Nasehat yang Gatot

Saya : “Kaka, kalau lagi haid, harus sangat memperhatikan kebersihan. Jangan lupa ganti pembalut minimal sekali pas di sekolah. Tapi kalau lagi banyak, beberapa kali. Bawa pembalut dari rumah. Nih, sengaja ibu beliin tissue yang gambarnya kucu. Kaka bawa tiap hari ke sekolah. Kalau sudah pipis, harus pake tisu. Biar kering gak lembab. Karena kalau lembab nanti bisa banyak kuman”

Si sulung : “Ngapain Kaka harus bawa tissue sendiri….di kamar mandi sekolah Kaka kan selalu ada tissue bu”

Krik….krik….

Saya : “Teteh, kalau teteh mau pipis ke toilet, jangan lupa minta dianter ya…kalau bisa dianter bu Guru. Jangan sendirian …bla..bla..bla..”

Si pangais bungsu: “Ih, ibu…ngapain teteh minta dianter segala…orang kamar mandinya di dalam kelas juga….masa minta dianter …”

Krik…krik….

Dalam dua perbincangan dengan si kelas 1 SMP dan dengan si kelas 1 SD di atas, saya merasa “garing” banget. Nasehat “penting” yang saya sampaikan menjadi gatot, gagal total. Dan itu karena eh karena…..saya sok tahu. Saya “berbicara pada”, bukan “berbicara dengan” si sulung dan si pangais bungsu.

Kalau saya “berbicara dengan”, maka saya seharusnya memulai dengan bertanya gimana kondisi toilet di sekolah anak-anak. Jadi gak usah mubadzir keluar nasihat garing itu hehe….Keliatan banget bloonnya saya, lupa kalau sekolah anak saya, jauuuh berbeda jenis maupun waktunya dengan sekolah saya. Yang ada di kepala saya waktu memberi nasehat itu adalah, kondisi toilet di SD, SMP dan SMA saya yang horornya minta ampun kkkk

Mmmmhhh…syukurlah topik pembicaraan saya di atas ringan dan lucu, bukan yang berat-berat. Kalau yang berat-berat, bahayya. Saya pernah ya, ngobrol sama beberapa anak terutama remaja. Dan tau gak….mereka tuh paliiiiiiing sebel kalau ortunya, udah menasehati dengan kata pertama: “Dulu, mama ….. umi….bunda….”. “Masa kamu….bla..bla..bla…waktu papa…abi…..ayah…seumur kamu….”. Jawaban yang spontan jeluar dari hati atau mulut anak-anak adalah :”Aku kan bukan mama”. “Aku kan bukan abi”.

Poinnya adalah, seringkali kita lupa. Berbicara PADA anak, bukan berbicara DENGAN anak. Berbicara PADA anak, ciri-cirinya adalah :

  1. Startingnya tidak dari kondisi anak, tapi mulai dengan apa yang ada di kepala kita sebagai orang orangtua.
  2. Porsi bicara kita lebih banyak, atau jauh lebih banyak dibandingkan porsi bicara anak.

Masih banyak sih cirinya. Tapi udah dua dulu aja.

Setelah ngobrol ama para anak dan remaja itu, saya jadi ngeuh apa yang mereka maksud dan rasakan. Misalnya pernah saya ngobrol sama teman saya. Anaknya, menurut saya selalu menetapkan target yang terlalu tinggi, kurang realistis dengan kemampuannya. Ibunya, teman saya memang memberikan target yang tinggi. Waktu kami mengobrol, teman saya itu cerita ….“gue yakin dia bisa…lu tau kan, dulu gue juga bla..bla..bla…tapi dengan upaya yang gue lakukan, buktinya gue bisa…bahkan gue bisa mencapai ini….itu…bla..bla..bla…”. Setelah beres dia cerita…dengan iseng saya bilang:“bentar…kita teh sebenernya lagi bahas elu atau bahas anak lu sih?”… dan kami pun tertawa bersama.

Tapi serius…kita (saya kaleeee) sering lupa mungkin ya, suka semangat memberi nasihat  tanpa menghayati bahwa kondisi anak kita, bisa jadi beda banget ama kita. Yang jelas mah secara genetik udah “terkontaminasi” ole gen pasangan kita. Jadi anak kita, pasti beda ama kita. Kalaupun kita dan anak kita mengalami situasi yang sama, penghayatan anak kita bisa beda banget. “ngapain gitu aja malu….dulu bunda bla..bla..bla…” .. “Itu kan bunda …bukan aku…. “kata si anak.

Talking-with-kidsHakikat peran orangtua-anak itu adalah sebuah “hubungan”. “Relationship”. Dan hal yang paling mendasar dari sebuah relationship adalah, adanya “komunikasi”. Dan komunikasi yang paling mendasar adalah “kontak mata”. Kalau kita niat berbicara DENGAN anak, maka lakukan kontak mata. Dengarkan intonasi suaranya. Ekspresi wajahnya. Gestur tubuhnya.

