan bahwa suami sering berperilaku kekanak-kanankan. Nah, saat itu saya berpikir kayaknya situasi yang menggambarkan yang sedang saya alami adalah “girl will be girl” kkkk…saya bayangkan si abah  sedang menghadapi dua anak perempuannya yang sedang berantem haha…. Akhirnya, sudah bisa ditebak. Si abah mendekati si sulung, meredakan tangisnya. Saya amat mengandalkan si abah memang dalam kondisi sedang tidak waras seperti ini. Sering saya curhat sesuatu dengan diawali ….“Bah, tolong bilang ke Azka….bla..bla..bla..”. Dan saya percaya sekali  mas bisa menjadi “jembatan” penghubung saya dan Azka saat salah satu atau kami berdua sedang dikuasai emosi negatif.

Seminggu lalu, ada pengalaman lain. Kami mendaftarkan Azka ke sebuah tempat les bahasa inggris terpercaya. Kami sepakat bahwa sudah saatnya Azka mendapatkan stimulasi bahasa Inggris yang advance. Tapi sepanjang placement test dan proses registrasi, saya melihat Azak kurang semangat. Tapi saya  abaikan, bertekad untuk tetap mendaftarkannya. Si abah juga mendukung. Hari ahad lalu, sepulang menjemput Azka dari acara di sekolahnya, si abah bilang: “De, aku tadi ngobrol sama Azka, katanya dia gak mau les bahasa Inggris. Dia pengen weekend itu bener-bener istirahat. Dia bilang, dia merasa cukup dengan 3 sesi pelajaran bahasa Inggris tiap minggu di sekolahnya. Kan ada writing, listening, speaking. Pake native speaker lagi. Jadi menurutku ga usah aja”.

Setelah makan malam, waktu saya lagi beberes dapur dan Azka mencuci piring, saya tanya; “Gimana, Kaka teh jadi mau les Inggris engga? kok Ibu liat Kaka kurang semangat”. Karena lagi waras, saya berkata dengan lebut dan pelan. Dia menjawab pelan “gimana ibu aja”. Waktu saya bilang oke dia gak usah les karena pertimbangan yang disampaikan si abah pada saya, “Yess…“katanya….dan dia pun dengan riang cerita ini-itu tentang teman-temannya di sekolah.

Temans…tahukah….keterbukaan anak itu, amat mahal. Apalagi anak remaja. Beberapa kali  saya temui orangtu yang bingung …kenapa anaknya putus kuliah padahal dulu bilangnya mau, kenapa anaknya males ini-itu padahal gak nolak….Saya menghayati….seperti ketidakterbukaan Azka terhadap saya itu-lah prosesnya. Anak yang sudah besar, biasanya bisa menangkap harapan orangtua padanya. Saya menduga, Azka menangkap bahwa saya punya harapan besar padanya. Saya sering bilang bagaimana kesempatan yang bisa diraih teman-teman saya yang Bahasa Inggrsinya advance, saya juga suka bilang betapa beratnya saat saya harus menulis dalam bahasa Inggris, karena bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Meskipun saya “tidak memaksa”, namun perasaan “engga tega” “tidak ingin mengecewakan orangtua” itu lah yang tampaknya justru menjadi benteng psikologis yang membuat Azka tak mau terbuka pada saya. Dan di saat-saat seperti itulah, saya perlu si abah. Di saat-saat itulah seorang ibu butuh suaminya,  sebagai seorang ayah.

Dalam praktek, sudah lama saya meyakini bahwa ayah, bukanlah “figur pelengkap penderita” dalam persoalan tumbuh kembang anak. Terutama untuk kasus-kasus yang “berat”; seperti ketergantungan anak pada sesuatu, anak terancam DO, hamil atau menghamili; saya melihat ayah sangat potensial untuk maju ke garda depan mendampingi anak melalui hari-hari sulitnya. Konon katanya, ibu kan lebih emosional. Sedih, biasanya saat menghadapi masalah anak.  Nah, anak…biasanya sangat sulit menghadapi kesedihan ibu. Airmata ibu. Beban masalahnya dihayati bertambah oleh anak saat harus menghadapi air mata dan wajah sedih ibu.

Dalam kultur Indonesia, “membahagiakan orangtua” adalah sebuah nilai yang begitu berharga. Indikator  keberhasilan. Oleh karena itu, “mengecewakan orangtua” adalah hal yang akan dimaknai sebagai suatu kegagalan. Suatu hal yang buruk. Nah, saat itulah…seorang ayah yang lebih rasional, biasanya menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan. Ibu, back off dulu….Ayah dulu yang maju. Nah, kalau ayah tak punya hubungan emosional sama anak, “lepas”lah anak atau remaja  itu dari keluarga. Kalau anak atau remaja udah “lepas” dari keluarga, lebih sulit mencari figur yang menjadi “significant other” bagi anak dan remaja.

Ibu, bukanlah manusia sempurna. Menurut saya, amanah menjadi “madrasah utama dan pertama bagi anak” tak harus membentengi ibu dari objektifitas bahwa dirinya tak sempurna. Bahwa ada keterbatasan yang dimiliki ibu. Ada karakteristik khas dari ibu. Mungkin kita sebagai ibu adalah seorang yang terlalu lebay, terlalu high achiever, atau terlalu pencemas,  …. terlalu “terikat” sama anak-anak kita, dan terlalu-terlalu lainnya. Sehingga di saat itulah, kita butuh sosok yang bisa menjadi penyeimbang. Ayah.

Jadi, kesimpulan dari paparan panjang kali ini adalah:

cowgirl-border-We Need You(1) Ayah, sangat bermakna bagi kehidupan anak. Anak membutuhkan ayah,  di tahap perkembangan apapun. Hanya berbeda bentuknya.

(2) Ayah, sangat bermakna bagi ibu. Istri membutuhkan suamianya dalam konteks mengasuh anak, di tahap perkembangan apapun anaknya. Hanya berbeda bentuknya.

Abstraksi dari dua point di atas adalah,

we need you…. dad, abi, ayah, abah, papa, papi, bapak….

your daughter, your son, your wife  really need you….

sumber gambar : http://www.timbertrailparents.org/cms/NewsDetail.aspx?id=1190

2 Comments (+add yours?)

  1. dila
    Oct 30, 2015 @ 09:23:31

    Saya senang baca tulisannya kakak, perkenalkan nama saya zidane latifadila saya kebetulan akan penelitian, penelitian saya juga mengenai father involvement, saya sangat senang kalau kakak mau berbagi referensi, berhubung baru akan memulai penelitian kak. Terimakasih

  2. memerumaysa
    Apr 12, 2016 @ 14:04:07

    Terima kasih Mbak Fitri Ariyanti untuk tulisannya yang — lagi-lagi — membuat saya terpesona. Akan saya terapkan bersama pasangan nanti ketika anak saya beranjak dewasa, insya Allah.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: