Puber kedua, Romantic love, Selingkuh, dan Poligami abal-abal

Lima hari lalu si yayang ulangtahun ke40. Asa gak percaya dia udah se”tua” itu, asa masih ganteng da haha…..(kalau bukan istrinya, siapa lagi yang akan muji hayooo). Ujug-ujug saya teringat 4 hal terkait umur 40 tahun ini: puber kedua, romantic love, selingkuh dan poligami.

Beberapa tahun lalu, seorang teman bertanya pada saya mengenai fenomena puber kedua pada laki-laki. Teman saya itu, bertanya karena suaminya saat itu berusia 40 tahun dan ia ingin “mengantisipasi” terjadinya puber kedua pada suaminya tersebut. Terkait dengan puber kedua, fakta dan data berikut  ini yang saya temui dalam perjalanan hari-hari saya:

Dalam literatur, tak ada yang “jentre” menjelaskan fenomena puber kedua secara biologis. Namun secara psikologis, konon fenomena puber kedua ini bisa dijelaskan dengan konsep “midlife crisis”. Dalam kacamata psikologi perkembangan, usia 40 adalah transisi saat seseorang “naik tingkat” dari tahap perkembangan dewasa awal ke dewasa madya/tengah. Dewasa madya/tengah ini berlangsung sampai usia 60. Seperti biasa, masa transisi selalu berdampak pada dua hal: excitement dan anxiety. Perubahan selalu menimbulkan rasa semangat di satu sisi, dan kecemasan di sisi yang lain. Konon katanya, demikian juga perasaan seseorang saat ia berusia 40 tahun. Ada kecemasan bahwa ia “tak muda lagi”. Maka, kalau transisi dari anak ke remaja biasanya fenomena yang terjadi adalah si anak ingin membuktikan bahwa ia sudah “dewasa”, konon transisi dari dewasa awal ke dewasa tengah ditandai dengan keinginan untuk membuktikan bahwa “saya masih muda”. Salah satu pembuktiannya adalah dalam perasaan menaklukkan hati seseorang …halah 😉

Itu teori pertama. Teori kedua, berasal dari pengalaman teman saya yang pernikahannya kandas. Beliau, seorang suami yang tergoda dan berselingkuh dengan wanita lain. Beliau berpesan pada saya: Di usia 40an tahun itu, seorang laki-laki itu lagi mapan-mapannya. Lagi di puncak karir dan kesuksesan. Secara finansial maupun psikologis, biasanya lagi di puncak. Intinya mah lagi “mempesona” lah… Nah, tak heran kalau banyak wanita yang datang menggoda. Tak hanya yang masih single, juga para “mahmud” -baik yang divorced maupun yang tidak. Godaan itu terkadang sangat kuat dan sulit dilawan, apalagi di rumah ada celah masalah dengan istri. Maka, beliau pun berpesan pada saya sebagai istri, jangan membuka celah masalah itu. Komunikasi intinya. Begitu katanya…..

Pesan dari teman saya itu, yang kemudian tampaknya menyesal setelah pernikahnnya kandas, dari sudut pandang perkembangan kehidupan keluarga bisa dijelaskan sebagai berikut : di usia 40 tahun-an, biasanya keluarga berada pada tahap “family with teenager”. Anak pertama, biasanya di usia remaja. Kalau ditinjau dari sudut pandang “family system theory” yang memandang bahwa keluarga itu adalah sebuah sistem, dimana perubahan pada satu subsistem akan berdampak pada keseluruhan sistem, maka perubahan psikologis yang terjadi pada anak remaja mereka akan berdampak pada keluarga. Terutama ibu yang biasanya berperan sebagai primary caregiver. Kasat matanya, ibu akan riweuh dengan beragam perubahan yang muncul pada si remaja atau si remaji nya. Nah…kalau keluarga ini tidak terbiasa memandang bahwa persoalan anak adalah persoalan bersama ibu dan ayah, maka bisa jadi pada saat itu,  si ibu stress menghadapi si remaja, berdampak pada “kurang segarnya” penampakan fisik dan psikologis si ibu, tepat pada saat si ayah butuh merasa “menaklukkan” hati seorang wanita. Karena si ibu terlalu riweuh untuk “takluk”, sementara ada wanita lain yang potensial untuk takluk, maka terjadilah hal-hal yang tak diharapkan.

