GA 37 BEB: (4) Ibu: Memilih Sepenuh Hati, Memilih dengan Rendah Hati.

Assalaamu’alaikum mba Fitri.

Nama saya Dewi Muthia. Jadi pengen ikutan curhat nih berkaitan dgn tulisan mba Fitri di blog: Ibu: Memilih Sepenuh Hati, Memilih dengan Rendah Hati.

Saya menikah di usia 32 tahun. Usia yang sering dianggap “telat” buat nikah. Apa boleh buat, jodohnya baru ketemu di umur segitu hehehe. Sampai umur segitu baru nikah, saya tergolong cukup kenyang dengan yang judulnya sekolah(alhamdulillah sampai tamat S2 walau lulus dgn nilai pas pasan) dan kerja (baca:cari duit).

Euforia menikah diiringi tekad untuk di rumah saja mengurus suami dan anak (saat itu belum punya anak). Persiapan pernikahanpun dilengkapi dengan aksi pengunduran diri dari tempat kerja (kantoran)

1 minggu awal pernikahan, saya merasa pilihan untuk tetap di rumah adalah yang paling tepat. Minggu-minggu selanjutnya saya merasa bosan sekali walau saat itu kami masih tinggal di rumah orang tua. Tinggal di rumah orang tua sendiri setelah menikah tidak membuat ketrampilan rumah tangga saya bertambah terutama ketrampilan perdapuran alias masak. Suami dipaksa puas dengan hasil masakan ibu saya hehehe.

Kembali ke bahasan bosan setelah bulan madu usai, Tiba-tiba seorang teman menawarkan saya mengajar TOEFL untuk para pegawai di salah satu instansi pemerintah. Jadwal mengajarnya hanya 2 hari per minggu dengan fee yang lumayan. Dengan pasang muka melas ke suami, alhamdulillah jadilah saya guru part time.

Beberapa bulan kemudian ketika proyek mengajar toefl berakhir, seorang teman mengajak saya “ngantor” lagi. Aiii saya tergoda lagi. Saya bilang ke suami, dari pada saya bengong di rumah apa lagi saat itu kami belum punya anak.

Jadilah saya jadi orang kantoran lagi. Baru mulai bekerja, tanda-tanda kehamilan muncul. Setelah melahirkan, saya resign (lagi) agar fokus membesarkan anak.

Pada awalnya, menjadi ibu terasa sangatlah mudah apalagi ada banyak orang yang membantu saya di rumah. Tantangan baru muncul ketika suami saya mengajak hidup mandiri dengan mengontrak rumah.

Menjadi ibu rumah tangga itu tidak mudah bo. Apa lagi dengan adanya balita yang awalnya hanya satu, kemudian jadi dua 😉

Saya merasa di awal terlalu fokus dengan apa yang bisa dimakan suami dan anak-anak saya hingga kurang bermain dengan anak-anak saya. Menu masakan yang bisa dihidangkan masih sangat terbatas hingga masakan saya ya itu-itu saja. Pekerjaan rumah tangga lain tidak setiap hari bisa beres semua. Jika merasa sudah jenuh tingkat tinggi, saya ngungsi ke rumah orang tua saya. Hehehe cemen banget ya.

Suami saya pun mengerti terkadang istrinya butuh “liburan” agar tetap “waras”. Saya masih harus terus belajar menjadi istri dan ibu yang baik. Blog mba Fitri ini menjadi salah satu referensi saya.

Keep on writing mba 😉 

GA 37 BEB: (3)Nama adalah doa, tapi..

Menurut saya bagian yang paling saya sukai adalah “Nama Adalah Doa, Tapi ….” membaca judulnya saja membuat saya tertarik. Saya memang belum menikah tapi membaca bagian ini memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Semoga. Aamiin..

