Dua minggu lalu, 28 November 2015.
Setengah delapan pagi sampai dengan setengah sepuluh, kami sekeluarga berada di tengah-tengah tiga puluhan anak remaja tanggung. Anak-anak tanggung yang canggung, berusia 12 sampai 14 tahun. Mereka adalah siswa/siswa yang mengikuti kegiatan panahan dari beberapa sekolah, yang “terpilih” untuk mengikuti pembinaan. Sehingga ketika ada perlombaan nanti, mereka diharapkan sudah “matang”. Si sulung Azka ada diantara mereka.
Jujur saja saya sangat menikmati mengamati perilaku para remaja tanggung yang canggung itu. Oh, inilah masa transisi itu. Perilaku yang serba “kagok”. Lirik-lirikan malu antara remaja putri dan putra, obrolan-obrolan patah-patah dengan teman baru, volume suara dan sikap yang terlihat “bingung”. Saya kagum banget sama si kakak atlet panahan yang bisa luwes mendekati remaja yang sikapnya, terkadang “mengesalkan” itu. Misalnya diminta pemanasan, malah bergerombol. Diminta ini itu, gak langsung nurut gituh 😉
Saya juga menikmati saat simulasi pertandingan dilakukan. Satu demi satu remaja tanggung itu merentang busur panah. Dengan penuh konsentrasi yang diwarnai kecemasan, melepaskan anak panah, dan bersiap akan hasilnya. Entah itu memuaskan kena tepat ke sasaran, atau melenceng jauh.
………………………….
Dua jam kemudian, setengah 12. Saya sudah berada di Jatinangor. Si abah dan anak-anak setia mengantar 😉 Sebagai dosen pembimbing, saya harus menutup kegiatan Pengabdian Masyarakat Mahasiswa. Program ini bernama Peri Psikologi. Meskipun tak selalu mendampingi selama 2 bulan mereka mengajar di salah satu SD di Jatinangor, tapi saya benar-benar bangga sama 38 mahasiswa Peri Psikologi. Bangga dengan semangat, keceriaan, kerja keras, kesungguhan dan ketulusan mereka. Serunya kegiatan Peri Psikologi bisa dilihat di blog https://beyondiary.wordpress.com/2015/11/02/peri-psikologi-2015/.
Siang itu, acara penutupan. Sejak jam 6 pagi, sebenarnya acara sudah mulai. Mereka membawa para “Adik” yang mereka ajar selama ini ke kampus. Dikemas dalam bentuk edutainment, adik-adik kelas satu dan dua itu diajak “berpetualang” melalui games dan kunjungan ke kandang satwa, yang bekerjasama dengan mahasiswa pertanian.
Ada mata yang berkaca-kaca dalam acara itu. Bahkan ada isak tangis. Mata berkaca-kaca dan isak tangis itu, milik para mahasiswa dan juga para adik. Ada seorang adik yang menangis tersedu-sedu sulit untuk dihentikan, sedih karena tak akan “bertemu” kakaknya lagi. Si kakak dengan beragam gaya “remaja akhir”, tampak begitu lekat dengan adik-adik itu. Saya, juga berkaca-kaca. Terharu. Apalagi saat melihat salah seorang mahasiswa laki-laki (ya iyalah…kalau perempuan namanya mahasiswi hehe..) yang “digandulin” empat adiknya: satu diatas pundak, satu di punggung, dua di kaki. Proud of you, my students….
…………………………
Kurang lebih tiga minggu lalu, seorang teman meminta saya mengisi pembekalan pada para kader BKR (Bina Keluarga Remaja) se-Jawa Barat. Diselenggarakan oleh BKKBN dan PKK Jabar. Materinya…Psikologi Remaja.
Koreh-koreh ppt mengenai psikologi remaja di laptop, belum ada ternyata. Memang biasanya saya menolak kalau diminta bicara tentang remaja. Karena merasa kurang menghayati. Tapi sekarang saya oke-kan, karena sudah menghayati dengan si sulung yang sudah remaja.
Akhirnya, untuk bisa bikin materinya, saya pun membaca buku “Adolescence” yang ditulis oleh Laurence Steinberg. Buku itu edisi ke-10, terbitan tahun 2014. Tahun lalu saya beli khusus ketika saya terkaget-kaget melihat perubahan perilaku si sulung yang berubah saat masuk fase remaja.
Waktu saya cari gambar mengenai remaja Indonesia di mbah Gugel, ternyata saya tidak menemukan gambaran remaja yang “positif”.Gambar-gambar yang muncul ketika saya ketika kata kunci “remaja” berkisar seputar gambaran remaja yang corat-coret baju setelah lulus, genk motor, seks bebas, narkoba. Gak ada yang positif.
Mmmhhh….Jujur saja, memang sangat wajar kalau para ortu remaja merasa “cemas”. Bombardir informasi negatif mengenai remaja, berasal dari segala penjuru. 3 dari 5 remaja kecanduan pornografi. 9 dari 10 remaja sudah tak perawan. 7 dari 10 remaja pernah mengkonsumsi narkoba…..5 dari 6 remaja terlibat tawuran. Siapa yang tidak panik dan khawatir?
Salah satu yang menjadi tantangan “berat” buat ortu jaman sekarang adalah, jaman digital. Internet. Salah satu karakteristiknya adalah; bahwa informasi “menyerbu” kita. Beragam informasi. Baik yang baik, yang buruk, yang akurat, yang fakta, yang mitos, yang opini, semua tercampur baur. Kalau tak punya pegangan, maka kita akan megap-megap dan ikut arus tak jelas tujuan. Panik.
Tapi kan beragam informasi mengenai remaja itu membuat ortu jadi waspada? Waspada bagus. Panik dan cemas jangan. Apa bedanya waspada dan panik/cemas? ini dia yang akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan diakhiri dengan tips gimana biar sebagai ortu remaja, kita gak panik/cemas.
Temans, hasil intipan saya thdp kbbi, waspada artinya berhati-hati dan berjaga-jaga; bersiap siaga. Cemas artinya tidak tenteram hati (karena khawatir, takut); gelisah. Nah, kalau Panik artinya bingung, gugup, atau takut dengan mendadak (sehingga tidak dapat berpikir dengan tenang).
Kalau kita waspada, maka saat mendengar informasi tentang “bobroknya pergaulan remaja”, atau membaca hasil survey misalnya”9 dari 10 remaja sudah tidak perawan”, kita akan “memfilter” itu terlebih dahulu. Bentar-bentar….ini remaja di mana ya? 9 dari 10 remaja…. dimana ini? remaja mana yang dijadikan sampel penelitian? berapa banyak? remaja yang jadi sampel mewakili beragam kalangan remaja gak? apakah hasilnya bisa berlaku pada seluruh remaja di Indonesia? Gimana cara ngukurnya? ….Kalau kita mendengar “ada remaja umur 15 tahun yang meninggal karena OD”. “remaja umur 17 tahun bunuh diri karena kebanyakan PR”. Oke, gimana dinamika kehidupan si remaja tersebut ? apakah semua remaja yang kebanyakan PR akan bunuh diri?
Kalau kita “waspada”, kita akan “mengolah” informasi yang kita terima, mana yang “boleh” masuk ke “hati”, mana yang bisa kita abaikan. Kalau “panik”, sesuai dengan definisi dari kbbi di atas, setiap kali kita dapat informasi buruk tentang remaja, kita akan resah dan gelisah. Dampaknya apa? kalau waspada, kita akan tetap “berpikir jernih” menghadapi si remaja.
Si remaja pake laptop, browsing sana sini, kita gak akan panik. Yups, kita minta si remaja untuk gak mempassword laptopnya sehingga kita bisa cek historynya, tapi gak melarang si remaja bereksplorasi mencari informasi karena khawatir. Kalau kita waspada, saat si remaja minta izin untuk kerja kelompok di rumah teman atau kafe tertentu, kita akan siapkan keamanan berangkat dan pulangnya. Kita akan tanya ngerjainnya sama siapa, no hapenya berapa, berapa lama ngerjainnya. Kalau cemas dan panik, mungkin kita gak akan mengizinkan si remaja pergi. Kalau kita waspada, saat anak terlihat bete dan kesal, waktu udah tenang kita bisa ajak ngobrol apa yang membuat ia kesal. Kalau panik, kita akan nyuri-nyuri baca diarynya, kepo-in chattingan di hapenya.
