Mengasuh, Seperti Menari

Kalau dulu saya pernah kesengsem dengan kata “wisdom”, kini saya tengah kesengsem pada kata “menghayati”. Mahasiswa bimbingan saya, udah bosen kali mendengar kata “menghayati” saya ucapkan berkali-kali dalam satu sesi bimbingan. Tak hanya pada bimbingan kasuistik di program magister yang memang mengharuskan mahasiswa “menghayati” setiap perilaku dan “pernyataan” non verbal klien maupun respons terhadap beragam alat asesmen psikologi untuk bisa menggambarkan kepribadian klien. Tapi juga saat bimbingan skripsi atau tesis yang notabene kerjaan “otak”.

Ya, itu karena saya lagi kesengsem banget sama kata itu, menghayati. Kata dasarnya “hayat”. Hidup. Terdengar romantis gitu haha…. dan filosofis. Akal yang hidup, rasa yang hidup, hati yang hidup. Dengan akal, rasa dan hati yang hidup-lah kita selalu sadar berada di koordinat manakah kita, dibandingkan dengan koordinat tujuan kita.

Dalam dunia pengasuhan, setiap kali membaca literatur mengenai anak dan pengasuhan, saya selalu mencoba menghayati …. apa ya, akarnya.Itulah sebabnya pula, di buku “Bukan Emak Biasa”, saya menempatkan tulisan bertema penghayatan di bagian pertama. Karena itulah akarnya menurut saya.

Beberapa minggu lalu, saya meminta bantuan seorang senior untuk mengisi materi parenting di program Pengabdian Pada Masyarakat yang saya buat untuk orangtua di suatu desa. Senior saya itu, membawakan 8 prinsip pengasuhan. Salah satu prinsip itu adalah “Irama”.

Dan beberapa hari terakhir ini, pengalaman dengan 4 anak saya, memunculkan wara-wiri di pikiran saya. Gimana sebenarnya aplikasi formula parenting dalam kehidupan sehari-hari kita pada anak? Nanti saya ceritakan apa yang memicu pertanyaan ini. Saya akan sampaikan dulu jawabannya.

Beberapa hari terakhir ini, saya merasa….mengasuh itu, seperti menari. Apakah pengetahuan dan prinsip parenting itu perlu? pastinya. Kita tentu harus tau gerakan tarian kita bukan? mana enak dipandang kalau kita menari tanpa gerakan yang jelas dan terarah. Namun kapan satu gerakan pas untuk kita lakukan, berapa lama melakukannya, bagaimana variasinya, kapan kita harus ganti gerakan, kapan kiat harus menari dengan lembut dalam tempo yang lambat, kapan kita harus bergerak dinamis dalam tempo yang cepat, itu tergantung dari irama yang kita dengar pada saat “pentas”. Dan kita sungguh tidak tau kombinasi musik seperti aap yang akan kita jalani.

Semakin hari, saya semakin takjub oleh satu karunia Allah yang namanya “tumbuh kembang manusia”. Sungguh dalam diri makhluk yang menjadi mahakaryaNya, Dia yang Maha benar-benar menunjukkan kesempurnaanNya. Saya belum menemukan rangkaian kata yang pas untuk menggambarkan apa yang rasa secara utuh.

Tapi sederhananya, coba kita amati anak-anak kita. Atau diri kita sendiri. Pada diri satu anak, kita bisa melihat adanya perubahan yang berubah seiring waktu. Satu anak, dalam berbagai situasi, bisa berbeda perilakunya. Perubahan perilaku  yang kadang mengagetkan kita. Anak yang berasal dari orangtua yang sama, dengan perlakuan yang sama, bisa tumbuh menjadi amat sangat berbeda, membutuhkan pendekatan yang amat berbeda.

Perilaku dan kondisi anak-anak kita, itulah irama yang harus kita dengarkan dengan baik, dan menjadi dasar gerakan dan tempo tarian kita. Untuk menemani anak-anak kita  dengan “pas”, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah telinga yang mau mendengar, mata yang mau menatap, dan hati yang mau menghayati. Itulah bekal parenting yang hakiki menurut saya.

Dan uniknya dari menari adalah, bahwa beragam variasi gerakan, beragam variasi tempo itu, tetap bisa dinikmati dan bisa menampilkan keindahannya tersendiri. Ah, saya bukan ahli menari. Menari saja saya gak bisa. Tapi saya sering merasakan sedang menari sambil menyanyikan lagu “ballerina”nya Sherina. “berputar berputar berputar gemulai…berlari berlari melayang kau terbang …lalalalallalalla….”

Oh iya…. tadi saya janji mau cerita apa yang membuat pertanyaan yang berujung pada jawaban “menari” itu ….

Sekitar sebulan lalu, saat menjemputnya di sekolah sepulang dari Jatinangor, Umar si kelas 4 “melaporkan” nilai-nilai Ulangan Hariannya. Dengan kurtilas, dia ulangan tiap minggu. Nilai-nilainya 100-100. Meskipun sangat malas belajar, namun keberaniannya mengungkapkan pendapat dan memanfaatkan pengetahuan di luar konteks akademik, sangat terfasilitasi dengan kurtilas ini. Saat mau menunjukkan lembar matematikanya, ia terlihat agak ragu. Akhirnya dia menunjukkannya. nilainya 90. “Pasti ibu gak seneng” katanya. “Soalnya mas Umar salahnya karena ceroboh”, katanya lagi. Yayaya….memang demikianlah dia. Khas sekali. Kesalahannya pada hal yang sangat sederhana. Seperti ketika itu, dia malah melakukan instruksi no.4 untuk soal no.3.

