Menghindari “that awkward moment” dengan si remaja awal

Dalam salah satu jurnal yang saya baca dikatakan bahwa dari sekian tahap perkembangan anak, waktu pengasuhan yang paling chalenging itu adalah mengasuh anak usia 2 tahunan dan mengasuh anak di tahap remaja awal (10-13). Mengapa? karena pada dua tahap usia tersebut, terjadi perubahan dahsyat pada diri si anak.

Bagi teman-teman yang tidak setuju terhadap penamaan istilah “remaja” karena di Islam hanya adalah istilah baligh dan aqil, bisa mengamati juga bahwa pada usia 10-13 tahun, ada karakteristik anak yang berubah dari karakteristik sebelumnya. Dalam Islam, pada umumnya anak di usia ini mencapai kondisi baligh. Kita harus persiapkan agar antara kondisi baligh dan aqil, itu sejalan. That’s right ! sehingga memahami karakteristik anak di usia ini, bisa kita posisikan sebagai ikhtiar untuk mematangkan kondisi aqil sesuai dengan kondisi balighnya.

Di usia 10-13 tahun, anak mulai memiliki “referensi lain” untuk perilakunya, bukan hanya orangtua tapi teman. Sebenarnya, kondisi ini adalah mekanisme dari Yang Maha Kuasa, yang menyiapkan anak untuk mulai otonom secara emosi dan sosial. Hal ini sebagai dasar untuk anak menjalin “intimate relationship” dengan orang lain, melalui persahabatan dan lalu nantinya hubungan saling percaya dengan pasangannya. Jadi, kalau di usia ini anak mulai menyembunyikan diarynya, mulai mempassword beberapa fitur handphonenya, mulai gak segala diceritain, jangan kaget. Jangan juga merasa “I’m not a good mother”. Si remaja  memang harus mulai belajar memilah. Mana yang pas untuk diobrolkan dengan orangtua, mana yang ia lebih nyaman diskusikan dengan teman.

Nah, beberapa teman yang udah duluan meneliti mengenai remaja awal, menemukan fakta bahwa pada usia ini, sesungguhnya si anak masih sangat merasa membutuhkan orangtuanya. Maka, sesungguhnya hubungan si remaja dengan orangtua, masih ingin ia jalin.

c2Nah, sekarang kita meluncur ke bumi. Ke realitas. Dengan pemahaman seperti yang saya tulis di atas, maka saya berusaha untuk terus “menjalin hubungan” dengan si sulung saya, remaja putri kelas 1 SMP itu. Nah, ternyata itu tak mudah. Secara fisik, sekolahnya fullday. Berangkat jam 6, pulang setengah 6. Lalu dia mandi. Makan. Belajar. Tidur. Pintu kamarnya, lebih banyak tertutup. Saya memang sengaja menempatkan si gadis kecil  Hana adiknya sekamar sama si sulung. Sengaja untuk tujuan agar kami bisa askses kamarnya, dan ia tidak keberatan. Kadang saya masuk ke kamarnya. Dia lagi belajar, atau baca novel, atau ketak-ketik tugas, atau lagi “ngehape”. Kadang saya suka ajak ngobrol, tanyi ini itu. Tapi  kalau ujug-ujug gitu, saya suka merasa awkward. Si sulung lempeeeng aja. Jawabannya pendek-pendek. Boro-boro mau membahas hal-hal sensitif atau mendalam….ahirnya saya jadi suka merasa garing sendiri.

Nah…beberapa bulan terakhir ini, saya punya tips gimana bisa ngobrol panjang lebar sama si remaja itu, tanpa merasa awkward. Tipsnya adalah, saya ajak ngobrol saat lagi berkegiatan bareng. Masak makan malam bareng, itu jadi momen harian. Trus waktu itu ke pasar bareng. Berdua. Atau kalau pas jalan-jalan wiken, sengaja saya deketin dia…jalan bareng…nah, disitulah obrolan lancar mengalir. Tentang kebingungannya nyari nama angkatan, tentang keinginannya untuk jadi “tim sembilan” (ialah 9 siswa terpilih untuk membantu guru saat penerimaan siswa baru anti), tentang kekesalannya pada guru x, perasaannya pada teman y, dsb dsb.