Ada teori ketiga mengenai kejadian puber kedua ini. Teori ini berdasarkan pengalaman teman saya juga. Teori tentang jatuh cinta. Kita pake teori cinta yang paling sederhana deh….Triangular Theory of Love nya Sternberg. Gugling aja….banyak yang menjelaskan dan mudah dipahami. Saya copas dari situs https://packbackbooks.com/answers/1694178/Sternberg-s-Triangular-Theory-as-a-braid, berikut penjelasan dan ilustrasinya :

questionImage1614900-31031658-fullThe 3 main components:
Intimacy (mind) is the feeling of closeness to your partner. The partners are able to emotionally support one another as well as communicate to eachother. This is why I added a picture of a couple smiling and holding each other at the top the triangle.
Passion (Body) is the romantic, sexual and attraction part. The partners are driven by a sexual desire for one another. So in the passion corner of the triangel I put a picture of a couple kissing.
Commitment (spirit) is the decision to stay loyal to one another. Which explains why I put a wedding ring in this corner of the triangle.

 

The Combinations:
Intimacy + Passion = Romantic Love
meaning these couples are emotionally close and physically attracated to one another but are not commited.
Passion + Commiment = Fatuous Love
Meaning commitment is made to one another based off passion before having an intimate relationship.

Commitment + Intimacy = Companionate Love
Meaning there is high amounts of affection towards each other while there is still commitment.

“Bosan” adalah sifat alami manusia. Bosan dengan situasi pernikahan, orang dan bentuk hubungan yang sama selama tahunan, belasan tahun atau puluhan tahun dalam sebuah pernikahan, itu wajar. Entah itu pada pasangan yang dulunya merasa saling degdegan (passion), apalagi pada pasangan yang menikah tanpa rasa (commitment). Kebutuhan akan romantic love ; rasa nyaman saat mengobrol, dagdigdugdegdor saat menatap dan berdekatan…yang tak terpenuhi oleh pasangan di rumah, juga bisa menimbulkan fenomena puber kedua ini.

Dan hei ! ini tak hanya terjadi pada laki-laki yang “matanya jelalatan” aja looooh. Aktivis mesjid? bisa kena…..laki-laki yang “super serius’ dengan pekerjaannya, bisa….. laki-laki yang super lempeng, bisa juga…..dan … kebutuhan atau perasaan “romantic love” ini tak hanya terjadi pada laki-laki looooh….tapi pada perempuan juga ! masa sih? ciyusss….ah, mungkin pada wanita yang beraktivitas di luar rumah aja kaliii….kalau yang aktivitasnya di rumah mah amaaaaan….eh jangan salah loh….romatic love itu, bisa terjadi secara virtual  sekarang. Bisa sama artis korea yang dramanya ditonton tiap hari….bisa sama ustadz yang kita dengarkan nasihatnya tiap hari…bisa juga sama temen kuliah, temen sma, temen smp, sd, tk, yang kini satu waG sama kita.

Meskipun tingkat keberbahayaannya berbeda sih…..beberapa waktu yang lalu teman saya, perempuan, bilang lagi jatuh cinta berat sama seorang aktor hollywood yang punya “deep eyes”… 😉 pas saya liat, emang kasep dan mempesona pisan sih, tapi tenaaang lah…kondisinya lebih mudah dibandingkan jatuh cinta sama seseorang yang accessible. Kalau jatuh cinta sama aktor hollywood mah pastinya akan bertepuk sebelah tangan kkkk….

Nah, yang bahaya memang kalau romantic love itu kita rasakan pada seseorang yang accessible. Dan yang namanya cinta mah pan jorok banget ya… suami kita, bisa merasakan romantic love pada rekan kerjanya, kliennya, mahasiswanya, bosnya, dll. Hal yang sama juga bisa terjadi pada kita perempuan. Harus digarisbawahi pada perempuan yang bekerja, harus benar-benar bisa jaga diri. Kalau saya lihat sekeliling saya, memang umur 30-50an teh bener juga sih, kita lagi mateng-matengnya. Dewasa. Jadi tampak “mempesona” buat orang-orang sekeliling kita.

