Para Pengeja Hujan

muhammad-para-pengeja-hujanHiiii…ternyata saya gak tahan nunggu sampai syawal. Buku kedua novel Biografi Muhammad karya Tasaro : Para Pengeja Hujan saya tamatkan seminggu lalu. Seperi kata seorang teman saya: awas addicted ! kkkk…. makanya, dua buku selanjutnya, Sang Pewaris Hujan dan Generasi Penggema Hujan saya minta diumpetin sama si sulung hihi….

Buku kedua ini tentunya lanjutan dari buku pertama: https://fitriariyanti.com/2016/06/14/lelaki-penggenggam-hujan/. Di  buku kedua ini, dikisahkan kehidupan Rasulullah sejak futuh Mekah sampai dengan wafat, lalu masa kekhalifahan Abu Bakar sampai beliau wafat ditambah sedikit awal masa kekhalifahan Umar Bin Khatab. Gak linier gitu sih kalau dalam penyampaiannya, karena Tasaro juga membuat alurnya diselingin flashback mengenai kehidupan masa kecil Rasulullah dalam asuhan Halimah Sa’diyah.

Bagi teman-teman pecinta fiksi, di buku ini kita akan dimanjakan oleh kisah misterius mengenai tiga puteri Persia : Puran, Turan dan Azarmi serta seorang Jendral Athanatoi: Atusa.  Tentunya para tokoh wanita itu ada hubungannya dengan tokoh fiksi sentral yang telah dan  akan menjadi pelakon utama : Kashva.

Di buku kedua ini, kita akan mengenal pribadi sang Pedang Allah, Khalid Bin Walid. Kita akan dibawa seolah-olah melihat langsung kecerdasannya, ketajaman pedangnya, keteguhan hatinya. Kita juga akan mengenal Wahsyi dengan gejolak perasaannya. Ia yang membunuh paman kesayangan Rasulullah, sang Pahlawan Uhud Hamzah,  yang kemudian menebus kesalahannya dengan melemparkan tombak yang sama dengan tombak yang ia lemparkan pada Hamzah pada sang NAbi palsu.

Keseluruhan kisah di buku ini,  masih disampaikan dengan cara bertutur yang memikat. Kita akan terisak-isak saat membaca saat-saat Rasulullah dan Fatimah wafat, terkagum-kagum dengan strategi “jembatan bangkai” Khalid Bin Walid saat menghadapi parit Persia yang terkenal. Setelah membaca buku ini, jika kita berziarah ke tanah suci, kita akan menghayati setiap jengkal masjid dan kota Nabi dengan perasan yang berbeda, mungkin

Dan buat saya, hal “baru” yang saya temukan di buku kedua ini dibanding yang pertama adalah: pemahaman mengenai konteks situasi saat itu, yang bisa kita hayati dan menjadi “bekal” buat memandang konteks situasi saat ini.

Jujur aja ya, saat remaja dan dewasa sebelum membaca buku-buku siroh, bayangan saya tentang kehidupan Rasulullah dan sahabat adalah …. kehidupan spiritual yang … khusyuk gitu. Kehidupan yang kalau dalam buku ini, digambarkan seperti kehidupan para biksu di pegunungan Tibet. Waktu kecil, remaja dan sebelum membaca buku-buku siroh, bayangan saya mengenai sahabat-sahabat Rasul itu….they are perfect. Mereka adalah “malaikat”. Mungkin karena saat itu, cerita-cerita yang saya dengar memang mengesankan demikian. Tak ada gejolak rasa “manusiawi”, tidak ada kehidupan sosial. Kehidupan mereka bagaikan kehidupan “di atas langit”.

Namun kesan itu, sedikit demi sedikit terkikis ketika saya membaca buku-buku Siroh. Dan benar-benar terkelupas saat saya membaca buku ini. Para sahabat yang hebat, yang dijamin masuk syurga itu, tak sempurna. Mereka manusia biasa. Mereka marah, sedih, gundah. Mereka kesulitan, mereka harus menghadapi persoalan “manusiawi”. Sama seperti kita.

Dan konteks sosial pada saat itu, kalau dianalogikan….kita bisa menemukan bentuk yang sama meskipun perwujudannya berbeda, pada saat ini. Saat Rasulullah wafat, kemurtadan menggelombang. Saat Umar diangkat Abu Bakar sebagai Khalifah saat beliau telah payah karena sakitnya, kepemimpinannya diragukan. Bahkan kita tahu satu peristiwa yang menunjukkan kecerdasan istri Rasulullah Ummu Salamah, saat Rasulullah merasa sedih ketika para sahabat tak mau mengikuti perintahnya menyembelih hewan Qurban karena kecewa dengan perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa itulah yang melatarbelakangi perkataan Rasulullah: “Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau cuma sekedar memendekkan?” Beliau masih bersabda, “Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat balik bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cuma sekedar memendekkan?” Beliau masih bersabda, “Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cuma sekedar memendekkan?” Baru beliau menjawab, “Dan juga bagi yang memendekkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mengapa? karena yang menggundul, secara psikologis, tak ada keraguan dalam hatinya. Buku ini menguatkan pemahaman kita bahwa agama ini, bukan suatu hal yang terlepas dari kehidupan kita. Agama langit ini “hidup” dan “memberi arah”, memberikan “tanggapan aktif” dalam sendi-sendi kehidupan di bumi.

Apakah kesan yang berubah itu mengurangi rasa kagum dan hormat pada Rasulullah dan sahabat-sahabatnya? anehnya, tidak. Bahwa mereka manusia biasa, bahwa kontkes kehiduan yang mereka jalani saat itu tidak “steril” namun mereka selamat karena tetap memegang teguh keyakinan akan kebenaran dan kebaikan, menelurkan dua hal:

(1) Keyakinan akan kemuliaan akhlak mereka. Bahwa mereka manusia. Sama seperti kita. Dalam batin mereka, ada pergulatan. Pergulatan yang dimenangkan oleh kebenaran akan keyakinan. Mengapa keyakinan akan kebenaran yang menang? itu yang harus kita pelajari. Itu yang harus kita ceritakan pada anak-anak kita. Kita tak akan biisa menjadikan anak-anak kita lebih mengidolakan Hamzah dibanding Ultraman, lebih kagum pada Ali dibanding Captain Amerika, Nusaibah dibandingkan Mulan, kalau kita tak membuat mereka menghayati bahwa tokoh-tokoh itu, adalah “manusia biasa”.

(2) Bahwa kita, tak harus “menunggu” konteks kehidupan kita menjadi “steril” untuk bersikap baik, berperilaku benar. Kehiduan yang “seluruh orangnya baik”, itu adalah utopia. Terjawab sudah pertanyaan saya selama bertahun-tahun, dimulai saat kuliah dulu ketika ada sebagian teman yang meyakini bahwa jika pemerintahan ada di tangan kelompok mereka, maka kehidupan akan menjadi “sempurna”. Situasi akan sangat khusyuk. Tak ada keburukan. Saat ini, hanya ada keburukan saat pemerintahan tak di tangan kelompok mereka. Tidak. Kita tak perlu menunggu saat itu tiba. Sekarang. Disini. Dalam kondisi ini. Diantara hiruk pikuk ini, kita harus bisa tetap memegang teguh kebaikan dan  kebenaran dengan hati yang khusyuk.

Sumber: https://rumaysho.com/8180-hukum-gundul.html

 

Syahid, utopia-kah?

Apa kesan kita terhadap kata “syahid”? apa  yang terbayang dalam benak kita mendengar kata “syahid”?

Kalau saya, jujur saja kesan saya tentang kata “syahid” adalah: agung. mulia. sakral. suci. Sedangkan yang yang terbayang adalah perang. Tapi perang suci seperti zaman Rasulullah dulu. Yang dilakukan tanpa melanggar nilai-nilai kemanusiaan. (kkk…ini nanya sendiri, jawab sendiri).

Dengan bayangan saya tentang kata “syahid”, jujur saja wafat dalam keadaan syahid, terasa sebagai sebuah “utopia”. Sebuah harapan yang …. berupa konsep. Ada di langit. Tak tersentuh. Ideal, tapi apakah ia nyata? dan bisa kita raih?

Tampaknya cukup banyak yang memiliki perasaan seperti saya. Itu implisit tertangkap dari tausyiah ustadz Aam Amiruddin di Majelis Percikan Iman di 2 minggu berturut-turut awal ramadhan kemarin. Beliau membahas mengenai syahid, maknanya, dan yang paling penting adalah: apakah kita bisa mencapainya?

Beliau mengawali dengan mengutip sebuah hadits Bukhari-Muslim:  “Barangsiapa yang benar-benar minta kepada Allah untuk mati syahid, maka Allah akan menjadikannya mati syahid, sekalipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”.

Setelah itu, beliau menceritakan beberapa kenalannya yang wafat sesuai dengan doa yang mereka minta selama hidup. Ada kenalan beliau seorang muadzin, berkata: “aku mah pengen adzan sampai mati”, dikabulkan oleh Allah, wafat saat adzan. Ada lagi kenalan beliau yang wafat saat sholat dan seorang lagi wafat sambil memeluk Al Qur’an setelah membacanya, sesuai dengan harapan mereka.

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan kembali hadits tersebut dalam salah satu bacaan saya. “Barangsiapa yang benar-benar minta kepada Allah untuk mati syahid, maka Allah akan menjadikannya mati syahid, sekalipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”.

Apa yang disampaikan pak Aam dan hadits tersebut, mengubah pandangan saya selama ini mengenai syahid. Syahid itu bukan hanya bisa didapatkan di medan perang. Syahid itu, bukan hanya milik para sahabat yang hidup bersama Rasulullah.  Syahid itu bukan hanya ada di langit. Ia ada di bumi.  Syahid itu, bisa menjadi milik kita. Asal kita benar-benar minta dan sungguh-sungguh berjuang mendapatkannya.

Love_41Di bulan suci ini, dimana siang-siang dan malam-malam yang kita lalui, tanah-tanah yang kita jejak dihujani doa-doa ribuan malaikat, adalah momen yang tepat bagi kita, untuk menanamkan sebuah keinginan. Mati syahid.

Bahwa kita punya cita-cita sebelum wafat mencapai ini-itu, pergi kesana-sini, melakukan ini-itu, menyaksikan ini-itu, itu adalah baik, dan jadi nyala api kehidupan kita. Namun di lubuk hati kita yang terdalam,  kita simpan sebuah  permohonan agung yang mengakar…. pengharapan  agar kita diwafatkanNya dalam keadaan syahid. Sedang sujud, sedang sholat, sedang dzikir, sedang mengaji, sedang membaca tafsir, sedang memperjuangkan kebaikan, sedang membela yang lemah, sedang melakukan hal-hal yang dicintaiNya.

