Dalam beberapa kesempatan ke toko buku dan ke pameran buku, saya sempat melihat buku ini. Sebuah novel tebal beserta 2 novel lain dengan judul dan gambar cover senada. Namun saya tidak tertarik untuk membelinya. Jujur saja, saya ini termasuk “picky reader”. Sangat pemilih dalam membaca. Dan biasanya, saya jatuh cinta pada gaya menulis. Oleh karena itu, buku-buku koleksi saya hanya berasal dari sejumlah pengarang tertentu. Karena menurut saya, kalau hanya mengungkapkan kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, itu pasti semua orang bisa. Namun keunikan cara menemukan kata, lalu merangkainya menjadi sesuatu yang dipahami secara mengakar, menyentuh rasa dan menggerakkan, hanya penulis-penulis tertentu yang “pas” dengan saya. Dan “Tasaro GK”, adalah nama asing yang tak masuk dalam list penulis di kepala saya.
Namun di hari pertama Ramadhan, saat saya mengalihkan perhatian si gadis kecil yang tampak lemas dan sejak jam 10 bertanya “kapan adzan maghrib” dengan mengajaknya beserta dua kakak dan si bungsu ke Gramedia, entah mengapa saya memutuskan untuk membelinya. Lengkap. 3 buku.
Dan saya tak menyesali keputusan saya tersebut. Dua hari lalu, novel setebal 638 halaman itu tamat saya baca. Setiap kali membacanya, sering saya tak kuat menahan tangis. Selama membacanya pula, entah berapa puluh kali saya bilang ke si sulung, si bujang kecil dan si gadis kecil, “Kaka, mas dan teteh, harus baca buku ini. Buku ini bagus banget”. Saya engga bilang kalimat serupa sama si abah, karena haqqul yakin, dia gak akan kuat baca novel setebal ini kkkk.
Saya pernah beberapa kali membaca buku Siroh perjalanan hidup Rasulullah. Dari beberapa penulis. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dari berbagai sudut pandang. Dua yang saya ingat adalah Siroh Nabawiyah karya Haikal dan “Biografi Kritis”nya Muhammad Sang Nabi karya Karen Armstrong. Tapi novel biografi karya penulis asal Gunung Kidul ini, adalah juaranya.
Apa yang dikisahkan, sama. Seperti juga yang sering kita dengar dari para ustadz saat kita mengikuti pengajian, atau bisa kita baca dari buku siroh manapun. Namun kesitimewaan buku ini, adalah pada cara bertutur penulisnya. Ini adalah sebuah novel. Ciri ke-novel-annya, terasa sekali. Namun ini juga sebuah biografi. Saya, jujur saja sempat ragu apakah penulis mampu mempertahankan akurasi fakta dalam unsur sejarahnya…apalagi ini sejarah seseorang yang paling mulia di dunia ini. Konon, sang penulis pun sempat merasakan keraguan itu. Tapi setelah membaca testimoni dari Prof. Azyumardi Azra, seorang guru besar sejarah, membaca daftar referensi yang digunakan penulis dan setelah membaca kisah kelahiran Rasulullah sampai futuh Mekah di buku pertama trilogi novel biografi ini, saya harus katakan, He dit it ! Perfect ! Super duper keyyen !
Gabungan dari imajinasi liar dan misteri perjalanan tokoh bernama Kashva dengan alur peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Rasulullah, adalah gaya bertutur baru yang saya temukan, dan itu…keren banget !. Bahkan bagian “fiktif” mengenai perjalanan Kashva, menumbuhkan suatu keterpesonaan tersendiri. Persis seperti yang diungkapkan oleh Prof Quraish Shihab yang ramadhan ini membahas tafsir surat Asy-Syuara. Salah satu ayat di surat tersebut menyatakan bahwa kehadiran Rasulullah sebagai Nabi penutup, telah jelas tertulis dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya. Maka, perjalanan imajinatif untuk menelaah 4 kitab agama dari 4 agama yang berbeda dari mulai Zoroaster di Kuil Sistan, Hindu di Celah Khaibar, Budha di Tibet dan Kristen di Suriah, itu juga menumbuhkan keyakinan pada agama pembawa keselamatan ini, Islam.
Cara bertutur gaya novel saat menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah, akan membuat kita hanyut, seolah adegan itu ada di depan mata kita. Selain memberikan pengalaman rasa yang mendalam, cara bertutur penulis juga berhasil membuat saya menangkap perspektif yang berbeda. Perspektif yang hebatnya, berhasil menanamkan keteguhan akan kesempurnaan agama ini. Misalnya, mengenai siapa Juwairiah Binti Harits. Bagaimana proses yang terjadi sampai Rasulullah memutuskan untuk menikahi wanita tawanan perang tersebut. Atau cara penulis menggambarkan siapa itu Ummu Salamah. Membuat saya menjadi mengerti potongan-potongan peristiwa yang selama ini saya ketahui mengenai mereka dalam kaitannya dengan kehidupan Rasulullah.