Hmmmmhhh….meskipun tips ini seperti sederhana, namun berdasarkan pengalaman saya, saat kita mengalami sesuatu pertama kalinya, hal-hal sederhana pun bisa menjadi sesuatu “big problem” buat kita. Demikian pula saat kiat pertama kali mengalami pengasuhan di fase tertentu. Seperti masalah awkward itu, sempat menjadi pikiran saya berbulan-bulan.

Saya jadi ingat, beberapa orang bertanya, “kapan bikin buku lagi?”. Jawaban saya: “6 tahun lagi”. Kalau saya panjang umur, insya allah buku itu akan bercerita bagaimana pengalaman saya menghadapi remaja perempuan dan remaja laki-laki. Ah, jadi excited nih. Penasaran gimana penampakan dan pengalaman-pengalaman saat si bujang kecil Mas Umar jadi remaja (si emak cengar-cengir cendili 😉

Mothers and Others : Super Mom vs Collaborative Mom

Bulan lalu, saya ber-wa ria dengan seorang kolega senior saya, seorang dosen di salah satu Universitas di Belanda. Meskipun pertemuan kami beberapa tahun lalu dalam setting akademik, dimana saya menjadi LO saat beliau tiga tahun berturut-turut menjadi dosen tamu di kampus, namun selanjutnya hubungan kami lebih bernuansa non-akademik. Mungkin karena dalam salah satu kegiatan mengajar, ia mengalami sakit dan saya yang mengantar beliau ke IGD, menemani beliau sampai pulih kembali. Beliau yang seusia ayah saya, memiliki anak seusia saya. Obrolan kami jadinya tentang cucunya, tentang anak-anak saya. Setiap kali beliau berkunjung ke Indonesia, beliau membelikan oleh-oleh entah itu buku untuk anak saya, atau apaaaa gitu. Demikian juga saya kalau ada teman yang berkunjung ke kota beliau, suka menitipkan oleh-oleh kecil buat beliau.

Bulan lalu, saat beliau bertanya : “kapan kamu mau lanjut sekolah di sini?” saya mengalihkan perhatian dengan menyampaikan bahwa hobi menulis saya sudah dibukukan. Lalu setelah bla..bla..bla ngobrol mengenai isi buku BEB, ia menulis :I am quite enthusiastic about the book by Sarah Hrdy, Mothers and Others. She gives an evolutionary-antropological explanation for the fact that “others” are involved, sisters, grandmothers, fathers. It takes a village to raise a child “is her message”.

Ah, saya jadi inget salah satu dari ratusan draft tulisan  di dashboard blog saya; tulisan-tulisan yang baru setengah, seperempat atau sepersepuluh jadi. Ada sepotong tulisan yang nyambung sama apa yang beliau sampaikan: “Mother and other”.

Temans, gagasan bahwa seorang ibu bisa memenuhi seluruh kebutuhan anaknya SENDIRIAN, memang terdengar romantis. Dan hebat. Memasak makanan dan cemilan sehat nan bergizi dengan tangannya sendiri, mengajak main anak-anaknya seharian, bahkan merencanakan, menyusun dan membuat beragam media pembelajaran di rumah, sendiri. Saya, menyebut mereka Super Mom.

Kata “Super Mom”, memang terdengar keren. Mungkin menjadi cita-cita kita; bahwa anak-anak kita suatu hari mengatakan: “Aku ingin menjadi seperti ibuku. Ia adalah ibu, sekaligus guru. Semua hal yang harus aku tahu, kudapat dari ibuku. Bukan dari orang lain”. So sweet bukan? So sweet kata saya mah.

Namun pada kenyataannya di lapangan, semangat untuk menjadi Super Mom itu, terkadang tak mudah dalam aplikasinya. Apakah ibu-ibu super mom itu ada? ada. Namun, secara statistik, super mom ini kalau digambarkan di kurva normal, ia tidak berada di tengah. Maka, jumlahnya pun tidak terlalu banyak dibandingkan populasi ibu yang ada. Kenyataannya, semangat menjadi “super mom” bisa jadi pisau bermata dua. Ia bisa jadi penyemangat di satu sisi, namun menjadi stressor di sisi lain. Stressor itu sumber stress. Beban.