Konon katanya, sesuatu yang tak kita inginkan dan tak bisa kita bayangkan, akan sulit kita wujudkan. Maka, menginginkan dan membayangkan akhir hidup kita dalam keadaan syahid, semoga menjadi nyala api lain yang membuat kita bersunguh-sungguh mengupayakannya.

Jika zaman Rasulullah media untuk mendapatkan syahid adalah dengan wafat dalam perang tauhid, maka di zaman ini, godaan terkuat adalah menyembunyikan amal dan kebaikan kita. Adalah aa Gym, yang memperkenalkan konsep “amalan rahasia”. Syahid, adalah keinginan yang kita simpan dalam lubuk hati terdalam kita. Dan melakukan “amalan rahasia”, bisa jadi salah satu jalannya. Karena syahid itu adalah hubungan one on one dengan sang Maha.

Seperti zaman Rasulullah, ada seorang yang wafat dalam medan pertempuran, bukan karena hatinya berjanji pada Sang Maha, namun karena ia ingin membuktikan bahwa ia pemberani. Rasulullah berkata: “Kita perlakukan orang ini di dunia sebagai seorang syahid, namun Allah maha tahu bahwa ia bukan”.

Dan visi ini, ada baiknya kita kenalkan pada anak-anak kita. Agar disamping cita-citanya: ingin jadi pemadam kebakaran, dokter, presiden, kuliah di harvard, jadi hafidz/hafidzah, di lubuk hatinya terpelihara satu cita-cita lain: mati syahid.

“Barangsiapa yang benar-benar minta kepada Allah untuk mati syahid, maka Allah akan menjadikannya mati syahid, sekalipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”.

sumber gambar: https://id.pinterest.com/pinme333/love/

Sanlat Kreatif, untuk apa?

Ini hari keempat ditinggal sanlat oleh si bujang kecil, dan hari kedua ditinggal si sulung sanlat juga. Si bujang kecil kelas 4 SD, mengikuti sanlat bertema luar angkasa yang diselenggarakan oleh unit Pembinaan Anak di Salman ITB. Si  sulung kelas 7  ikut sanlat bertema pembuatan film, di unit film salman juga.

pas_nMelihat foto-foto dan video yang ada di medsos kegiatan si bujang kecil, tampaknya para peserta, termasuk si bujang kecil, sangat hepi dan antusias. Apalagi ia memang sangat suka sama luar angkasa. Entah berapa puluh buku yang dia punya tentang beragam planet dan galaksi. Konsep sanlat anak yang diikuti si bujang kecil  memang bagus. Berupa rangkaian aktifitas yang sambung menyambung dan apik. Mulai dari  materi tentang tata surya dari himastron ITB, berkelompok mengkreasi baju astronot, membuat percobaan roket air, dan hari ini berkunjung ke bosscha.

Kegiatan si sulung tak kalah seru sepertinya kalau liat dari video dan foto yang tampak dari medsos panitianya. Sanlat yang ia ikuti namanya sanlat tematik. Selama 5 hari, sanlat dengan materi diniah plus materi dan praktek membuat film. Jadi selama sanlat tiap kelompok harus menghasilkan 1 film pendek. Semalam saya wa si sulung, tanya gimana sanlatnya, dan jawab si sulung: “seruuuuuuu” dengan huruf “u” yang banyak 😉

Dua hari lalu, saat saya dan si abah  bersama melihat foto-foto keseruan aktifitas si bujang kecil, terlintas pertanyaan pada benak saya. “sebenarnya, dengan keseruan itu, apakah ada sesuatu yang tertanam dalam diri si anak? maksudnya….entah itu pengetahuan atau penghayatan tentang Islam. Apakah kegiatan-kegiatan  itu mencapai tujuan akhirnya yaitu menanamkan keimanan yang mengakar pada anak-anak dan remaja kita? atau cuman hore-hore aja?”

Karena saya tak bisa menjawab pertanyaan itu, maka pertanyaan itu saya ajukan pada si abah. Biasanya dia punya sudut pandang yang gak kepikiran sama saya. Dan ketika pertanyaan itu saya ajukan padanya, si abah menjawab dengan pertanyaan: “inget gak de, kita belajar agama itu lebih banyak dikasih orangtua atau nyari sendiri?”. “Nyari sendiri”. jawab saya. “Pertanyaannya adalah, kenapa kita mau nyari sendiri?” itu pertanyaan lanjutan si abah. Pertanyaan yang butuh waktu lama buat saya untuk menjawabnya. Jadi si abah jawab sendiri: “karena, orangtua kita ngasih dasar ke kita. Ngasih pengalaman ke kita bahwa agama ini menyenangkan. Inget kan…jaman dulu orangtua kita nyuruh kita ikutan ngaji setelah maghrib sama temen-temen sebaya kita. Mungkin saat itu yang kita inget dan berkesan buat kita adalah mainnya. Ajaran guru agama kita tangkep sepotong-sepotong. Tapi pengalaman menyenangkan itu, membuat kita jadi tertarik untuk bertanya dan berusaha nyari jawabannya. Itu yang berharga. Dan pengalaman itulah yang dikasih sama para penyelenggara sanlat anak dan remaja itu”. 

“Oooh…jadi asosiasi agama dan kegiatan menyenangkan itu ya bah yang berharga” itu kesimpulan saya. Saya gak bisa mendebat si abah karena memang saya gak punya jawaban. Kalau kita mau evaluasi program, memang butuh instrumen yang keren dan butuh waktu untuk menjawab pertanyaan saya: apakah kegiatan semacam ini mencapai tujuannya menanamkan keimanan yang mengakar? Tapi kalau mengacu pada 4 tingkat evaluasi program, ada yang yang namanya evaluasi reaksi. Dan dari jenis evaluasi ini, penyelenggara sanlat yang kami ikuti telah berhasil.

Saya juga jadi inget. Tahun lalu, si bujang kecil kami ikutkan sanlat di salah satu pesantren. Pimpinan pesantrennya seorang ustadz yang bagus banget menurut kami. Selalu kami jadikan sumber saat kami ada pertanyaan mengenai agama. Materinya? saya lihat bagus juga. Membenahi fiqih kegiatan ritual keagamaan. Bagaimana wudhu yang baik dan benar, dll. Saya membayangkan, sepulang sanlat, si bujang kecil akan lebih tertib ibadahnya. dan beberapa hari kemudian, saat saya menjenguknya, dia menangis ingin pulang. Gak seru, ngantuk … katanya. Dan ketika pulang, dia bilang: “mas Umar gak mau ikut sanlat lagi selamanya”. Apa yang salah? pemateri dan materi bagus. Tapi tampaknya satu yang kurang…cara. Bagi anak-anak yang sedang berkembang curiosity nya, sedang ingin banyak bergerak tubuhnya, sedang mengembangkan kemampuan kolaborasinya, materi ceramah dihayati sebagai kegiatan yang amat menyiksa.

Saat saya mendaftarkannya ikut sanlat ini tahun ini, sanlat yang sudah kami “incar” bahkan sudah kami datangi sekretariatnya saat mereka masih merancang sanlat ini dan jauh sebelum buka pendaftaran, susah payah kami membujuknya, bahwa sanlat yang ini berbeda.

Ya, CARA. Bahasa kerennya METODA. Tampaknya itu PR terbesar kita untuk anak-anak kita. Saya sebenarnya punya pertanyaan yang lebih mendasar lagi: mengapa Allah menciptakan “dunia anak” itu berbeda dengan dunia dewasa? mudah padahal bagiNya Sang Maha menciptakan tubuh kecil anak memiliki cara pikir seperti orang dewasa. Sehingga dalam mengajarkan agama pun, akan lebih mudah bagi kita karena kita bisa menyampaikan dengan “cara dewasa”. Saya belum punya jawaban memuaskan terhadap pertanyaan ini. Jawaban sementara saya adalah, bahwa ALlah meminta kita untuk berpikir, berusaha dengan sungguh-sungguh. Bahwa ajaran ini sempurna, itu adalah kepastian. Mengenalkan ajaran yang sempurna ini dengan cara yang baik sesuai fitrah perkembangan anak tanpa mereduksi esensinya, itu adalah ladang ibadah kita. Wallahu alam.

 

Mencari Ramadhan

Sejak dikenalkan pada kita  pertama kali dahulu, kita sudah mengenal Ramadhan  sebagai bulan suci. Bulan mulia. Bulan penuh rahmat. Bulan penuh ampunan. Di bulan ini, hanya di bulan ini saja, Dia Sang Maha menjanjikan ampunannya, ketaqwaan bagi ynag sungguh-sungguh menjalani prosesnya, dan malam yang lebih mulia dari 1000 bulan.

Dan kini, Ramadhan, tengah kita nikmati. Bulan penuh rahmat itu, bulan penuh ampunan itu, bulan yang didalamnya ada malam yang lebih mulia dari 1000 bulan itu, tengah kita jalani.

Pertanyaannya adalah, terasa-kah oleh kita aura rahmat, kemuliaan dan ampunan itu?

Kalau kita tak merasakannya, kalau aura di sekitar kita masih sama dengan aura 11 bulan yang lainnya, maka mungkin kita berada di tempat yang salah. Itu artinya, kita harus bergerak. Mencarinya. Mencari ramadhan. Mencari aura kekhusyukan, aura pencarian rahmat, ampunan dan kemuliaan dari Sang Maha.

Mari kita mulai mencarinya.

Jangan…jangan mencari di dunia maya. Dunia itu terlalu riuh rendah dan penuh hiruk pikuk. Di dunia maya, Ramadhan terkadang tereduksi menjadi sederetan menu berbuka puasa semata. Di dunia maya, Ramadhan seringkali ternodai dengan silang pendapat adu debat dan share hoax mengenai beragam isue yang seperti terkait Ramadhan namun sebenarnya tak esensial.

Kalau kita tak menemukan keskhusyukan ramadhan di dunia maya, kalau kita tak menemukan aura rahmat, ampunan dan kemuliaannya di dunia maya, jangan diam di situ. Bergegas pergi, kita lanjutkan pencarian kita.

Kini, kita tengok dunia nyata. Dunia nyata yang mana?  bioskop? aura Ramadhan sulit  terasa disana. Ya, menit dan jam memang terasa berlalu dengan cepat. Namun disana, sangat jarang terlihat  Qur’an yang terpegang ditangan. Hampir seluruhnya memegang gadget. Aura rahmat, ampunan dan kemuliaan Ramadhan akan sulit kita temukan di sini. Lalu dimana lagi? di mall? sulit juga menemukannya. Ramadhan seringkali tereduksi menjadi hanya semangat untuk merayakan hari kemenangan dengan beragam baju warna-warni yang meriah, serta makanan sesajian yang baraneka macam.

