Remaja dan Sastra

Siang ini, karena cukup luang, maka saya menyempatkan diri ke toko buku favorit keluarga kami. Sejak dua minggu lalu, si sulung bilang bahwa untuk pelajaran Bahasa Indonesia, ia mendapat tugas untuk membaca dan menceritakan tiga buku: satu buku biografi, satu buku terjemahan, dan satu buku puisi.

Buku biografi, adalah kesukaan si abah. Di lemari buku kami, ada puluhan buku biografi. Mulai dari biografi Rasulullah, Para Sahabat, Para Ulama, Tokoh Nasional, pengusaha, sampai dengan Udjo. Dengan semangat 45, si abah merekomendasikan buku “Ayah”, biografi Hamka yang ditulis puteranya, Irfan Hamka. Kata si abah bagus banget. Saya sendiri belum sempat membacanya. Untuk buku terjemahan, saya rekomendasikan salah satu dari puluhan buku Franklin the Turtle yang kami koleksi. Dan tadi siang, saya membelikannya buku kumpulan puisi.

IMG_20160125_154857Ketemulah saya dua buku ini. Yang satu adalah kumpulan 22 puisi cinta-nya si burung merak, W.S.Rendra. Yang satu lagi, novel sekuel Bumi dan Bulan, yang sudah lama ditunggu-tunggu si sulung. Novel karya penulis favorit kami, saya dan si sulung.

Jujur saja, saya senang sekali dengan tugas dari guru si sulung ini. Nanti pas bagi raport, saya akan bilang ke gurunya bahwa saya sangat mendukung tugas-tugas seperti ini. Kenapa?

Beberapa waktu lalu, waktu saya buka hape si sulung. Ssaya punya kesepakatan dengan si sulung: ia saya beri izin mengunci line-nya, karena itu pembicaraan personal dengan teman-temannya, yang ia tak mau saya mengetahuinya. Selain line, ia tidak kunci dan saya boleh membukanya. Di galery-nya, ada beberapa screenshoot percakapan ia dengan teman-temannya. Salah satunya bikin saya shock. Screenshoot percakapan line dari seorang temannya, tampaknya laki-laki. Begini tulisannya: “Aing cinta banget siah ka maneh. Soalnya maneh manis banget”. Haaaa? gelo ! kasar banget bahasanya….gak sopan! Tiba-tiba saya teringat beberapa ungkapan perasaan teman saya dulu untuk saya, yang ditulis dalam bentuk puisi. Beberapa rangkaian kalimatnya masih saya ingat, dan saya masih ingin tersenyum sambil masih deg-degan sedikit saat mengingatnya kini. Haha….kunaon jadi emaknya yang nostalgia…hihi….. Tapi yang jelas, dulu rasa suka diwujudkan dalam bentuk rangkaian kalimat yang halus dan indah. Tidak vulgar.

Tapi beberapa screenshoot pembicaraan si sulung dengan teman-temannya yang saya kenal baik, bahasanya juga memang begitu. Owh….baiklah….jadi itu bahasa gaul jaman sekarang ya….Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, di bis wisata saat dalam perjalanan  bersama teman-teman saya, pak sopir menayangkan lagu-lagu, terdiri dari lagu jaman dulu dan lagu-lagu sekarang. Ya ampuuuun….kita semua ampe shock. Lagu dulu itu, menyatakan cinta, benci, kecewa, bahkan hilangnya “mahkota” dengan kalimat yang halus dan melibatkan rasa. Tapi lagu-lagu jaman sekarang, bahasanya teh gilaaa….vulgar banget…kayak gak pake rasa.

Padahal ya, kelembutan rasa itu adalah salah satu yang menurut saya penting. Rasa yang lembut, akan mudah menerima nasihat kebaikan. Mudah menghayati, mudah menghargai.