Nah, bicara tentang stress yang dihayati seorang ibu, haduuuuh…..peran menjadi seorang ibu itu…beurat. Karena di saat yang bersamaan, ia juga menjalankan peran sebagai istri, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari keluarga besarnya. Dan kalau seorang ibu sudah merasa stress…..maka ia bisa jadi monster. Hiperbolis? ya. Tapi saya pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu yang stress. Dan saat itu, saya benar-benar merasa menjadi seorang monster. Serius. Nanti saya ceritakan kapan itu terjadi, mengapa dan bagaimana itu berakhir.

Oleh karena itu, saat kita membaca atau menyaksikan kehidupan para Super Mom yang menghayati bahwa seluruh pengasuhan anak harus ia yang pegang, kagum oke. Ingin mencontoh, gak salah. Langsung ingin mempraktekkannya? Bentar dulu. Ada baiknya kita menghayati dulu 2 hal.

(1) Kita memberikan sendiri seluruh kebutuhan anak, sebaiknya bukan karena didasari oleh rasa “tidak percaya” kita pada lingkungan. Rasa tak percaya pada institusi atau orang lain di luar diri kita. Mengapa kita tak boleh menumbuhkembangkan rasa “tidak percaya” pada lingkungan? karena itu namanya scarcity mentallity. Kita menganggap lingkungan sebagai ancaman. Jelek semua. Sekolah, gak ada yang bagus, bobrok semua. Pergaulan, bikin anak terjerumus. Nenek, bikin anak manja . Internet, menyebarkan pornografi dan online games. Kita tak percaya pada orang lain. Kita merasa bahwa hanya kita yang bisa memberikan kebaikan buat anak.

Saya, pribadi, tak setuju dengan pandangan ini. Bahwa ada potensi keburukan dari lingkungan, ya. Bahwa sulit bagi kita saat ini menemukan sekolah yang ideal sesuai keinginan kita, ya. Tapi suatu saat, di masa dewasanya nanti, anak-anak kita pada akhirnya akan terjun di masyarakat. Masyarakat yang tak semuanya baik. Untuk bisa menebarkan kebaikan, Ia harus mau membuka diri. Ia harus bisa bekerjasama dengan orang-orang yang berbeda dengannya. Ia harus bisa teguh, yakin akan nilai-nilai yang kita tanamkan, bahkan bisa berargumen dan mempersuasi orang lain, dalan lingkungan yang heterogen. Rasa “percaya” bahwa diantara keburukan-keburukan yang ada itu terdapat pula kebaikan sebagai wujud rahmat Allah, menurut saya adalah satu hal yang penting untuk kita tumbuhkembangkan pada diri kita dan anak kita.

(2) Mengukur kapasitas diri kita. Tak semua ibu punya kapasitas berpikir, emosi dan sosial yang keyyen. Menjadi madrasah yang utama dan pertama, mungkin bukan berarti bahwa kita yang harus memberikan seluruh pendidikan dan pengasuhan dengan tangan kita langsung, sendirian. Semangat tanpa akurasi pengukuran terhadap kapasitas diri, tidak baik untuk kesehatan mental ibu dan anak. Bahkan bisa jadi berujung kedzaliman pada anak.

Misalnya, ibu ingin anak makan masakan ibunya sendiri. Ibu habiiiiis waktu di dapur, cape, marah-marah ke anak. Yang intinya malah gak tercapai. Ingin anak mendapatkan pendidikan terbaik sehingga sekolah di rumah saja tapi gak dilandasi oleh pemahaman kebutuhan anak secara menyeluruh, mungkin membuat si anak terhambat sosialisasinya karena gak punya media untuk menyelesaikan konflik atau bekerjasama dengan teman sebaya. Atau anak menjadi kurang resiliens (lentur secara psikologis) karena selalu merasa menjadi paling pintar. Atau bahkan, karena kita tak punya ilmu yang memadai, anak jadi terbengkalai tak mendapat stimulasi apapun.

Oleh karena itu, saya pribadi, lebih suka dengan gagasan “collaborative mom” (kkk…ini teori baru sodara-sodara) .   Ibu yang kolaboratif. Formula ini, lebih pas untuk emak-emak dengan kapasitas biasa seperti saya. Menyimpan energi terbaik, untuk kualitas hubungan dengan anak.Percayalah….kita butuh energi besar untuk mencintai anak kita tanpa syarat. Mengatakan “it’s oke” dengan tulus saat ia tak memenuhi harapan kita, memeluknya dengan tulus saat ia mengalami kegagalan, meyakinkannya kalau kita tetap ada di sampingnya, menerimanya saat ia melakukan kesalahan. Itu butuh energi besar.