Boleh kita ceritakan masa lalu kita? boleh. Tapi dalam konteks apa? kalau dalam konteks berempati? oke. “Aku gak mau sekolah….aku diejek terus. aku malu”. “Iya …mama juga dulu suka diejek gitu. mama juga malu dan gak mau sekolah…tapi kan itu gak menyelesaikan masalah …”. Anak jadi merasa oke kalau saat ini, ia merasa malu.

Kita mau cerita gimana kita dulu bekerja keras biar jadi contoh, boleh banget. Tapi konteksnya gimana? Kalau lagi santai, lalu cerita…..oke. Tapi kalau dalam rangka menanggapi atau mengomeli anak? Coba hayati percakapan berikut ini:

“Masa baru dikasih PR segitu aja nyerah? abi dulu, ke sekolah harus jalan kaki, gak dianter kayak kamu. terus buku, gak punya sendiri. Tapi abi gak malu pinjem sama teman-teman abi. Meskipun abi harus buru-buru nyalin soalnya, orang lain pada main pas istirahat, abi gak pernah bisa karena harus menyalin. Sekarang, temen-teman yang abi pinjem bukunya, cuman lulus S1 aja, gak kayak abi sampai S2“.

Mungkin dalam hati anaknya bilang: “Hello….ini topiknya ngingetin untuk ngerjain PR atau membanggakan diri abi sih?” itu yang pertama.

Yang kedua…coba hayati perasaan si anak. “Iya yah, gue teh cemen banget…jauh lah dibandingkan abi mah….parah banget gue”. Kalimat lain yang sering terlontar secara spontan juga adalah: “Masa gitu aja engga bisa?” Perasaan anak: iya ya, gue bego banget berarti. masa sih gini aja gak bisa. Apakah perasaan ini kemudian bisa menumbuhkan motivasi? bisa ya bisa tidak.

Bandingkan dengan tanggapan seperti ini: “Oh, menurut kamu ini susah? Hmm…ayah bisa sih, tapi buat anak seumur kamu susah ya? . Coba kamu kerjain, ayah pengen liat susahnya pas bagian mana. Eh,  bagus tuh…kamu merasa susah, tapi kamu mau tanya ke ayah”. Pembicaraan ini, pokus. Bicara tentang masalah yang dihadapi dan dirasakan anak. Ada solusi.

Tapi kalimat senada “masa gitu aja gak bisa” itu kan maksudnya memotivasi? itu niat kita. Kalau kita yakin “ya, ini cara ini bisa memotivasi anak”. Tolong di cek. Benarkah? Inga..inga..yang dimotivasi adalah anak kita, bukan kita. Maka, kita harus pastikan, bener gak cara ini pas. Dalam agama, niat baik itu nilainya satu. Amal baik itu nilainya 10. Ada selisih nilai 9 antara niat dan amal.Secara implisit, dari niat sampai amal yang baik itu, ada proses yang panjang. Proses berpikir dan merasa. Gimana agar niat baik ini, tersampaikan dengan cara yang pas sesuai dengan tujuannya.

Kita gak akan pernah bisa memotivasi orang lain, selama tujuan yang ingin dicapai itu adalah tujuan kita, bukan tujuan orang lain tersebut. Jadi, kalau kita bingung kenapa anak kita gak termotivasi untuk renking 1, maka mungkin kita harus ngobrol apa sih makna renking 1 buat dia. Dan….yang tak kalah pentingnya…menghayati apa makna ranking 1 buat kita ….

Kalau kita kesel anak kita warna bajunya  “kurang meremaja”,  mungkin kita harus ngobrol mulai dari apa yang membuat dia nyaman pake baju dengan warna itu. Kalau kita gak mulai dari dasarnya, gak akan ketemu. Apalagi sama remaja. “Kamu tuh keliatan tua kalau pake baju warna gelap”. “Biarin aja”. Stop. Saling kesal. Karena kita berbicara PADA anak. Bukan berbicara DENGAN anak.

Dan yang penting juga, berbicara dengan anak, dijamin akan membuat kita gak akan mati gaya bingung memulai pembicaraan dengan anak, terutama si remaja.

Ih, ribet amat. Kayaknya susah. Udah lah, “mengalir aja”. …Practice make perfect …saya percaya banget. Kalau kita sudah memasukkan satu ilmu ke kepala kita, minimal itu jadi alarm, yang akan mendorong kita berusaha lebih baik.  Misalnya, kemarin saya ngobrol sama si bungsu 4 tahun yang baru selesai cukur rambut.

Ibu : “dede, nanti sampai rumah harus keramas ya…”// Azzam : “Gak mau …dede takut”// Ga apa-apa takut, ibu juga waktu kecil suka takut. Nanti ibu bantu ya…. (biasanya dia suka mau sendiri). //Azzam : “gak mau…takut”

Dalam hati, rasanya udah bener nih tanggapan kayak gini. Daripada tanggapan: “ah, masa gitu aja takut….” atau “jangan takut dong…kan jagoan”. Tapi lalu, saya inget tulisan ini. Ingat..ingat….bicara DENGAN  anak. Bukan bicara PADA anak.