Nama-nama istri Rasululalh yang saya kenal selewat, nama-nama Tokoh seperti Abu Sufyan, Abdullah Bin Ubay, kini menempel karena diikat oleh kisah yang disajikan penulis. Tokoh-tokoh baru pun saya kenali, misalnya Ja’far sang pemimpin rombongan hijrah ke Abasiah, lengkap dengan gambaran kehebatan diplomatiknya, yang mampu membuat Raja Negus terpesona dan tetap memberikan suaka pada mereka. Potongan-potongan peristiwa yang sebelumnya saya ingat secara random, berhasil disusun secara rapi dan mempesona oleh penulis.
Bahwa -karena ini novel- Rasuullah digambarkan sebagai seseorang dengan “gejolak perasaan tertentu”, ya. Efek dari cara bertutur demikian membuat kita bisa menghayati “sisi manusiawi” Rasulullah. Namun, karena cara ini dilakukan dengan hati-hati dan teliti, cara ini sama sekali tidak membuat keagungan Rasulullah luntur. Justru, semakin membuat kita yakin akan kemuliaan akhlaknya. Ya, kita sudah sering mendengar kebesaran hati Rasulullah saat beliau memaafkan Abu Sufyan, Ikrimah, Hindun…tapi dalam novel ini, keagungan itu benar-benar tereksplorasi dengan dalam.
Sebagai muslim/muslimah, kita mungkin sering mengatakan pada anak-anak kita, agar anak-anak kita memiliki akhlak seperti Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Kita sering sekali mendengar bahwa masa kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya, adalah masa yang terbaik sepanjang masa. Kesanalah kita harus merujuk. Bahkan untuk memperkuat keinginan itu, kita beri nama anak-anak kita nama Rasulullah, Muhammad dan atau sahabat-sahabat Rasulullah. Ya, itu benar dan baik.
Tapi upaya itu tidak cukup. Jangan berhenti di tataran gagasan dan keinginan. Jika kita tidak bisa menghadirkan secara “konkrit” gambaran kehidupan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya pada anak-anak kita, kalau tak tergambar dengan jelas konteks situasi pada saat itu, maka harapan kita agar anak-anak kita menyerap akhlak mulia Rasulullah dan memiliki sikap mental seperti sahabat-sahabat Rasulullah, hanyalah basa-basi.
Dan buat saya, membaca novel biografi ini, membuat kehidupan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya terasa kian nyata. Situasi-situasi sosial dan politik yang melatarbelakangi dan menjadi bagian dinamis dari suatu perilaku Rasulullah dan sahabatnya, sangat clear. Meskipun itu terjadi lebih dari seribu tahun lalu, namun warna dan rasa yang berhasil digambarkan penulis, membuat kisah ini terasa nyata dan dekat, bukan hanya sebagai sebuah kisah masa lalu.
Warna dan rasa itu, akan menjadi bekal buat kita saat menceritakan satu demi satu kisah Rasulullah dan para sahabatnya pada anak-anak kita. Sehingga nama-nama itu , keberanian, kekuatan, kelembutan, kecerdasan, kerja keras, dan keteguhan mereka, jika kita sampaikan dengan emosi yang juga kita rasakan, semoga hidup dalam rasa dan pikir anak-anak kita, dan semoga mengakar menjadi bagian dari kepribadian mereka.
Sebagai orang dewasa, gambaran dalam novel ini juga bisa membuat kita memahami makna dan menganalisa persoalan sosial dan politik yang terjadi disini, saat ini dengan perspektif Rasulullah.
Buku ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Terutama oleh para remaja kita. Menurut saya, melengkapi buku-buku biografi Rasulullah yang lain, pendekatan novel dalam buku ini akan bisa menumbuhkan kecintaan sekaligus menumbuhkan inspirasi; bahwa kebaikan agama ini, bisa kita sampaikan dengan cara yang kreatif sesuai dengan keunikan diri kita, tanpa harus kehilangan esensinya.
Sebenarnya saya bertanya-tanya… kalau buku pertama sudah menyampaikan kisah Rasulullah sampai futuh Mekkah, buku kedua yang lebih tebal (Muhammad : Para Pengeja Hujan) dan buku ketiga (Muhammad: Para Pewaris Hujan) yang tak kalah tebalnya berkisah tentang apa ya? Hiiii…..gak tahan untuk mengintip isi buku kedua dan ketiga. Tapi jumlah bacaan Qur’an saya sudah tertinggal jauh dari si sulung kelas 7 maupun si bujang kecil kelas 4. Jadi, terpaksa menunggu sampai syawal. Kan katanya Ramadhan itu bulan menahan diri hehe….
Recent Comments