Hari ini sudah separuh ramadhan. Jika kita belum mememukan kekhusyukan ramadhan di hati kita, maka … ini saatnya kita palingkan wajah kita ke mesjid-mesjid. Dengarkan adzan yang mengumpulkna orang-orang untuk mengingatNya, dengarkan suara lantunan para imam menyuarakan firmanNya, dengarkan suara bak dengung lebah sehabis sholat, keluar dari mulut-mulut para pembaca Al Qur’an. Belalakkan mata kita untuk melihat wajah-wajah khusyuk berdoa, menengadahkan tangan…. Rasakan ke-iri-an yang membuncah dalam hati kita ketika menjelang berbuka, banyak  orang membagi-bagikan makanan miliknya bagi yang akan berbuka, berharap keberkahan Ramadhan.

Di rumahNya, di mesjid, akan selalu kita temuka Ramadhan…yang mungkin sudah memudar di dunia lainnya.

Kalau memungkinkan, bawa anak-anak kita kesana. Buat apa? Ah, namanya anak-anak…entah di lapangan atau di masjid, kelakukannya sama saja. Berlarian…berkejaran…mengerubungi kucing yang melintas. Tak apa. Di mesjid, mereka “tak hanya” berlarian. Tapi mereka sambil mendengar suara lebah lantunan ayat suci itu. Mereka bermain, sambil melihat wajah-wajah khusyuk, wajah tengadah dengan mata berkaca atau terisak;  mereka akan merekamnya. Dan suatu hari, rekaman itu semoga menjadi magnet yang kuat. Yang membuat mereka, dimanapun mereka berada, menjadi apapun mereka, hati mereka  selalu tertaut ke masjid.

Buat apa kita mencari Ramadhan? Hai teman…pernahkan mendengar lirik lagu Bimbo: “Setiap habis Ramadhan/Rindu hamba tak pernah menghilang/Mohon tambah umur setahun lagi/Berilah hamba kesempatan”. Atau lirik lagu Maher Zain : “Ramadhan, Ramadhan…Ramadhan di hati…Ramadhan, Ramadhan…Ku mohon usah pergi”.

Dalam bait-bait itu, ada kerinduan yang sangat terhadap satu bulan yang hanya kita temui setahun sekali itu. Kerinduan yang akan membuat kita khusyuk memohon padaNya agar disampaikan lagi pada bulan suci ini, tahun depan.

Apa yang lebih nikmat dari hati yang khusyuk sungguh-sungguh menginginkan sesuatu dalam doa kita? Itulah jawabannya mengapa kita harus mencari Ramadhan, menemukannya, menikmatinya dengan seluruh indra yang kita punya.

Semoga tahun inidp-bbm-ramadhan-bergerak, kita menemukan Ramadhan, menikmatinya, meraup rahmatdan keberkahanNya, dan lalu merindukannya. Dengan sepenuh hati.

 

sumber gambar : http://dpbbm.co/dp-bbm-puasa-ramadhan.html

Jadi ortu remaja: jangan baper. Kenapa?

Dalam tulisan sebelumnya, https://fitriariyanti.com/2016/06/06/adakah-remaja-dalam-islam/, saya menyampaikan bahwa entah diberi nama apa, namun  nyatanya, ada masa “transisi” dalam diri seorang anak untuk “belajar menjadi dewasa”, yang dalam literatur psikologi dinamakan masa remaja.

Dalam proses transisi ini, terjadi perkembangan fisiologis dan neuropsikologis yang pada hakikatnya menyiapkan anak untuk menjadi individu dewasa. Misalnya, yang paling menonjol adalah aktifnya sistem reproduksi seksual, yang Allah siapkan agar si anak yang akan menjadi dewasa ini, siap untuk melanjutkan keturunan. Perkembangan kognitif yang berubah adalah media yang Allah siapkan agar si anak yang tadinya “tergantung” pada orangtua, mulai bisa “bertanggungjawab atas dirinya sendiri” sebagai ciri utama manusia dewasa.

Memang dampak dari perubahan yang terjadi di dalam diri si remaja, membuat perilakunya menjadi berbeda. Dan pada dasarnya, ketika terjadi perubahan pada diri anak, maka agar terjadi keselarasan dengan lingkungan, maka lingkungan juga harus berubah. Apa yang berubah? cara. Bukan nilai yang kita tanamkan. Dalam hal ini, lingkungan saya maksudkan adalah kita sebagai orangtua. Jika anak berubah namun orangtua tidak berubah, maka disequilibrium atau ketidakseimbangan terjadi. Bentuk nyatanya: pertengkaran ortu-anak, kekesalan ortu-anak yang bisa bermuara pada menjauhnya ikatan hati ortu-anak.

Situasi inilah yang menurut literatur-literatur parenting, membuat pengasuhan orangtua pada remaja menjadi “chalenging”. Terutama di masa remaja awal, 10-13 tahun. Hal ini semakin terasa pada keluarga yang memiliki remaja untuk pertama kalinya, alias si sulungnya yang masuk masa remaja. Perhatian orangtua pada si sulung remaja, biasanya terbagi pada adik-adiknya.  Hal ini membuat upaya untuk “mencari ilmu” tentang pengasuhan remaja pun menjadi kurang optimal.

Parenting pada anak prasekolah biasanya sangat digemari ortu, karena biasanya pada saat itu anak mereka baru satu atau dua. Parenting masa SD….tidak terlalu banyak. Parenting remaja? jarang. Padahal, tubuh remaja itu tidak transparan. Kita tidak bisa melihat secara konkrit bahwa ada yang berubah dalam dirinya. Itu membuat kita sering “lupa” bahwa ada bagian dari dirinya yang sudah “dewasa”, ada bagian dari dirinya yang “masih anak-anak”. Mereka pada dasarnya butuh bantuan kita sebagai orangtuanya untuk membantu menyelaraskan aspek-aspek perkembangan dalam dirinya, belajar dari anak menjadi dewasa.

Meskipun sebelum si sulung masuk ke masa remaja saya sering bertemu klien remaja, membaca literatur tentang remaja, menyelami masalah-masalahnya, memahami keluhan-keluhan orangtuanya, namun tetap…penghayatan terdalam adalah ketika menjalani fase itu, fase menjadi orangtua remaja. Saya ingin menceritakan satu kejadian yang membuat saya merasakan sekali proses belajar menjadi orangtua remaja.

Beberapa waktu yang lalu, si sulung 12,5 tahun minta dibelikan kerudung hitam langsungan untuk acara sekolahnya, solo bivak selama 3 hari. Tapi kemudian dia bilang, “Ga apa-apa bu, kalau ibu engga sempet. Kaka mau titip temen aja. Kaka punya kok uangnya”. Tapi  tentu saya berupaya untuk membelikannya. Saya ingat betul, waktu itu jadwal saya padet banget. Tiap hari baru beres jam 5 dari Jatinangor. Sedangkan kalau saya telat pulang, berarti anak-anak juga telat makan malam. Tapi suatu hari, saya sengaja meminta anak-anak jemput ke Jatinangor, beli makanan sehingga anak-anak makan malam di mobil, jadi saya bisa  mampir ke sebuah toko kerudung remaja, memilih-milih model kerudung berwarna hitam. Ukurannya? M. Lalu saya simpen di meja kerja saya. Saya bilang ke si sulung, saya sudah belikan kerudungnya.  Tiga hari kemudian, saya melihat tiga buah kerudung hitam itu masih tergeleteak di meja saya. Hari itu hari terakhir packing untuk acara di sekolahnya. Saya tegur dia. Dalam hati, ada perasaan kesal. Rasa “tidak dihargai” muncul. Padahal effort saya untuk belikan keruudng itu, dalam kesempitan waktu saya, menurut saya cukup besar. Si sulung bilang “iya”.

Hari h, di apun berangkat. Pake kerudung item. Tapi bukan yang saya belikan. Modelnya beda. Menurut saya lebih jelek. Ukurannya S. Saya tanya “Kaka itu kerudung darimana?”. Dia bilang “Kaka titip beli ke temen”. Saya tanya lagi: “kerudung yang ibu beliin gimana?”. “Iya Kaka bawa” katanya. Oke. Meskipun agak ngeganjel dan menangkap sesuatu yang berbeda dari nada bicaranya. Siangnya, saya tidak sengaja buka lemarinya. Hwaaaa hiks….3 kerudung yang saya belikan, tergolek manis di tumpukan lemarinya. Sedih? Merasa tidak dihargai? ya.

Seperti biasanya saat saya “kesal” sama si sulung, langkah pertama yang saya lakukan adalah …cari tempat sampah. Tempat sampah emosi maksudnya. Curcol. Sama siapa? sama best friend dong. Si abah. Saya telpon si abah yang sedang di luar kota. Bla…bla…bla…bla…Sekitar 10 menit. Dan si abah tau persis apa yang harus ia lakukan. Mendengarkan. Dan ditutup dengan kalimat: “dirimu kan tau ilmunya. Nanti aku ngobrol sama dia” .

Baiklah. Emosi sudah keluar. Sekarang bisa berpikir jernih. Pertama, saya selalu ingat kalimat-kalimat dari Om (atau Opa ya ? hehe…) Laurence Steinberg, psikolog yang fokus meneliti mengenai remaja. Dalam berbagai artikelnya, berdasarkan penelitian-penelitiannya, beliau mengatakan bahwa biasanya, yang menjadi sumber “pertengkaran” orangtua dan remaja adalah perbedaan dalam hal-hal yang sifatnya “permukaan”. Bukan karena hal-hal yang sifatnya nilai-nilai dasar. Mengapa? karena nilai dasar itu penanamannya kan berproses. Kalau keluarga menanamkan sebuah nilai terus menerus pada anak, maka kalau nilai itu terhayati, gak akan ujug-ujug tercerabut dari si anak di masa remajanya.

Oke. Apa tadi masalahnya yang bikin saya nyesek? si sulung pake kerudung ukurannya S. Tapi masih menutupi dadanya.  Modelnya gak sebagus model yang saya pilihkan? bentar…bentar…itu masalah “permukaan” atau masalah “nilai dasar?” hehe…jujur sih, itu masalah selera. Gak prinsip.

Tapi kan dia tidak menghargai orangtua! satu sisi batin saya berteriak. Wajar dong kalau nanti tiga hari kemudian dia pulang saya bilang ke dia: “Kaka, kaka berdosa loh….bikin ibu sedih dan kesal. Tau gak…ibu udah berkorban beliin Kaka kerudung…bla..bla..bla..Engga boleh loh Kaka, bikin ibu sedih. Ingat, surga itu ada di telapak kaki ibu”. Salah gak kalau saya bilang gitu? engga. Emang benar kan, fakta dan ajaran agamanya gitu. Apalagi kita sebagai ibu punya satu senjata: keridhoan. Tak terhitung ajaran agama yang menyatakan pentingnya keridhoan seorang ibu untuk anaknya, bukan?

