Beberapa bulan lalu,dalam perjalanan ke luar pulau, di pesawat saya melihat seorang kolega seusia ibu saya, asyik dan khusyuk merajut. Selama beberapa menit saya mengamati beliau, saya senyum-senyum sendiri. Beliau terlihat sangat khusyuk, serius, dan sangaaaaaat menikmati. Saya jadi ingat tentang mirror neuron. Mirror neuron adalah neuron dalam otak kita, yang akan aktif saat kita melihat seseorang melakukan sesuatu, seolah-olah kita mengerjakan hal yang sama. Dengan mekanisme itu, saya jadi merasa ikut menikmati dan ikut rileks.
Setelah turun dari pesawat dan kebetulan kami bertemu, saya menyinggung apa yang saya perhayikan di pesawat tadi. “Kayaknya yadi menikmati banget mbak, merajutnya….aku sampai kabita” kata saya. Dan mengalirlah jawaban beliau. Seperti saya duga, beiau menjelaskan betapa tak terlukiskan “kenikmatan” yang beliau rasakan saat punya kesempatan merajut. Memegang bahan rajutan, adalah hal yang ia tunggu-tunggu di tengah super padatnya aktifitas beliau.
Rangkaian kalimat dan ekspresi beliau mengenai “rasa”nya melakukan kegiatan yang menjadi hobinya itu, senada dengan kalimat seorang kolega lain saat menjelaskan “kenikmatan” yang ia rasakan saat ia “ke kebun”. Saya masih ingat ekspresi wajahnya waktu beliau bilang: “Fit, aku tuh ya, kalau udah nyabutin rumput, ngebersihin daun kuping gajah, ngebersihin tangkai-tangkai yang layu, aduuuuh….itu tuh rasanya ….gimanaaaa gitu…meskipun kadang aku cuman bisa sebulan sekali…”
Dua cerita yang saya tuliskan di atas adalah dua dari sekian cerita orang-orang yang menggambarkan hal yang sama: rasa saat mereka melakukan hobi mereka.
Kata Om Wiki, A hobby is a regular activity that is done for enjoyment, typically during one’s leisure time. Hobbies can include collecting themed items and objects, engaging in creative and artistic pursuits, playing sports, or pursuing other amusements.
Saya, selalu senang melihat kegiatan dan mendengar rangkaian kalimat dan ekspresi seseorang yang bernada “cinta”. Karena saya tau betul rasanya. Seringkali, di saat saya berada di puncak kepenatan saya, saya buka laptop, lalu buka dashboard blog saya, klik “add post”, dan terpampamnglah layar untuk menulis. Melihat layar itu, rasanya….nyesssss. Belum mulai nulis. Tapi segala kepenatan hilang sudah. Mendengra keretek2 keyboar laptop, lalu melihat kursor bergerak huruf demi huruf, itu rasanya…..sama seperti kenikmatan yang kolega saya rasakan ketika tangannya menari membentuk pola rajutan, perasaan yang sama dirasakan oleh kolega saya yang lain mencabuti rumput, menyiram tanamannya, sama nikmatnya dengan rasa yang dialami teman saya saat menggerakkan cat airnya, sama nikmatnya seperti teman saya yang lain memetik gitarnya, sama rasanya seperti teman saya ketika ia memotong-motong bahan makan, mencium bau uap masakannya, sama rasanya seperti teman saya yang hobi menjahit, sama nikmatnya dengan lelarian buat eman saya yag hobi lari.
Yups, itulah yang namanya. hobi. Ia mengisi jiwa. Membuat rileks, pasti. Menurunkan stress, tentunya. Menumbuhkan cinta dan semangat, ya.
Menurut pengamatan saya, sekeren appaun konsep pengasuhan yang dihayati seorang ibu, pada pelaksanaannya, ada satu faktor situasional yang berperan. Kondisi psikologis ibu. Kalau ia sedang stress (dengan beragam kadarnya), maka semakin stress, “sumbu marah”nya semakin pendek. Karena secara fisiologis, tubuh kita saat stress itu tegang. Anak menumpahkan susu di sofa, tauuuuu banget di kepala kalau sofa mah gampang bisa di lap. Tapi kalau lagi stress, “pengetahuan” itu menguap, tergantikan oleh kebutuhan untuk mengeluarkan perasaan negatif dalam bentuk marah.
Dan tahukah teman, saya pernah bertanya pada 100an anak prasekolah dan usia SD, mereka kompak bahwa “ibu yang marah” adalah situasi yang sangat mereka tak inginkan.
Maka, memiliki hobi bagi seorang ibu, menurut saya sangat penting. Tapi mana waktunya? Nah, itu dia justru seninya. Hobi itu, adalah sesuatu yang kita “rindukan”. Maka, kalau kita punya sedikit waktu, No problemo at all. Satu lagi, hobi biasanya tak berorientasi hasil. Kolega saya yang hobi merajut, alah….kalau dia beli, dia bisa beli barang hasil rajutan dengan harga berapapun. Tulisan saya, seringkali ngaco dan gak jelas ujung pangkalnya. Tapi bukan di situ kepuasannya. Memberikan hasil karyanya untuk cucunya, itu kepuasannya. Membagi-bagikan hasil kebun pada teman-temannya, membuatkan lagu untuk pasangannya….itu yang penting. Karena ini tentang cinta. Tak ternilai harganya.
Hobi baca Qur’an? Wah, sholehah banggets. Hobi nyetrika dan beres-beres? Aduuuh, istri idaman pisan ;). It’s all okay !! Hobi itu personal. Yang penting adalah, “Mengisi jiwa” atau tidak. Namun agar dampaknya baik bagi kita, sebaiknya yang “produktif”.
Jangan lupa juga untuk mengamati hobi anak-anak kita. Jangan sampe lah, anaknya mengatakan hobinya “main game” atau “nonton TV” (sayangnya cukup anyak anak yang mengatakan demikian). Kalau bisa yang bikin raga, rasa dan pikir aktif, yang membuat kita bisa menebar cinta dan merasa bahagia.
So, moms, what is your hobby?
Recent Comments