Kurang lebih setahun lalu, saya megikuti Workshop Art Therapy. Trainernya, seorang art psychotherapist muda berbakat lulusan FSRD yang mendapat ijazah art psychoterapistnya dari London. Meskipun awalnya saya agak ragu karena saya selalu merasa “musuhan” sama apapun yang namanya art, namun tanpa saya sangka, workshop dua hari itu ternyata sangat saya nikmati. Saya pernah menuliskan oleh-oleh engikuti Art Therapy ini dalam tulisan https://fitriariyanti.com/2014/11/14/oleh-oleh-workshop-art-therapy-siapa-murid-siapa-guru/
Namun bukan tentang art therapy yang akan saya ceritakan di tulisan ini.
Pada saat sesi tanya jawab berlangsung, ada pertanyaan menarik dari salah satu peserta. “Jika waktu therapy selama 1 jam sudah habis sedangkan klien masih mau melanjutkan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh therapist? Apakah tidak sebaiknya memberikan waktu perpanjangan?”. Ini menarik karena bagi saya pribadi, masih sulit untuk “disiplin” membatasi waktu konseling 1 jam dengan klien.
Sang Trainer menjawab tegas, bahwa lebih baik tidak diperpanjang. Strict to the time yang telah disepakati dengan klien sebelumnya. Mengapa? Karena adanya struktur itu, penting sekali untuk klien. Lalu dengan gaya khas “anak muda”nya yang ekspresif, sang trainer menjelaskan lebih lanjut …. Kurang lebih seperti ini: “ya, kayak kita dikasih batasan dan aturan sama ortu kita, misalnya gak boleh pulang lebih jam 9 malem… kan enak gitu…dibandingkan kita gak dikasih batasan…terserah mo pulang jam berapa aja….dikasih aturan dan batasan itu, rasanya kayak dijagain gitu, rasanya kayak dipeluk”. Kalimat terakhir, ia katakan dengan gesture memeluk.
Buat saya, kalimat “anak muda” itu, sangat mengesankan, saya seperti menemukan afirmasi sekaligus terpesona dengan penghayatan dan kata-kata yang gak pernah terpikirkan oleh saya.
Konon katanya, salah satu “tantangan” orangtua sekarang ini adalah kekurangtegaan saat memberikan batasan atau aturan.
Kalau mengacu pada dua dimensi parenting styles yang paling klasik dari Baumrind bahwa pengasuhan yang efektif itu harus mengandung 2 hal: (1) kehangatan, (2) control. 4 jenis parenting style yang udah tenar yaitu authoritative, authoritarian, permissive dan passive. Parenting style yang menurut penelitian terbukti menghasilkan anak-anak yang paling “positif” adalah authoritarian, yaitu saat orangtua memberikan kasih sayang dan kehangatan, sama besar dengan memberikan arahan, tuntutan dan batasan.
Nah, menurut pengalaman saya berinteraksi dengan ibu-ibu, kalau ngasih kehangatan mah keahlian ibu-ibu lah….tapi konsisten menegakkan aturan dan batasan itu yang challenging banget. Tidak mudah bagi seorang ibu melihat anaknya nangis, ngamuk dan “menderita” karena aturan yang dibuatnya.
Saya sendiiri masih ingat saat Umar berumur 4 tahun, 5 tahun lalu, setiap kali saya keukeuh memegang aturan, dia akan marah dan berteriak: “Ibu mah keras kepala kalau udah ngasih aturan teh!”. Dan sekarang, si bungsu Azzam, kalau saya keukeuh memegang aturan, dia aan memukul-mukuil saya.
Tapi perjalanan saya membantu anak-anak dan remaja yang “bermasalah”, menujukkan bahwa banyak potensi masalah yang bisa diantisipasi untuk tidak jadi masalah dengan adanya konsistensi aturan yang diberikan oleh orang tua.
Mengapa? Ada dua alasannya.
1. Aturan dan batasan itu membentuk self control. Pada anak usia dini, “hati nurani”nya belum kuat terbentuk. Kita, sebagai orangtua yang harus membantu membuatkan “pagar” mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh ia lakukan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh ia langgar, sehingga di masa depannya, “hati nurani”nya yang akan mengatakan “hei, jangan lakukan iti”.
Bahkan dalamm salah satu jurnal yang saya baca, self control ini merupakan akar dari semua permasalahan pada anak dan remaja. Kecanduan main games, kecanduan pornografi, vandalism, bullying, you name it….semuanya berakar dari control diri yang kurang kuat, yang berinteraksi dengan hal-hal pendukung lainnya.
2. Nah, ini terkait sama apa yang diungkapkan sang Trainer tadi. Secara lebih “mendalam”, saya menghayati dari klien anak-anak dan remaja yang berinteraksi dengan saya, bahwa bagi mereka, diberikan batasan dan aturan itu, bisa dihayati sebagai wujud kepedulian dan kasih sayang. Bahwa saya dijaga. Saya dipedulikan. Saya dicintai.
Penghayatan kedua ini, akan muncul jika kita jelaskan pada anak, mengapa kita kasih aturan itu. “Teteh hanya boleh makan permen hari Sabtu. Kerena kalau terlalu sering, gigi teteh nanti rusak”. “Dede hanya boleh nonton ultraman sehari satu kali, karena kalau kebanyakan nonton ultraman, dede nanti suka pukul-pukul orang lain”. “Kaka hanya boleh main tablet sehari 30 menit. Kalau kebanyakan, Kaka nanti engga tertarik main sama temen. Padahal main sama temen itu, membuat Kaka pinter”.
Nah, cara kedua ini yang tampaknya diajarkan oleh Ibunda sang Trainer, sehingga aturan dan batasan, bisa dihayati sedemikian romantisnya menjadi sebuah pelukan yang hangat dan menenangkan. Tepat seperti demikianlah memang maksud dari adanya batasan dan aturan itu. Bukan untuk mengekang dan menyakiti.
Ah, kebetulan saya kenal ibu dari trainer muda berbakat itu..nanti saya mau tanya ah, gimana cara beliau memberikan aturan sehiungga putrinya bisa menghayati sedemikian romantisnya;)
Buat ibu-ibu….jangan ragu memberikan aturan dan batasan. Jangan ragu pula mengatakan bahwa aturan dan batasan itu, kita berikan because we love them….
Temans, sejumlah tulisan ringan seperti ini, telah dibukukan dalam buku “Bukan Emak Biasa”.
Bergabunglah bersama 250 orang yang telah mendaftar Pre Order,
Berlaku sampai dengan tgl. 7 Desember 2015
Diskon 15% (Harga Buku Rp. 69.000,-, menjadi Rp. 58.650,-)
Mendapatkan tanda tangan basah Penulis
Caranya: mengisi form pendaftaran di link berikut ini: https://docs.google.com/forms/d/1x-3wxAJ99a6ZtjQjgJiNwNIKN119kulybLe98Joxtyg/viewform?usp=form_confirm
Kami akan menkonfirmasi pendaftaran teman-teman dan memberikan informasi harga+ongkirnya tgl 30 November, dan buku akan dikirimkan tgl 7 Desember
Recent Comments