Kemudian saya tanya: “yang membuat dede takut itu, apa de?” . Si bungsu itu menjawab: “dede takut airnya masuk ke mata…jadi perih”. Mendengar itu, kakak-kakaknya langsung menanggapi. Kata teteh Hana: “merem aja de….” . Kata Kaka Azka ” Dedenya nunduk”… dan yang paling unik ide mas Umar : “pake kacamata renang aja de!”.

Akhirnya, mendapatkan masukan itu, si bungsu mau keramas.

Practice makes perfect. Kita “bukan emak biasa” kalau mau sabar menjalani proses. Tidak terlalu menuntut diri sempurna., tapi tak berhenti mencari dan mempraktekkan ilmu.

 

sumber gambar : http://whengodisfaithful.com/useful-resources/formoms/how-to-tell-the-kids/

 

 

 

 

Tentang Hadiah dan Sogokan pada Anak : part one

Semester ini, saya dan tim Psikologi Umum Psikopad mengajar mengenai topik “Learning” pada mahasiswa semester 2. Saya suka sekali dan sangat tersentuh dengan kata-kata David G. Myers, penulis buku Psychology in Moduls, 9th edition saat memberikan pengantar mengenai topik ini.

Learning breeds hope. What is learnable we can potentially teach—a fact that encourages
parents, educators, coaches, and animal trainers. What has been learned we
can potentially change by new learning—an assumption that underlies counseling,
psychotherapy, and rehabilitation programs. No matter how unhappy, unsuccessful,
or unloving we are, that need not be the end of our story. No topic is closer to the heart of psychology than learning, a relatively permanent behavior change due to experience.

Secara spiritual, saya menghayati bahwa kemampuan “belajar” adalah salah satu Rahmat Allah yang ia turunkan di muka bumi ini. Kita dikarunia kemampuan untuk mengubah pengetahuan, keterampilan, pikiran dan perasaan melalui proses belajar ini. Learning breeds hope. No matter how unhappy, unsuccessful,or unloving we are, that need not be the end of our story Ih, rangkaian kata itu powerfull banget. Keren. Dalam. Menyentuh. Pengetahuan akan kemampuan belajar ini, membuat kita yakin kita bisa mengubah perilaku buruk menjadi perilaku baik. Baik perilaku kita, maupun perilaku orang lain.

Ada tiga proses belajar dasar yang kami pelajari. Classical Conditioning, Operant Conditioning dan Observational Learning. Dulu ya, waktu saya masih jadi mahasiswa dan waktu jadi dosen culun, saya berpikir….ini tuh teori banget….US, CS, UR, CR, Schedule of Reinforcement, positif reinforcement, negative reinforcement,  mirror neuron….oke, akan saya hafalkan, ujian, setelah itu …daaaah….Tapi semua itu berubah ketika saya menjadi tim pengajar bersama seorang kolega senior. Dalam diskusi-diskusi kami menyiapkan perkuliahan, beliau selalu bisa menjelaskan teori-teori itu melalui beragam perilaku sehari-hari. Yang lebih “ajaib” lagi, saat saya menghadapi kasus klien yang rumit dan berdiskusi dengan beliau, ya ampuuuun….beliau bisa mengurai persoalan klien, merencanakan bentuk terapinya pake teori lerning dasar ituuuh….Gak akan pernah lupa saya waktu beliau mengurai kasus trauma karena perkosaan, kasus kecanduan narkoba menggunakan teori classical conditioning yang “amat sederhana” itu !

Hehe…kepanjangan ya curhat pembuka-nya ….;)

Karena 3 proses belajar itu adalah proses belajar yang “dasar”, maka memang aplikasinya erat sekali dengan pengasuhan pada anak. Mengapa? karena tiga proses belajar itu tidak terlalu banyak melibatkan faktor kognitif, masih bertumpu pada pengarahan dari lingkungan. Nah, masalahnya adalah, sebagai orangtua, kita bisa secara SENGAJA membuat anak belajar sesuatu (dan kalau sengaja, pasti tujuannya adalah membentuk perilaku yang baik), atau tanpa sadar, kita TIDAK SENGAJA melakukan sesuatu yang membuat anak belajar sesuatu (dan kalau tidak sengaja, bisa baik…bisa juga buruk ya…). Makanya, akan lebih baik jika kita mengetahui proses-proses belajar mendasar pada anak, biar kita bisa SENGAJA mengkondisikan pembelajaran pada anak untuk membentuk perilaku yang positif. Dijamin gak rumit kok….tapi ada aturannya.

Dalam tulisan ini, saya akan mengulas mengenai salah satu teori belajar “operant conditioning”. Cita-citanya sih pengen nyontek senior saya itu, mencoba menguraikan dengan ringan. Kalau teman-teman akrab dengan istilah “reward” dan “punishment”, maka istilah itu adalah milik proses belajar operant conditioning ini. Kalau teman-teman suka liat acara-acara seperti Nanny 911, maka teman-teman akan melihat bagaimana upaya merubah perilaku buruk anak, menggunakan prinsip-prinsip reward dan punishment.