Apa dampaknya kalau kita cemas dan panik?
(1) Rasanya gak enak. Tidak baik untuk kesehatan mental. Dan kesehatan mental, itu kaitannya erat dengan kesehatan fisik. Come on ! jadi ortu dan emak kan harus selalu prima ….lahir batin ;).
(2) Pola kecemasan dan kepanikan kita bisa menular sama anak.
(3) Membuat “hak” anak remaja tak tertunaikan. Apa sih, “hak” anak remaja? “dilepas” sedikit demi sedikit. Kenapa? karena, tahap remaja adalah tahap persiapan untuk menjadi dewasa. Saat ia dewasa, ia harus menjadi individu yang sepenuhnya mandiri. Kalau saat remaja ia “tak diatih untuk dilepas” sama ortu, bagaimana ia bisa berkembang menjadi individu yang mandiri? mandiri di sini mandiri psikologis ya…karena saya bicara dalam setting psikologis. Kan katanya sekarang lagi nge-hits istilah “peter pan syndrom” (meskipun saya mah gak terlalu setuju sama istilah sindrom-sindroman…;) .
Yah…memang tugas menjadi ortu itu “subhanallah” ya…. kita harus lekat, tapi tak beoleh membuat anak tergantung. Saat kecil kita harus jadi “sandaran” bagi mereka, mulai dari mereka 100% persen tergantung sama kita (tentu sama Allah juga lah ya…) . Eeeh…udah lekat, kitanya udah seneng anak “membutuhkan” kita…lalu pada saat mereka remaja…kita harus “berbesar hati” mempercayai mereka, melepas mereka sedikit demi sedikit. Orangtua, adalah representasi dari satu perbuatan. Ikhlas.
Nah, sampailah kita di bagian akhir tulisan ini. Bagaimana caranya biar kita sebagai ortu remaja, waspada tapi gak panik/cemas.Tentu kita tak bisa meminta para penyedia informasi tentang remaja untuk tak hanya memberitakan yang buruk tentang remaja. Buat para penyebar berita…bad news is a good news ! Kita juga tak bisa meminta para penyebar informasi mengenai berbagai survey untuk menjelaskan secara lengkap “metodologi penelitian” mereka. Tapi kita bisa mengubah diri kita. Hei hei….inga…inga…. kita bukan korban ! kita “berdaya” !
Menurut saya, 3 hal ini yang bisa kita lakukan:
(1) Mengolah dan menyaring informasi. Sudah saya jelaskan di atas ya….
(2) Baca sumber yang komprehensif.
Terkait poin kedua ini, saya mau cerita sesuatu. Suatu saat saya pernah seperjalanan ke Jatinangor dengan seorang senior saya. Usianya dengan saya…terpaut 20 tahun lah. Beliau produktif sekali menulis, meneliti, dan berkarya Beliau mengajak ngobrol saya. Beliau “mengeluhkan” waktunya yang ter”occupied” oleh obrolan di Wa Grup. Lalu beliau menunjukkan salah satu obrolan di Wa Grupnya, yang saat itu sedang aktif-aktifnya. Wow! pas saya liat nama-nama di Wa Grup tsb, widiiiih….itu nama-nama yang sering saya baca di berita dan suka nampil di TV…. sedang membiacarakan tentang “bangsa dan negara”…. beda kelas lah ama saya mah. Lalu beliau bercerita mengenai betapa mudahnya informasi tersebar. Lalu kita bla..bla..bla..ngobrol tentang dampak positif dan negatifnya…dan ada satu kalimat beliau yang saya ingat sampai sekarang; “yang saya sedih, dengan adanya wa ini, dan mudahnya mendapatkan informasi, saya jadi kurang waktu untuk membaca buku”.