Dari dulu saya sudah tahu bahwa seni, adalah satu media mengolah rasa. Tapi apa daya…minimnya paparan seni pada saya, membuat saya serasa “musuhan” sama seni. Saya tak bisa menari, menyanyi, bermain musik, melukis, merajut….segala bentuk seni saya tak bisa. Tapi saya tahu bahwa seni itu bisa mengolah rasa. Ada musik-musik tertentu yang begitu terasa di hati. Ada lirik-lirik tertentu yang saya nyanyikan saat saya sangat senang, sangat sedih, sangat rindu. Baik pada manusia maupun pada yang Maha. Musik dan Lirik itu, dibuat oleh mereka yang terolah rasanya. Hingga rasa itu, bisa ia tularkan lewat karyanya.

Setahun lalu, saya semakin yakin bahwa seni adalah media mengolah rasa, saat mengikuti workshop art therapy. Setelah hari pertama saya “dipaksa” corat-coret, di hari kedua saya bilang ke fasilitatornya, saya menikmati sekali prosesnya. Mengayunkan kuas, membuat lengkungan-lengkungan, saya merindukannya. Saya membayangkan saya membuat lengkungan di kanvas yang besaaaaar….sambil menari. Rasanya nyamaaaaan sekali. Menenangkan.

Maka, pada akhirnya saya menemukan seni yang paling pas dengan kondisi saya, yang bisa saya “tularkan” pada anak-anak. Seni bahasa. Reseptifnya membaca, ekspresifnya menulis. Sastra. Rangkaian kalimat. Bisa menghidupkan  pikiran dan perasaan kita. Penulis-penulis yang bagus, bisa membuat kita tertawa bahagia, tersenyum simpul dan merona, berkaca-kaca, bahkan tersedu-sedu. Semua itu mengolah rasa kita.

Di rumah kami, kami punya 3 buku tafsir. Pertama buku tafsir Ibnu KAtsir, direkomendasikan oleh para ustadz sebagai “tafsir dasar” yang bisa kita pelajari untuk memahami ayat-ayatNya. Kedua buku tafsir Al Misbah dan Al Lubab, Karya Prof Quraish Shihab. Tafsir ini favorit saya, karena pendekatannya filosofis dan sangat sistematis. Teman-teman akademisi yang mengkaji konsep-konsep islam dengan sudut pandang ilmiah, biasanya menjadikan Tafsir Al Misbah sebagai referensi. Dan ketiga, tafsir Al Azhar karya Hamka, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabat mas, favorit Mas. Sudah lama mas membujuk saya untuk baca tafsir Hamka ini. “Bagus banget bahasa, sastra dan penghayatannya de…” begitu kata mas. Beberapa bulan lalu, saya membacanya….dan saya langsung jatuh cinta. Sastranya begitu indah. Indaaaaaah banget.

Maka, di jaman dimana seolah kita digiring untuk hanya melihat dua warna : hitam dan putih – ini, penghayatan rasa, adalah salah satu hal yang mahal. Dan tak mungkin Allah ciptakan rasa kalau ia tak berguna bukan? Rasa atau bahasa ilmiahnya emosi itu berasal dari akar kata yang sama dengan motivasi. “Movere”. Artinya menggerakkan.

Menghidupkan rasa itu bukan kelemahan. Karena kalau kita menghidupkannya, maka berarti kita mengenalinya, dan berarti kita bisa mengendalikannya. Tapi kalau ia mati, maka pikiran seorang diri akan membuat kita menjadi mudah melihat hitam menjadi putih, putih menjadi hitam. Kita akan berpikir bahwa menghinakan orang yang berbeda pendapat dengan kita itu sah. Kita akan mudah meremehkan orang lain tanpa perlu bersusah payah memahami keadaannya.

Sungguh, saya sangat sedih sekali dengan kondisi ini. Apalagi dalam kehidupan beragama. Seolah kelembutan itu selalu berada di ujung yang berbeda dengan kebaikan. Saya tidak mau anak-anak saya sepeti itu. Maka, saya akan kenalkan anak-anak saya pada lembutnya seni. Pada indahnya sastra. Biar mereka bisa menebar kebaikan dengan rasa, menjadi apapun mereka nanti.

 

 

Kala wanita menangis

Hei, kalau kau melihat seorang wanita menangis…

Pastilah ia sedang merasakan sesuatu.

Kesedihan? kekecewaan? kepedihan? kegagalan? kesakitan? kekhawatiran?