2260Tulisan ini didasari oleh pertanyaan beberapa teman; “bolehkah memotivasi anak untuk mau puasa nanti dengan hadiah? apa bedanya memberi hadiah dengan menyogok? apakah memberi hadiah akan berdampak negatif buat anak?”

 

Dalam tulisan ini, saya secara heuseus akan menguraikan: (1) “hakikat” (kkk….gara-gara terpaksa baca buku-buku pilsapat, jadi kesengsem sama kata “hakikat” ;), (2) aturan dan (3)”jebakan” dalam proses pemberian hadiah sebagai salah satu cara yang kita lakukan untuk mengarahkan perilaku anak. Plus nanti tips and tricknya kalau mau mempraktekkan teori belajar ini ….

Tapi nanti ya, sekarang mau masak dan beres-beres rumah dulu. Maklum emak-emak kkk

To be continued…

sumber gambar : http://www.kiplinger.com/article/saving/T065-C000-S001-using-money-to-reward-or-punish.html

 

 

 

Dear Mom, what is your hobby?

Beberapa bulan lalu,dalam perjalanan ke luar pulau, di pesawat saya melihat seorang kolega seusia ibu saya, asyik dan khusyuk merajut. Selama beberapa menit saya mengamati beliau, saya senyum-senyum sendiri. Beliau terlihat sangat khusyuk, serius, dan sangaaaaaat menikmati. Saya jadi ingat tentang mirror neuron. Mirror neuron adalah neuron dalam otak kita, yang akan aktif saat kita melihat seseorang melakukan sesuatu, seolah-olah kita mengerjakan hal yang sama. Dengan mekanisme itu, saya jadi merasa ikut menikmati dan ikut rileks.

Setelah turun dari pesawat dan kebetulan kami bertemu, saya menyinggung apa yang saya perhayikan di pesawat tadi. “Kayaknya yadi menikmati banget mbak, merajutnya….aku sampai kabita” kata saya. Dan mengalirlah jawaban beliau. Seperti saya duga, beiau menjelaskan betapa tak terlukiskan “kenikmatan” yang beliau rasakan saat punya kesempatan merajut. Memegang bahan rajutan, adalah hal yang ia tunggu-tunggu di tengah super padatnya aktifitas beliau.

Rangkaian kalimat dan ekspresi beliau mengenai “rasa”nya melakukan kegiatan yang menjadi hobinya itu, senada dengan kalimat seorang kolega lain saat menjelaskan “kenikmatan” yang ia rasakan saat ia “ke kebun”. Saya masih ingat ekspresi wajahnya waktu beliau bilang: “Fit, aku tuh ya, kalau udah nyabutin rumput, ngebersihin daun kuping gajah, ngebersihin tangkai-tangkai yang layu, aduuuuh….itu tuh rasanya ….gimanaaaa gitu…meskipun kadang aku cuman bisa sebulan sekali…”

Dua cerita yang saya tuliskan di atas adalah dua dari sekian cerita orang-orang yang menggambarkan hal yang sama: rasa saat mereka melakukan hobi mereka.

Kata Om Wiki, A hobby is a regular activity that is done for enjoyment, typically during one’s leisure time. Hobbies can include collecting themed items and objects, engaging in creative and artistic pursuits, playing sports, or pursuing other amusements.

hobbieSaya, selalu senang melihat kegiatan dan mendengar rangkaian kalimat dan ekspresi seseorang yang bernada “cinta”. Karena saya tau betul rasanya. Seringkali, di saat saya berada di puncak kepenatan saya, saya buka laptop, lalu buka dashboard blog saya, klik “add post”, dan terpampamnglah layar untuk menulis. Melihat layar itu, rasanya….nyesssss. Belum mulai nulis. Tapi segala kepenatan hilang sudah. Mendengra keretek2 keyboar laptop, lalu melihat kursor bergerak huruf demi huruf, itu rasanya…..sama seperti kenikmatan yang kolega saya rasakan ketika tangannya menari membentuk pola rajutan, perasaan yang sama dirasakan oleh kolega saya yang lain mencabuti rumput, menyiram tanamannya, sama nikmatnya dengan rasa yang dialami teman saya saat menggerakkan cat airnya, sama nikmatnya seperti teman saya yang lain memetik gitarnya, sama rasanya seperti teman saya ketika ia memotong-motong bahan makan, mencium bau uap masakannya, sama rasanya seperti teman saya yang hobi menjahit, sama nikmatnya dengan lelarian buat eman saya yag hobi lari.

Yups, itulah yang namanya. hobi. Ia mengisi jiwa. Membuat rileks, pasti. Menurunkan stress, tentunya. Menumbuhkan cinta dan semangat, ya.

