GA 37 Buku BEB: (2) KETIKA ANAK KITA MENGALAMI KEGAGALAN (Antara Ibu Azka-Azka dan Ibu-saya)

Bagi saya bagian yang paling berkesan dari buku “Bukan Emak Biasa” adalah yang berjudul “Ketika Anak Kita Mengalami Kegagalan”. Menyelesaikan bagian ini membuat air mata saya berlinangan. Saya ingat Ibu. Saya belajar menelisik ‘perasaan’ Ibu. Saya anggap Ibu saya merasakan hal yang persis sama dengan perasaan ibu Azka.

Kalimat pembukaan pada kisah ini sudah mengingatkan saya pada Ibu saya. Suatu waktu Ibu pernah mengatakan pada saya “Perasaan Ibu itu 100% untuk masing-masing anak Ibu. Bukan satu perasaan yang Ibu bagi rata untuk masing-masing kalian. Sama sekali bukan. Setiap kalian mendapatkan utuh, 100%”

Seperti hubungan Ibu dan Azka yang menurut ibunya mereka mempunyai chemistry yang kuat, begitu juga halnya dengan saya dan Ibu. Sebagai anak perempuan satu-satunya, saya merasa saya juga mempunyai chemistry yang kuat dengan Ibu. Karena itulah saya menganggap perasaaan yang dirasakan Ibu Azka terhadap Azka sama seperti perasaan yang dirasakan Ibu saya terhadap saya.

Dulu setiap kali saya merasa gagal, saya tidak pernah bisa menerima empati dan hiburan atau apapun yang dilakukan Ibu kepada saya. Saya menganggap bahwa beliau tidak benar-benar mengerti apa yang saya rasakan. Beliau hanya mencoba menghibur dan menenangkan saya karena beliau tidak mengerti sedihnya saya menghadapi kegagalan itu. Saya tidak seperti Azka yang mencoba optimis menghibur Ibunya. Saya lebih ‘drama’. Jadilah setiap saya mengalami kegagalan, ibu saya selalu kalang kabut. Berusaha membuat saya nyaman.

Saya sama sekali lupa bahwa ketika saya gagal, ternyata Ibu saya turut hancur hati. Turut bersedih. Mungkin selama ini saya tidak berhasil memahami ini karena saya belum pernah merasakan menjadi Ibu. Akhirnya, saya menjadi tahu perasaan Ibu saya waktu itu melalui kisah Ibu Azka.

Oleh: Miftahul Hayati

GA 37 buku BEB: (1) Mantra Ajaib seorang remaja untuk sang ibu

Assalamu’alaikum wr.wb.

Hi mb.fitri,salam kenal….Selama ini aku jadi silent readermu. Dengan adanya kuis ini,jd ada kesempatan buat curcol nih. Tapi nanti.

Kalo topik menarik yg paling nendang di hati menurut saya ttg “mantra ajaib seorang  remaja untuk sang ibu”.

Kenapa?karena saya baru merasakan bahwa hidup ini tak selalu mudah bin lancar. Dan itu baru saya rasakan ketika tahun2 pertama pernikahan saya.

Sejak kecil,alhamdulillah ortu berkecukupan,shg masa kecil saya kenyang dimanja. Dan saya tidak pernah diberi tugas2 di rumah cos ada art. Hal itu berlangsung sampai saya dewasa.
Sehingga,ketika saya menikah,saya kaget betapa kompleksnya kehidupan pernikahan. Saya menikah dgn pria baik,mandiri,bertanggungjawab thd kelg. Dan kemandirian itulah yg melatih mental saya. Saya menjadi ibu rumah tangga tanpa tahu ilmu berumah tangga. Masak ga bisa samsek. Menjadi ibu dari 2balita,jauh dari ortu dan semua ditangani berdua bersama suami. Capek?banget
Bosan?itu pasti
Belum lagi masalah finansial,krn si bungsu pernah sakit lmyn lm sejak lahir shg cukup menguras tabungan.  Kondisi keuangan sampe saat ini pun masih jauh dari stabil. Saya pun cukup stress krn bukan ibu bekerja. Ingin rasanya minta support ortu saya,tp sungguh malu,krn hal ini jg bisa menyinggung perasaan suami. Lagipula kondisi ekonomi kelg saya skrg sudah tidak seperti dulu.
Dan saya masih meragukan predikat irt tulen pada diri saya… Di satu sisi,saya harus menerima ini,suka ato tidak. Di sisi lain,saya merasa ini bukan pilihan yg bijak yg akan membuat saya bahagia.