Lalu kemudian saya teringat senior saya. Putra pertamanya kini berusia 18 tahun. Beberapa tahun yang lalu, dalam perbincangan kami, ia menceritakan bahwa puteranya ini memiliki hobi tertentu. Hobi yang positif dan konstruktif sih, meskipun “tidak islami”. Tapi tak keluar dari koridor baik dan benar.  Hobinya ini membuat si anak yang waktu itu masih di SMP, harus mengikuti beragam kegiatan dan bertemu komunitas sejenis, yang ia khawatirkan berdampak negatif. Oleh karena itu, setiap kali puteranya meminta izin mengikuti kegiatan tersebut bahkan sampai ke luar kota, ia akan mengizinkan dengan satu syarat: ia ikut. Repot, ya. Kenapa harus gitu? Bukankah kita bisa gak mengizinkan? tanya saya waktu itu. Jawaban senior saya itu, membuat dahi saya berkerut sat itu. “Aku tau Fit, kalau aku gak izinin, dia tetap akan pergi karena buat dia ini tuh penting banget. Kalau dia pergi tanpa seizin aku, dia kan berdosa. Nah, oleh karena itu aku mengizinkan dengan syarat aku ikut”.

marvel-greatSaya baru mengerti logika itu, pada saat mengalami kejadian “kerudung hitam” dengan si sulung. Seperti kata Uncle Ben-nya spiderman, with great power comes great responsibility. Sebagai ibu, kita punya great power. Doa. Kerdihoan. KIta punya pilihan, apakah akan menggunakanpower ini  untuk “menuntutnya”, mengukuhkan posisi kita sebagai “otoritas”. Atau, kita berusaha untuk memanfaatkan power ini untuk “melidunginya”.

 

Minggu lalu, Ustadz Aam di Majelis Percikan Iman menyinggung hal ini. Bahwa seorang ibu harus punya kebijaksanaan untuk meridhoi sesuatu yang ia tak setujui dari anaknya. Tentunya selama pilihan anaknya tak keluar dari koridor kebaikan dan kebenaran. Hal ini beliau sampaikan menanggapi  wawancara dengan dua orang hafidz/hafidzah, yang salah satunya mengatakan bahwa awalnya orangtuanya tidak ridho ia menunda kuliah untuk menghafal AlQuran. Selama masa itu, sulit buatnya menghafal. Hingga pada suatu hari, ia menemui orangtuanya, berbincang, sampai orangtuanya mengatakan Ridho dengan pilihan putrinya. Setelah itu, entah mengapa…mudah sekali buatnya menghafal. Sang hafidzah mengatakan bahwa ridho orangtua, ia hayati sebagai pembuak pintu kemudahan menjalani pilihannya.

Tapi si sulung udah berbohong. Ya, saya punya pilihan. “menghukumnya”, atau “mendidiknya”. Kalau saya pilih menghukumnya, saya bisa tegur dia. Kalau saya  pilih mendidik, saya bisa ajak ngobrol dia. “Kaka, ibu tahu Kaka engga suka kerudung yang ibu berikan. Lain kali, kalau Kaka engga suka, lebih baik Kaka bilang. Ibu ngerti, mungkin Kaka engga enak sama ibu. Ya, ibu juga pengennya Kaka pake sih, tapi kalau Kaka bilang, ibu akan berusaha untuk menghargai Kaka. Daripada Kaka bilang iya tapi kenyataannay Kaka engga pake. “

Ya, sebagai orangtua, kita selalu punya pilihan. Tak hanya pilihan bersikap tidak benar atau benar, tapi juga pilihan bersikap benar atau bersikap bijak.

Kesimpulannya, sesuai judul tulisan ini, salah satu hal yang harus kita pelajari sebagai orangtua dari remaja adalah: jangan baper. Jangan bawa perasaan. Tersinggung, tak merasa dihargai….untuk hal-hal atau persoalan-persoalan yang sifatnya “permukaan”, tak prinsip, harus kita latih untuk mudah menjadikan perbedaan antara keinginan kita dan pilihan si remaja, menjadi  persoalan kecil yang bisa diabaikan.

Dan kalau menurut penghayatan saya, kita memang perlu sungguh-sungguh berlatih ini saat anak kita masih remaja. Mengapa? karena saat ia dewasa, anak kita punya hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan-pilihan besar dalam hidupnya. Dan kita harus menghargainya. Meridhoinya. Ajaran agama mengisyaratkan hal itu. Bukankah pernah datang seorang wanita pada Rasulullah dan bertanya apakah boleh ia keberatan dengan jodoh yang ditentukan oleh ayahnya, dan Rasulullah mengatakan boleh?

Di masa depan, saat anak kita menjadi dewasa, akan semakin banyak pilihan-pilihan besar yang akan ia putuskan sendiri, yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Pilihan jurusan kuliah, pilihan jenis pekerjaan, pilihan pasangan hidup. Maka, perbedaan-perbedaan kecil yang kita hadapi dengan si remaja, sesungguhnya adalah fasilitas dari sang Maha  untuk mengasah sikap mental kita. Belajar menganalisa: ini prinsip gak? melanggar kebaikan dan kebenaran gak? kalau engga, kalau perbedaannya masalah selera, disitu kita harus belajar bijak dan legowo. KiIta harus berlatih karena kalau engga, nanti kita sulit dan menyulitkan anak kita saat ciri utama kedewasaannya, yaitu membuat keputusan sendiri, kita intervensi.

Jadi, kalau kita latihan dari sekarang, semoga nanti kita bisa mengatakan: “Sebenarnya ibu pengen kamu jadi dokter. Apalagi kamu udah diterima di Fakultas Kedokteran. Tapi kalau kamu maunya jadi wartawan, engga apa-apa. Ibu ridho. Ibu doakan semoga kuliah kamu lancar, jadi wartawan yang baik, yang jujur, berintegritas”. Atau kita bisa mengatakan: “Sebenarnya ibu pengen punya menantu yang satu suku, yang pake kacamata, yang humoris. Tapi kalau kamu sudah memilih dia yang beda negara, gak pake kacamata dan pendiam, it’s oke. Toh dia sholeh. Kewajiban-kewajiban agama tidak pernah ditinggalkan, akhlaknya baik. Ibu Ridho”.

Menurut pengalaman saya dengan klien-klien saya, konflik dengan orangtua atau dengan anak, adalah salah satu konflik yang paling membuat batin menderita. Dan seringkali, sayangnya, konflik itu, bukan pada hal-hal yang sifatnya prinsipil, tapi pada hal-hal “permukaan”, namun kita tak terbiasa melatihnya.

Wallahu alam. Semoga bermanfaat.

sumber gambar : https://hendosays.wordpress.com/tag/great-power/

 

 

 

Dear Soulmate

Dear Soulmate,
Tak terasa hari ini, 14 tahun sudah kita bersama.
Lebih dari 5000 hari kita lalui.
Sudah banyak cerita, tawa bahagia diselingi sesekali mata yang berkaca-kaca.

Dear soulmate,
Jangan lupa kita punya janji untuk tumbuh tua bersama
Bergenggaman sampai tangan-tangan kita menjadi keriput
Terpisahkan sementara oleh ajal,
Lalu bertemu kembali bersama anak cucu kita di hari-hari yang abadi.

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk telinga lebarmu
Yang selalu siap mendengarkan segala kisah dari relung asa dan rasa
Hingga tak ada cerita yang tersisa yang kau tak tau dari diriku

Dear  soulmate,Terima kasih ya…
Untuk tawa nikmatmu mentertawakanku
Yang justru membuatku menikmati kebodohanku
Membuatku merasa bodoh itu indah haha….

Dear  soulmate, Terima kasih ya…
Untuk pelukanmu yang selalu hangat
Yang membuat aku berani menghadapi segala ketakutanku
Membuatku tak pernah merasa sendirian

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Telah menjadi tangan guritaku
Saat aku menyadari bahwa tanganku hanya dua

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk teori cintamu yang super sederhana
Yang tak banyak kata namun tak pernah lupa mengamalkannya

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Telah memberiku ruang dan waktu
Untukku tetap bisa memeluk erat mimpi-mimpiku
Walau kau terkadang tak sepenuh hati setuju

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk nasehat-nasehatmu yang selalu bisa menenangkan batinku
Kala aku gundah dan tak tahu arah

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Atas kesabaranmu
Menanggapi kemarahan-kemarahanku

Dear Soulmate, Terima kasih ya…
Untuk pelukan eratmu,
Yang telah mempercayaiku tanpa ragu
Bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu
Sebesar apapun mimpi yang ingin kukejar

Dear soulmate, I love You
Semoga seluruh kebaikan, kebahagiaan
dan keberkahan
di penjuru langit dan bumi tercurah pada kita

13221027_10209481292770052_6854373361520096318_n

 

Lelaki Penggenggam Hujan

29538979Dalam beberapa kesempatan ke toko buku dan ke pameran buku, saya sempat melihat buku ini. Sebuah novel tebal beserta 2 novel lain dengan judul dan gambar cover senada. Namun saya tidak tertarik untuk membelinya. Jujur saja, saya ini termasuk “picky reader”. Sangat pemilih dalam membaca. Dan biasanya, saya jatuh cinta pada gaya menulis. Oleh karena itu, buku-buku koleksi saya hanya berasal dari sejumlah pengarang tertentu. Karena menurut saya, kalau hanya mengungkapkan kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, itu pasti semua orang bisa. Namun keunikan cara menemukan kata, lalu merangkainya menjadi sesuatu yang dipahami secara mengakar, menyentuh rasa dan menggerakkan, hanya penulis-penulis tertentu yang “pas” dengan saya. Dan “Tasaro GK”, adalah nama asing yang tak masuk dalam list penulis di kepala saya.

Namun di hari pertama Ramadhan, saat saya mengalihkan perhatian si gadis kecil yang tampak lemas dan sejak jam 10 bertanya “kapan adzan maghrib” dengan mengajaknya beserta dua kakak dan si bungsu ke Gramedia, entah mengapa saya memutuskan untuk membelinya. Lengkap. 3 buku.

Dan saya tak menyesali keputusan saya tersebut. Dua hari lalu, novel setebal 638 halaman itu tamat saya baca. Setiap kali membacanya, sering saya tak kuat menahan tangis. Selama membacanya pula, entah berapa puluh kali saya bilang ke si sulung, si bujang kecil dan si gadis kecil, “Kaka, mas dan teteh, harus baca buku ini. Buku ini bagus banget”. Saya engga bilang kalimat serupa sama si abah, karena haqqul yakin, dia gak akan kuat baca novel setebal ini kkkk.