Nah, jadi gimana dong? kita wajib cemas gitu? panik? yang beraktivitas di luar rumah langsung resign? suami kita juga kerjanya di rumah aja?

Tenang…tenang….mari saya ceritakan beberapa kisah tentang puber kedua dan romantic love ini. Kisah yang akan membuat kita tetap jernih.

Satu. Saya inget ya, ada seorang teman saya, dulu kita pernah ada kerjaan bareng satu tim. Ada laki-laki ada perempuan. Nah, seorang teman saya yang perempuan, harus berkoordinasi sama ketua tim, laki-laki. Saya ingat sekali dia meminta saya menemaninya. Waktu saya tanya kenapa, jawabannya bikin kita ngakak bermenit-menit: “kalau ketemu dia berdua teh, gue mah suka ser-seran uy” hahahahaha…. kenapa ketawa? karena gak nyangka sih, teman saya itu, sangat keibuan dan sudah memiliki beberapa putra. Demikian juga teman saya yang laki-laki. Setelah saya pikir-pikir, emang wajar sih, si temen saya yang laki-laki teh memang kasep dan terkenal bikin para wanita klepek-klepek. Untung bukan tipe saya hingga pesonanya tak mempan buat saya haha…. Tapi jujur, saya sangat menghargai teman saya itu. Dia punya self awareness yang baik, dan menggunakannya untuk menjaga dirinya.

Dua. Seorang teman saya yang lain bercerita, suatu saat ia melihat perubahan pada suaminya. Suaminya menjadi lebih romantis, suaminya juga mengubah suasana rumah, menambah dinding dengan wallpaper, mengajak dirinya makan malam berdua, menggenggam tangannya saat jalan-jalan, membelikannya hadiah, perilaku yang membuat dirinya menjadi “bogoh deui” pada suaminya …Bertahun-tahun kemudian, sang suami mengaku kalau pada saat itu, ia merasakan kebutuhan romantic love. Karena ia potensial merasakannya pada yang lain, maka “energi” itu, “rasa” itu, ia kendalikan dan ia arahkan pada keluarganya.

Nah, dari dua kisah itu, ada satu kesimpulan yang bisa kita tarik. Bahwa potensi rasa cinta yang dirasakan oleh kita atau pasangan pada orang lain, tak selalu harus berujung pada hal-hal yang merusak. Faktor pembedanya adalah “Self awareness” dan “self control”

Dan kalau tadi saya katakan bahwa fenomena puber kedua dan romantic love ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, pada kenyataannya, apabila itu terjadi pada laki-laki, maka potensi untuk berujung pada kerusakan menjadi lebih besar dibandingkan kalau itu terjadi pada wanita.

Kenapa? karena laki-laki, muslim, punya satu legitimasi: poligami. Saat seorang wanita jatuh cinta pada laki-laki lain, ia akan berpikir seribu kali untuk memilih laki-laki itu dan meninggalkan keluarganya. Apalagi kalau sudah punya anak. Yang belum punya anak pun, pilihannya adalah 1-0. Keluarga sebelumnya, harus ia tinggalkan. Ia harus memilih. Salah satu. Berbeda bagi laki-laki. Secara kognitif, ada peluang untuknya tak harus memilih 1-0. Ia bisa tetap mendapatkan “benefit” dari keluarga sebelumnya, dan “hasrat” untuk memenuhi kebutuhan yang baru pun bisa ia dapatkan. Poligami jalan keluarnya.

Poligami dibolehkan dalam islam? ya. Absolutely. Tak ada keraguan. Poligami seperti apa yang disyariatkan dalam islam? itu hal lain. Aspek ini, hanya akan dipikirkan oleh orang-orang, oleh laki-laki, yang punya “Self awareness” yang baik plus “self control” yang kuat. Mereka akan mencoba menghayati, apa “semangat” dibalik turunnya ayat mengenai bolehnya beristri 1, 2, 3, 4. Semangat menahan diri. Itu yang bisa kita tangkap dari asbabun nuzul ayat ini. Maka, jika poligami ini ditempuh sebagai alasan “dari pada selingkuh” , atau sebagai jawaban “istri saya udah gak bisa bikin saya degdegan lagi”, maka….ada asumsi dasar yang tak terpenuhi. Jika asumsinya tak terpenuhi, maka kebaikan dari syariat ini pun akan sulit untuk didapat.

