Minggu lalu, saya membaca sebuah ebook berjudul “How To Build a Happy Family”. Pengarangnya adalah Bo Sanchez, yang setelah saya googling ternyata penulis terkenal dari Filipina. Pantesan meskipun bukunya terdiri dari 148 halaman, saya bisa membacanya sampai tuntas kurang dari 2 jam. Ringan dan enakeun bacanya.
Saya terkesan dengan salah satu perumpamaan yang diungkapkan oleh penulis dalam salah satu chapter bukunya, Chapter 9 hal. 49: Why Our Hearts Move Apart. Di chapter ini, beliau memperkenalkan istilah “relationship drift”. Kalau dibahasaindonesiakan artinya …. “hubungan yang hanyut” (??:). Beliau menyampaikan bahwa relationship drift ini adalah suatu penyakit seperti kanker, yang fatal akibatnya namun kita seringkali tak merasakannya. Jika kita biarkan, maka “relationship drift” ini akan berujung pada “relationship dead” begitu beliau menulis.
Beliau mengumpamakan kita, anggota keluarga adalah perahu-perahu yang tengah mengapung di lautan. Kalau kita diam, maka arus, secara alamiah, akan saling menjauhkan perahu-perahu itu. Ini yang namanya “relationship drift”. Saat kita, tak sadar sedang saling menjauh dari hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Menurut beliau, susahnya, “penyakit” ini sulit dideteksi. Karena tak ada yang mencolok dalam prosesnya. Secara nyata di rumah kita, relationship drift ini tidak berbentuk pertengkaran. Tapi tenggelam dalam rutinitas masing-masing, hidup dalam “dunia psikologis” masing-masing, saya bayangkan adalah bentuk konkrit dari relationship drift ini.
Apa yang harus kita lakukan agar penyakit ini tak menggerogoti keluarga kita? kembali lagi ke perumpamaan perahu tadi. Penulis mengatakan dalam buku ini, yang harus kita lakukan adalah Paddle! If you don’t want to drift, you’ll have to go against the flow and paddle your way to each other. You’ll have to work hard, muscle your way, sweat like crazy and fight to be together (hal. 51).
Dayung…dayung….dayung !!! Kayuh…kayuh…kayuh…!!! Gagasan mengenai upaya secara “sadar” dan “sengaja” melawan arus rutinitas masing-masing anggota keluarga ini, buat saya pribadi selalu mempesona. Dalam salah satu tulisan saya (yang saya lupa lagi yang mana hehe…) rasanya saya pernah menulis mengenai seorang senior saya, yang dalam suatu perbincangan mengatakan pada saya bahwa ia sengaja hanya memiliki satu mobil yang dipakai oleh suami, dirinya dan anaknya yang telah bekerja. Melihat kesuksesan finansial senior saya tersebut, saya yakin itu bukan alasan dari ketidakmampuannya membeli mobil masing-masing. Meskipun konsekuensinya ia harus menunggu sampai sore untuk dijemput puterinya dan datang jauh lebih awal karena di drop oleh puterinya. Ia bersikukuh dengan cara itu. Saya masih ingat kata-kata beliau: “kalau engga gini, kapan lagi coba waktu kita untuk ngobrol dan ketawa-ketawa bareng?”.
Ya, ya….tanpa kita sadari, memang aktifitas dan rutinitas keseharian kita, bisa membuat kita hanyut dan tanpa sadar saling menjauh. Ayah yang kelelahan mencari nafkah, ibu yang ter-occupied dengan urusan dapur dan anak-anak atau urusan aktifitasnya di luar rumah, anak-anak yang tengelam dalan tugas-tugas sekolahnya, remaja yang tenggelam dan gadgetnya… Kata tak sadar penyakit mematikan mengintai kita. “Relationship dead”.
Maka, yang harus kita lakukan adalah…dayung, dayung, dayung. Bentuknya? setiap keluarag punya caranya masing-masing. Ada yang lewat ritual makan bersama di meja makan, ada yang mengusahakan lewat jadwal sholat bersama, atau seperti saya: selalu menghabiskan 2 hari weekend dengan full quality.
Salah satu “arus” yang potensial menjauhkan hubungan pasangan adalah, ketika istri beraktifitas di luar rumah, atau kerennya menjadi “working mom”. Entah karena alsaan finansial, aktualisasi atau profesi, namun harus disadari bahwa adanya jalinan komitmen dengan “pihak lain” dalam bentuk aktifitas di luar rumah: dengan bos, dengan tupoksi, dengan tim kerja, potensial menjadi arus kuat yang menjauhkan.
Maka, dalam sebuah pernikahan, kesadaran mendayung untuk selalu menjadai agar hubungan tetap hidup, mengakar dan bertumbuh harus selalu ada. Pembaharuan perjanjian-perjanjian, pembaharuan dukungan dan cinta harus selalu dilakukan.
Atas dasar inilah kegiatan di samping ini dilaksanakan.Kita tak hanya akan berbagi pengetahuan, tapi juga semoga bisa menyentuh penghayatan dan keterampilan kita untuk mengokohkan hubungan.
Ada yang mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan keluarga. Bagi yang membutuhkan, semoga keikusertaan dalam acara ini bisa kita niatkan dan tercatat sebagai upaya untuk mempertahankan sakinah mawaddah wa rohmah di keluarga kita tetap ada, tumbuh dan mengakar.
Insya Allah.
Recent Comments