Mungkin.

 

Hei, tahukah kau…

Bahwa wanita, menangis juga kala ia bahagia.

Kala ia bersyukur.

Kala ia merindu, kala ia jatuh cinta.

Bahkan, kala ia tak mengerti apa nama rasa yang ada dalam dadanya.

 

Maka, kala wanita menangis…

Jangan pernah berpikir ia lemah.

Kalau ia menangis karena merasa pedih,

maka setelah tangisnya reda, ia akan kembali tegak berdiri

Kalau ia menangis karena merasa bahagia,

maka setelah tangisnya reda, ia akan memberi warna indah pada dunia

Kalau ia menangis tanpa tahu nama rasa yang ia punya,

maka itu tandanya jiwanya hidup.

 

Hei, jika wanitamu menangis,

Pertanyaan dan kata-kata bukanlah yang ia butuhkan.

Rentangkan saja tanganmu, lalu peluk ia dengan erat.

 

Sungguh, rasa wanita adalah misteri. Bahkan bagi dirinya sendiri.

Yoddler_232_MEDIUM

sumber gambar : http://www.yoddler.com/?page=/Quote&q=232#page=/Quote&q=232

 

Mengajarkan teori “Batu vs Pasir” pada anak

Semalam, si abah bertanya apa jadwal saya hari ini. Meskipun wiken dinyatakan sebagai hari keluarga, tapi saya sudah minta izin untuk optional terima klien di hari Sabtu. Si abah juga kadang ada yang urgent untuk dilakukan hari Sabtu. Oleh karena itu, kami harus berkoordinasi. Karena kalau jadwalnya bentrok, siapa yang akan jaga si bungsu? dia belum bisa ditinggal bersama kakak-kakaknya.

Menjawab pertanyaan si abah, saya menunjukkan agenda saya. Diantara tulisan renyek jadwal di weekdays, di kotak bertuliskan “Saturday, 16” , ada tulisan saya berukuran jumbo : AT HOME!!! tulisan yang membuat si abah lega, karena berarti hari ini ia leluasa bisa mengikuti pertemuan dengan alumni salman.

Hihi…..setelah minggu kemarin padat banget, setiap hari menguji seminar usulan penelitian tesis 4 mahasiswa magister total berjumlah 16 mahasiswa, lalu bimbingan, p4: pergi pagi pulang petang…..semalem saya udah ngebayangin seharian ini tiduran, nulis, lalu nonton film di rumah sama anak-anak.

Pas tadi saya buka dashboard blog ini, tulisan terakhir saya adalah 1 Januari ! berarti dua minggu lalu! Pantesan kepala saya udah ngebul (berasap) rasanya. Selama dua minggu gak mengeluarkan emosi lewat tulisan kkk….

Buat saya, menulis itu sama dengan membuka jendela. Mengeluarkan pikiran dan rasa yang wara-wiri. Tiap hari teh selalu ada wara-wiri di hati dan pikiran, sebagai tanggapan terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Hasrat mah pengen dikeluarkan tiap hari lewat tulisan. Tapi saya harus memilih, dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, sebagian wara-wiri pikiran dan perasaan itu biasanya ilang, sebagian biasanya masih mengganjal di hati dan pikiran.

Misalnya, selama dua minggu ini yang mengganjal di hati dan pikiran ada beberapa issue yang udah nemu judulnya:

  1. Dear moms, what is your hobby?
  2. Produktif vs sibuk : ibu tipe apakah kita?
  3. Memilih sepenuh hati, memilih dengan rendah hati
  4. Konstelasi bintang di rumah kita
  5. 1001 cara menasehati anak: mencermati pengaturan rumah kita
  6. Mindfullness dalam beraktivitas dengan anak
  7. Worldview buat emak-emak
  8. Ilmu vs pengetahuan. Bagaimana kita memilahnya?
  9. Repacking your bags, repacking your stuff
  10. “Ujung tombak” dalam mengasuh anak
  11. Prestasi akademik, dimana sebaiknya kita posisikan?
  12. Buku Parenting itu, yang seperti apa?
  13. Melatihkan skill “berhijrah” pada anak kita.
  14. Ortu sholeh, anak pasti sholeh juga kah?
  15. Kala kita memandang hitam-putih, siapa yang rugi?
  16. Beragama dengan kritis. Berbahayakah?
  17. Rem kehidupan. Kita harus tau kapan kita harus berhenti.
  18. MEngajarkan nilai kehiduan pada anak kita, melalui apa?
  19. Insiden gunting pita: apa dampak anak pada kualitas ibu?