Ada kerja keras dibalik misi yang disematkan melalui pemberian nama. Inti dari bagian ini menegur saya yang bekerja sebagai guru SD. Banyak nama indah yang saya temui di deretan absen kelas murid saya namun terlepas dari apa arti nama mereka saya percaya begitu dalam harapan baik dari para orang tua terhadap anaknya. Dan saya pun bertugas untuk ikut serta membantu orang tua mencerdaskan anak-anak dan membimbingnya ke jalan yang benar. Memberi contoh yang baik sungguh tidak mudah. Namun selalu ada kerja keras dan doa untuk mewujudkan arti dari nama-nama mereka.
Terima kasih atas pencerahannya, Mbak Fitri. 🙂

Dari : Annisa Nuraida

GA 37 Buku BEB: (2) KETIKA ANAK KITA MENGALAMI KEGAGALAN (Antara Ibu Azka-Azka dan Ibu-saya)

Bagi saya bagian yang paling berkesan dari buku “Bukan Emak Biasa” adalah yang berjudul “Ketika Anak Kita Mengalami Kegagalan”. Menyelesaikan bagian ini membuat air mata saya berlinangan. Saya ingat Ibu. Saya belajar menelisik ‘perasaan’ Ibu. Saya anggap Ibu saya merasakan hal yang persis sama dengan perasaan ibu Azka.

Kalimat pembukaan pada kisah ini sudah mengingatkan saya pada Ibu saya. Suatu waktu Ibu pernah mengatakan pada saya “Perasaan Ibu itu 100% untuk masing-masing anak Ibu. Bukan satu perasaan yang Ibu bagi rata untuk masing-masing kalian. Sama sekali bukan. Setiap kalian mendapatkan utuh, 100%”

Seperti hubungan Ibu dan Azka yang menurut ibunya mereka mempunyai chemistry yang kuat, begitu juga halnya dengan saya dan Ibu. Sebagai anak perempuan satu-satunya, saya merasa saya juga mempunyai chemistry yang kuat dengan Ibu. Karena itulah saya menganggap perasaaan yang dirasakan Ibu Azka terhadap Azka sama seperti perasaan yang dirasakan Ibu saya terhadap saya.

Dulu setiap kali saya merasa gagal, saya tidak pernah bisa menerima empati dan hiburan atau apapun yang dilakukan Ibu kepada saya. Saya menganggap bahwa beliau tidak benar-benar mengerti apa yang saya rasakan. Beliau hanya mencoba menghibur dan menenangkan saya karena beliau tidak mengerti sedihnya saya menghadapi kegagalan itu. Saya tidak seperti Azka yang mencoba optimis menghibur Ibunya. Saya lebih ‘drama’. Jadilah setiap saya mengalami kegagalan, ibu saya selalu kalang kabut. Berusaha membuat saya nyaman.

Saya sama sekali lupa bahwa ketika saya gagal, ternyata Ibu saya turut hancur hati. Turut bersedih. Mungkin selama ini saya tidak berhasil memahami ini karena saya belum pernah merasakan menjadi Ibu. Akhirnya, saya menjadi tahu perasaan Ibu saya waktu itu melalui kisah Ibu Azka.

Oleh: Miftahul Hayati

GA 37 buku BEB: (1) Mantra Ajaib seorang remaja untuk sang ibu

Assalamu’alaikum wr.wb.

Hi mb.fitri,salam kenal….Selama ini aku jadi silent readermu. Dengan adanya kuis ini,jd ada kesempatan buat curcol nih. Tapi nanti.

Kalo topik menarik yg paling nendang di hati menurut saya ttg “mantra ajaib seorang  remaja untuk sang ibu”.

Kenapa?karena saya baru merasakan bahwa hidup ini tak selalu mudah bin lancar. Dan itu baru saya rasakan ketika tahun2 pertama pernikahan saya.