Menurut pengamatan saya, sekeren appaun konsep pengasuhan yang dihayati seorang ibu, pada pelaksanaannya, ada satu faktor situasional yang berperan. Kondisi psikologis ibu. Kalau ia sedang stress (dengan beragam kadarnya), maka semakin stress, “sumbu marah”nya semakin pendek. Karena secara fisiologis, tubuh kita saat stress itu tegang. Anak menumpahkan susu di sofa, tauuuuu banget di kepala kalau sofa mah gampang bisa di lap. Tapi kalau lagi stress, “pengetahuan” itu menguap, tergantikan oleh kebutuhan untuk mengeluarkan perasaan negatif dalam bentuk marah.

Dan tahukah teman, saya pernah bertanya pada 100an anak prasekolah dan usia SD, mereka kompak bahwa “ibu yang marah” adalah situasi yang sangat mereka tak inginkan.

Maka, memiliki hobi bagi seorang ibu, menurut saya sangat penting. Tapi mana waktunya? Nah, itu dia justru seninya. Hobi itu, adalah sesuatu yang kita “rindukan”. Maka, kalau kita punya sedikit waktu, No problemo at all. Satu lagi, hobi biasanya tak berorientasi hasil. Kolega saya yang hobi merajut, alah….kalau dia beli, dia bisa beli barang hasil rajutan dengan harga berapapun. Tulisan saya, seringkali ngaco dan gak jelas ujung pangkalnya. Tapi bukan di situ kepuasannya. Memberikan hasil karyanya untuk cucunya, itu kepuasannya. Membagi-bagikan hasil kebun pada teman-temannya, membuatkan lagu untuk pasangannya….itu yang penting. Karena ini tentang cinta. Tak ternilai harganya.

Hobi  baca Qur’an? Wah, sholehah banggets. Hobi  nyetrika dan beres-beres?  Aduuuh, istri idaman pisan ;).  It’s all okay !! Hobi itu personal. Yang penting adalah, “Mengisi jiwa” atau tidak. Namun agar dampaknya baik bagi kita, sebaiknya yang “produktif”.

Jangan lupa juga untuk mengamati hobi anak-anak kita. Jangan sampe lah, anaknya mengatakan hobinya “main game” atau “nonton TV” (sayangnya cukup anyak anak yang mengatakan demikian). Kalau bisa yang bikin raga, rasa dan pikir aktif, yang membuat kita bisa menebar cinta dan merasa bahagia.

So, moms, what is your hobby?

Menjadi Keluarga yang Percaya Diri

Long wiken lalu, saya sekeluarga mengikuti kegiatan berkemah yang diselenggarakan oleh K3I (Komunitas Kemah Keluarga Indonesia). Tempatnya di Cibodas, di kaki gunung Gede Pangrango. Tak kurang dari 250 keluarga mengikuti kegiatan ini. Ini kali kedua kami  mengikutinya. Februari lalu, untuk pertama kali kami mengikuti kegiatan K3I di Rancaupas. Untuk K3I sendiri, ini adalah big event ke-5. Selain big event, ada istilahnya “kopdar”. Kopdar atau kopi darat ini dilakukan oleh keluarga-keluarga di cluster tertentu. Misalnya cluster Bandung, cluster Serang, cluster Bekasi, cluster Jakarta, dll. Biasanya big event dilakukan di long wekend, sedangkan kopdar bisa di wiken biasa.  Kopdar diikuti oleh lebih sedikit anggota, sekitar 20-30an keluarga.

Sebenernya, awalnya saya agak males-malesan ikut acara ini. Awal Juni, saya harus mengikuti sebuah ujian. Sebagai pencemas sejati, saya ingin memanfaatkan long wiken ini untuk belajar. Apalagi beberapa waktu belakangan ini, setiap kali buka buku untuk dibaca atau buka laptop, si bungsu akan dengan semangat mengajak saya bermain dan kalau saya tidak menanggapi, dia akan secara paksa menutup buku atau laptop yang sedang saya baca dan bilang; “ibu gak boleh belajar ! ayo main sama de Azzam” 😉

Tapi di satu sisi, saya lihat si abah semangaaaat banget ikut acara ini. Dari sebulan lalu udah nyiapin perlengkapan, cek ini itu, topik pembicaraannya kemaaah terus. Lalu di minggu-minggu terakhir, dalam satu minggu lebih dari sekali si abah berkunjung dan belanja-belanji ke tempat perlengkapan kemping. Beberapa hari sebelum hari H, peralatan untuk dibawah berkemah udah ditata di ruang tengah. Saya jadi pengen ketawa…berseloroh, saya bilang “abah kayak orang jatuh cinta aja. Kayaknya lagi puber kedua ya“. Si abah menjawab dengan cengiran. Tapi saya bersyukur sih kalau bentuk puber kedua si abah  kayak gini. Satu, bukan sama perempuan haha…..Dua, melibatkan keluarga. Kalau si abah heboh semangat untuk kegiatan yang hanya dia ikuti sendiri, saya juga akan ngomel kayaknya.