Pengajaran? bisa kita percayakan pada sekolah. Mau pesantren, mau sekolah islam terpadu, mau sekolah negeri, apapun pilihannya, bukan hal yang perlu dipersoalkan.  Kita coba tanamkan optimisme bahwa masih ada guru-guru yang baik, yang punya ilmu memadai untuk mendidik anak-anak kita. Ada hal yang buruk terjadi dalam proses pengajaran anak? ya kita perbaiki. Kita beri masukan gurunya. Kita ikhtiar cari sekolah yang mendekati harapan kita. Lumayan loh, buat kita yang gak punya ilmu menyusun kurikulum atau mencari media dan metoda pembelajaran yang beragam, stressor itu menjadi tidak ada. Tinggal kita temenin anak belajar, bikin PR, ngecek apa yang dipelajari di sekolah, menajamkan yang kurang dalam.

Memasak? mencuci? menyetrika? kalau ada bantuan, menurut saya sih tak ada salahnya dimanfaatkan. Gimana nanti pahalanya berkurang… Nah, pahala itu kan didapat dari keikhlasan bukan? masalah strategi terbaik untuk bisa ikhlas, setiap orang tampaknya berbeda-beda.

Yang terakhir nih, peran nenek. Jujur aja ya, waktu saya masih muda dulu (haha…sekarang ngaku sudah tak muda lagi) ….saya suka setuju dengan pandangan yang melihat nenek-kakek itu sebagai “ancaman”, dengan pola asuhnya yang biasanya lebih permisif. Tapi akhir-akhir ini, mungkin karena cukup banyak kolega saya yang sudah menjadi nenek dan saya mendapat perspektif yang berbeda, bisa memandang dari sudut pandang mereka sebagai si nenek, serta beberapa kali juga diajak diskusi di forum nenek, saya merasa…kayaknya kok kurang bijak ya kalau kita menganggap nenek sebagai “ancaman” bagi pola asuh anak kita …  Bahwa potensi “negatif” itu ada, ya. Itu perlu kita minimalisir dengan komunikasi dan strategi-strategi tertentu. Tapi janga lupa…si nenek/kakek juga punya sejumlah kebaikan yang bisa ia “tularkan” pada cucu-cucunya loh…. Yups, kita punya pengetahuan lebih mungkin, Tapi nenek punya wisdom. Saya ingin berpesan pada adik-adik saya para mahmud….cara menyampaikan perbedaan pengasuhan pada orangtua kita, harus kita perhatikan. Sebaiknya tidak menggurui. Nanti lah, kalau ada kesempatan saya pengen sharing apa yang saya dapat dari hasil diskusi dengan para nenek 😉

Jadi, memberikan kesempatan anak-anak kita mendapatkan pengalaman dan pengetahuan  dari orang lain, mempercayakan anak kita pada nenek/kakeknya dalam situasi tertentu selama mereka ridho, why not.

Gimana kalau saat nanti ditanya, anak kita idolanya bukan ibunya? ah, itu mah gak penting. Toh, tujuan kita mengasuh tak untuk menjadi idola bagi anak-anak bukan? Bahkan kalau kita berperan mengenalkan anak untuk percaya pada lingkungan yang baik, itu hal yang bagus….

You-can-Bb-a-Mother-and-be-YourselfMenjadi super mom atau collaborative mom, itu diferensiasi. Bukan stratifikasi. Itu strategi, sesuai dengan karakteristik kita masing-masing. Selama niat kita tulus dan kita bersungguh-sungguh sampai titik darah penghabisan menjalankan peran sebagai ibu; strategi apa yang akan kita pilih, semoga menjadi kebaikan buat kita dan keluarga kita.

Yang penting mah jangan stress ya…. Karena kalau stress, kita merasa tegang. Kalau merasa tegang, kita akan mudah marah. Padahal, menurut hasil penelitian yang saya lakukan mengenai persepsi kebahagiaan dari kacamata anak usia 6-12 tahun, seluruh responden anak mempersepsi orang yang suka marah-marah itu sebagai orang yang tidak bahagia.

Padahal kan kita ingin menanamkan bahwa sebagai muslim kita harus bahagia dunia akhirat bukan?

Wallahu alam