Di sebuah wa grup ibu-ibu ortu murid prasekolah, sedang ramai membahas kegiatan fieldtrip ke luar kota. Yang jadi perbincangan seru adalah mengenai waktu. Para ibu bekerja mengusulkan waktunya weekend, karena mereka sangat ingin mendampingi putera-puterinya yang memang masih usia 2-3 tahun. Belum mungkin menitipkan anak-anak usia ini pada gurunya. Di sisi lain, para ibu yang tidak bekerja mengusulkan waktunya hari kerja, dengan alasan tempat fieldtrip lebih lowong.
Pembicaraan masih terus berlangsung, namun tampaknya karena jumlah ibu tidak bekerja lebih banyak, keputusan yang akan diambil adalah tetap di hari kerja. Usulan untuk pindah tempat fieldtrip ke tempat yang bisa lebih lowong kalau weekend, ditolak.
Saya sendiri, tau diri. Sejak dulu anak-anak saya kalau masih usia PG, gak ikutan fieldtrip dari sekolah. Kecuali saat TK B, saat saya bisa menitipkan anak saya ke bu guru. Biasanya saya “membayar” ketidak ikutan fieldtrip anak-anak dengan pergi ke tempat fieldtrip tersebut di weekendnya sekeluarga. Tapi beberapa ibu bekerja di wa grup tadi, tampaknya berjuang keras untuk ingin ikut, agar keriaan fieldtrip juga bisa dirasakan oleh anak-anak mereka, oleh mereka juga. Mereka berusaha mempersuasi untuk weekend aja fieldtripnya, atau mencari tempat fieldtrip yang lebih luang kalau weekend, juga beberapa alternatif lainnya yang memungkinkan semua bisa ikutan. Tapi tampaknya tak berhasil. Kalah jumlah.
Tiba-tiba, entah mengapa saya merasa sedih. Sangat sedih malah. Menghayati betapa keinginan mereka terlibat dalam kegiatan anak-anaknya, tidak terfasilitasi. Dan sebagai minoritas, ya itu resiko.
Bahwa pendapat saya ini sangat dipengaruhi oleh pilihan saya sebagai ibu bekerja, pastinya. Tapi saya teh memimpikan apapun kondisi dan pilihan ibu, para ibu harusnya membentuk satu “unity”. Saling mempedulikan. Jadi menurut saya, meskipun tak salah, namun akan lebih bijak kalau ibu bekerja diberi ruang juga untuk sama-sama bisa optimal terlibat dengan anak-anaknya.
Di sebuah sekolah yang lain, saat pembagian raport di hari kerja, ibu-ibunya bersepakat kalau jadwal ambil raport pagi, adalah buat ibu bekerja. Jam 8 sampai jam 9. Biar setelah itu bisa ke kantor lagi. Sedangkan ibu-ibu yang tidak bekerja, yang waktunya lebih luang, memilih mengambil raport lebih siang. What a wonderfull collaboration.
Saya juga ingat, di sekolah tersebut, beberapa waktu yang lalu, saat merencanakan acara perpisahan anak kelas 6, yaitu menginap di luar kota, kami bersepakat. Ibu-ibu yang tidak bekerja bagian survey dan panitia teknis. Ibu-ibu yang bekerja, yang susah ikutan rapat maupun survey, berinisiatif menyumbang finansial dan makanan. Secara sukarela. What a wonderfull collaboration …
Saat acara, ibu-ibu tidak bekerja yang bisa hadir, memfotokan satu-satu anak dari ibu-ibu bekerja yang tak bisa hadir. Ibu-ibu yang tidak bekerja yang bisa hadir, “melaporkan” pandangan mata masing-masing anak pada ibunya, memvideo-kan…. sehingga si ibu bekerja tetap bisa terlibat dengan anaknya. What a wonderfull collaboration
Semoga kotak-kotak yang kini semakin banyak, tak terjadi pada kita para ibu ya….
Tugas menjadi ibu itu berat….Kita harus bersatu! saling membantu! saling mengingatkan! saling mendukung! saling menjaga ! The Power of Moms Unity !
Dunia lebih indah jika kita bersatu …..
sumber gambar : http://stillstandingmag.com/2015/04/mothers/
Recent Comments