Siang ini, karena cukup luang, maka saya menyempatkan diri ke toko buku favorit keluarga kami. Sejak dua minggu lalu, si sulung bilang bahwa untuk pelajaran Bahasa Indonesia, ia mendapat tugas untuk membaca dan menceritakan tiga buku: satu buku biografi, satu buku terjemahan, dan satu buku puisi.
Buku biografi, adalah kesukaan si abah. Di lemari buku kami, ada puluhan buku biografi. Mulai dari biografi Rasulullah, Para Sahabat, Para Ulama, Tokoh Nasional, pengusaha, sampai dengan Udjo. Dengan semangat 45, si abah merekomendasikan buku “Ayah”, biografi Hamka yang ditulis puteranya, Irfan Hamka. Kata si abah bagus banget. Saya sendiri belum sempat membacanya. Untuk buku terjemahan, saya rekomendasikan salah satu dari puluhan buku Franklin the Turtle yang kami koleksi. Dan tadi siang, saya membelikannya buku kumpulan puisi.
Ketemulah saya dua buku ini. Yang satu adalah kumpulan 22 puisi cinta-nya si burung merak, W.S.Rendra. Yang satu lagi, novel sekuel Bumi dan Bulan, yang sudah lama ditunggu-tunggu si sulung. Novel karya penulis favorit kami, saya dan si sulung.
Jujur saja, saya senang sekali dengan tugas dari guru si sulung ini. Nanti pas bagi raport, saya akan bilang ke gurunya bahwa saya sangat mendukung tugas-tugas seperti ini. Kenapa?
Beberapa waktu lalu, waktu saya buka hape si sulung. Ssaya punya kesepakatan dengan si sulung: ia saya beri izin mengunci line-nya, karena itu pembicaraan personal dengan teman-temannya, yang ia tak mau saya mengetahuinya. Selain line, ia tidak kunci dan saya boleh membukanya. Di galery-nya, ada beberapa screenshoot percakapan ia dengan teman-temannya. Salah satunya bikin saya shock. Screenshoot percakapan line dari seorang temannya, tampaknya laki-laki. Begini tulisannya: “Aing cinta banget siah ka maneh. Soalnya maneh manis banget”. Haaaa? gelo ! kasar banget bahasanya….gak sopan! Tiba-tiba saya teringat beberapa ungkapan perasaan teman saya dulu untuk saya, yang ditulis dalam bentuk puisi. Beberapa rangkaian kalimatnya masih saya ingat, dan saya masih ingin tersenyum sambil masih deg-degan sedikit saat mengingatnya kini. Haha….kunaon jadi emaknya yang nostalgia…hihi….. Tapi yang jelas, dulu rasa suka diwujudkan dalam bentuk rangkaian kalimat yang halus dan indah. Tidak vulgar.
Tapi beberapa screenshoot pembicaraan si sulung dengan teman-temannya yang saya kenal baik, bahasanya juga memang begitu. Owh….baiklah….jadi itu bahasa gaul jaman sekarang ya….Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, di bis wisata saat dalam perjalanan bersama teman-teman saya, pak sopir menayangkan lagu-lagu, terdiri dari lagu jaman dulu dan lagu-lagu sekarang. Ya ampuuuun….kita semua ampe shock. Lagu dulu itu, menyatakan cinta, benci, kecewa, bahkan hilangnya “mahkota” dengan kalimat yang halus dan melibatkan rasa. Tapi lagu-lagu jaman sekarang, bahasanya teh gilaaa….vulgar banget…kayak gak pake rasa.
Padahal ya, kelembutan rasa itu adalah salah satu yang menurut saya penting. Rasa yang lembut, akan mudah menerima nasihat kebaikan. Mudah menghayati, mudah menghargai.