Sejak kecil,alhamdulillah ortu berkecukupan,shg masa kecil saya kenyang dimanja. Dan saya tidak pernah diberi tugas2 di rumah cos ada art. Hal itu berlangsung sampai saya dewasa.
Sehingga,ketika saya menikah,saya kaget betapa kompleksnya kehidupan pernikahan. Saya menikah dgn pria baik,mandiri,bertanggungjawab thd kelg. Dan kemandirian itulah yg melatih mental saya. Saya menjadi ibu rumah tangga tanpa tahu ilmu berumah tangga. Masak ga bisa samsek. Menjadi ibu dari 2balita,jauh dari ortu dan semua ditangani berdua bersama suami. Capek?banget
Bosan?itu pasti
Belum lagi masalah finansial,krn si bungsu pernah sakit lmyn lm sejak lahir shg cukup menguras tabungan.  Kondisi keuangan sampe saat ini pun masih jauh dari stabil. Saya pun cukup stress krn bukan ibu bekerja. Ingin rasanya minta support ortu saya,tp sungguh malu,krn hal ini jg bisa menyinggung perasaan suami. Lagipula kondisi ekonomi kelg saya skrg sudah tidak seperti dulu.
Dan saya masih meragukan predikat irt tulen pada diri saya… Di satu sisi,saya harus menerima ini,suka ato tidak. Di sisi lain,saya merasa ini bukan pilihan yg bijak yg akan membuat saya bahagia.

Namun mantra ajaib itu mengingatkan saya bahwa semua manusia di dunia ini pasti punya masalah. Kesulitan itu PASTI ADA,namun kita sbg manusia harus yakin bahwa Alloh sudah mengukur kemampuan kita bahwa kita bisa mengatasinya.

Sekian,maaf panjang sangat. Kesannya kok jadi kayak orang curhat.

Oya mb.tetep rajin nulis ya. Saya suka iri sama orang yg pandai menuangkan perasaan lwt tulisan. Apalagi ada bumbu psikologi nya. Jd berasa tambah pinter saya nya…

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Pengirim : Almaira Sakhi

Tiga puluh tujuh : renungan tentang hidup dan kehidupan

Hari ini, usia saya tepat 37 tahun. Beberapa tahun belakangan ini, saya selalu mensyukuri nikmat usia di tanggal 21 Februari dengan keluarga besar saya, keluarga Purwakarta. Memohon doa dari mamah dan papah. Kalau kata Ustadz Aam, orangtua yang masih hidup itu adalah permata tak ternilai. Bulan lalu, saya sudah berencana membuat tgl 21 Februari tahun ini menjadi lebih istimewa. Kami merencanakan liburan keluarga besar. Tempat sudah dibooking, kebersamaa dan canda tawa serta kekhusyukan berdoa bersama mas, anak-anak, mamah, papah, 4 adik, 2 ipar dan 4 ponakan sudah terbayang.

Tapi takdir berkata lain. Beberapa minggu lalu, papa didiagnosa penyakit serius. Beliau harus menjalani operasi. Senin besok operasi akan dilaksanakan, dan sejak dua hari lalu papa sudah masuk rumah sakit. Beberapa minggu ini menemani beliau menjalani beragam pemeriksaan, berkoordinasi dengan adik-adik yang di Bandung, Purwakarta dan di Cileungsi, serta  kemarin malam menemani mama dan papa di rumah sakit, membuat saya menghayati banyak hal. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang makna usia, dan makna keluarga.

Makna Usia

Temans, pernahkah kita mendengar kata-kata bahwa “hidup ini singkat”? entah itu dari ajaran agama, atau dalam konteks yang lain. Mungkin kita sering mendengarnya. Membacanya. Saya, sering mendengarnya. Bahkan sering mengatakan atau menuliskannya. Namun menghayati kalimat itu, bahwa “hidup ini singkat”, baru saya rasakan beberapa bulan terakhir ini. Yups, hidup ini memang singkat. Hidup ini sungguh singkat. 60,70,80,90 tahun itu sungguh singkat.

Dan usia yang kita miliki, adalah aset yang amat berharga. Karena waktu dan usia kita tak akan kembali. Sedangkan segala seuatu itu, ada masanya. Di usia 37 ini, saya baru menyadari bahwa ada banyak hal yang kita-tak bisa kembali lagi. Ada banyak hal yang kita-tak bisa mendapatkan kesempatannya lagi.