Jadi, di satu sisi saya pengen belajar tapi di sisi lain saya pengen nemenin si abah dan anak-anak yang sudah semangat 45 pergi kemah, sempat membuat saya konflik.  Kalau di psikologi, itu namanya approach-approach conflict. Pengen dua-duanya haha….. Si abah juga tak kalah cemas, khawatir gak jadi pergi karena saya hehe….. Apalagi secara fisik saya sempet ngedrop.Tapi akhirnya, yang menang adalah kesadaran peran saya sebagai istri dan ibu. Dengan penuh keikhlasan saya ikut, tapi tak lupa menyelipkan dua buku untuk saya baca disana haha…..

Tapi sungguh, saya tak menyesal membuat keputusan tersebut. Riang dan gelak tawa anak-anak sepanjang perjalanan, bahkan si sulung kelas 1 SMP yang baru pulang jam setengah 9 malem dari acara 3 hari bivak untuk pengukuhan angkatannya, jam 4 subuh udah siap pergi lagi ikut acara ini. Apalagi pas sampai di TKP…. saya langsung seneeeeng banget. Gimana engga…..lapangan yang luaaaas….. udasa yang segaaaaar….. suara air sungai yang gemericik dan sejuuuuuuk…… pemandangan gunung, awan dan hijaunya pepohonaaaaan…… ssssttt…..dan satu hal yang sangat saya nikmati adalah, saya bisa ber- “barefoot” ria. Gak tau kenapa ya, buat saya kenikmataaaan banget kalau telapak kaki saya bisa langsung menyentuh sesuatu. Maka, saya menikmati sekali tekstur rumput, dinginnya air sungai, licinya bebatuan, beceknya jalan…jangankan di alam gini…lha wong di kantor saya juga, saya sering “nyeker” ….nikmaaat banget haha….

Siapa yang tak terpesona melihat dan mendengar alam yang begitu indah? Tapi, ada satu keindahan lagi yang saya nikmati sedalam-dalamnya sejak pertama kali ikut berkemah di Rancaupas. Apakah itu? Saya pernah bilang bahwa buat saya, the most romantic word in the world adalah…FAMILY. Dan di sini, sejauh mata memandang, saya bisa menyaksikan kemesraan antar anggota keluarga, di beranda tenda masing-masing, di lapangan, di sungai, di jalan setapak. Saya menghabiskan waktu dengan menikmati kebersamaan dengan keluarga saya, dan mengamati kemesraan keluarga lain. Menyerap energinya. Ini bukan sekedar berkemah ke alam, ini hanya media saja.

Dada saya, membuncah melihat para ayah-ibu anak yang bekerjasama mendirikan tenda, pasangan suami istri berbagai usia yang ngobrol santai,  Ayah dan anak perempuannya yang bergandengan tangan, sambil si ayah menjelaskan ini itu, saling tertawa…… ayah yang mengajari anak-anaknya main layangan, adik kakak yang berlarian mengejar bola, berkejaran riang meniup gelembung, para ibu yang tertawa bahagia sambil memasak bersama si remajanya….

Dada saya membuncah….saya tak tahu apa namanya emosi ini. Yang jelas ini perasaan positif. Yang jelas satu sisi hati saya ingin berteriak….” hei!!! lihat kemesraan ratusan keluarga ini ! jangan khawatir…tak semua ayah memperkosa anak perempuannya kok…tak semua ibu “musuhan” sama anak gadisnya kok…. tak semua kakak mensodomi adiknya kok…” Rahmat Allah itu masih ada ! Sebutlah zaman ini zaman apa….tapi satu hal yang perlu kita yakini seyakin-yakinnya…di zaman apapun kita berada, tak mungkin di zaman itu tak ada Rahmat Allah. Optimis ! Tak mungkin Allah memberikan situasi dan tantangan yang tak disertai kemampuan buat kita untuk mengatasinya. Setiap zaman ada buruknya, namun gak mungkin gak ada baiknya. 

Maka, buat saya… ini bukan kemah biasa. Kegiatan ini menunjukkan suatu sikap mental TEGAR BERDIRI menghadapi tantangan zaman. Daripada mencaci zaman, daripada memaki pemerintah karena tak menyediakan cukup lahan untuk anak-anak bermain, daripada merasa tak berdaya terhadap teknologi, daripada merutuki tayangan TV yang tak mendidik, daripada merasa tak ada yang bisa dipercaya-sekolah bikin siswa bobrok, pergaulan bikin anak kacau, internet bikin anak kecanduan- maka mari, kita cari celah kebaikan.

Daripada meributkan “kurangnya waktu orangtua dengan anak”, daripada menyalahkan ibu yang menjalani profesi di luar rumah, daripada mengajak semua ayah untuk meninggalkan pekerjaan formalnya dan bekerja di rumah agar dekat dengan anak, biar bisa mendidik anak 100% tanpa campur tangan orang lain, tak semua cocok dengan format itu.  Maka, memang caranya tak harus begitu. Saya selalu yakin kebaikan itu bisa diraih dengan beragam cara yang berbeda. Termasuk kebaikan dalam keluarga. Dalam Al Qur’an, jalan lurus itu istilahnya adalah “siroth”. Sirothol mustaqiim. Jalan yang lebar. Bukan sabil, jalan yang sempit. Demikian tafsir dari seorang mufassir yang saya percaya.