Namun mantra ajaib itu mengingatkan saya bahwa semua manusia di dunia ini pasti punya masalah. Kesulitan itu PASTI ADA,namun kita sbg manusia harus yakin bahwa Alloh sudah mengukur kemampuan kita bahwa kita bisa mengatasinya.

Sekian,maaf panjang sangat. Kesannya kok jadi kayak orang curhat.

Oya mb.tetep rajin nulis ya. Saya suka iri sama orang yg pandai menuangkan perasaan lwt tulisan. Apalagi ada bumbu psikologi nya. Jd berasa tambah pinter saya nya…

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Pengirim : Almaira Sakhi

Tiga puluh tujuh : renungan tentang hidup dan kehidupan

Hari ini, usia saya tepat 37 tahun. Beberapa tahun belakangan ini, saya selalu mensyukuri nikmat usia di tanggal 21 Februari dengan keluarga besar saya, keluarga Purwakarta. Memohon doa dari mamah dan papah. Kalau kata Ustadz Aam, orangtua yang masih hidup itu adalah permata tak ternilai. Bulan lalu, saya sudah berencana membuat tgl 21 Februari tahun ini menjadi lebih istimewa. Kami merencanakan liburan keluarga besar. Tempat sudah dibooking, kebersamaa dan canda tawa serta kekhusyukan berdoa bersama mas, anak-anak, mamah, papah, 4 adik, 2 ipar dan 4 ponakan sudah terbayang.

Tapi takdir berkata lain. Beberapa minggu lalu, papa didiagnosa penyakit serius. Beliau harus menjalani operasi. Senin besok operasi akan dilaksanakan, dan sejak dua hari lalu papa sudah masuk rumah sakit. Beberapa minggu ini menemani beliau menjalani beragam pemeriksaan, berkoordinasi dengan adik-adik yang di Bandung, Purwakarta dan di Cileungsi, serta  kemarin malam menemani mama dan papa di rumah sakit, membuat saya menghayati banyak hal. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang makna usia, dan makna keluarga.

Makna Usia

Temans, pernahkah kita mendengar kata-kata bahwa “hidup ini singkat”? entah itu dari ajaran agama, atau dalam konteks yang lain. Mungkin kita sering mendengarnya. Membacanya. Saya, sering mendengarnya. Bahkan sering mengatakan atau menuliskannya. Namun menghayati kalimat itu, bahwa “hidup ini singkat”, baru saya rasakan beberapa bulan terakhir ini. Yups, hidup ini memang singkat. Hidup ini sungguh singkat. 60,70,80,90 tahun itu sungguh singkat.

Dan usia yang kita miliki, adalah aset yang amat berharga. Karena waktu dan usia kita tak akan kembali. Sedangkan segala seuatu itu, ada masanya. Di usia 37 ini, saya baru menyadari bahwa ada banyak hal yang kita-tak bisa kembali lagi. Ada banyak hal yang kita-tak bisa mendapatkan kesempatannya lagi.

Mulai dari hal sederhana dan konkrit. Kalau kita melamar beasiswa, ada batas usianya. Melamar pekerjaan, ada batas usianya. Ada banyak hal teknis yang tak bisa kita dapatkan kesempatannya saat usia kita terus berjalan. Saya selalu ingat ajaran agama yang mengatakan “Segala sesuatu itu ada obatnya, kecuali satu hal, yaitu tua”. Ya, kita tak bisa melawan tua. Kita tak bisa melawan usia. Beberapa bulan lalu menyaksikan seorang profesor yang sangat cemerlang, di masa tuanya mulai kehilangan ingatan. Beberapa bulan ini berinteraksi dengan beberapa senior, yang sudah tak bisa melakukan beberapa akifitas yang dengan mudah saya lakukan di usia ini.