Mulai dari hal sederhana dan konkrit. Kalau kita melamar beasiswa, ada batas usianya. Melamar pekerjaan, ada batas usianya. Ada banyak hal teknis yang tak bisa kita dapatkan kesempatannya saat usia kita terus berjalan. Saya selalu ingat ajaran agama yang mengatakan “Segala sesuatu itu ada obatnya, kecuali satu hal, yaitu tua”. Ya, kita tak bisa melawan tua. Kita tak bisa melawan usia. Beberapa bulan lalu menyaksikan seorang profesor yang sangat cemerlang, di masa tuanya mulai kehilangan ingatan. Beberapa bulan ini berinteraksi dengan beberapa senior, yang sudah tak bisa melakukan beberapa akifitas yang dengan mudah saya lakukan di usia ini.

Ya, usia kita, terus berjalan. Tak bisa menunggu. Detik demi detik, menit, jam, hari, bulan, tahun…terus berjalan. Dan di usi 37 ini, saya menyadari, betapa “seriusnya” hidup ini. Betapa banyak hal yang saya hadapi, yang kalau saya salah pilih, saya tak akan dapat second chance. Di usia ini, tak ada lagi kesempatan trial error. Harusnya kita sudah “on the track” …bukan saatnya lagi mencari.

Hidup ini singkat. Kalau mengacu pada usia rasulullah 63 tahun, maka kini saya sudah setengahnya. Setengah usia yang amat cepat. “tak terasa”. Dan setengahnya lagi, kalau panjang umur, pasti tak akan terasa juga .

Kalau saya tidak tepat memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting dalam hidup saya, akan begitu cepat waktu berlalu. Tiba-tiba anak-anak sudah remaja, lalu satu persatu menikah, lalu saya menjadi nenek, lalu pensiun…lalu……tinggallah menunggu saat dipanggil kembali menghadapNya. Tinggal sedikit sekali waktunya. Itupun kalau panjang umur.

Ya, hidup ini singkat. Sangat singkat. Dengan konsekuensi yang berat kalau kita salah memilih mana “batu besar” dan mana “batu kecil” yang harus kita letakkan dalam toples kehidupan kita.

Keluarga

Apa yang menjadi concern kita pada anak-anak? khawatir gak dapet sekolah favorit? khawatir gak bisa bersaing? saat saya memandang anak-anak saya, kini saya punya pandangan lain. Bahwa orientasi kita mendidik anak, sebenarnya adalah menyiapkan mereka untuk menjadi seorang individu dewasa. Menyiapkan mereka menjadi seorang istri/suami. Menyiapkan mereka menjadi seorang menantu, ibu/ayah, mertua, nenek/kakek….Membesarkan anak, berarti kita membangun peradaban.

Peristiwa sakitnya papah, membuat saya membayangkan bahwa saat kita bersumpah dihadapanNya saat akad, kita seperti menjadi akar. Akar itu kemudian akan menumbuhkan tunas, lalu batang. Beberapa batang. Itulah anak-anak kita. Lalu batang itu beranting. Itulah cucu-cucu kita. Semakin banyak batang, semakin rimbun ranting, membutuhkan akar yang semakin kokoh. Kalau kita menjadi akar yang cukup kuat, maka kita akan bisa menghadapi semua badai ujian keluarga dengan hasil ikatan keluarga yang lebih kokoh dan cinta yang lebih besar.

Kalau kita berhasil menghalau godaan baik dari dalam diri maupun dari orang lain dengan pasangan, kalau kita bisa memfasilitasi dan menyelesaikan beragam konflik antara anak-anak kita dengan baik, konflik dengan menantu, konflik anak-cucu…maka saat itulah keluarga kita menjadi keluarga yang kokoh, yang kuat, yang penuh cinta.

purwakarta 20160220_195247Temans, saat kita mengikrarkan akad nikah, sungguh kita tak tahu ujian apa yang akan Ia berikan. Saat menatap wajah mama, melihat genggaman tangan mama-papa, mengingat semua perjuangan mereka untuk tetap bersatu, melewati satu demi satu masalah selama 38 tahun pernikahan mereka, saya memahami apa arti usia, apa arti cinta, apa arti keluarga. Apa yang penting dan ap ayang tidak penting untuk hidup saya.

