Saya : “Kaka, kalau lagi haid, harus sangat memperhatikan kebersihan. Jangan lupa ganti pembalut minimal sekali pas di sekolah. Tapi kalau lagi banyak, beberapa kali. Bawa pembalut dari rumah. Nih, sengaja ibu beliin tissue yang gambarnya kucu. Kaka bawa tiap hari ke sekolah. Kalau sudah pipis, harus pake tisu. Biar kering gak lembab. Karena kalau lembab nanti bisa banyak kuman”
Si sulung : “Ngapain Kaka harus bawa tissue sendiri….di kamar mandi sekolah Kaka kan selalu ada tissue bu”
Krik….krik….
Saya : “Teteh, kalau teteh mau pipis ke toilet, jangan lupa minta dianter ya…kalau bisa dianter bu Guru. Jangan sendirian …bla..bla..bla..”
Si pangais bungsu: “Ih, ibu…ngapain teteh minta dianter segala…orang kamar mandinya di dalam kelas juga….masa minta dianter …”
Krik…krik….
Dalam dua perbincangan dengan si kelas 1 SMP dan dengan si kelas 1 SD di atas, saya merasa “garing” banget. Nasehat “penting” yang saya sampaikan menjadi gatot, gagal total. Dan itu karena eh karena…..saya sok tahu. Saya “berbicara pada”, bukan “berbicara dengan” si sulung dan si pangais bungsu.
Kalau saya “berbicara dengan”, maka saya seharusnya memulai dengan bertanya gimana kondisi toilet di sekolah anak-anak. Jadi gak usah mubadzir keluar nasihat garing itu hehe….Keliatan banget bloonnya saya, lupa kalau sekolah anak saya, jauuuh berbeda jenis maupun waktunya dengan sekolah saya. Yang ada di kepala saya waktu memberi nasehat itu adalah, kondisi toilet di SD, SMP dan SMA saya yang horornya minta ampun kkkk
Mmmmhhh…syukurlah topik pembicaraan saya di atas ringan dan lucu, bukan yang berat-berat. Kalau yang berat-berat, bahayya. Saya pernah ya, ngobrol sama beberapa anak terutama remaja. Dan tau gak….mereka tuh paliiiiiiing sebel kalau ortunya, udah menasehati dengan kata pertama: “Dulu, mama ….. umi….bunda….”. “Masa kamu….bla..bla..bla…waktu papa…abi…..ayah…seumur kamu….”. Jawaban yang spontan jeluar dari hati atau mulut anak-anak adalah :”Aku kan bukan mama”. “Aku kan bukan abi”.
Poinnya adalah, seringkali kita lupa. Berbicara PADA anak, bukan berbicara DENGAN anak. Berbicara PADA anak, ciri-cirinya adalah :
- Startingnya tidak dari kondisi anak, tapi mulai dengan apa yang ada di kepala kita sebagai orang orangtua.
- Porsi bicara kita lebih banyak, atau jauh lebih banyak dibandingkan porsi bicara anak.
Masih banyak sih cirinya. Tapi udah dua dulu aja.
Setelah ngobrol ama para anak dan remaja itu, saya jadi ngeuh apa yang mereka maksud dan rasakan. Misalnya pernah saya ngobrol sama teman saya. Anaknya, menurut saya selalu menetapkan target yang terlalu tinggi, kurang realistis dengan kemampuannya. Ibunya, teman saya memang memberikan target yang tinggi. Waktu kami mengobrol, teman saya itu cerita ….“gue yakin dia bisa…lu tau kan, dulu gue juga bla..bla..bla…tapi dengan upaya yang gue lakukan, buktinya gue bisa…bahkan gue bisa mencapai ini….itu…bla..bla..bla…”. Setelah beres dia cerita…dengan iseng saya bilang:“bentar…kita teh sebenernya lagi bahas elu atau bahas anak lu sih?”… dan kami pun tertawa bersama.
Tapi serius…kita (saya kaleeee) sering lupa mungkin ya, suka semangat memberi nasihat tanpa menghayati bahwa kondisi anak kita, bisa jadi beda banget ama kita. Yang jelas mah secara genetik udah “terkontaminasi” ole gen pasangan kita. Jadi anak kita, pasti beda ama kita. Kalaupun kita dan anak kita mengalami situasi yang sama, penghayatan anak kita bisa beda banget. “ngapain gitu aja malu….dulu bunda bla..bla..bla…” .. “Itu kan bunda …bukan aku…. “kata si anak.
Hakikat peran orangtua-anak itu adalah sebuah “hubungan”. “Relationship”. Dan hal yang paling mendasar dari sebuah relationship adalah, adanya “komunikasi”. Dan komunikasi yang paling mendasar adalah “kontak mata”. Kalau kita niat berbicara DENGAN anak, maka lakukan kontak mata. Dengarkan intonasi suaranya. Ekspresi wajahnya. Gestur tubuhnya.
Boleh kita ceritakan masa lalu kita? boleh. Tapi dalam konteks apa? kalau dalam konteks berempati? oke. “Aku gak mau sekolah….aku diejek terus. aku malu”. “Iya …mama juga dulu suka diejek gitu. mama juga malu dan gak mau sekolah…tapi kan itu gak menyelesaikan masalah …”. Anak jadi merasa oke kalau saat ini, ia merasa malu.
