Lima hari lalu si yayang ulangtahun ke40. Asa gak percaya dia udah se”tua” itu, asa masih ganteng da haha…..(kalau bukan istrinya, siapa lagi yang akan muji hayooo). Ujug-ujug saya teringat 4 hal terkait umur 40 tahun ini: puber kedua, romantic love, selingkuh dan poligami.
Beberapa tahun lalu, seorang teman bertanya pada saya mengenai fenomena puber kedua pada laki-laki. Teman saya itu, bertanya karena suaminya saat itu berusia 40 tahun dan ia ingin “mengantisipasi” terjadinya puber kedua pada suaminya tersebut. Terkait dengan puber kedua, fakta dan data berikut ini yang saya temui dalam perjalanan hari-hari saya:
Dalam literatur, tak ada yang “jentre” menjelaskan fenomena puber kedua secara biologis. Namun secara psikologis, konon fenomena puber kedua ini bisa dijelaskan dengan konsep “midlife crisis”. Dalam kacamata psikologi perkembangan, usia 40 adalah transisi saat seseorang “naik tingkat” dari tahap perkembangan dewasa awal ke dewasa madya/tengah. Dewasa madya/tengah ini berlangsung sampai usia 60. Seperti biasa, masa transisi selalu berdampak pada dua hal: excitement dan anxiety. Perubahan selalu menimbulkan rasa semangat di satu sisi, dan kecemasan di sisi yang lain. Konon katanya, demikian juga perasaan seseorang saat ia berusia 40 tahun. Ada kecemasan bahwa ia “tak muda lagi”. Maka, kalau transisi dari anak ke remaja biasanya fenomena yang terjadi adalah si anak ingin membuktikan bahwa ia sudah “dewasa”, konon transisi dari dewasa awal ke dewasa tengah ditandai dengan keinginan untuk membuktikan bahwa “saya masih muda”. Salah satu pembuktiannya adalah dalam perasaan menaklukkan hati seseorang …halah 😉
Itu teori pertama. Teori kedua, berasal dari pengalaman teman saya yang pernikahannya kandas. Beliau, seorang suami yang tergoda dan berselingkuh dengan wanita lain. Beliau berpesan pada saya: Di usia 40an tahun itu, seorang laki-laki itu lagi mapan-mapannya. Lagi di puncak karir dan kesuksesan. Secara finansial maupun psikologis, biasanya lagi di puncak. Intinya mah lagi “mempesona” lah… Nah, tak heran kalau banyak wanita yang datang menggoda. Tak hanya yang masih single, juga para “mahmud” -baik yang divorced maupun yang tidak. Godaan itu terkadang sangat kuat dan sulit dilawan, apalagi di rumah ada celah masalah dengan istri. Maka, beliau pun berpesan pada saya sebagai istri, jangan membuka celah masalah itu. Komunikasi intinya. Begitu katanya…..
Pesan dari teman saya itu, yang kemudian tampaknya menyesal setelah pernikahnnya kandas, dari sudut pandang perkembangan kehidupan keluarga bisa dijelaskan sebagai berikut : di usia 40 tahun-an, biasanya keluarga berada pada tahap “family with teenager”. Anak pertama, biasanya di usia remaja. Kalau ditinjau dari sudut pandang “family system theory” yang memandang bahwa keluarga itu adalah sebuah sistem, dimana perubahan pada satu subsistem akan berdampak pada keseluruhan sistem, maka perubahan psikologis yang terjadi pada anak remaja mereka akan berdampak pada keluarga. Terutama ibu yang biasanya berperan sebagai primary caregiver. Kasat matanya, ibu akan riweuh dengan beragam perubahan yang muncul pada si remaja atau si remaji nya. Nah…kalau keluarga ini tidak terbiasa memandang bahwa persoalan anak adalah persoalan bersama ibu dan ayah, maka bisa jadi pada saat itu, si ibu stress menghadapi si remaja, berdampak pada “kurang segarnya” penampakan fisik dan psikologis si ibu, tepat pada saat si ayah butuh merasa “menaklukkan” hati seorang wanita. Karena si ibu terlalu riweuh untuk “takluk”, sementara ada wanita lain yang potensial untuk takluk, maka terjadilah hal-hal yang tak diharapkan.
Ada teori ketiga mengenai kejadian puber kedua ini. Teori ini berdasarkan pengalaman teman saya juga. Teori tentang jatuh cinta. Kita pake teori cinta yang paling sederhana deh….Triangular Theory of Love nya Sternberg. Gugling aja….banyak yang menjelaskan dan mudah dipahami. Saya copas dari situs https://packbackbooks.com/answers/1694178/Sternberg-s-Triangular-Theory-as-a-braid, berikut penjelasan dan ilustrasinya :
The 3 main components:
Intimacy (mind) is the feeling of closeness to your partner. The partners are able to emotionally support one another as well as communicate to eachother. This is why I added a picture of a couple smiling and holding each other at the top the triangle.
Passion (Body) is the romantic, sexual and attraction part. The partners are driven by a sexual desire for one another. So in the passion corner of the triangel I put a picture of a couple kissing.
Commitment (spirit) is the decision to stay loyal to one another. Which explains why I put a wedding ring in this corner of the triangle.
The Combinations:
Intimacy + Passion = Romantic Love
meaning these couples are emotionally close and physically attracated to one another but are not commited.
Passion + Commiment = Fatuous Love
Meaning commitment is made to one another based off passion before having an intimate relationship.
Commitment + Intimacy = Companionate Love
Meaning there is high amounts of affection towards each other while there is still commitment.
“Bosan” adalah sifat alami manusia. Bosan dengan situasi pernikahan, orang dan bentuk hubungan yang sama selama tahunan, belasan tahun atau puluhan tahun dalam sebuah pernikahan, itu wajar. Entah itu pada pasangan yang dulunya merasa saling degdegan (passion), apalagi pada pasangan yang menikah tanpa rasa (commitment). Kebutuhan akan romantic love ; rasa nyaman saat mengobrol, dagdigdugdegdor saat menatap dan berdekatan…yang tak terpenuhi oleh pasangan di rumah, juga bisa menimbulkan fenomena puber kedua ini.
Dan hei ! ini tak hanya terjadi pada laki-laki yang “matanya jelalatan” aja looooh. Aktivis mesjid? bisa kena…..laki-laki yang “super serius’ dengan pekerjaannya, bisa….. laki-laki yang super lempeng, bisa juga…..dan … kebutuhan atau perasaan “romantic love” ini tak hanya terjadi pada laki-laki looooh….tapi pada perempuan juga ! masa sih? ciyusss….ah, mungkin pada wanita yang beraktivitas di luar rumah aja kaliii….kalau yang aktivitasnya di rumah mah amaaaaan….eh jangan salah loh….romatic love itu, bisa terjadi secara virtual sekarang. Bisa sama artis korea yang dramanya ditonton tiap hari….bisa sama ustadz yang kita dengarkan nasihatnya tiap hari…bisa juga sama temen kuliah, temen sma, temen smp, sd, tk, yang kini satu waG sama kita.
Meskipun tingkat keberbahayaannya berbeda sih…..beberapa waktu yang lalu teman saya, perempuan, bilang lagi jatuh cinta berat sama seorang aktor hollywood yang punya “deep eyes”… 😉 pas saya liat, emang kasep dan mempesona pisan sih, tapi tenaaang lah…kondisinya lebih mudah dibandingkan jatuh cinta sama seseorang yang accessible. Kalau jatuh cinta sama aktor hollywood mah pastinya akan bertepuk sebelah tangan kkkk….
Nah, yang bahaya memang kalau romantic love itu kita rasakan pada seseorang yang accessible. Dan yang namanya cinta mah pan jorok banget ya… suami kita, bisa merasakan romantic love pada rekan kerjanya, kliennya, mahasiswanya, bosnya, dll. Hal yang sama juga bisa terjadi pada kita perempuan. Harus digarisbawahi pada perempuan yang bekerja, harus benar-benar bisa jaga diri. Kalau saya lihat sekeliling saya, memang umur 30-50an teh bener juga sih, kita lagi mateng-matengnya. Dewasa. Jadi tampak “mempesona” buat orang-orang sekeliling kita.