Hari ini, saya akan meminta doa dari mamah dan papah, seperti tahun-tahun sebelumnya. 365 x 37 tahun ini, sungguh Allah telah melimpahkan  karunia dan rahmatNya pada kehidupan saya. Saya ingin berdoa untuk diberikan usia yang panjang, yang berkah. Ada banyak hal yang masih ingin saya pelajari dari kehidupan ini. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan dan berikan. Ada banyak nilai kehiduan yang ingin saya amalkan. Sehingga ketika suatu saat nanti saya sadar bahwa kematian semakin dekat, saya bisa meninggalkan dunia ini dengan senyum. Bahwa saya telah mengisi kehidupan ini dengan cara yang baik, benar dan bermanfaat.

 

Mau 37 Buku “Bukan Emak Biasa” gratis?

Temans, kalau Allah masih memberikan rejeki usia, tgl 21 Februari ini, saya akan genap berusia 37 tahun. Udah tua ya? haha….yang jelas sih udah mulai larak-lirik cari calon mantu kkkk

198014-Can-t-Keep-Calm-It-s-My-Birthday

Sebagai rasa syukur atas indahnya warna-warni kehidupan yang dianugerahkan sang Maha pada saya, heuseusnya karena buku “Bukan Emak Biasa” sejak 2 bulan lalu sudah dimiliki oleh 800an pembaca, maka saya ingin membagikan 37 buku “Bukan Emak Biasa” gratis. Kenapa 37? biar kekinian, ngikutin yang kasih mahar sesuai tanggal pernikahan haha….

Gimana caranya? Karena saya senang mendengarkan dan membaca, maka saya ingin mendengarkan dan membaca penghayatan teman-teman terhadap buku “Bukan Emak Biasa”. Jadi, buku “Bukan Emak Biasa” akan teman-teman dapatkan secara gratis setelah teman-teman mengirimkan tulisan mengenai bagian/judul/kisah mana yang paling teman-teman rasakan bermakna dari buku “Bukan Emak Biasa”.

Siapa saja yang boleh ikutan? anyone. Laki-laki, perempuan, tua, muda, udah nikah, belum nikah, udah punya anak, udah punya cucu, belum punya anak, remaja, anak-anak juga boleh. Soalnya, salah seorang teman saya cerita bahwa buku BEBnya asyik dibaca sama anaknya yang usia SD hehe….

Dimana lokasinya? di Bandung, di Pulau Jawa, di Indonesia, di luar negeri, di luar angkasa juga boleh. Baik sahabat, teman, mahasiswa, kenalan, atau yang belum kenal sama saya juga boleh.

Berapa panjangnya? mmmhhh….bebas aja deh….namanya juga lagi ulangtahun….yang penting bermakna, seru dan asyik.

Gaya penulisannya? Use your own style! kata teman saya, gaya tulisan itu kayak sidik jari. Gak akan sama, dan akan jadi identitas kita pribadi secara unik

Kapan batas waktunya? biar kekinian juga, sampai tgl 21 Februari ya…..its my birthday !:)

Dikirim ke mana ? boleh via imel ke fitri.psi@gmail.com, via status dengan ngetag facebook Fitri Ariyanti  dan akun Bukan Emak Biasa, via inbox facebook juga boleh, tapi tidak menerima via wa ya…..soalnya kalau tulisan panjang di wa gak pernah saya baca hehe….

Setiap tulisan yang masuk, akan saya masukkan ke blog saya, diberi nomor sesuai urutan masuk. Saya publish, biar acara “berbagi”nya jadi lebih luas dan rame.

Jangan lupa cantumkan identitas dan alamat pengiriman buku ya…. Disebar ke teman-teman lain juga boleh …..

 

 

 

ibu : memilih sepenuh hati, memilih dengan rendah hati

Hari ini, karena sesuatu hal, saya tidak beraktivitas. Memang aktifitas kampus baru mulai tgl. 15 nanti, sehingga bisa dikatakan saat ini masih “libur”, meskipun justru karena sedang “libur”, maka banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan saat perkuliahan berjalan, diagendakan di saat “libur” ini.