Kita mau cerita gimana kita dulu bekerja keras biar jadi contoh, boleh banget. Tapi konteksnya gimana? Kalau lagi santai, lalu cerita…..oke. Tapi kalau dalam rangka menanggapi atau mengomeli anak? Coba hayati percakapan berikut ini:
“Masa baru dikasih PR segitu aja nyerah? abi dulu, ke sekolah harus jalan kaki, gak dianter kayak kamu. terus buku, gak punya sendiri. Tapi abi gak malu pinjem sama teman-teman abi. Meskipun abi harus buru-buru nyalin soalnya, orang lain pada main pas istirahat, abi gak pernah bisa karena harus menyalin. Sekarang, temen-teman yang abi pinjem bukunya, cuman lulus S1 aja, gak kayak abi sampai S2“.
Mungkin dalam hati anaknya bilang: “Hello….ini topiknya ngingetin untuk ngerjain PR atau membanggakan diri abi sih?” itu yang pertama.
Yang kedua…coba hayati perasaan si anak. “Iya yah, gue teh cemen banget…jauh lah dibandingkan abi mah….parah banget gue”. Kalimat lain yang sering terlontar secara spontan juga adalah: “Masa gitu aja engga bisa?” Perasaan anak: iya ya, gue bego banget berarti. masa sih gini aja gak bisa. Apakah perasaan ini kemudian bisa menumbuhkan motivasi? bisa ya bisa tidak.
Bandingkan dengan tanggapan seperti ini: “Oh, menurut kamu ini susah? Hmm…ayah bisa sih, tapi buat anak seumur kamu susah ya? . Coba kamu kerjain, ayah pengen liat susahnya pas bagian mana. Eh, bagus tuh…kamu merasa susah, tapi kamu mau tanya ke ayah”. Pembicaraan ini, pokus. Bicara tentang masalah yang dihadapi dan dirasakan anak. Ada solusi.
Tapi kalimat senada “masa gitu aja gak bisa” itu kan maksudnya memotivasi? itu niat kita. Kalau kita yakin “ya, ini cara ini bisa memotivasi anak”. Tolong di cek. Benarkah? Inga..inga..yang dimotivasi adalah anak kita, bukan kita. Maka, kita harus pastikan, bener gak cara ini pas. Dalam agama, niat baik itu nilainya satu. Amal baik itu nilainya 10. Ada selisih nilai 9 antara niat dan amal.Secara implisit, dari niat sampai amal yang baik itu, ada proses yang panjang. Proses berpikir dan merasa. Gimana agar niat baik ini, tersampaikan dengan cara yang pas sesuai dengan tujuannya.
Kita gak akan pernah bisa memotivasi orang lain, selama tujuan yang ingin dicapai itu adalah tujuan kita, bukan tujuan orang lain tersebut. Jadi, kalau kita bingung kenapa anak kita gak termotivasi untuk renking 1, maka mungkin kita harus ngobrol apa sih makna renking 1 buat dia. Dan….yang tak kalah pentingnya…menghayati apa makna ranking 1 buat kita ….
Kalau kita kesel anak kita warna bajunya “kurang meremaja”, mungkin kita harus ngobrol mulai dari apa yang membuat dia nyaman pake baju dengan warna itu. Kalau kita gak mulai dari dasarnya, gak akan ketemu. Apalagi sama remaja. “Kamu tuh keliatan tua kalau pake baju warna gelap”. “Biarin aja”. Stop. Saling kesal. Karena kita berbicara PADA anak. Bukan berbicara DENGAN anak.
Dan yang penting juga, berbicara dengan anak, dijamin akan membuat kita gak akan mati gaya bingung memulai pembicaraan dengan anak, terutama si remaja.
Ih, ribet amat. Kayaknya susah. Udah lah, “mengalir aja”. …Practice make perfect …saya percaya banget. Kalau kita sudah memasukkan satu ilmu ke kepala kita, minimal itu jadi alarm, yang akan mendorong kita berusaha lebih baik. Misalnya, kemarin saya ngobrol sama si bungsu 4 tahun yang baru selesai cukur rambut.
Ibu : “dede, nanti sampai rumah harus keramas ya…”// Azzam : “Gak mau …dede takut”// Ga apa-apa takut, ibu juga waktu kecil suka takut. Nanti ibu bantu ya…. (biasanya dia suka mau sendiri). //Azzam : “gak mau…takut”
Dalam hati, rasanya udah bener nih tanggapan kayak gini. Daripada tanggapan: “ah, masa gitu aja takut….” atau “jangan takut dong…kan jagoan”. Tapi lalu, saya inget tulisan ini. Ingat..ingat….bicara DENGAN anak. Bukan bicara PADA anak.
Kemudian saya tanya: “yang membuat dede takut itu, apa de?” . Si bungsu itu menjawab: “dede takut airnya masuk ke mata…jadi perih”. Mendengar itu, kakak-kakaknya langsung menanggapi. Kata teteh Hana: “merem aja de….” . Kata Kaka Azka ” Dedenya nunduk”… dan yang paling unik ide mas Umar : “pake kacamata renang aja de!”.
Akhirnya, mendapatkan masukan itu, si bungsu mau keramas.
Practice makes perfect. Kita “bukan emak biasa” kalau mau sabar menjalani proses. Tidak terlalu menuntut diri sempurna., tapi tak berhenti mencari dan mempraktekkan ilmu.
sumber gambar : http://whengodisfaithful.com/useful-resources/formoms/how-to-tell-the-kids/
Recent Comments