Ratusan keluarga ini, sebagiannya adalah ayah-ayah yang “weekend father”. Bahkan beberapa saya dengar bekerja bulanan tak bertemu keluarga. Keluarga-keluarga yang saya lihat disana, ibunya beragam macam. Ada yang full di rumah, ada yang pergi pagi pulang petang. Namun Itu tak membuat mereka menjadi “merasa tak berdaya”. Lihatlah di 2 hari ini. Saya melihat seratus persen hati, ada di sini. Untuk keluarga. Cinta, terasa sekali memenuhi udara di pengunungan ini. Indikatornya, gelak tawa itu. Gelak tawa yang tuluuuus, yang tak mungkin terjadi saat ada ketegangan relasi antara mereka.

Demikian pula dengan semangat peduli dan berbagi. Ada keluarga yang mendonasikan ratusan plastik besar untuk sampah, agar tak meninggalkan gunung ini dalam keadaan kotor. Ada anak-anak yang setiap sore keliling membawa kresek mengumpulkan sampah yang tercecer, bahkan kemarin terkumpul donasi sejumlah 10 juta lebih untuk warga sekitar. Para panitia yang tanpa pamrih mengadakan acara fun games untuk anak, kambing guling, memberikan kesempatan anak-anak bercerita pengalamannya….

Salah satu keMaha-anNya yang saya hayati, adalah Dia menciptakan manusia sebanyak di dunia ini, dengan keunikannya masing-masing. Keunikan yang kita bawa dalam relasi suami istri. Maka, relasi suami istri pun menjadi unik. Keunikan relasi suami istri yang kita bawa dalam bentuk operasionalisasi pengasuhan. Apapun bentuknya, yang harus kita yakini adalah, kita punya potensi dan kekuatan yang berbeda dari keluarga lain. Jangan sekedar meniru bentuk. Kagum boleh, tapi kita bukan mereka.

FB_IMG_1462928467593Energi kita, dibandingkan dengan digunakan untuk mengagumi orang lain, mendingan dipakai untuk fokus mengidentifikasi apa kelebihan dan apa yang harus dikembangkan, lalu kita besarkan anak-anak kita dengan koridor kebaikan agama, budaya dan norma lingkungan yang baik. Bentuknya….mau homeschooling, mau pesantren, mau sekolah negeri, mau sekolah swasta, mau SDIT, mau ibu di rumah, mau ibu bekerja, mau ayah bekerja di rumah, mau di kantor, itu tak penting.Mengagumi dan meniru tanpa mengenali diri, akan membawa lebih banyak keburukan dibandingkan kebaikan.

Yang penting, mari kita menjadi orangtua yang percaya diri, menjadi keluarga yang percaya diri. Jangan merasa menjadi korban zaman. Jangan merasa tak berdaya. Cari selalu celah kebaikan. Di sela-sela sekian banyak peran yang kita jalani, celah kebaikan untuk keluarga itu, kalau kita dengan sadar mencarinya, pasti ada.  Jadilah diri kita sendiri, dengan identitas keluarga kita yang unik.Dengan pilihan-pilihan yang tak harus sama dengan orang lain.

Semoga anak-anak kita juga tumbuh menjadi individu yang percaya diri. TEGAK, TEGAR menjalani zaman. Tak khawatir kebaikan yang mereka yakini tergerus oleh keburukan di sekelilingnya. Menyebarkan kebaikan dengan percaya diri, bukan dengan dengan didasari inferiority. Tegak berdiri, dengan kesungguhan dan kerendahan hati. 

 

 

 

 

Suami irit komen… tenggelamkan (?)

Cengar-cengir sendiri kalau liat meme-meme kreatif rekan-rekan sebangsa dan se-tanah air. Gak apdet sedikit, pasti gak ngerti memahami meme-meme yang cepet bener beredar dan masa tayangnya. Salah satu yang kemarin ngehits di time line pesbuk adalah gambar bu Susi dengan kata-kata “bla…bla…bla…, tenggelamkan”. Bla..bla..bla… nya perilaku suami/istri.

Saya mau ceritain sesuatu terkait itu… Beberapa minggu lalu, saya mengirim whats app panjang kali lebar ke si abah yang sudah 3 hari bertugas di luar kota. Panjang, karena yang mau saya sampaikan tergolong isu yang sensitif buat saya dan akan berdampak pada keputusan besar yang akan saya ambil. Kalau diitung …mungkin 400an kata lah wa yang saya kirim pada si abah…..dan jawabannya: 4 kata sajah. “aku akan selalu mendukungmu”.