Tapi hari ini, saya memang mengangendakan di rumah. Pagi tadi, yang terakhir sekolah adalah Azzam si anak PG, berangkat jam 8.  Hana, yang hari libur karena kemarin fieldtrip, bilang pengen ikut sekolah sama de Azzam. Setelah saya wa bu guru Azzam menanyakan apakah Hana boleh ikutan masuk kelas dan ibu guru mengizinkan, berangkatlah dua anak itu. Tinggal saya sendirian. Beberes? engga. Ada teh Rini yang bantu mencuci dan beberes rumah. Masak dikit, lalu saya mengerjakan beberapa hal ringan.

Jam 11, dua anak itu datang dari sekolah. Saya siapin makan, lalu main…saya agak ngantuk….lalu saya pun berniat bobo siang hihi…rasanya udah berpuluh-puluh tahun gak bobo siang. Tapi, pas mau tidur banget, Azzam teriak pengen bab, naik ke wc nya masih harus dibantu. Beres itu, dia minta dibikinin susu. Hana sih anteng baca. Tapi Azzam bolak balik minta saya nemenin dia. Minta dicariin gambar untuk diwarnai, minta main lempar tangkap bola seperti semalam, minta main lompat tali seperti kemarin malam, lalu pengen mandi, dan saya agak kesal menanggapinya. Selama 5 jam bersama di rumah, entah berapa kali nada suara saya naik. Apalagi pas mandi, Azzam sengaja pipis di gelas buat kumur-kumur….haduuuh…Kini dia udah anteng main berdua Hana, main jadi Bananas in Pijamas, Hana jadi B1 dan Azzam jadi B2.

Beberapa menit lalu, saya jadi merenung. Kenapa ya, kok saya gak sesemangat kemarin dan  kemarinnya lagi menemani anak-anak main? Mmmhh….satu hal yang saya rasakan adalah, ketika saya keluar rumah seharian setiap hari, saat pulang saya berkomitmen untuk memberikan “quality time” pada anak-anak saya sebagai “balasan”. Maka, selepas memasak makan malam dan menyuapi, saya akan menemani mereka bermain apapun yang mereka inginkan. Tanpa menolak. Paling saya izin mandi dulu biar segar. Maka, 2-3 jam yang saya punya setiap hari dengan anak-anak, sepenuh hati saya dedikasikan seutuhnya. Semalam, main lempar tangkap bola sampai jam 9 dengan Azzam dan Hana. Dengan berbagai gaya, membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal dan mengeluarkan kata-kata yang menandakan mereka enjoy; “lagi bu….lagi bu…”. Malam sebelumnya, kita menggambar tangan pake cat. Malam sebelumnya, karena mereka saya beliin produk finger print drawing, kita pun asyik membuat beragam gambar menggunakan cap jari. Malam sebelumnya lagi, seru-seruan main puzzle, yang sedang digandrungi Azzam.

Saya jadi membayangkan teman-teman saya yang memilih menjadi IRT. Saya tahu, mereka banyak yang tidak punya ART. Membereskan rumah, mencuci, menyetrika, sambil mengasuh satu, dua atau lebih balita. Mmmhhh….kalau melakukan seperti yang mereka lakukan, rasanya saya tak akan punya energi lagi untuk tersenyum, tertawa, menikmati, bermain, apalagi menstimulasi anak-anak. Eh tapi itu mah saya deng…

Oh ya…..saya jadi mengerti….itu yang dimaksudkan pahala ibu yang tinggal di rumah itu tak terhingga. Saat tubuh lelah dan merasa “berhak beristirahat” dengan nonton film atau medsos-an, atau sekedar memejamkan mata sebentar, bukan tak mungkin si kecil justru tak mau kompromi. Seperti kelakuan Azzam tadi. Dan saat itu, sang ibu pun harus mau melayani si kecil.