Itu sebagian yang saya inget. Blom lagi pengen ceritain kerennya buku Ayahku (bukan) Pembohong-nya Tere Liye dan Buku super keren Hector and the Search for Happiness.

Ketika harus memilih antara kebutuhan untuk menulis sebagai outlet pikiran dan perasaan versus aktifitas yang juga harus dilakukan, biasanya saya ingat gambar di bawah ini.

jarGambar ini muncul dalam beberapa versi. Intinya, ini adalah teori mengenai manajemen waktu. Menurut saya lebih tepat dikatakan sebagai manajemen hidup.

First thing first.yang utama, harus didahulukan dikerjakan.

Temans, gambar dan tulisan “inspiratif” mengenai hal-hal yang bisa membuat hidup kita menjadi lebih baik, sudah banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak banget. Itu a-nya banyak sengaja biar hiperbolis kkkkk. Menunjukkan emang banyak banget. Mana disampeinnya dengan gambar-gambar lutu lagih.

Coba aja, sekali kita buka medsos selama 15 menit, ada berapa gambar atau tulisan yang kita save dan kita share karena keren? Apakah ini hal yang positif? menurut saya sih positif banget. Tapi lalu yang harus kita renungi adalah, dari sekian banyak informasi kebaikan yang kita save dan atau kita share itu, berapa yang kita coba pahami, hayati dan lalu amalkan?

Ah, rasanya saya udah bosen mendengar pendapat diri saya sendiri. “Zaman ini, tantangannya bukanlah untuk mencari informasi. Tantangan di zaman ini adalah “memilah informasi, menemukan ilmu, menghayati dan menerapkan ilmu”. Saya teh sedih banget sebenarnya….pengetahuan bertebaran….tapi tak sebanding dengan penambahan ilmu, tak sebanding juga dengan pengamalan ilmu. Pengetahuan parenting semakin banyaaak…tapi kenapa ortu menjadi semakin bingung? ada yang salah nih….nah, itu salah satu yang saya pengen bahas di tulisan Ilmu vs pengetahuan. Bagaimana kita memilahnya? tulisan itu udah dimulai sejak tahun 2015, masih terparkir rapi di dashboard dalam bentuk draft. Beurat soalnya bahasannya. Jadi butuh waktu lama mencari cara dan rangkaian kalimat untuk menyampaikannya.

Nah, dalam tulisan ini, saya ingin membagi penghayatan saya terhadap gambar diatas. Tentang teori “batu besar vs pasir”

0

Intinya ialah, bagaimana seharusnya kita memilih, apa yang harus kita kerjakan terlebih dahulu dengan waktu kita yang terbatas. Ada batu yang ukurannya besar, ada pasir yang ukurannya mungil. Besar-kecil ukuran secara fisik, itu menunjukkan utama atau tidak-nya, secara psikologis.

Kenapa di atas saya bilang ingin berbagi “penghayatan” dan bukan “pemahaman”? karena penghayatan itu, pengolahan emosi. Pemahaman itu, pengolahan kognisi. Pemikiran. Ah, kalau secara pemikiran mah da atuh udah jelas…..

  • Bikin laporan penelitian yang dedlinenya dua minggu lagi vs nulis di blog, mana yang harus didahulukan?
  • Masak makanan kesukaan anak-anak sama medsos-an, mana yang harus didahulukan?
  • Baca buku Tafsir sama nonton drama korea, mana yang harus didahulukan?
  • Ngerjain kerjaan sama waG-an, mana yang harus didahulukan?

Tapiiii……apakah semua dari kita yang paham itu melakukan seperti apa yang kita pahami? engga. Nah, yang saya maksudkan “menghayati”, adalah upaya menjembatani, agar pemahaman kita terhadap apa yang seharusnya kita lakukan itu, menjadi lebih dekat dengan pengamalannya.