Haha….saya langsung ngakak baca jawaban si abah. Ngakak dengan tulus. Ciyus… teringat bahwa 1,5 bulan lagi, kami akan berulangtahun pernikahan yang ke-14. Teringat pula bahwa kalau pesan itu saya terima 10 tahun lalu, pasti saya langsung berurai air mata. Pasti saya akan merasa dan lalu menuduh mas tidak perhatian, tidak menghargai perasaan saya….bla…bla..bla..bli..bli…bli…. saya nyengir karena kalau jawaban itu saya terima 10 tahun yang lalu, pasti saya ngajak berantem bukan mengenai konten nya, namun mengenai “cara” mas memberikan tanggapan, yang lalu saya simpulkan bahwa “cara” tersebut bermakna sesuatu terhadap “konten”.

Ya, beberapa menit setelah membaca jawaban wa itu, saya masih tetap tersenyum. Membayangkan bagaimana reaksi saya dulu dan sekarang, pada satu peristiwa yang sama. Yang jelas, berubah. Apa yang mengubahnya? waktu-kah? Bukan. Waktu tak akan mengubah apapun selama kita tak belajar.

Sikap dan perasaan saya berubah, karena saya belajar mengenal mas. Dan karena mengenalnya, maka 4 kata yang ia tuliskan sebagai respons dari 400 kata yang saya tuliskan, saya percayai sepenuhnya. 100 persen.

Si abah lupa hari ulang tahun saya, lupa ulang tahun pernikahan, lupa bawain pesanan yang saya wanti-wanti, tak lagi membuat saya marah. Saya tahu, itu bukan karena mas tak cinta pada saya. Saya tahu itu setelah mengenalnya selama 14 tahun. Lupa bawa ini itu, lupa ngembaliin kartu antrian, kartu parkir, bahkan kartu hotel. Sampai pernah juga lupa bawa tas waktu mau ngajar. Nah, kalau orang yang gak pernah inget hari ulang tahunnya sendiri lupa hari ulang tahun istrinya, apakah artinya ia tak cinta pada istrinya?

Tulisan ini saya persembahkan untuk adik-adik saya, heuseusnya yang usia pernikahannya masih di bawah 5 tahun. Konon, sedang terombang-ambing beragam masalah adaptasi, yang kalau tak lulus, bisa mudah sekali berpisah. Apalagi katanya kalau si perempuan adalah jenis yang “mandiri” baik secara finansial maupun psikologis, konon katanya mempermudah lepasnya ikatan pernikahan.

Ada seribu satu masalah yang akan muncul dalam pernikahan. Sejumlah tertentu dari masalah itu, muncul dari perbedaan antara kita dan pasangan. Dan secara instinktif, kita akan cenderung menilai pasangan kita,menggunakan kacamata kita. Kalau saya mencintainya, saya akan memberikan kado ulang tahun istimewa. Saat pasangan saya tidak memberikan kado ulang tahun istimewa, maka dia tidak mencintai saya. Itu adalah silogisme yang biasanya terjadi. Dan itu wajar. Bagian dari proses mengenal dan mencintai.

Kalau pada saat-saat itu kita merasa sedih, menangis, bahkan terlintas untuk berpisah, wajar. Nikmati saja, namun jangan ikuti perasaan. Jenis permasalahan yang muncul dari perbedaan “cara” dengan pasangan, tergolong permasalahan yang harus kita anggap kecil. Selama pasangan kita masih berada dalam koridor agama yang baik, tidak pernah memukul, tidak menghinakan kita di depan orang lain, kalau ada hal-hal yang disebabkan oleh “karakteristik pribadinya yang khas”, bertahan saja. Tidak semua laki-laki bisa menulis puisi seromantis Rangga. Bahkan kalau mau jujur, suami tipe pujangga itu kayaknya minoritas deh. Coba aja survey…berapa persen suami yang suka bawain bunga, coklat, kirimin puisi…..

Energi kita, daripada diarahkan untuk memaksa pasangan kita menunjukkan cintanya dengan bahasa kita, lebih baik diarahkan untuk mengenali bahasa cinta-nya yang khas. Sesuatu yang bisa meneguhkan keyakinan kita bahwa kita berarti bagi dia. Kalau sudah ketemu, simpan saja dalam hati, gak usah dilaporkan di status hehe….

Kalau kita sudah dipertemukan dengan seseorang dalam ikatan pernikahan olehNya, salah satu cara kita bersyukur adalah mempertahankan ikatan ini. Dengan memilah mana masalah prinsip dan mana masalah tidak prinsip. Kalau masih banyak kebaikan yang kita dapat dari pasangan kita, maka bertahan dalam tahun-tahun pertama yang penuh gelombang, akan membawa kita pada perjalanan indah yang menenangkan di tahun-tahun selanjutnya. Saat itu, saat kita bisa mentertawakan kekurangan pasangan, dan mentertawakan reaksi kita terhadap kekurangan pasangan.

Jangan mudah terpikir untuk mengurai ikatan pernikahan. Saya sering menangkap, kerinduan terhadap pasangan yang berada di samping kita, adalah salah satu kerinduan yang seringkali terasa begitu menusuk. Mungkin itu yang dinamakan fitrah.

Aaiah  S[α̲̅]y[α̅Jadi, kalau suami  kita irit komen, seperti kata seorang teman…..tenggelamkan dalam lautan cinta haha…