Beberapa hari yang lalu, saya membaca buku tentang “mothering”. Di buku itu disampaikan bahwa salah satu faktor yang bisa jadi stressor buat ibu adalah, tuntutan sosial. Terkait pilihan menjadi IRT, saya menghayati banyaknya “jargon” yang memuliakan pilihan menjadi IRT, satu sisi lainnya justru bisa jadi sumber stress.

Misalnya bahwa IRT itu menjalankan peran sebagai madrasah yang pertama dan utama, bahwa IRT berpendidikan tinggi itu mendedikasikan pendidikan tingginya untuk membangun kualitas anaknya, bahwa IRT itu 24 jam bersama anaknya, sehingga anaknya menjadi full terstimulasi, terdampingi dan terjaga kualitasnya.

Buat saya, justru beberapa “jargon” yang selama ini “mendiskreditkan” ibu yang memilih bekerja, di satu sisi membuat saya bisa menjalankan peran sebagai ibu dengan lebih “rileks”. Misalnya kalau anak saya main ipad terus, sekolah telat, malas-malasan, rasanya lingkungan sudah memaklumi dengan berkata “ibunya kerja sih”. Sedangkan kalau saya memilih menjadi IRT, kalau anak-anak saya kurang berkualitas, lingkungan biasanya bilang “padahal ibunya di rumah loh” .

Nah, makanya……saya sangat tak setuju dengan apapun yang berbau “membandingkan”. Saya lebih setuju menghayati bahwa….perjuangan ibu itu, apapun pilihannya, sama menantangnya. Cuman bentuknya yang berbeda. Oleh karena itu, pada setiap ibu apapun pilihannya, saya lebih memilih “menemani”.

Menghayati kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai konsekuensi dari pilihannya.Tak ada pilihan di dunia ini yang 100% menyenangkan. Kebosanan dan perasaan “tak berkembang” yang dirasakan ibu yang memilih menjadi IRT, atau kepenatan pikiran karena tuntutan pekerjaan dan kebingungan saat ada acara keluarga penting yang bentrok dengan tanggung jawab di pekerjaan yang dirasakan oleh ibu yang memilih bekerja, itu nyata adanya.

Lalu saling berbagi, bagaimana dengan pilihan apapun, kita bisa optimal. Ibu bekerja yang cuma punya 3 jam setiap hari dengan anak-anaknya, bagaimana mengoptimalkan 3 jam itu menjadi waktu yang sangat berkualitas, yang mampu “mengcover” waktu 8 jam saat si ibu berperan sebagai “karyawan” di luar rumah. Ibu yang memilih tinggal di rumah, kita sharing bagaimana caranya mengelola emosi, agar tak terjebak pada pemikiran “saya 24 jam bersama anak-anak”, padahal 24 jam itu berlalu tanpa interaksi yang berarti karena ibu melakukan ini itu lalu merasa lelah.

Dan yang terakhir, jangan lupa kita saling mengingatkan untuk bersyukur. Bersyukur itu, kata pak Ustadz adalah memanfaatkan apa yang kita punya agar menjadi bermakna. Ibu yang memilih menjadi IRT, selalu bersama dengan anak. Maka, jangan biarkan belasan jam itu berlalu begitu saja. Ibu yang memilih bekerja, punya kesempatan mengembangkan wawasan dalam bidang dan profesinya seluas-luasnya, bertemu banyak orang yang menginspirasinya, maka tularkan energi yang didapat dari luar rumah itu untuk anak-anaknya.

il_fullxfull.566212618_l7pm

Jangan ikut-ikutan membandingkan. Baik membandingkan dalam hati, saat ngobrol di tukang sayur atau di kantor, apalagi di waG dan medsos. Nanti terjebak pada “pepesan kosong”. Apapun pilihan kita, lakukan dengan sepenuh hati dan rendah hati. Syukuri, lalu berbagi. Lebih seru mulia bersama-sama daripada mulia sendirian.

 

 

 

sumber gambar : http://jillcampadesigns.com/products/a-mother-is-like-a-flower-each-one-beautiful-and-unique-handcrafted-pendant-necklace-gift-for-mom-gift-for-step-mom-mom-jewelry?variant=854228583