Seminggu ini, saya juga sedang mencoba menanamkan penghayatan ini pada dua anak saya: si kelas 4 Umar,  saya ingin ia menghayati PR sebagai “batu” dan percobaan-percobaannya sebagai “pasir” di hari sekolah. Saya juga ingin Hana si kelas 1, menghayati bahwa menyiapkan peralatan sekolah adalah “batu”, dan membaca buku adalah “pasir” di pagi hari saat ia harus berangkat sekolah.

Temans, kalau menurut saya, salah satu hal mendasar yang membuat kita suka “Salah” menempatkan mana batu dan mana pasir, mana yang harus kita dahulukan mana yang harus kita kemudian-kan, adalah karena kita tidak menghayati “dampak” dari pilihan yang salah itu. Padahal dampaknya bisa jangka panjang. Inilah yang harus kita bantu konkritkan pada anak kita, dan kita ingatkan pada diri kita sendiri.

Ambil aja kasus saya. Minggu depan, saya punya waktu dua hari yang agak luang, gak full jadwal menguji. Saya pengen banget menuangkan si 19 tulisan itu. Melihat buku BUKAN EMAK BIASA katanya dibutuhkan banyak orang sehingga  550 eksemplar habis dalam waktu dua minggu (hihi….ini iklan ya…. tapi kalau mau pesan buku BEB cetakan kedua, edisi revised, boleh lohhh…inbox aja … nanti keabisan lagi kkk…), ada keinginan nerbitin buku BEB 2. Dan kalau si tulisan itu dituangkan, bisa lebih cepet dong kluarin buku BEB 2 nya. Tapiiii di saat yang sama, deadline pengumpulan laporan penelitian adalah 3 minggu lagi. Dan saya punya dua penelitian yang harsu dibikin laporannya. Maka, saya harus memutuskan, dalam toples dua hari luang itu, mana yang harus hayati sebagai batu, mana yang harus saya posisikan sebagai pasir.

Insting, akan memilih “hal yang menyenangkan” sebagai batu. Nulis, medsos-an, waG-an, nonton drama korea. Namun untuk memilih dan melakukan tindakan, insting tak cukup untuk jadi pertimbangan. Ada hal mendasar yang harus dipertimbangkan. Kompas kehidupan. Kompas ini akan membuat kita menetapkan, peran apa yang utama buat kita.

Buat saya, peran utama saya, yang wajib adalah (1) Istri dan Ibu (2) Dosen. Dua saja cukup. Menulis, adalah peran sunnah. Sebesar apapun “reward” yang saya dapatkan dari menulis, saya teguh menempatkannya sebagai hal yang “sunnah”, not as a high priority. Kenapa? karena, dalam jangka panjang, kalau yang “wajib” tidak kita penuhi, maka lambat laun, akan tiba saatnya pada usia kita mengevaluasi kehidupan kita, dan yang kita evaluasi adalah peran utama kita, yang keberhasilannya akan membuat kita bahagia dan bermakna.

Sehebat-hebatnya saya menulis (misalnya), da kalau jadi membuat keteteran meriksa nilai mahasiswa jadi mahasiswa gak bisa registrasi, atau telat masukin laporan penelitian sehingga fakultas dapat penilaian negatif….tetep we lambat laun jadi merasa “tidak menjalankan peran dengan baik”. Sehebat-hebatnya gagasan seorang ibu di medsos atau dalam obrolan waG, kalau itu konsekuensinya adalah menjadi gak keburu beberes rumah sehingga pas suami pulang rumah masih berantakan, atau jadi gak sempet masak sehingga anak kelaperan, tetep we akan merasa “tidak sukses”.

Nah, masalahnya, kadang kita terjebak pada situasi yang sepertinya, yang “sunnah” itu adalah hal yang baik, bermanfaat. Misalnya, pengennya sih saya tiap sabtu piket di biro. Terima klien. Apakah itu hal yang salah? ya engga dong. Mulia, membantu orang lain. Tapi kalau tiap sabtu keluar rumah, lalu waktu untuk anak-anak dan suami kapan? balik lagi ke peran utama.