Tah, eta….. temans….informasi yang beragam apalagi di sosmed, itu bukanlah informasi yang terstruktur. Kalau kita gak punya kerangka berpikir, dijamin pusing dan akhirnya resah dan gelisah. Golput vs milih pilkada langsung hari ini, imunisasi vs non imunisasi, jaket warsito vs kemoterapi, parenting nabawiyah vs parenting sekuler, disiplin vs kreatif, masa remaja vs masa akil baligh…dijamin lieur….
Kalau kita pengen punya alur kerangka pikir yang baik, baca buku atau tanya ahli. Misal soal remaja ini. Benarkah remaja itu merupakan masa “storm and stress?” kalau baca buku tahun 2014, istilah itu sudah tak dikenal lagi. Perubahan hormonal pada remaja tak otomatis membuat remaja “jadi monster”. Apakah remaja itu akan mudah terkena pornografi, seks bebas dan narkoba? apakah “generation gap” itu ada? kalau baca buku Sternberg 2014, disitu dinyatakan bahwa kebanyakan permasalahan “perbedaan dan pertengkaran remaja dan ortu”, itu bukan pada NILAI YANG MENDASAR. Tapi biasanya pada gaya. Cara ngomong. Selera musik. Warna dan gaya baju. Gak akan ujug-ujug amak laki-laki kita yang rajin ke mesjid tiba-tiba menghamili anak orang. Gak akan ujug-ujug remaja putri kita yang tilawahnya one day one juz tiba-tiba kabur sama orang yang baru dikenal di facebook. Mencari informasi yang komprehensif itu, menenangkan. menentramkan.
(3) Banyak-banyaklah “menyetok” pengalaman yang positif dengan si remaja. Dua kisah yang saya tulis di awal adalah salah satunya….eh, salah duanya 😉 Mereka adalah dua kelompok remaja. Satu remaja awal, satu remaja akhir. Yang katanya paling bergejolak. Saat memandang para remaja awal yang merentang busur panah itu, tenaaaang rasanya. Bahwa ada loh, sekelompok anak remaja yang gak menghabiskan waktu luangnya dengan main online games atau nonton video porno. Saat memandang wajah-wajah ke-38 mahasiswa saya, mengajari anak-anak kelas dua yang belum hafal huruf dengan sabar; menghembuskan harapan, bahwa gak semua remaja gak peduli seperti kasus “bunga amarylis” yang sempet ngehits kemaren 😉
Saya seneng banget kalau Azka udah cerita kakak-kakak kelasnya. Ada yang fokus dengan hobinya masing-masing; fotografi, film, memasak, dll. Saya juga seneng saat Azka menghabiskan waktunya memikirkan proposal yang harus ia buat untuk “melamar” jadi pengurus OSIS, lalu ia cerita bahwa kakak-kakaknya lagi buat proposal dana dan merancang acara baksos. Hei….masih ada loh, remaja yang “baik”….
Sepuluh hari ramadhan, saat itikaf, saya selalu menyengaja menatap wajah-wajah para remaja, yang khusyuk membaca Qur’an, khusyuk sholat dan berdoa. Di kampus, beberapa bulan terakhir ini saya punya kebiasaan baru. Di ruang kerja saya di lantai 3, saya sering berdiri depan jendela kaca yang besar. Dari sana, saya bisa melihat aktifitas mahasiswa-mahasiswa saya di halaman dan teras gedung-gedung kampus. Ada yang sedang latihan menari, terdengar suara latihan angklung atau paduan suara, kelompok-kelompok yang serius dengan laptop-laptop mereka, ada yang latihan untuk pentas sosiodrama, BEM, mentoring, dll. Dalam perkuliahan, saya juga sekarang sangat menikmati poster-poster kreatif yang mereka buat, tampilan ppt kreatif yang mereka sajikan….saya berusaha membangun keyakinan yang besar dalam diri saya….tak semua remaja seusia mereka sibuk dengan kenarsisan, drug ataupun pornografi.
So, ortu remaja, dont worry be happy. Waspada, tapi jangan panik dan cemas. Semangat !
Dec 12, 2015 @ 00:19:47
Mantap mba! Tulisannya saya kasih ke mama saya ya mba hihihihi