Kebaikan poligami apa yang didapat dari seorang istri tua yang “sakit hati” karena suaminya berpoligami dengan selingkuhannya? Kebaikan poligami apa yang bisa didapat dari seorang istri muda yang usianya sama dengan anak sulung, tak punya empati, merasa unggul dan menjadi  “dewi penolong” dengan wajah dan tubuh yang (tentu saja) jauh lebih fresh daripada istri pertama? Kebaikan poligami apa yang didapat dari sikap mental suami yang mengatakan “keburukan istri saya udah susah diubah, ya udah silahkan pilih mau cerai atau izinkan saya poligami”. Kebaikan apa yang akan didapat dari suami yang mengatakan “istri saya bilang boleh”, dan dia menafikkan seluruh bahasa nonverbal istrinya?

Poligami yang tak didasari oleh semangat menahan diri, saya menyebutnya : poligami abal-abal.

Suatu malam, saya pernah mengatakan semua yang saya tulis di atas pada mas. Diakhiri oleh kalimat -kalimat penutup:

Aku tidak menutup kemungkinan bahwa kita bisa jatuh cinta lagi pada orang lain. Mungkin dirimu, mungkin juga aku. Namanya juga syetan, dia sangat lihai. Itu gak penting. Yang jauh lebih penting dari itu adalah, bagaimana proses sehingga romantic love itu tumbuh dan berkembang. Cinta itu hanya akan berkembang kalau dipelihara. Maka, saat kita merasa “nyaman” dengan orang lain, kita harus aware, dan kita lakukan upaya untuk menghindar. Romantic love itu, engga ujug-ujug. Kenyamanan itu, bisa kita deteksi. Mungkin awalnya hanya diskusi-diskusi soal politik, soal pengalaman masa lalu, soal rencana kegiatan sosial, bahkan mungkin soal kegiatan keagamaan atau bisa jadi haha hihi soal remeh temeh. Tapi kalau kita merasa nyaman, maka kita harus sadari segera. Itu yang pertama.

Yang kedua, saat rasa itu sudah ada, yang menjadi masalah adalah bagaimana reaksi kita. Membiarkannya…tumbuh…berkembang….atau berupaya mengendalikannya? bagaimana sikap mental kita saat itu? merasa “tak berdaya”? atau merasa sebagai makhluk Allah yang paling mulia, yang dibekali akal dan rasa yang mengarah pada kebaikan? Lakukan upaya pengendalian diri sampai titik darah penghabisan.

Kalau tak bisa sendirian, mari kita bicarakan. Kita hadapi berdua. Mungkin kita bisa melihat foto-foto kebersamaan kita, dengan anak-anak….mulai anak pertama…kedua…dan selanjutnya. Mungkin kita bisa melihat bersama foto-foto kita saat tertawa, bahagia….penghayatan bahwa kita punya kenangan yang begitu berharga itu, semoga manjur membuat rasa yang terpedaya menjadi jernih kembali.

Bahwa keluarga kita ditakdirkan menjalani poligami, aku tak menutup kemungkinan. Tapi saat itu harus terjadi, mari pastikan bahwa prosesnya benar. Indikatornya adalah, membawa manfaat dan kebaikan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Mungkin rasa sedih akan ada, tapi tak boleh ada rasa tersakiti dan terdzalimi. Jalan ini, jangan hanya sebagai excuse dari kalimat: daripada selingkuh.

Kita bercerai? mungkin saja. Kalau takdir sudah menuliskan, dan kita sudah berupaya maksimal sehingga takdir itu yang kita temui, mengapa tidak? tapi saat itu harus terjadi, mari pastikan bahwa jalan itu kita lakukan dengan cara yang benar. Cara yang benar, akan membawa manfaat dan kebaikan.

Ternyata panjang juga ya…sebenarnya cucoknya ditulis pas wedding anniversary juni nanti haha….