Seorang teman yang menjalankan bisnis olshop di rumah, memutuskan untuk berhenti. Mengapa? karena kesuksesan bisnis olshopnya, dirasa telah mengganggu hubungan dengan suami. Sebenarnya ia sudah cukup oke, membatasi waktu melayani olshopnya saat anak-anaknya sudah tidur. Tapi masalahnya, anak-anaknya tidur suami belum tidur. Butuh ngobrol, butuh dipeluk, butuh dilayani. Oke. kesuksesan di dunia olshop akan menjadi tak berguna nantinya kalau ia “gagal” menjadi istri. Itu katanya.

Nah, kalau pada orang dewasa saja itu tak mudah, apalagi pada anak-anak, yang belum punya kemampuan untuk “berpikir konsekuensi jangka panjang”. Itulah peran kita. Membuat mereka memahami dampak pilihannya, membuat mereka menghayati mana yang penting dan yang kurang penting dalam konteks tertentu, dan terus kita ingatkan. Berulang-ulang, sampai pola pikir itu “nempel” pada anak-anak kita.

Pada Hana si kelas 1, yang begitu bangun langsung baca buku, udah pake handuk menuju kamar mandi sambil baca buku, keluar kamar mandi pake jubah mandi doang baca buku lagi, sarapan sambil baca buku…..beberapa hari lalu saya ajak ngobrol.

(1) Saya bilang saya seneng banget dia hobi baca buku. Lalu saya tanya isi buku yang lagi seneng dia baca: Komik Serangga. Wah, dia cerita tuh…macem-macem serangga, kekhasannya, dll dll. Lalu saya puji bahwa dia mengetahui banyak hal yang saya engga tau. (Maksud saya untuk menyampaikan bahwa membaca bukan hal yang jelek. Saya coba mengapresiasinya).

(2) Terus saya tanya, waktu yang dia punya untuk baca kapan aja. Dia jawab pulang sekolah. Jam dua sampai  maghrib, lalu malem sebelum tidur.(Maksud saya untuk membuat dia melihat, bahwa dia punya alternatif waktu lain untuk melakukan hal yang ia senangi).

(3) Nah, lalu saya bilang kalau saya melihat kebiasaan dia membaca pagi menjelang sekolah, membuat dia potensial untuk terlambat. Terlambat makan. Apa akibatnya kalau terlambat makan? dia jawab sakit sakit perut, kelaperan di sekolah, sakit, harus ke dokter, minum obat yang pait, gak bisa main, gak bisa jalan-jalan. Gimana kalau terlambat sekolah ? dia jawab malu sama bu guru. Saya ingatkan lagi waktu pernah ia terlambat masuk, dia nangis sesenggukan. Saya ingatkan lagi gak enaknya perasaan dia saat itu. (Maksud saya adalah untuk membuat ia menghayati dampak dari pilihannya)

(4) Jadi, kalau pagi sebelum sekolah, Kaka Hana dan MAs Umar hanya boleh baca buku kalau sudah pake seragam dan sepatu dan sudah makan. Kaka  Hana dan Mas Umar harus tau mana yang penting dan mana yang engga penting. Dan baca buku bisa dilakukan tanpa membuat terlambat kalau kaka Hana dan Mas Umar bangun lebih pagi. (Maksudnya konklusi dan aturan)

Apakah percakapan ini akan berhasil, saya tak yakin langsung. Tapi saya akan terus mengulang-ulang ini pada anak-anak saya. Mengapa? karena saya melihat banyak orang yang hidupnya “gagal”, HANYA karena terjebak, salah menilai mana batu dan mana pasir dalam kehidupannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapur yang Dirindukan