Nah, jadi gimana dong? kita wajib cemas gitu? panik? yang beraktivitas di luar rumah langsung resign? suami kita juga kerjanya di rumah aja?
Tenang…tenang….mari saya ceritakan beberapa kisah tentang puber kedua dan romantic love ini. Kisah yang akan membuat kita tetap jernih.
Satu. Saya inget ya, ada seorang teman saya, dulu kita pernah ada kerjaan bareng satu tim. Ada laki-laki ada perempuan. Nah, seorang teman saya yang perempuan, harus berkoordinasi sama ketua tim, laki-laki. Saya ingat sekali dia meminta saya menemaninya. Waktu saya tanya kenapa, jawabannya bikin kita ngakak bermenit-menit: “kalau ketemu dia berdua teh, gue mah suka ser-seran uy” hahahahaha…. kenapa ketawa? karena gak nyangka sih, teman saya itu, sangat keibuan dan sudah memiliki beberapa putra. Demikian juga teman saya yang laki-laki. Setelah saya pikir-pikir, emang wajar sih, si temen saya yang laki-laki teh memang kasep dan terkenal bikin para wanita klepek-klepek. Untung bukan tipe saya hingga pesonanya tak mempan buat saya haha…. Tapi jujur, saya sangat menghargai teman saya itu. Dia punya self awareness yang baik, dan menggunakannya untuk menjaga dirinya.
Dua. Seorang teman saya yang lain bercerita, suatu saat ia melihat perubahan pada suaminya. Suaminya menjadi lebih romantis, suaminya juga mengubah suasana rumah, menambah dinding dengan wallpaper, mengajak dirinya makan malam berdua, menggenggam tangannya saat jalan-jalan, membelikannya hadiah, perilaku yang membuat dirinya menjadi “bogoh deui” pada suaminya …Bertahun-tahun kemudian, sang suami mengaku kalau pada saat itu, ia merasakan kebutuhan romantic love. Karena ia potensial merasakannya pada yang lain, maka “energi” itu, “rasa” itu, ia kendalikan dan ia arahkan pada keluarganya.
Nah, dari dua kisah itu, ada satu kesimpulan yang bisa kita tarik. Bahwa potensi rasa cinta yang dirasakan oleh kita atau pasangan pada orang lain, tak selalu harus berujung pada hal-hal yang merusak. Faktor pembedanya adalah “Self awareness” dan “self control”
Dan kalau tadi saya katakan bahwa fenomena puber kedua dan romantic love ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, pada kenyataannya, apabila itu terjadi pada laki-laki, maka potensi untuk berujung pada kerusakan menjadi lebih besar dibandingkan kalau itu terjadi pada wanita.
Kenapa? karena laki-laki, muslim, punya satu legitimasi: poligami. Saat seorang wanita jatuh cinta pada laki-laki lain, ia akan berpikir seribu kali untuk memilih laki-laki itu dan meninggalkan keluarganya. Apalagi kalau sudah punya anak. Yang belum punya anak pun, pilihannya adalah 1-0. Keluarga sebelumnya, harus ia tinggalkan. Ia harus memilih. Salah satu. Berbeda bagi laki-laki. Secara kognitif, ada peluang untuknya tak harus memilih 1-0. Ia bisa tetap mendapatkan “benefit” dari keluarga sebelumnya, dan “hasrat” untuk memenuhi kebutuhan yang baru pun bisa ia dapatkan. Poligami jalan keluarnya.
Poligami dibolehkan dalam islam? ya. Absolutely. Tak ada keraguan. Poligami seperti apa yang disyariatkan dalam islam? itu hal lain. Aspek ini, hanya akan dipikirkan oleh orang-orang, oleh laki-laki, yang punya “Self awareness” yang baik plus “self control” yang kuat. Mereka akan mencoba menghayati, apa “semangat” dibalik turunnya ayat mengenai bolehnya beristri 1, 2, 3, 4. Semangat menahan diri. Itu yang bisa kita tangkap dari asbabun nuzul ayat ini. Maka, jika poligami ini ditempuh sebagai alasan “dari pada selingkuh” , atau sebagai jawaban “istri saya udah gak bisa bikin saya degdegan lagi”, maka….ada asumsi dasar yang tak terpenuhi. Jika asumsinya tak terpenuhi, maka kebaikan dari syariat ini pun akan sulit untuk didapat.