Semoga bermangpaat

 

 

 

 

 

 

 

Agar anak-anak kita tak jadi penonton dan komentator

Sebulan ini, saya menemani ayah saya berkonsultasi mengenai kondisi kesehatannya, sampai dilakukannya tindakan operasi dan pasca-nya. Tak kurang dari tiga dokter sub spesialis yang kami temui untuk berkonsultasi. Satu hal yang sangat saya syukuri adalah, saya punya lingkaran teman-teman yang bisa memberikan rekomendasi para dokter ahli yang sesuai dengan kondisi ayah saya. Tak hanya fisiknya, namun juga psikologisnya. Saya mencari dokter yang secara keilmuan dan pengalaman oke, juga “wise” dalam berkomunikasi dengan pasien. Maklum, untuk orangtua seusia ayah saya, kondisi psikologisnya yang harus lebih dijaga dibandingkan dengan kondisi aktual fisiknya.

Bertemu dengan tiga dokter super ahli yang menyampaikan diagnosa “berat” dengan cara yang empatik dan menenangkan itu, rejeki banget. Istilah lebaynya mah “mempesona” haha….perasaan yang sama ketika 6 tahun lalu saya bertemu dokter bedah anak yang bisa menjawab semua pertanyaan saya mengenai kondisi Umar.

Ada banyak orang yang membuat saya terpesona, dengan beragam peran dan kondisinya. Tapi para profesional yang begitu sungguh-sungguh mencintai pekerjaannya, sehingga seluruh potensi kebaikannya tercermin saat ia melakukan profesinya, selalu mendapat tempat spesial di hati saya. Jaman kualiah dulu, di diary saya, ada banyak tulisan : “saya ingin seperti ibu ini, saya ingin menjadi seperti ibu itu”. Ibu ini dan ibu itu yang saya tuliskan namanya, adalah mereka-mereka yang berkiprah dalam satu profesi tertentu. Saya jadi ingat awal tahun ini, salah seorang ibu yang saya tulis namanya di diary saya, yang diam-diam menjadi idola saya, menelpon saya untuk mengucapkan terima kasih atas kiriman buku BEB saya pada beliau. Saat itulah saya bilang. Bahwa 17 tahun lalu, saya menulis di diari saya, bahwa saya ingin menjadi seperti beliau hehe….

Ada banyak ajaran agama yang mengatakan bahwa menolong orang lain itu, adalah perbuatan super mulia. Kita yang meringankan kesulitan orang lain, akan Ia bantu saat kita mengalami kesulitan. Dan seorang profesional yang membantu orang lain saat dalam kondisi yang tak semua orang bisa menolongnya, itu adalah suatu kondisi yang sangat ….saya tak menemukan kata lain selian “mempesona”.

Saya pernah datang ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan atm saya, dan disana ada seorang ibu dengan wajah babak belur berdarah-darah, selesai melaporkan kejadian KDRT yang ia terima dari suaminya. Disana tak ada polwan. Polisi yang nenanyainya, bapak-bapak dengan wajah sangar. Tiba-tiba saya teringat para aktifis perempuan yang memperjuangkan Undang-Undang perlindungan bagi wanita, yang berupaya untuk meyakinkan pihak-pihak lain bahwa adanya polwan dan layanan khusus untuk wanita yang menjadi korban KDRT, yang diperkosa, dan mengalami hal buruk terkait dengan statusnya sebagai “wanita” itu, perlu.

Saya juga teringat senior saya yang mengabdikan dirinya untuk memabntu wanita-wanita korban kdrt dan pelecehan seksual. Saya pernah ikut beliau mendampingi seorang wanita di LP, yang akan diadili dengan dakwaan membunuh anaknya. Yang dilakukan ibu itu sebenarnya adalah, bunuh diri bersama anaknya. Anaknya meninggal, dia tidak. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ibu itu, dalam kondisi yang amat terpuruk, trauma karena melihat detik-detik wafatnya anaknya, merasa bersalah, takut menghadapi tuntutan pengadilan, berat menghadapi kondisi di penjara, merasa sendirian di dunia ini karena tak ada yang menjenguknya, blank mengenai kehiduannya setelah keluar penjara nanti…. saya ingat sekali, hal yang diminta ibu itu setiap kami datang adalah, ia minta izin untuk memeluk kami. Pelukan yang eraaaaaaat yang tak mau ia lepaskan. Dan senior saya itu, dengan seluruh keahliannya, bisa membangkitkan harapan ibu itu.