Saya pernah beberapa kali membaca buku Siroh perjalanan hidup Rasulullah. Dari beberapa penulis. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dari berbagai sudut pandang. Dua yang saya ingat adalah Siroh Nabawiyah karya Haikal dan “Biografi Kritis”nya Muhammad Sang Nabi karya Karen Armstrong. Tapi novel biografi karya penulis asal Gunung Kidul ini, adalah juaranya.

Apa yang dikisahkan, sama. Seperti juga yang sering kita dengar dari para ustadz saat kita mengikuti pengajian, atau bisa kita baca dari buku siroh manapun. Namun kesitimewaan buku ini, adalah pada cara bertutur penulisnya. Ini adalah sebuah novel. Ciri ke-novel-annya, terasa sekali. Namun ini juga sebuah biografi. Saya, jujur saja sempat ragu apakah penulis mampu mempertahankan akurasi fakta dalam unsur sejarahnya…apalagi ini sejarah seseorang yang paling mulia di dunia ini. Konon, sang penulis pun sempat merasakan keraguan itu. Tapi setelah membaca testimoni dari Prof. Azyumardi Azra, seorang guru besar sejarah, membaca daftar referensi yang digunakan penulis dan setelah membaca kisah kelahiran Rasulullah sampai futuh Mekah di buku pertama trilogi novel biografi ini, saya harus katakan, He dit it ! Perfect ! Super duper keyyen !

Gabungan dari  imajinasi liar dan misteri perjalanan tokoh bernama Kashva dengan alur peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Rasulullah, adalah gaya bertutur baru yang saya temukan, dan itu…keren banget !. Bahkan bagian “fiktif” mengenai perjalanan Kashva, menumbuhkan suatu keterpesonaan tersendiri. Persis seperti yang diungkapkan oleh Prof Quraish Shihab yang ramadhan ini membahas tafsir surat Asy-Syuara. Salah satu ayat di surat tersebut menyatakan bahwa kehadiran Rasulullah sebagai Nabi penutup, telah jelas tertulis dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya. Maka, perjalanan imajinatif untuk menelaah 4 kitab agama dari 4 agama yang berbeda dari mulai Zoroaster di Kuil Sistan, Hindu di Celah Khaibar, Budha di Tibet dan Kristen di Suriah, itu juga menumbuhkan keyakinan pada agama pembawa keselamatan ini, Islam.

Cara bertutur gaya novel saat menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah, akan membuat kita hanyut, seolah adegan itu ada di depan mata kita. Selain memberikan pengalaman rasa yang mendalam, cara bertutur penulis juga berhasil membuat saya menangkap perspektif yang berbeda. Perspektif yang hebatnya, berhasil menanamkan keteguhan akan kesempurnaan agama ini. Misalnya, mengenai siapa Juwairiah Binti Harits. Bagaimana proses yang terjadi sampai Rasulullah memutuskan untuk menikahi wanita tawanan perang tersebut. Atau cara penulis menggambarkan siapa itu Ummu Salamah. Membuat saya menjadi mengerti potongan-potongan peristiwa yang selama ini saya ketahui mengenai mereka dalam kaitannya dengan kehidupan Rasulullah.

Nama-nama istri Rasululalh yang saya kenal selewat, nama-nama Tokoh seperti Abu Sufyan, Abdullah Bin Ubay, kini menempel karena diikat oleh kisah yang disajikan penulis. Tokoh-tokoh baru pun saya kenali, misalnya Ja’far sang pemimpin rombongan hijrah ke Abasiah, lengkap dengan gambaran kehebatan diplomatiknya, yang mampu membuat Raja Negus terpesona dan tetap memberikan suaka pada mereka. Potongan-potongan peristiwa yang sebelumnya saya ingat secara random, berhasil disusun secara rapi dan mempesona oleh penulis.

Bahwa -karena ini novel- Rasuullah digambarkan sebagai seseorang dengan “gejolak perasaan tertentu”, ya. Efek dari cara bertutur demikian membuat kita bisa menghayati “sisi manusiawi” Rasulullah. Namun, karena cara ini dilakukan dengan hati-hati dan teliti, cara ini sama sekali tidak membuat keagungan Rasulullah luntur. Justru, semakin membuat kita yakin akan kemuliaan akhlaknya. Ya, kita sudah sering mendengar kebesaran hati Rasulullah saat beliau memaafkan Abu Sufyan, Ikrimah, Hindun…tapi dalam novel ini, keagungan itu benar-benar tereksplorasi dengan dalam.

Sebagai muslim/muslimah, kita mungkin sering mengatakan pada anak-anak kita, agar anak-anak kita memiliki akhlak seperti Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Kita sering sekali mendengar bahwa masa kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya, adalah masa yang terbaik sepanjang masa. Kesanalah kita harus merujuk. Bahkan untuk memperkuat keinginan itu, kita beri nama anak-anak kita nama Rasulullah, Muhammad dan atau sahabat-sahabat Rasulullah.  Ya, itu benar dan baik.

Tapi upaya itu tidak cukup. Jangan berhenti di tataran gagasan dan keinginan. Jika kita tidak bisa menghadirkan secara “konkrit” gambaran kehidupan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya pada anak-anak kita, kalau tak tergambar dengan jelas  konteks situasi pada saat itu, maka harapan kita agar anak-anak kita menyerap akhlak mulia Rasulullah dan memiliki sikap mental seperti sahabat-sahabat Rasulullah, hanyalah basa-basi.

Dan buat saya, membaca novel biografi ini, membuat kehidupan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya terasa kian nyata. Situasi-situasi sosial dan politik yang melatarbelakangi dan menjadi bagian dinamis dari suatu perilaku Rasulullah dan sahabatnya, sangat clear. Meskipun itu terjadi lebih dari seribu tahun lalu, namun warna dan rasa yang berhasil digambarkan penulis, membuat kisah ini terasa nyata dan dekat, bukan hanya sebagai sebuah kisah masa lalu.

Warna dan rasa itu, akan menjadi bekal buat kita saat menceritakan satu demi satu kisah Rasulullah dan para sahabatnya pada anak-anak kita. Sehingga nama-nama itu , keberanian, kekuatan, kelembutan, kecerdasan, kerja keras, dan keteguhan mereka, jika kita sampaikan dengan emosi yang juga kita rasakan, semoga hidup dalam rasa dan pikir anak-anak kita, dan semoga mengakar menjadi bagian dari kepribadian mereka.

Sebagai orang dewasa, gambaran dalam novel ini juga bisa membuat kita memahami makna dan menganalisa persoalan sosial dan politik yang terjadi disini, saat ini dengan perspektif Rasulullah.

Buku ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Terutama oleh para remaja kita. Menurut saya, melengkapi buku-buku biografi Rasulullah yang lain, pendekatan novel dalam buku ini akan bisa menumbuhkan kecintaan sekaligus menumbuhkan inspirasi; bahwa kebaikan agama ini, bisa kita sampaikan dengan cara yang kreatif sesuai dengan keunikan diri kita, tanpa harus kehilangan esensinya.

Sebenarnya saya bertanya-tanya… kalau buku pertama sudah menyampaikan kisah Rasulullah sampai futuh Mekkah, buku kedua yang lebih tebal (Muhammad : Para Pengeja Hujan) dan buku ketiga (Muhammad: Para Pewaris Hujan) yang tak kalah tebalnya berkisah tentang apa ya? Hiiii…..gak tahan untuk mengintip isi buku kedua dan ketiga. Tapi jumlah bacaan Qur’an saya sudah tertinggal jauh dari si sulung kelas 7 maupun si bujang kecil kelas 4. Jadi, terpaksa menunggu sampai syawal. Kan katanya Ramadhan itu bulan menahan diri hehe….

 

 

 

Dayung, Dayung, Dayung ….

Minggu lalu, saya membaca sebuah ebook berjudul “How To Build a Happy Family”. Pengarangnya adalah Bo Sanchez, yang setelah saya googling ternyata penulis terkenal dari Filipina. Pantesan meskipun bukunya terdiri dari 148 halaman, saya bisa membacanya sampai tuntas kurang dari 2 jam. Ringan dan enakeun bacanya.

Saya terkesan dengan salah satu perumpamaan yang diungkapkan oleh penulis dalam salah satu chapter bukunya, Chapter 9 hal. 49: Why Our Hearts Move Apart.  Di chapter ini, beliau memperkenalkan istilah “relationship drift”. Kalau dibahasaindonesiakan artinya …. “hubungan yang hanyut” (??:). Beliau menyampaikan bahwa relationship drift ini adalah suatu penyakit seperti kanker, yang fatal akibatnya namun kita seringkali tak merasakannya. Jika kita biarkan, maka “relationship drift” ini akan berujung pada “relationship dead” begitu beliau menulis.

Beliau mengumpamakan kita, anggota keluarga adalah perahu-perahu yang tengah mengapung di lautan. Kalau kita diam, maka arus, secara alamiah, akan saling menjauhkan perahu-perahu itu. Ini yang namanya “relationship drift”. Saat kita, tak sadar sedang saling menjauh dari hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Menurut beliau, susahnya, “penyakit” ini sulit dideteksi. Karena tak ada yang mencolok dalam prosesnya. Secara nyata di rumah kita, relationship drift ini tidak berbentuk pertengkaran. Tapi tenggelam dalam rutinitas masing-masing, hidup dalam “dunia psikologis” masing-masing, saya bayangkan adalah bentuk konkrit dari relationship drift ini.

Apa yang harus kita lakukan agar penyakit ini tak menggerogoti keluarga kita? kembali lagi ke perumpamaan perahu tadi. Penulis mengatakan dalam buku ini, yang harus kita lakukan adalah Paddle! If you don’t want to drift, you’ll have to go against the flow and paddle your way to each other. You’ll have to work hard, muscle your way, sweat like crazy and fight to be together (hal. 51).

Dayung…dayung….dayung !!! Kayuh…kayuh…kayuh…!!! Gagasan mengenai upaya secara “sadar” dan “sengaja” melawan arus rutinitas masing-masing anggota keluarga ini, buat saya pribadi selalu mempesona. Dalam salah satu tulisan saya (yang saya lupa lagi yang mana hehe…) rasanya saya pernah menulis mengenai seorang senior saya, yang dalam suatu perbincangan mengatakan pada saya bahwa ia sengaja hanya memiliki satu mobil yang dipakai oleh suami, dirinya dan anaknya yang telah bekerja. Melihat kesuksesan finansial senior saya tersebut, saya yakin itu bukan alasan dari ketidakmampuannya membeli mobil masing-masing. Meskipun konsekuensinya ia harus menunggu sampai sore untuk dijemput puterinya dan datang jauh lebih awal karena di drop oleh puterinya. Ia bersikukuh dengan cara itu. Saya masih ingat kata-kata beliau: “kalau engga gini, kapan lagi coba waktu kita untuk ngobrol dan ketawa-ketawa bareng?”.

Ya, ya….tanpa kita sadari, memang aktifitas dan rutinitas keseharian kita, bisa membuat kita hanyut dan tanpa sadar saling menjauh. Ayah yang kelelahan mencari nafkah, ibu yang ter-occupied dengan urusan dapur dan anak-anak atau urusan aktifitasnya di luar rumah, anak-anak yang tengelam dalan tugas-tugas sekolahnya, remaja yang tenggelam dan gadgetnya… Kata tak sadar penyakit mematikan mengintai kita. “Relationship dead”.

Maka, yang harus kita lakukan adalah…dayung, dayung, dayung. Bentuknya? setiap keluarag punya caranya masing-masing. Ada yang lewat ritual makan bersama di meja makan, ada yang mengusahakan lewat jadwal sholat bersama, atau seperti saya: selalu menghabiskan 2 hari weekend dengan full quality.

Salah satu “arus” yang potensial menjauhkan hubungan pasangan adalah, ketika istri beraktifitas di luar rumah, atau kerennya menjadi “working mom”. Entah karena alsaan finansial, aktualisasi atau profesi, namun harus disadari bahwa adanya jalinan komitmen dengan “pihak lain” dalam bentuk aktifitas di luar rumah: dengan bos, dengan tupoksi, dengan tim kerja, potensial menjadi arus kuat yang menjauhkan.

13450802_10209661842643686_3097426860658458444_nMaka, dalam sebuah pernikahan, kesadaran mendayung untuk selalu menjadai agar hubungan tetap hidup, mengakar dan bertumbuh harus selalu ada. Pembaharuan perjanjian-perjanjian,  pembaharuan dukungan dan cinta harus selalu dilakukan.

Atas dasar inilah kegiatan di samping ini dilaksanakan.Kita tak hanya akan berbagi pengetahuan, tapi juga semoga bisa menyentuh penghayatan dan keterampilan kita untuk mengokohkan hubungan.

Ada yang mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan keluarga. Bagi yang membutuhkan, semoga keikusertaan dalam acara ini bisa kita niatkan dan tercatat sebagai upaya untuk mempertahankan sakinah mawaddah wa rohmah di keluarga kita tetap ada, tumbuh dan mengakar.

Insya Allah.

Mutiara agama yang memudar: Empati

Sudah lama saya tak membaca timeline facebook. Aplikasi itu saya uninstall dari handphone karena saya merasa cenderung impulsif posting ini itu yang tak bermanfaat kalau aplikasi itu bisa saya akses anytime everywhere.

Malam ini, saya iseng membaca timeline dan ada suatu hal yang membuat saya terhenyak. Foto seorang mahasiswa, ditambah berita tentangnya. Sebaris kalimat plus cuplikan seorang ahli parenting juga tertulis di situ. Dan postingan itu, sudah dishare sekian banyak orang. Tulisannya di bawah foto itu, begitu menusuk dan membuat saya ingin menangis.

“Nama anak ini … Baru saja meninggal karena bunuh diri. ……….. Anak ini tidak terbiasa dengan kegagalan”.

Tahukah perasaan saya? marah. Ketika memajang foto anak itu, mencuplik berita tentangnya, lalu menuliskan kalimat itu, lalu yang membaca dan mensharenya, …. apa yang ada di perasaan kita?

Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? Keluarganya? orang-orang yang mencintainya? Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? keluarganya? Orang-orang yang mencintainya? Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? Keluarganya? orang-orang yang mencintainya? Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? keluarganya? Orang-orang yang mencintainya? Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? Keluarganya? orang-orang yang mencintainya? Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orangtuanya? keluarganya? Orang-orang yang mencintainya?

Saya ingin menuliskan kalimat-kalimat ini ratusan kali. Sambil berteriak. Kemarahan yang bergemuruh di dalam dada ini, adalah akumulasi. Akumulasi kekecewaan. Terutama terhadap saudara-saudara muslim/ah.

Seminggu lalu di bandara Soetta, turunlah ratusan jamaah umroh. Puluhan diantaranya mengantri ke kamar mandi. Banyak yang sepuh, yang terlihat tak kuat menahan pipis. Antrian panjang. Waktu itu sekitar jam 4. Memang sudah masuk waktu ashar. Petugas kebersihan, berpuluh kali mengingatkan: “ibu-ibu, mohon jangan wudhu disini ya…ini kamar mandi kering, jadi becek nantinya. Di musholla nanti bisa wudhu kok.” Dan you know apa yang terjadi??? Ibu-ibu itu, yang baru saja menangis tersedu-sedu saat thawaf dan saat berada di “taman syurga”Rasulullah, tetap saja berwudhu di kamar mandi. Kamar mandi jadi becek sehingga menambah pekerjaan petugas kebersihan? Orang-orang nunggu lama mengantri, para sepuh semakin tidak kuat menahan pipis? Tampaknya mereka tak peduli. Tampaknya mereka tak punya waktu untuk merasakan hal itu. Yang penting saya sudah wudhu untuk sholat.

Beberapa hari lalu di wa grup orangtua calon peserta sebuah sanlat, terjadi peristiwa yang menurut saya sangat memalukan. Dua kelompok orangtua saling berselisih. Hanya karena hal sepele. Suasana sangat panas. Beragam kalimat sindiran keluar. Diawali oleh postingan yang didasari oleh ketidakempatian terhadap kondisi yang berbeda darinya.

Saya tidak sedang bicara mengenai anak-anak, yang akal dan rasanya belum sepenuhnya matang. Saya bicara tentang perilaku orang dewasa. Orang-orang yang berpendidikan tinggi. Orang-orang yang beragama dan tunduk pada ritual agama. Orang-orang yang berkecukupan.

Ada sebuah mutiara yang memudar. Dan yang saya sedih sekali, dia memudar dalam perilaku saudara-saudara muslim/ah. Seorang teman mengatakan bahwa ketika ia umroh, ia sangat tidak suka ke Raudhah, karena tidak tahan menyaksikan pertengkaran dan perilaku muslimah yang begitu “sangar” dan “galak”. Sebuah disharmoni yang menusuk memang…menyaksikan esensi islam kini semakin menciut, tenggelam dalam lautan “jilbab syar’i dan modis”

Saya tuh sediiih, banget…bener-bener sedih melihat agama yang mulia ini tereduksi maknanya, semakin dangkal dilihat hanya sebagai bursa ekonomi pakaian. Seorang teman bercerita saat ia umroh, serasa menyaksikan pagelaran busana muslimah. Berbagai warna dan gaya. Menampilkan aurat? engga. Baju dan kerudungnya super panjang dan super lebar. Tapi ada yang memudar. Empati.

Mengapa mutiara ini bisa memudar? dalam konteks pengajaran agama, menurut saya mutiara ini memudar karena empati, tak diperkenalkan sebagai bagian penting dari ibadah. Kita kurang menghayati bahwa empati adalah inti sel nya ibadah.

Dalam agama, kita mengenal hablumminallah dan hablumminannas. Menjalin dan memperbaiki hubungan baik dengan ALlah, itu lebih mudah. Karena Alah maha pengasih, maha penyayang. Tapi menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan manusia, itu lebih sulit. Karena ada ke”ego”an kita yang seringkali harus kita tundukkan. Dan itu tidak mudah. Tapi itu adalah salah satu inti ibadah.

Ibadah haji, semua orang bilang berat. Coba lakukan sendiri. Thawaf sendiri, lempar jumroh sendiri, di Mina sendiri….ringan. Tantangannya adalah, ketika kita harus khusyuk menjalin hubungan dengan Allah, tanpa menghancurkan hubungan dengan orang lain di kiri-kanan-depan-belakang kita. Melakukan kesalahan pada ALlah, kita bisa bertaubat dan Allah Maha penerima taubat. Melakukan kesalahan pada manusia? tidak mudah bagi kita meminta maaf.

Maka, pudarnya empati sebagai inti sel ibadah ini, mungkin karena kita mereduksi pemahaman ibadah pada anak-anak kita, dengan mendefisinikan ibadah sebagai : sholat, menghafal Qur’an. Beberapa waktu lalu saya mengadakan survey mengenai tujuan pengasuhan pada beberapa komunitas orangtua. Dari 104 orangtua,menyatakan bahwa  tujuan pengasuhan mereka adalah “menjadikan anak sholeh/sholehah”. Saat diberikan pertanyaan “Apa yang dimaksud sholeh/sholehah?” Hampir seluruh jawabannya adalah : “shalat tepat waktu dan menjadi hafidz”. Tidak ada muncul kalimat: “berbagi pada sesama”, “peduli pada lingkungan”. Tidak ada. orientasinya adalah “kesholehan pribadi”.

Waktu rame-rame mengenai memilih pemimpin salah satu daerah di Indonesia, saya pernah membaca postingan seorang kenalan: “lebih baik memilih pemimpin muslim yang korupsi daripada memilih pemimpin non muslim yang bersih. Kalau kita memilih pemimpin yang non muslim, kita yang berdosa. Sedangkan kalau yang kita pilih muslim yang korupsi, pemimpin itu yang berdosa”.

Postingan itu, membuat saya terhenyak. Saya tidak mau membahas hukum memilih nonmuslim sebagai pemimpin. Itu bukan kapasitas saya. Mari kita ikuti saja hasil olah pikir para ahli di bidangnya untuk hal itu. Tapi sebagai orang yang mempelajari Psikologi “ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan proses-proses mental yang mendasarinya”, saya bertanya-tanya dalam hati….nilai apa, pemahaman seperti apa, perasaan seperti apa yang dimiliki oleh mereka yang berpendapat demikian? Dimensi yang menjadi pertimbangan hanya “saya selamat”. Bagaimana kondisi keselamatan orang lain? Keselamatan pemimpin muslim yang ia pilih? Keselamatan masyarakat yang hak-nya dikorupsi oleh pemimpin yang dipilihnya? pernahkah ia menyaksikan wajah-wajah orang miskin yang tak bisa makan karena uang raskinnya dikorupsi oleh pemimpinnya? pernahkah ia melihat wajah para pemuda cerdas yang terpaksa harus menjadi kuli karena uang beasiswa untuk mereka dikorupsi pimpinannya? Saya bertanya-tanya, proses belajar apa yang terjadi pada kehidupan  mereka, sehingga hanya dimensi “keselamatan diri” yang ada di memory mereka, yang menjadi dasar keputusan mereka?

Apakah itu salah? tidak. Namun nyatanya, seperti ibu-ibu yang wudhu di kamar mandi kering tanpa peduli para sepuh yang mengantri panjang itu, atau orang-orang yang berdzikir panjang di musholla sementara yang lain antri tidak bisa masuk, atau bahkan orang-orang yang memeluk rukun yamani ka’bah tanpa mau melepaskannya dan memberikan kesempatan pada orang lain,   kesholehan pribadi tanpa rasa peduli pada orang lain, muncul menjadi perilaku yang sangat menyebalkan. Kalau perilaku kita sudah dirasa menyebalkan oleh orang lain, bagaimana orang lain bisa merasakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang “rahmatan lil alamin?”

Lalu bagaimana caranya mengajarkan empati pada anak setelah kita menghayati bahwa empati adalah inti sel dari ibadah?

Tiga tahun lalu, saya pernah berada di sebuah negara. Seorang ustadz asal Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana, memberika tausyiah hampir setiap hari. Waktu itu, tema yang sedang dibahas adalah keutamaan berhaji. Ada salah satu jamaah dari Indonesia yang bertanya: “kalau kita punya uang untuk berhaji untuk yang kedua kali, apakah lebih baik kita berhaji atau menyedekahkan/mewakafkan uang kita?” dengan tegas ustadz tersebut menjawab: “Lebih baik berhaji lagi. Soal kesejahteraan masyarakat, itu tanggung jawab pemerintah”. Waktu itu, saya mengangguk setuju. Karena saya sedang merasakan nikmatnya ibadah individu.

Lalu saya kembali ke Indonesia. Menyaksikan ada banyak situasi yang membutuhkan bantuan finansial. Ada banyak anak cerdas tak mampu yang butuh biaya sekolah. Ada banyak anak jalanan yang terlantar dan sangat rentan terhadap berbagai keburukan. Ada banyak pemuda tanggung yang tak punya skill untuk bekerja. Lalu saya mulai mempertanyakan jawaban pak ustadz tadi.

Apakah jawaban pak Ustadz Salah? tidak. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Dan kemudian, setelah saya sampaikan kegalauan saya pada mas, mas memberikan jawabannnya. “Ustadz itu tidak salah. Hanya, kita harus lihat. Ia hidup bertahun-tahun di negara yang begitu makmur. Negara kaya, yang kesejahteraan rakyatnya terjamin, Pengangguran aja dibayar. Disana, memang benar pemerintah yang mengurus dan menyelesaikan seluruh masalah masyarakat. Sehingga, sangat wajar jika disana, secara alamiah, kita jadi fokus untuk meningkatkan kualitas diri. Dalam konteks agama, adalah kualitas ibadah individual”.

Ya, ya…kini saya tahu apa yang mengganjal. Konteks situasi yang berbeda. Di Indonesia, di negeri yang sedang berkembang dan belum sepenuhnya stabil ini, sumbangsih kita sebagai bagian dari masyarakat, untuk berkontribusi pada persoalan-persoalan masyarakat dalam bentuk materi dan pemikiran, masih sangat dibutuhkan. Maka, amal strategis kita bisa jadi berbeda dengan amal strategis pak Ustadz. Pasti bukan kebetulan Allah sang Maha Sempurna mentakdirkan kita lahir, tumbuh dan berkembang di negara ini.

Penghayatan terhadap “here and now” ini, menurut saya adalah salah satu kunci untuk bisa menghidupkan rasa empati. Memandang ke sekeliling dimana kita berada dengan khusyuk.  Jika ibu-ibu yang wudhu tadi menyempatkan untuk memandangi wajah para sepuh yang antri, meluangkan waktu menyaksikan gesture para ibu yang tak kuat menahan pipis… Ketika ia menghayati dirinya “here and now”, sedikit banyak mungkin akan mempengaruhi motivasinya untuk “segera dalam keadaan suci”.

Kenapa? karena emosi itu, akar katanya sama dengan motivasi. Movere. Menggerakkan. Kalau kita bisa merasakan perasaan orang lain, maka kita akan tergerak untuk melakukan sesuatu untuk orang lain itu.

Kalau saya orang yang berkuasa dalam bidang pendidikan di tanah air ini, saya merasa perlu mengerahkan pikiran untuk menumbuhkan empati pada anak-anak bangsa ini. Namun karena saya hanya seorang ibu, maka yang akan saya lakukan adalah:

red-hearts-love-tree-wallpaper-768x480(1) Memahamkan pada anak-anak saya, bahwa ibadah itu tak hanya sholat dan menghafal Al Quran. Al Qur’an itu mukjizat. Jika kita mengamalkannya, PASTI akan mengantarkan kita menjadi orang yang mempesona di dunia dan selamat di akhirat. Menurut salah seorang ahli tafsir, dalam Al Qur’an kata “KAMI” lebih banyak ditemukan dibanding kata “AKU”. Ihdinassirootol mustakiim. Antarkanlah KAMI ke jalan yang lurus. Bukan antarkanlah SAYA. Maknanya apa? kepedulian, kebersamaan. Selamat bersama. Sejahtera bersama. Bahagia bersama. Saya ingin menanamkan pada anak-anak saya bahwa…Sholat itu ibadah. Puasa ibadah. Menghafal Al Qur’an ibadah. Memberikan jatah antrian kita pada orang yang kita lihat lebih membutuhkan, ibadah. Meminjamkan alat tulis pada teman, itu ibadah. Bersungguh-sungguh belajar, itu ibadah. Seluruh detik yang Allah berikan pada kita, adalah kesempatan untuk beribadah.

(2) Menghidupkan rasa, dengan mengamati sekitar. Cara yang paling sederhana adalah, pandanglah wajah para mustad’afin. Demikian guru saya waktu di Salman mewasiatkan. Wajah kumal anak-anak jalanan, wajah keriput kakek nenek yang menengadahkan tangannya di pasar. Memperhatikan baju mereka yang compang-camping. Mengunjungi rumah mereka yang renta. Saya ingin mengajak anak-anak saya  menatap wajah mereka dengan lekat. Itu cara paling sederhana menghidupkan rasa. Rasa kita, mungkin akan cenderung  mengeras saat kita terlalu banyak melihat wajah cantik, dengan pakaian syar’i yang indah,atau tempat-tempat yang menawan di berbagai medsos.

Wallahu alam. Semoga kita dikarunia kelembutan rasa, dan membuat kita menjadi lebih teguh menebarkan kebaikan.

sumber gambar : http://www.wallpaperhd.pk/red-hearts-love-tree-wallpaper/

 

 

 

 

 

Adakah “remaja” dalam Islam ?

Suatu sore, saya menyaksikan adegan yang membuat saya pengen ketawa guling-guling. Si gadis kecil 7 tahun yang sedang asyik membaca buku, tiba-tiba bangkit, memakai kacamata plastik hello kitty-nya, mengambil pulpen, dan mendekati si sulung 13 tahun  yang sedang asyik ber-hape ria. Dengan gaya reporter, si gadis kecil berkata:

Gadis kecil : “Kaka, apakah kaka mudah tersinggung?”

Si sulung : “Apaan sih kamu? ganggu aja…”

Gadis kecil : “Ya, betul. Barusan Kaka menunjukkan perilaku mudah tersinggung. Pertanyaan selanjutnya: apakah Kaka perasaannya mudah berubah-ubah dengan cepat?”

Si sulung: “Ih, kamu….gak ada kerjaan lain apa?” (dan dia pun beranjak ke kamarnya).

Lalu si gadis kecil pun mendekati saya, menunjukkan sejumlah poin dengan kolom checklist yang ada di buku “pubertas” yang sedang dibacanya. Lalu dia berkata: “Bu, Kaka positif remaja bu….bener kata ibu”.

Adegan itu, kepolosan si gadis kecil, lucuuu banget. Memang sejak dua tahun lalu, sejak si sulung yang baik hati, tidak sombong dan super ngemong itu berubah perilakunya menjadi jutek, saya menjelaskan pada adik-adiknya bahwa kakaknya, memasuki masa remaja. Apakah remaja itu? bla..bla..bla…pubertas…bla..bla..bla…hormon…bla..bla..bla..emosi…bla..bla..bla..

Ah, remaja. Pemikiran yang tidak islami. Tak ada remaja dalam Islam. Adanya istilah remaja itu hanya upaya pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan generasi muslim. Biar aqil-nya gak bareng sama baligh-nya.

Sudah sering saya dengar dan baca pendapat tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang berpendapat demikian, saya punya sudut pandang lain.

Bahwa dalam Islam periode perkembangan manusia itu hanya ada dua yaitu belum aqil baligh dan sudah aqil baligh, Yups. Absolutely. Ajaran agama, jika dituliskan dalam Al Qur’an dan sunnahnya, areanya iman. Percaya.

Istilah remaja itu adalah upaya-upaya pihak tertentu untuk menghancurkan generasi muslim, agar kita sebagai orangtua mentolelir “kesalahan-kesalahan” dan memaklumi “proses pencarian jati diri” remaja? No comment. Wallahu alam. Saya tidak punya informasi yang bisa saya percaya untuk mengatakan itu betul atau salah.

Lalu, kenapa saya masih menghidupkan kata dan konsep “remaja” dalam kepala saya, padahal saya muslimah?

Biar saya ceritakan dulu asal-usul munculnya istilah “remaja” ini. Istilah “remaja” atau adolescence, berasal dari bahasa latin yang artinya “to grow into adulthood”. (Tuuuuh ka, dari latin, bukan dari Islam). Mengapa para ahli psikologi memunculkan “remaja” sebagai salah satu tahap perkembangan manusia ? tahap perkembangan manusia itu, dirumuskan berdasarkan karakteristik segi biologis/fisik dan  kognitif/pemikiran yang berdampak pada perilaku yang khas.

Mengapa periode anak dibedakan dengan periode dewasa? karena ada perubahan biologis/fisik dan kognitif/pemikiran yang berbeda secara signifikan pada anak dan pada dewasa. Mengapa individu usia 40 sampai 60 tahun dikelompokkan dalam kelompok yang sama? karena secara umum, karakteristik segi biologis/fisik dan  kognitif/pemikirannya tidak berbeda secara signifikan.

Jadi, adanya istilah REMAJA adalah berdasarkan pengamatan bahwa ada kekhasan perubahan biologis/fisik dan kognitif/pemikiran pada kelompok usia tertentu, antara usia anak dan usia dewasa. Usia berapa? nah, ini pertanyaan gampang yang susah jawabannya. Karena parameter yang digunakan juga  berbeda-beda. Namun intinya, masa ini pada hakikatnya adalah masa dimana anak mengalami perubahan dalam semua aspek perkembangannya  untuk menjadi dewasa. Makanya suka disebut masa transisi.