Ya, usia kita, terus berjalan. Tak bisa menunggu. Detik demi detik, menit, jam, hari, bulan, tahun…terus berjalan. Dan di usi 37 ini, saya menyadari, betapa “seriusnya” hidup ini. Betapa banyak hal yang saya hadapi, yang kalau saya salah pilih, saya tak akan dapat second chance. Di usia ini, tak ada lagi kesempatan trial error. Harusnya kita sudah “on the track” …bukan saatnya lagi mencari.

Hidup ini singkat. Kalau mengacu pada usia rasulullah 63 tahun, maka kini saya sudah setengahnya. Setengah usia yang amat cepat. “tak terasa”. Dan setengahnya lagi, kalau panjang umur, pasti tak akan terasa juga .

Kalau saya tidak tepat memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting dalam hidup saya, akan begitu cepat waktu berlalu. Tiba-tiba anak-anak sudah remaja, lalu satu persatu menikah, lalu saya menjadi nenek, lalu pensiun…lalu……tinggallah menunggu saat dipanggil kembali menghadapNya. Tinggal sedikit sekali waktunya. Itupun kalau panjang umur.

Ya, hidup ini singkat. Sangat singkat. Dengan konsekuensi yang berat kalau kita salah memilih mana “batu besar” dan mana “batu kecil” yang harus kita letakkan dalam toples kehidupan kita.

Keluarga

Apa yang menjadi concern kita pada anak-anak? khawatir gak dapet sekolah favorit? khawatir gak bisa bersaing? saat saya memandang anak-anak saya, kini saya punya pandangan lain. Bahwa orientasi kita mendidik anak, sebenarnya adalah menyiapkan mereka untuk menjadi seorang individu dewasa. Menyiapkan mereka menjadi seorang istri/suami. Menyiapkan mereka menjadi seorang menantu, ibu/ayah, mertua, nenek/kakek….Membesarkan anak, berarti kita membangun peradaban.

Peristiwa sakitnya papah, membuat saya membayangkan bahwa saat kita bersumpah dihadapanNya saat akad, kita seperti menjadi akar. Akar itu kemudian akan menumbuhkan tunas, lalu batang. Beberapa batang. Itulah anak-anak kita. Lalu batang itu beranting. Itulah cucu-cucu kita. Semakin banyak batang, semakin rimbun ranting, membutuhkan akar yang semakin kokoh. Kalau kita menjadi akar yang cukup kuat, maka kita akan bisa menghadapi semua badai ujian keluarga dengan hasil ikatan keluarga yang lebih kokoh dan cinta yang lebih besar.

Kalau kita berhasil menghalau godaan baik dari dalam diri maupun dari orang lain dengan pasangan, kalau kita bisa memfasilitasi dan menyelesaikan beragam konflik antara anak-anak kita dengan baik, konflik dengan menantu, konflik anak-cucu…maka saat itulah keluarga kita menjadi keluarga yang kokoh, yang kuat, yang penuh cinta.

purwakarta 20160220_195247Temans, saat kita mengikrarkan akad nikah, sungguh kita tak tahu ujian apa yang akan Ia berikan. Saat menatap wajah mama, melihat genggaman tangan mama-papa, mengingat semua perjuangan mereka untuk tetap bersatu, melewati satu demi satu masalah selama 38 tahun pernikahan mereka, saya memahami apa arti usia, apa arti cinta, apa arti keluarga. Apa yang penting dan ap ayang tidak penting untuk hidup saya.

Hari ini, saya akan meminta doa dari mamah dan papah, seperti tahun-tahun sebelumnya. 365 x 37 tahun ini, sungguh Allah telah melimpahkan  karunia dan rahmatNya pada kehidupan saya. Saya ingin berdoa untuk diberikan usia yang panjang, yang berkah. Ada banyak hal yang masih ingin saya pelajari dari kehidupan ini. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan dan berikan. Ada banyak nilai kehiduan yang ingin saya amalkan. Sehingga ketika suatu saat nanti saya sadar bahwa kematian semakin dekat, saya bisa meninggalkan dunia ini dengan senyum. Bahwa saya telah mengisi kehidupan ini dengan cara yang baik, benar dan bermanfaat.