Bla..bla..bla… mulailah saya “menasehatinya”. Bahwa saya menentukan standar tinggi untuk dia, justru karena dia pintar. Sayang kalau kemampuan mas Umar engga maksimal hanya karena kebiasaan tidak teliti  yang tidak diperhatikan. Bla bla bla itu saya ucapkan di mobil dalam perjalanan ke rumah. Dia duduk di depan, saya di belakang dengan Hana dan Azzam. Jadi saya tidak melihat wajahnya.

Sesampainya di rumah, setelah memasak makan malam dan memanggilnya untuk makan, ujug-ujug terdengar dia berteriak “ga enak jadi anak pinter teh !” katanya. Pas saya liat, dia mengatakan itu sambil terisak. Saya sama sekali baru ngeuh, dan gak ngerti apa maksudnya. Saya tanya, jawabannya membuat saya terpaku. “Iya, gak enak jadi anak pinter teh. Nilai 90 aja dibilang jelek, padahal temen-temen mas Umar banyak yang diremedial, di kelas teh mas Umar paling bagus” katanya sambil terus terisak. Saya kaget karena dua hal. Satu, biasanya dia cuek. Bahkan dia biasa mentertawakan kesalahannya. Omelan saya, biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Jadi saya kaget mengapa dia sekarang jadi “sensitif”. Dua, tentu mendengar kontennya.

Jurus jitu saya saat menghadapi situasi itu, saya memeluknya. Tapi tetep, sambil bilang “iya, maksud ibu, mas Umar bisa lebih baik dari itu”. “Iya, makanya gak enak jadi anak pinter teh!” katanya lagi. Ah, saya salah. Shut up ! kata saya pada diri saya sendiri. Akhirnya sambil memeluknya lama, sambil menuggu tangisnya reda, saya coba menghayati perasaan Umar. Ya, saya tak salah. Apa salahnya memberi umpan balik padanya? apa salahnya memberikan tuntutan yang sesuai dengan kemampuan anak? saya berani mempertanggungjawabkan prinsip itu. Tapi, apakah Umar salah? tidak. Bahwa dia merasa apa yang ia capai sebagai peraih nilai tertinggi di kelas namun tak dihargai sedikit pun, tentu sangat melukainya. Saya peluk dia makin erat. Lalu minta maaf. Dari lubuk hati paling dalam.

Saat itulah pertama kalinya saya merasakan bahwa mengasuh itu, seperti menari. Dan saat itu, saya menarikan gerakan yang salah. Tak harmonis dengan iramanya. Sejak saat itu, dua nilai Ulangan Harian dan nilai UASnya, saya coba untuk bersikap sesuai irama yang Umar tunjukkan. Prinsip memberikan standar tetap. Namun porsi menghargai yang saya lupakan di kasus sore itu, menjadikan saya semakin aware terhadap tanggapan saya.

Penghayatan bahwa mengasuh itu seperti menari, sangat membantu buat saya. Rabu kemarin, saat libur pilkada serentak, cuman satu agenda yang tertulis di catatan saya: “nemenin Azka belajar matematika”. Dua hari sebelumnya walikelasnya membagikan daftar remedial. Dan untuk ulangan persamaan& pertidaksamaan linear, nilai Azka 56. Remedial pastinya. Memang saya berkontribusi terhadap hal ini. Kepadatan aktivitas saya plus kerepotan mengurus tiga adiknya, membuat saya menomor-akhirkan permintaannya mengajarkan materi pelajaran yang tidak dimengerti si sulung ini. Saya pun sepakat dengannya untuk tak menambah aktivitas akademiknya dengan les, seperti yang dilakukan beberapa temannya. Setiap kali pulang sekolah, sebelum ganti baju ia menulis berlembar-lembar tulisan di diarynya, adalah kegiatan yang sangat saya restui. Lebih baik untuk kesehatan mentalnya dibandingkan harus langsung les lagi setelah seharian sekolah.

Meskipun dari segi potensi kecerdasan Azka dan Umar sama, tapi faktor kepribadian yang berbeda, membuat kecepatan penguasaan materi pelajaran menjadi berbeda. Maka, materi persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel itu, menjadi sangat alot untuk Azka pahami. Setelah 5 jam, barulah senyum mengembang di wajahnya. Jangan tanya perjuangan saya menahan diri dan emosi untuk tak bilang “aduuuuh…kaka, masa gini aja gak ngerti….” . Sejam pertama beraaaaat banget. Dan lalu, saya menghayati bahwa proses ini seperti menari. Menari tarian jawa yang temponya harus sangat lambat. Engga….engga…gerakan saman, meskipun sistematis dan harmonis, namun temponya tak cocok untuk kondisi Azka. Dengan penghayatan itu, alhamdulillah…kami berdua lebih “menikmati”. Dan sore tadi, saat saya menelpon menanyakan bagaimana remedialnya, dia menjawab dengan dua kata : “gampang banget !”

Ah, menjadi orangtua itu, tak diragukan lagi…sangat chalenging. Maka, kita butuh ribuan jurus untuk menjalaninya. Dan salah satu jurus yang cukup membantparenting-quote-3u buat saya adalah, jurus “menari”.

Pelajari prinsip-prinsip gerakannya dengan baik.  Lalu saat pertunjukan tiba, fokuskan perhatian kita untuk mendengarkan irama yang disajikan oleh sang Maha; melalui pikiran, perasaan dan perilaku anak-anak kita.

Semoga upaya ini dicatat malaikat sebagai ikhtiar kita untuk melatih kesabaran dalam mengemban amanahNya. Aamiin…

sumber gambar: https://quotesgram.com/parenting-mistakes-quotes/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 Comment (+add yours?)

  1. Siti maemunah
    Dec 16, 2015 @ 15:14:27

    Subhanalloh, jazakillah setiap tulisan bu fitri memberi pencerahan buat sy. Slm ta’zim bu fitri…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: