Long wiken lalu, saya sekeluarga mengikuti kegiatan berkemah yang diselenggarakan oleh K3I (Komunitas Kemah Keluarga Indonesia). Tempatnya di Cibodas, di kaki gunung Gede Pangrango. Tak kurang dari 250 keluarga mengikuti kegiatan ini. Ini kali kedua kami mengikutinya. Februari lalu, untuk pertama kali kami mengikuti kegiatan K3I di Rancaupas. Untuk K3I sendiri, ini adalah big event ke-5. Selain big event, ada istilahnya “kopdar”. Kopdar atau kopi darat ini dilakukan oleh keluarga-keluarga di cluster tertentu. Misalnya cluster Bandung, cluster Serang, cluster Bekasi, cluster Jakarta, dll. Biasanya big event dilakukan di long wekend, sedangkan kopdar bisa di wiken biasa. Kopdar diikuti oleh lebih sedikit anggota, sekitar 20-30an keluarga.
Sebenernya, awalnya saya agak males-malesan ikut acara ini. Awal Juni, saya harus mengikuti sebuah ujian. Sebagai pencemas sejati, saya ingin memanfaatkan long wiken ini untuk belajar. Apalagi beberapa waktu belakangan ini, setiap kali buka buku untuk dibaca atau buka laptop, si bungsu akan dengan semangat mengajak saya bermain dan kalau saya tidak menanggapi, dia akan secara paksa menutup buku atau laptop yang sedang saya baca dan bilang; “ibu gak boleh belajar ! ayo main sama de Azzam” 😉
Tapi di satu sisi, saya lihat si abah semangaaaat banget ikut acara ini. Dari sebulan lalu udah nyiapin perlengkapan, cek ini itu, topik pembicaraannya kemaaah terus. Lalu di minggu-minggu terakhir, dalam satu minggu lebih dari sekali si abah berkunjung dan belanja-belanji ke tempat perlengkapan kemping. Beberapa hari sebelum hari H, peralatan untuk dibawah berkemah udah ditata di ruang tengah. Saya jadi pengen ketawa…berseloroh, saya bilang “abah kayak orang jatuh cinta aja. Kayaknya lagi puber kedua ya“. Si abah menjawab dengan cengiran. Tapi saya bersyukur sih kalau bentuk puber kedua si abah kayak gini. Satu, bukan sama perempuan haha…..Dua, melibatkan keluarga. Kalau si abah heboh semangat untuk kegiatan yang hanya dia ikuti sendiri, saya juga akan ngomel kayaknya.
Jadi, di satu sisi saya pengen belajar tapi di sisi lain saya pengen nemenin si abah dan anak-anak yang sudah semangat 45 pergi kemah, sempat membuat saya konflik. Kalau di psikologi, itu namanya approach-approach conflict. Pengen dua-duanya haha….. Si abah juga tak kalah cemas, khawatir gak jadi pergi karena saya hehe….. Apalagi secara fisik saya sempet ngedrop.Tapi akhirnya, yang menang adalah kesadaran peran saya sebagai istri dan ibu. Dengan penuh keikhlasan saya ikut, tapi tak lupa menyelipkan dua buku untuk saya baca disana haha…..
Tapi sungguh, saya tak menyesal membuat keputusan tersebut. Riang dan gelak tawa anak-anak sepanjang perjalanan, bahkan si sulung kelas 1 SMP yang baru pulang jam setengah 9 malem dari acara 3 hari bivak untuk pengukuhan angkatannya, jam 4 subuh udah siap pergi lagi ikut acara ini. Apalagi pas sampai di TKP…. saya langsung seneeeeng banget. Gimana engga…..lapangan yang luaaaas….. udasa yang segaaaaar….. suara air sungai yang gemericik dan sejuuuuuuk…… pemandangan gunung, awan dan hijaunya pepohonaaaaan…… ssssttt…..dan satu hal yang sangat saya nikmati adalah, saya bisa ber- “barefoot” ria. Gak tau kenapa ya, buat saya kenikmataaaan banget kalau telapak kaki saya bisa langsung menyentuh sesuatu. Maka, saya menikmati sekali tekstur rumput, dinginnya air sungai, licinya bebatuan, beceknya jalan…jangankan di alam gini…lha wong di kantor saya juga, saya sering “nyeker” ….nikmaaat banget haha….
Siapa yang tak terpesona melihat dan mendengar alam yang begitu indah? Tapi, ada satu keindahan lagi yang saya nikmati sedalam-dalamnya sejak pertama kali ikut berkemah di Rancaupas. Apakah itu? Saya pernah bilang bahwa buat saya, the most romantic word in the world adalah…FAMILY. Dan di sini, sejauh mata memandang, saya bisa menyaksikan kemesraan antar anggota keluarga, di beranda tenda masing-masing, di lapangan, di sungai, di jalan setapak. Saya menghabiskan waktu dengan menikmati kebersamaan dengan keluarga saya, dan mengamati kemesraan keluarga lain. Menyerap energinya. Ini bukan sekedar berkemah ke alam, ini hanya media saja.
Dada saya, membuncah melihat para ayah-ibu anak yang bekerjasama mendirikan tenda, pasangan suami istri berbagai usia yang ngobrol santai, Ayah dan anak perempuannya yang bergandengan tangan, sambil si ayah menjelaskan ini itu, saling tertawa…… ayah yang mengajari anak-anaknya main layangan, adik kakak yang berlarian mengejar bola, berkejaran riang meniup gelembung, para ibu yang tertawa bahagia sambil memasak bersama si remajanya….
Dada saya membuncah….saya tak tahu apa namanya emosi ini. Yang jelas ini perasaan positif. Yang jelas satu sisi hati saya ingin berteriak….” hei!!! lihat kemesraan ratusan keluarga ini ! jangan khawatir…tak semua ayah memperkosa anak perempuannya kok…tak semua ibu “musuhan” sama anak gadisnya kok…. tak semua kakak mensodomi adiknya kok…” Rahmat Allah itu masih ada ! Sebutlah zaman ini zaman apa….tapi satu hal yang perlu kita yakini seyakin-yakinnya…di zaman apapun kita berada, tak mungkin di zaman itu tak ada Rahmat Allah. Optimis ! Tak mungkin Allah memberikan situasi dan tantangan yang tak disertai kemampuan buat kita untuk mengatasinya. Setiap zaman ada buruknya, namun gak mungkin gak ada baiknya.
Maka, buat saya… ini bukan kemah biasa. Kegiatan ini menunjukkan suatu sikap mental TEGAR BERDIRI menghadapi tantangan zaman. Daripada mencaci zaman, daripada memaki pemerintah karena tak menyediakan cukup lahan untuk anak-anak bermain, daripada merasa tak berdaya terhadap teknologi, daripada merutuki tayangan TV yang tak mendidik, daripada merasa tak ada yang bisa dipercaya-sekolah bikin siswa bobrok, pergaulan bikin anak kacau, internet bikin anak kecanduan- maka mari, kita cari celah kebaikan.
Daripada meributkan “kurangnya waktu orangtua dengan anak”, daripada menyalahkan ibu yang menjalani profesi di luar rumah, daripada mengajak semua ayah untuk meninggalkan pekerjaan formalnya dan bekerja di rumah agar dekat dengan anak, biar bisa mendidik anak 100% tanpa campur tangan orang lain, tak semua cocok dengan format itu. Maka, memang caranya tak harus begitu. Saya selalu yakin kebaikan itu bisa diraih dengan beragam cara yang berbeda. Termasuk kebaikan dalam keluarga. Dalam Al Qur’an, jalan lurus itu istilahnya adalah “siroth”. Sirothol mustaqiim. Jalan yang lebar. Bukan sabil, jalan yang sempit. Demikian tafsir dari seorang mufassir yang saya percaya.
Ratusan keluarga ini, sebagiannya adalah ayah-ayah yang “weekend father”. Bahkan beberapa saya dengar bekerja bulanan tak bertemu keluarga. Keluarga-keluarga yang saya lihat disana, ibunya beragam macam. Ada yang full di rumah, ada yang pergi pagi pulang petang. Namun Itu tak membuat mereka menjadi “merasa tak berdaya”. Lihatlah di 2 hari ini. Saya melihat seratus persen hati, ada di sini. Untuk keluarga. Cinta, terasa sekali memenuhi udara di pengunungan ini. Indikatornya, gelak tawa itu. Gelak tawa yang tuluuuus, yang tak mungkin terjadi saat ada ketegangan relasi antara mereka.
Demikian pula dengan semangat peduli dan berbagi. Ada keluarga yang mendonasikan ratusan plastik besar untuk sampah, agar tak meninggalkan gunung ini dalam keadaan kotor. Ada anak-anak yang setiap sore keliling membawa kresek mengumpulkan sampah yang tercecer, bahkan kemarin terkumpul donasi sejumlah 10 juta lebih untuk warga sekitar. Para panitia yang tanpa pamrih mengadakan acara fun games untuk anak, kambing guling, memberikan kesempatan anak-anak bercerita pengalamannya….
Salah satu keMaha-anNya yang saya hayati, adalah Dia menciptakan manusia sebanyak di dunia ini, dengan keunikannya masing-masing. Keunikan yang kita bawa dalam relasi suami istri. Maka, relasi suami istri pun menjadi unik. Keunikan relasi suami istri yang kita bawa dalam bentuk operasionalisasi pengasuhan. Apapun bentuknya, yang harus kita yakini adalah, kita punya potensi dan kekuatan yang berbeda dari keluarga lain. Jangan sekedar meniru bentuk. Kagum boleh, tapi kita bukan mereka.
Energi kita, dibandingkan dengan digunakan untuk mengagumi orang lain, mendingan dipakai untuk fokus mengidentifikasi apa kelebihan dan apa yang harus dikembangkan, lalu kita besarkan anak-anak kita dengan koridor kebaikan agama, budaya dan norma lingkungan yang baik. Bentuknya….mau homeschooling, mau pesantren, mau sekolah negeri, mau sekolah swasta, mau SDIT, mau ibu di rumah, mau ibu bekerja, mau ayah bekerja di rumah, mau di kantor, itu tak penting.Mengagumi dan meniru tanpa mengenali diri, akan membawa lebih banyak keburukan dibandingkan kebaikan.
Yang penting, mari kita menjadi orangtua yang percaya diri, menjadi keluarga yang percaya diri. Jangan merasa menjadi korban zaman. Jangan merasa tak berdaya. Cari selalu celah kebaikan. Di sela-sela sekian banyak peran yang kita jalani, celah kebaikan untuk keluarga itu, kalau kita dengan sadar mencarinya, pasti ada. Jadilah diri kita sendiri, dengan identitas keluarga kita yang unik.Dengan pilihan-pilihan yang tak harus sama dengan orang lain.
Semoga anak-anak kita juga tumbuh menjadi individu yang percaya diri. TEGAK, TEGAR menjalani zaman. Tak khawatir kebaikan yang mereka yakini tergerus oleh keburukan di sekelilingnya. Menyebarkan kebaikan dengan percaya diri, bukan dengan dengan didasari inferiority. Tegak berdiri, dengan kesungguhan dan kerendahan hati.
May 12, 2016 @ 04:49:02
Setiap keluarga mempunyai potensi dan kekuatan yang berbeda dengan keluarga lain. Aaah noted banget mbak!
Btw, saya juga sukaaaaaa banget nyeker lho mbak. Kalau berkebun saya selalu nyeker. Di kantor juga dulu hampir selalu nyeker. Hihi. Konon dgn nyeker, apalagi bersentuhan lsg dgn rumput/tanah kan bisa menyeimbangkan energi sekaligus detoks ya mbak 😀