Seminggu lalu, emak dan mbak Lies,  mertua dan kakak ipar saya, berkunjung dari Kediri.  Biasanya, akhir tahun kami agendakan mudik. Si abah biasanya udah “sakaw” kangen soto kediri dan sambel tumpang. Tapi akhir tahun ini, justru emak dan mbak Lies,  membawa dua ponakan yang ingin liburan ke Bandung. Emak ke Bandung,  berarti bisa sekaligus ketemu 3 putranya yang ada di Bandung, Cimahi dan Bogor. Tiga hari emak dan mbak Lies di rumah kami, saya mendapat misi khusus dari mas. Yaitu…belajar bikin sambel tumpang dan sambel teri favoritnya, langsung dari Chefnya, Mbak Lies. Sebagai istri yang baik hati dan tidak sombong, saya pun berusaha menjalankan misi itu.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menshare resep sambel tumpang atau sambel teri. Saya ingin menceritakan sesuatu yang saya ingat selama saya beraktivitas di dapur, berguru pada emak dan Mbak Lies.

Dapur. Saya teringat dapur emak di Kediri. Tampilannya? 180 derajat dengan dapur-dapur “modern” yang kita lihat seliweran di internet terutama di medsos. Dapurnya “kumuh”. Jujur. Tak ada kompor canggih, tak ada dinding dengan warna yang senada dengan peralatan masaknya. Peralatan masaknya, pasti tak dibeli di ace hardware atau Informa. Peralatannya dibeli di pasar. Tak indah dipandang mata, beberapa panci sudah copot telinganya.

Tapi dapur itu, bagai magnet kuat yang selalu menarik 4 putra emak yang sudah menyebar di berbagai kota. Empat putranya yang sudah “jadi orang”, yang punya kesempatan melanglang buana ke berbagai tempat dan mencoba berbagai masakan, minimal setahun sekali  selalu tertarik untuk kembali ke dapur itu. Saya selalu terharu menyaksikan bagaimana keempat anak laki-laki yang sudah menjadi para ayah itu, mengerumuni meja makan sederhana di rumah Kediri, heboh mengambil sambel tumpang, soto Kediri dan peyek buatan Mbak Lies, satu-satunya perempuan putri emak. Seringkali aktivitas mereka diiringi nostalgia kisah  mereka waktu kecil; baik kisah yang membanggakan, tapi banyaknya kisah yang lucu yang membuat kami semua- emak, 5 putranya, 5 menantunya, dan sekian belas cucunya, tertawa bersama.

Saya ingat satu dapur yang punya magnet yang sama. Tempatnya di Purwakarta. Dapur itu, juga tak memiliki desain yang menarik mata. Tapi disanalah awal mula masakan mamah yang selalu saya- dan adik-adik rindukan itu.

Di jaman ini, saya tahu, karena saya menyaksikan, banyak ibu-ibu muda yang seperti emak dan mamah. Mereka pantang membeli bumbu instan, tak merasa “sia-sia” menghabiskan berjam-jam waktunya untuk membuat bumbu, mengolah makanan melalui beberapa tahap, untuk menyiapkan masakan istimewa untuk anak-anaknya. Mereka, adalah ibu-ibu yang mengikat cinta anak-anaknya dengan masakannya.

Saya, bukan tipe ibu seperti itu. Memasak bukan kompetensi saya, dan bukan pula minat saya. Saya punya cara lain untuk mengikat cinta anak-anak saya. Tapi untukteman-teman yang  menjadikan dapur sebagai studio kerjanya, saya ingin mengatakan:

thumb_COLOURBOX5819950Jangan pernah “terintimidasi” dengan gambar-gambar dapur yang menarik hati dan super kinclong. Jangan sedih kalau tak punya waktu untuk mencari peralatan masak yang warnanya matching dengan warna dinding dapur. Sebab mungkin, kita terlalu sibuk menuangkan seluruh tenaga dan cinta kita, dalam beragam masakan yang kita buat untuk si buah hati.

Mungkin dapur  yang setiap harinya selalu berantakan karena digunakan, adalah dapur-dapur yang selalu dirindukan oleh seorang anak dan orang dewasa yang pernah menjadi anak. Sebab disana, ada menu yang tak bisa ditemukan di dapur manapun di dunia ini. Cinta ibunya, dan kenangan masa kecil yang manis.

sumber gambar : https://www.colourbox.com/vector/i-love-cooking-kitchen-utensils-sketch-heart-shape-vector-5819952