Ya, dengan apa yang kita bisa, kita bisa menolong orang lain. Tapi seorang profesional, dengan keahliannya, menolong orang dalam kondisi dimana ia sudah merasa tak ada harapan lagi untuknya, buat saya, amat mempesona. Orang-orang itu, adalah perwujudan sang Maha pemberi Rahmat yang hadir dalam bentuk nyata di dunia ini. Orang-orang seperti ini, menumbuhkan keyakinan bahwa Allah itu, dengan kemahakuasaaanya, benar-benar ada.

Saya percaya bahwa Salah satu keMaha-an Allah, adalah ia menciptakan manusia ini unik. dengan keunikan -kelebihan dan kelemahannya. Maka, saya memang bukan motivator. Saya tak akan mengatakan “kita semua bisa jadi apapun kalau kita mau”. Ya, bisa sih bisa. Tapi bahagia? optimal? mungkin tidak. Banyak orang yang bisa jadi dokter. Tapi dokter yang analisanya tajam? yang empatinya begitu menonjol sehingga pasien merasa dihargai dan dimanusiakan? Banyak orang bisa jadi guru. Tapi guru yang kreatif mencari cara serta yakin bahwa setiap muridnya punya potensi yang harus ia temukan, menghargai pencapaian muridnya meskipun tak sesuai harapannya? Banyak orang bisa jadi ekonom. Tapi ekonom yang bisa menemukan pendekatan yang paling pas untuk kondisi mikro suatu komunitas dan lalu membangun komunitas itu? Yang bisa jadi penulis banyak. Tapi penulis yang bisa membedah suatu persoaan secara jernih dan menggerakkan pembacanya ke arah kebaikan? tak semuanya bisa.

Mereka yang “bersinar”, yang tampil mempesona memancarkan seluruh kebaikan dari dirinya dalam kegiatannya, adalah mereka-mereka yang telah menemukan potensi apa yang Allah karuniakan kepadanya, menjalani jalan itu dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh rasa.

Dalam pembicaraan-pembicaraan dengan mas mengenai masa depan anak-anak, tema ini  yang selalu jadi isu. Bagaimana kami bisa menemukan potensi terbaik yang dimiliki masing-masing dari 4 anka kami, sehingga kami bisa mengarahkan ke arah yang benar. Ya, engga apa-apa sih, kuliahnya selama 4 tahun di bidang “x”, lalu berkaryanya di bidang “y”. Tapi secara personal, kami tak ingin itu terjadi. Sayang ilmu yang dipelajari selama 4 tahun itu mubadzir. Dan lagi, mungkin masuknya kita ke pendidikan “x” itu, jadi menghalangi orang lain yang akan menjadi sungguh-sungguh ketika ia masuk disana. Itu hal pertama.

Hal kedua, meskipun terlihat sangat “religius”, tapi kami tak ingin anak kami “hanya” menguasai ilmu agama. Bahkan kami tak setuju sebenarnya ada pemisahan ilmu agama dan non agama. Karena sudah jelas bahwa bagi muslim, setiap helaan nafasnya seharusnya adalah menjadi ibadah. Maka, bidang apapun yang ia pelajari dengan sungguh-sungguh, setelah melalui persyaratan sebagai amal yang baik -yaitu bermanfaat, baik dan benar, maka itu adalah ilmu agama. Yang bisa menyelamatkan di akhirat nanti. Kami berharap anak-anak kami bisa terjun ke masyarakat, sebagai ulil albab. Orang beragama yang berilmu.

Saat ini, saya sebenarnya sangat sedih sih melihat fenomena yang ada. Kalau anak-anak kita sering terpapar perbadingan seperti : “lebih baik mana, pemerhati lingkungan yang gak sholat atau ustadz yang gak peduli pada pelestarian lingkungan?” di masa depan, menurut penerawangan saya, perbandingan-perbandingan ini akan semakin banyak dalam beragam konteks.

Dan buat anak-anak kita, kalau kita mau meluruskannya, tak cukup dengan tulisan, atau argumentasi. Tapi harus dengan contoh konkrit. Dengan pengalaman. Mengajak anak diskusi tentang silogisme, tentang perbandingan apple to apple, mungkin tak lebih efektif dibandingkan kalau kita ajak anak menemui kenalan kita, dokter yang juga ahli tahajjud. Ustadz yang juga aktifis lingkungan. Insinyur mesin yang penghafal Qur’an. Akuntan yang membuat sekolah gratis untuk orang tak mampu. Aktifis perempuan berjilbab yang membuat daycare gratis bagi para buruh pabrik perempuan atau guru-guru sekolah Islam, sehingga saat guru-guru sekolah Islam terpadu itu mendidik murid-muridnya agar menjadi bertqwa, ia tak harus khawatir dengan kesejahteraan dan kualitas anak yang harus ia tinggalkan seharian.