Kebaikan poligami apa yang didapat dari seorang istri tua yang “sakit hati” karena suaminya berpoligami dengan selingkuhannya? Kebaikan poligami apa yang bisa didapat dari seorang istri muda yang usianya sama dengan anak sulung, tak punya empati, merasa unggul dan menjadi “dewi penolong” dengan wajah dan tubuh yang (tentu saja) jauh lebih fresh daripada istri pertama? Kebaikan poligami apa yang didapat dari sikap mental suami yang mengatakan “keburukan istri saya udah susah diubah, ya udah silahkan pilih mau cerai atau izinkan saya poligami”. Kebaikan apa yang akan didapat dari suami yang mengatakan “istri saya bilang boleh”, dan dia menafikkan seluruh bahasa nonverbal istrinya?
Poligami yang tak didasari oleh semangat menahan diri, saya menyebutnya : poligami abal-abal.
Suatu malam, saya pernah mengatakan semua yang saya tulis di atas pada mas. Diakhiri oleh kalimat -kalimat penutup:
Aku tidak menutup kemungkinan bahwa kita bisa jatuh cinta lagi pada orang lain. Mungkin dirimu, mungkin juga aku. Namanya juga syetan, dia sangat lihai. Itu gak penting. Yang jauh lebih penting dari itu adalah, bagaimana proses sehingga romantic love itu tumbuh dan berkembang. Cinta itu hanya akan berkembang kalau dipelihara. Maka, saat kita merasa “nyaman” dengan orang lain, kita harus aware, dan kita lakukan upaya untuk menghindar. Romantic love itu, engga ujug-ujug. Kenyamanan itu, bisa kita deteksi. Mungkin awalnya hanya diskusi-diskusi soal politik, soal pengalaman masa lalu, soal rencana kegiatan sosial, bahkan mungkin soal kegiatan keagamaan atau bisa jadi haha hihi soal remeh temeh. Tapi kalau kita merasa nyaman, maka kita harus sadari segera. Itu yang pertama.
Yang kedua, saat rasa itu sudah ada, yang menjadi masalah adalah bagaimana reaksi kita. Membiarkannya…tumbuh…berkembang….atau berupaya mengendalikannya? bagaimana sikap mental kita saat itu? merasa “tak berdaya”? atau merasa sebagai makhluk Allah yang paling mulia, yang dibekali akal dan rasa yang mengarah pada kebaikan? Lakukan upaya pengendalian diri sampai titik darah penghabisan.
Kalau tak bisa sendirian, mari kita bicarakan. Kita hadapi berdua. Mungkin kita bisa melihat foto-foto kebersamaan kita, dengan anak-anak….mulai anak pertama…kedua…dan selanjutnya. Mungkin kita bisa melihat bersama foto-foto kita saat tertawa, bahagia….penghayatan bahwa kita punya kenangan yang begitu berharga itu, semoga manjur membuat rasa yang terpedaya menjadi jernih kembali.
Bahwa keluarga kita ditakdirkan menjalani poligami, aku tak menutup kemungkinan. Tapi saat itu harus terjadi, mari pastikan bahwa prosesnya benar. Indikatornya adalah, membawa manfaat dan kebaikan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Mungkin rasa sedih akan ada, tapi tak boleh ada rasa tersakiti dan terdzalimi. Jalan ini, jangan hanya sebagai excuse dari kalimat: daripada selingkuh.
Kita bercerai? mungkin saja. Kalau takdir sudah menuliskan, dan kita sudah berupaya maksimal sehingga takdir itu yang kita temui, mengapa tidak? tapi saat itu harus terjadi, mari pastikan bahwa jalan itu kita lakukan dengan cara yang benar. Cara yang benar, akan membawa manfaat dan kebaikan.
Ternyata panjang juga ya…sebenarnya cucoknya ditulis pas wedding anniversary juni nanti haha….
Semoga bermangpaat
Recent Comments