Dari dulu saya sudah tahu bahwa seni, adalah satu media mengolah rasa. Tapi apa daya…minimnya paparan seni pada saya, membuat saya serasa “musuhan” sama seni. Saya tak bisa menari, menyanyi, bermain musik, melukis, merajut….segala bentuk seni saya tak bisa. Tapi saya tahu bahwa seni itu bisa mengolah rasa. Ada musik-musik tertentu yang begitu terasa di hati. Ada lirik-lirik tertentu yang saya nyanyikan saat saya sangat senang, sangat sedih, sangat rindu. Baik pada manusia maupun pada yang Maha. Musik dan Lirik itu, dibuat oleh mereka yang terolah rasanya. Hingga rasa itu, bisa ia tularkan lewat karyanya.
Setahun lalu, saya semakin yakin bahwa seni adalah media mengolah rasa, saat mengikuti workshop art therapy. Setelah hari pertama saya “dipaksa” corat-coret, di hari kedua saya bilang ke fasilitatornya, saya menikmati sekali prosesnya. Mengayunkan kuas, membuat lengkungan-lengkungan, saya merindukannya. Saya membayangkan saya membuat lengkungan di kanvas yang besaaaaar….sambil menari. Rasanya nyamaaaaan sekali. Menenangkan.
Maka, pada akhirnya saya menemukan seni yang paling pas dengan kondisi saya, yang bisa saya “tularkan” pada anak-anak. Seni bahasa. Reseptifnya membaca, ekspresifnya menulis. Sastra. Rangkaian kalimat. Bisa menghidupkan pikiran dan perasaan kita. Penulis-penulis yang bagus, bisa membuat kita tertawa bahagia, tersenyum simpul dan merona, berkaca-kaca, bahkan tersedu-sedu. Semua itu mengolah rasa kita.
Di rumah kami, kami punya 3 buku tafsir. Pertama buku tafsir Ibnu KAtsir, direkomendasikan oleh para ustadz sebagai “tafsir dasar” yang bisa kita pelajari untuk memahami ayat-ayatNya. Kedua buku tafsir Al Misbah dan Al Lubab, Karya Prof Quraish Shihab. Tafsir ini favorit saya, karena pendekatannya filosofis dan sangat sistematis. Teman-teman akademisi yang mengkaji konsep-konsep islam dengan sudut pandang ilmiah, biasanya menjadikan Tafsir Al Misbah sebagai referensi. Dan ketiga, tafsir Al Azhar karya Hamka, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabat mas, favorit Mas. Sudah lama mas membujuk saya untuk baca tafsir Hamka ini. “Bagus banget bahasa, sastra dan penghayatannya de…” begitu kata mas. Beberapa bulan lalu, saya membacanya….dan saya langsung jatuh cinta. Sastranya begitu indah. Indaaaaaah banget.
Maka, di jaman dimana seolah kita digiring untuk hanya melihat dua warna : hitam dan putih – ini, penghayatan rasa, adalah salah satu hal yang mahal. Dan tak mungkin Allah ciptakan rasa kalau ia tak berguna bukan? Rasa atau bahasa ilmiahnya emosi itu berasal dari akar kata yang sama dengan motivasi. “Movere”. Artinya menggerakkan.
Menghidupkan rasa itu bukan kelemahan. Karena kalau kita menghidupkannya, maka berarti kita mengenalinya, dan berarti kita bisa mengendalikannya. Tapi kalau ia mati, maka pikiran seorang diri akan membuat kita menjadi mudah melihat hitam menjadi putih, putih menjadi hitam. Kita akan berpikir bahwa menghinakan orang yang berbeda pendapat dengan kita itu sah. Kita akan mudah meremehkan orang lain tanpa perlu bersusah payah memahami keadaannya.
Sungguh, saya sangat sedih sekali dengan kondisi ini. Apalagi dalam kehidupan beragama. Seolah kelembutan itu selalu berada di ujung yang berbeda dengan kebaikan. Saya tidak mau anak-anak saya sepeti itu. Maka, saya akan kenalkan anak-anak saya pada lembutnya seni. Pada indahnya sastra. Biar mereka bisa menebar kebaikan dengan rasa, menjadi apapun mereka nanti.
Recent Comments