Mengapa transisi? karena tidak JRENG !!! begitu menginjak usia tertentu, atau begitu mengalami kejadian tertentu, perilaku anak langsung berubah menjadi perilaku yang dewasa. Ada proses. Proses itu terjadi bertahap. Dari segi biologis dalam tataran sel, fungsi otak, yang berdampak pada kemampuan berpikir, yang seterusnya berdampak pada perilaku.

Jadi, kalau yang saya tangkap, literatur psikologi yang menyebutkan ada tahap yang namanya remaja dengan karakteristik perubahan biologis begini, perubahan fungsi otaknya begitu, perubahan emosinya begono, dll… itu bicara tentang fakta empiris. Kenyataan di lapangan. Tinggal kita berpikir kritis: di lapangan yang mana? amerika? negara barat? timur? indonesia? timur tengah? …. apakah di semua tempat ditemukan perilaku  pada usia tertentu yang khas, berbeda dengan perilaku anak-anak dan perilaku orang dewasa di daerah tersebut? Mangga pertanyaan itu dicari jawabannya sendiri.

Saya sendiri, sependek pengalaman saya, melihat bahwa perilaku khas itu -perilaku khas yang bukan perilaku anak-anak namun bukan perilaku dewasa- ada di rumah saya, nyata di lingkungan sekitar saya. Maka, saya sendiri percaya bahwa ada perubahan biologis/fisik dan kognitif/pemikiran yang terjadi pada anak yang akan berproses menjadi dewasa. Mau dinamakan REMAJA, mau dinamakan pemuda, mau gak dikasih nama juga, bukan itu hakikatnya. What in a name…. tapi bahwa secara lapangan kenyataan itu ada, ya.

Lalu, bagaimana dengan ajaran Islam yang mengatakan bahwa setelah baligh anak dituntut dengan kewajiban yang sama seperti orang dewasa? mmmhhh….saya sendiri tidak melihat dua hal ini sebagai suatu pertentangan, versus.

Bahwa remaja putri itu kalau lagi PMS emosinya naik turun, YA. Faktanya demikian. Bahwa dengan kondisi tersebut ia tetap wajib sholat, YA. Itu adalah aturan agama yang tak bisa diganggu gugat. Dimana pertentangannya?

Bahwa anak remaja putra usia 13 tahun itu lagi suka-sukanya sama lawan jenis, YA. Faktanya demikian. Bahwa dengan kondisi demikian ia tetap tidak boleh berzina dan tidak boleh mendekati zina, YA. Itu adalah aturan  agama yang tak bisa diganggu gugat. Dimana pertentangannya?

Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka yang berpendapat bahwa ilmu yang boleh kita dengar, pelajari dan amalkan itu hanya ilmu yang berasa dari dunia islam dan ilmuwan islam, saya memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya menghargai mereka yang berpendapat bahwa Psikologi itu ilmu sekuler. Haram untuk kita pelajari dan amalkan. Ya, ada sebagian teori Psikologi yang didasari oleh pemahaman  hakikat  manusia yang berbeda dengan pemahaman hakikat  manusia menurut agama Islam. Tapi sebagian lainnya, yang tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, adalah ilmu alat yang bisa membantu kita memahami sistem keMahaannya. Wallahu alam.

Jadi, kesimpulannya, karena saya sendiri melihat bahwa fenomena di lapangan perilaku khas remaja itu ada, maka saya memutuskan untuk mempelajari mengenai remaja ini. Untuk apa? untuk menanamkan nilai-nialai agama padanya.

Saya gak bisa tutup mata dalam menanamkan nilai-nilai. Resikonya terlalu besar. Gak percaya? coba bilang sama anak 7 tahun. “Ayo sholat. Kalau gak sholat, nanti gak ibu ajak jalan-jalan”. Mungkin si 7 tahun akan menurut. Coba katakan hal yang sama pada anak umur 13 tahun. Dia akan nurut?

Ada yang berubah dalam diri si anak. Maka, cara kita mengajarkan nilai agama pun harus berubah. Yang tidak boleh berubah adalah satu, Nilai-nilai agama yang ingin kita tanamkan pada anak.

Kita mau tutup mata tak mau melihat perubahan dalam diri anak? tetap memakai cara yang sama seperti cara yang biasa kita lakukan ? silahkan. Saya tak mau ambil resiko itu.

Beberapa hari lalu saya membaca secara lebih detil mengenai perubahan struktur dan fungsi otak pada remaja. Ini adalah topik yang relatif baru, dan sedang ngehits di dunia psikologi, yang memandang manusia sebagai entitas yang lengkap: bio-psiko-sosial. Tau gak…saya pengen nangis loh…membaca perubahan yang terjadi pada otak “remaja”, yang … amazing banget. Saat itu, hati saya merasa …“Ya Allah, Engkau teh Maha Sempurna banget. Detiiiiiil dan sempurnaaaa sekali engkau menyiapkan tahap demi tahap perkembangan manusia”. Insyaalah kalau ada usia dan kesempatan saya akan berbagi mengenai hal ini.

Saya jadi inget, 4 hari lalu, di kampus kami mengadakan acara mempersiapkan Ramadhan. Dua orang pembicara keren kami undang. Satu mas Budi Prayitno. Kami minta beliau berbicara mengenai fiqih shaum ramadhan. Karena latar belakang beliau psikologi, beliau memaparkan juga mengenai happines kaitannya dengan puasa ramadhan. Pembicara lainnya adalah Ustadz Tauhid Nur Azhar, doktor yang menguasai bidang neurologi. Beliau kami minta berbicara mengenai puasa dalam perspektif neurosains.

37 tahun umur saya, baru kali ini saya faham mengapa dalam puasa ini, Allah mengatur yang ditahan adalah hawa nafsu “makan, minum dan seksual”. Tiga hal itu.  Dengan fasih beliau menjelaskan dari sudut pandang neuro sains. Yang terkait dengan tulisan ini adalah, saat beliau menjelaskan keteraturan yang terjadi dalam tubuh manusia, yang beliau jelaskan sudah bukan di tataran sel lagi, tapi jauh…jauh..jauh lebih kecil dari sel. Beliau menjelaskan kompleksitas otak, sel-sel syaraf, mekanisme enzim-enzim….saya tidak sepenuhnya mengerti, tapi yang berkesan buat saya adalah, dengan penuh penghayatan beliau berkata: “Keren banget Allah tuh…indah banget sistem otak itu…”.

Saya, dengan penghayatan yang sama, bisa mengatakan hal yang sama: “Keren banget ALlah itu. Ya, manusia  itu makhluk yang paling sempurna, mahakaryaNya. Sungguh-sungguh sekali Ia menciptakan manusia tuh”. Kalimat itu keluar dari hati saya setelah saya mempelajari suatu topik Psikologi secara detil.  Terutama bagian-bagian ilmu yang menjelaskan hal-hal yang sifatnya basic. Seperti perubahan yang terjadi dalam diri manusia sepanjang hidup manusia. Atau tentang bagaimana manusia berpikir. Proses transduksi dalam sensasi-persepsi. Proses memory, proses learning. Amazing. Speechless. Allahu Akbar. Memahami proses yang Ia ciptakan, selalu memunculkan kekaguman pada keagunganNya.

Kesimpulannya adalah, ada banyak cara menuju kebaikan. Kebaikan yang ingin kita capai adalah, anak-anak kita tumbuh menjadi individu dewasa, yang aqil baligh, yang mencintai Allah, yang selamat menjalani kehidupan ini.

Bagaimana cara mencapai itu, berbeda-beda. Ada yang berpendapat anak harus disterilkan. Jauhkan dengan berbagai potensi godaan. Pisahkan dengan lawan jenisnya, tutup aksesnya terhadap dunia luar. Salah? tidak.          Ada yang berendapat berbeda. Memberikan anak akses terhadap potensi godaan, dengan batasan-batasan dan umpan balik tertentu. Salah? tidak.

Ada yang berpendapat bahwa ajaran agama harus diajarkan tanpa pertanyaan. “Allah sudah menetapkan aturan itu, pasti itu aturan yang sempurna. Ikuti saja”. Salah? tidak. Ada juga yang berpendapat untuk menanamkan pemahaman agama yang mengakar, perlu adanya dialog. Membuka ruang saat anak bertanya “kenapa sih aku harus pake jilbab? kenapa sih harus sholat?”. Salah? tidak.

Yang salah adalah kalau kita tak peduli dan tak sungguh-sungguh mendidik. Yang salah adalah ketika kita melihat cara kita tak berhasil, kita diam saja, bersikeras bahwa cara ini yang paling benar. Yang salah adalah saat kita tak mau belajar dengan sungguh-sungguh.

Pesan saya, cara apapun yang kita putuskan sebagai orangtua, pelajari cara itu dengan sungguh-sungguh. Dari A sampai Z. Jangan hanya berhenti di tataran konsep. Berpikir kritis. Jangan ragu bertanya pada ahlinya. Tentang remaja dan aqil baligh ini, bagi yang percaya bahwa masa transisi itu ada, tanyakan pada ahlinya….jadi harus bagaimana dalam praktek pengasuhannya? apa batasan-batasan boleh dan tidak boleh yang bisa kita sampaikan pada si remaja? tekniknya gimana? gimana kalau respons si remaja begini, begitu? apa yang kita khawatirkan?

Bagi yang percaya bahwa tidak ada fase remaja, juga tanyakan pada ahlinya…berpikir kritis. Apakah sama kadar dewasa remaja putri berusia 13 tahun yang sudah baligh dengan pada waita usia 30 tahun? misalnya. JIka sama gimana, kalau beda gimana? Tanya…dari A sampai Z.Karena setiap kerangka pikir, ada jalurnya masing-masing. Kalau dicampur, nanti bingung sendiri. Intinya mah, jika akan mempelajari satu hal, pelajari sungguh-sungguh, tak boleh hanya berhenti sebagai wawawsan dan ilmu, tapi pahami sumbernya, dasarnya, kejar sampai tataran aplikatif.

Tulisan di atas, semoga bermanfaat.

41B+rV6mZ2L-e1415201455240Yang jelas, pandangan bahwa munculnya istilah remaja itu adalah untuk melemahkan generasi muda, secara pribadi kurang saya percayai.

Kalau ada yang mengatakan hal itu dan memandang remaja adalah masa untuk kita mentolelir keburukan, saya melihat trend psikologi tidak ke sana.

Salah satunya adalah dengan munculnya buku dari salah satu ahli yang sudah lebih dari 40 tahun mempelajari mengenai remaja di samping ini.

Wallahu alam. Semoga kita dikaruniai kesungguhan dan kerendahan hati untuk mencari ilmu, serta kekuatan untuk mengamalkan ilmu. Aamiin…

#Ramadhan 1437 _ day one