Saya setuju dengan pendapat HAMKA. Tulisan harus ditanggapi dengan  tulisan. Karya, ditanggapi dengan karya. Kepedulian ditangapi  dengan kepedulian. Argumentasi ilmiah, harus ditanggapi dengan argumentasi ilmiah. Penelitian harus ditanggapi dengan penelitian. Profesionalisme, harus ditanggapi dengan profesionalisme. Itu namanya mengkomunikasikan kebaikan. Dengan “bahasa” yang sama. Mengkomunikasikan bahwa islam ini rahmatan lil alamin. Bahwa kesilaman seseorang itu, adalah nyala api yang membuatnya bersungguh-sungguh dalam bidang apapun yang ia tekuni.

Kita sudah lihat bagaimana hasilnya kalau karya ditanggapi dengan status facebook. Kepedulian ditangapi dengan ocehan di twitter. Argumentasi ilmiah ditanggapi dengan share gambar hoax. Kita sudah lihat bagaimana hasilnya bagaimana semangat saja tak cukup. Semangat itu, dalam psikologi adalah impuls. Semangat saja, tak membedakan kita dengan makhluk Allah yang lain. Kita adalah karyaNya yang paling mulia. Kita punya fungsi luhur. Kemampuan analisa. Kemampuan problem solving. Decision making.Yang bisa menjadi tajam kalau kita latih.

Berbekal semangat saja bahwa bahan tertentu yang disebutkan RAsulullah itu bisa mengobati segala macam penyakit sehingga tak perlu mengembangkan penelitian di bidang farmasi, itu tak cukup. Berbekal semangat saja dengan mengatakan bahwa jika jaman dahulu remaja yang sudah baligh itu sudah matang secara psikologis sehingga sekarang juga bisa, tanpa mau belajar mengenai apa itu kematangan psikologis, faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, apa perbedaan jaman rasulullah dengan jaman sekarang, itu tak cukup. Berbekal semangat saja bahwa penghafal al qur an itu bisa memberikan mahkota pada orangtuanya di akhirat nanti tanpa punya ilmu dan tak mau bersungguh-sungguh mencari metoda menghafal yang sesuai dengan cara kerja otak anak, itu tak cukup.

Islam itu sungguh sudah sangat sempurna. Ia tak perlu dibela dengan kata-kata tajam, share-an status, apalagi lemparan batu dan teriakan Allah Maha Besar Tugas kita bukan membela Islam. Tapi mengejawantahkan kesempurnaan Islam dalam kehdiupan kita secara membumi. Dengan kesungguhan dan kerendahan hati. Sehingga siapapun dia, ia bisa melihat bahwa Islam itu menyempurnakan akhlak. Akhlak siapa? ya akhlak muslim. Bahwa Islam itu POWERFULL untuk memecahkan masalah nyata, seperti dulu Rasulullah menyelesaikan masalah-masalah sosial di Mekah dan Madinah.

Jangan salahkan orang-orang yang kemudian mengasiosiasikan islam dengan kebodohan, ke-reaktif-an, ke-impulsif-an, emosionalitas.  Jangan salahkan kalau anak-anak kita kemudian menyimpulkan bahwa tak sholat tapi berkonsribusi pada masyarakat  itu, jauh lebih baik dibanding sholat namun tak berbuat apa-apa untuk masyarakat.

Mungkin itu karena kita mengajari mereka untuk hanya jadi penonton. Untuk hanya jadi komentator. Tanpa berbuat apa-apa. Karena kita malas untuk menemukan potensi terbaik apa yang Allah titipkan buat kita, yang bisa kita asah dengan sungguh-sungguh, yang bisa mendorong kita berbuat kebaikan, yang bisa mempesona orang lain, yang membuat orang lain melihat Rahmat Allah di bumi ini.

Wallahu alam.