Dalam tulisan sebelumnya, https://fitriariyanti.com/2016/06/06/adakah-remaja-dalam-islam/, saya menyampaikan bahwa entah diberi nama apa, namun nyatanya, ada masa “transisi” dalam diri seorang anak untuk “belajar menjadi dewasa”, yang dalam literatur psikologi dinamakan masa remaja.
Dalam proses transisi ini, terjadi perkembangan fisiologis dan neuropsikologis yang pada hakikatnya menyiapkan anak untuk menjadi individu dewasa. Misalnya, yang paling menonjol adalah aktifnya sistem reproduksi seksual, yang Allah siapkan agar si anak yang akan menjadi dewasa ini, siap untuk melanjutkan keturunan. Perkembangan kognitif yang berubah adalah media yang Allah siapkan agar si anak yang tadinya “tergantung” pada orangtua, mulai bisa “bertanggungjawab atas dirinya sendiri” sebagai ciri utama manusia dewasa.
Memang dampak dari perubahan yang terjadi di dalam diri si remaja, membuat perilakunya menjadi berbeda. Dan pada dasarnya, ketika terjadi perubahan pada diri anak, maka agar terjadi keselarasan dengan lingkungan, maka lingkungan juga harus berubah. Apa yang berubah? cara. Bukan nilai yang kita tanamkan. Dalam hal ini, lingkungan saya maksudkan adalah kita sebagai orangtua. Jika anak berubah namun orangtua tidak berubah, maka disequilibrium atau ketidakseimbangan terjadi. Bentuk nyatanya: pertengkaran ortu-anak, kekesalan ortu-anak yang bisa bermuara pada menjauhnya ikatan hati ortu-anak.
Situasi inilah yang menurut literatur-literatur parenting, membuat pengasuhan orangtua pada remaja menjadi “chalenging”. Terutama di masa remaja awal, 10-13 tahun. Hal ini semakin terasa pada keluarga yang memiliki remaja untuk pertama kalinya, alias si sulungnya yang masuk masa remaja. Perhatian orangtua pada si sulung remaja, biasanya terbagi pada adik-adiknya. Hal ini membuat upaya untuk “mencari ilmu” tentang pengasuhan remaja pun menjadi kurang optimal.
Parenting pada anak prasekolah biasanya sangat digemari ortu, karena biasanya pada saat itu anak mereka baru satu atau dua. Parenting masa SD….tidak terlalu banyak. Parenting remaja? jarang. Padahal, tubuh remaja itu tidak transparan. Kita tidak bisa melihat secara konkrit bahwa ada yang berubah dalam dirinya. Itu membuat kita sering “lupa” bahwa ada bagian dari dirinya yang sudah “dewasa”, ada bagian dari dirinya yang “masih anak-anak”. Mereka pada dasarnya butuh bantuan kita sebagai orangtuanya untuk membantu menyelaraskan aspek-aspek perkembangan dalam dirinya, belajar dari anak menjadi dewasa.
Meskipun sebelum si sulung masuk ke masa remaja saya sering bertemu klien remaja, membaca literatur tentang remaja, menyelami masalah-masalahnya, memahami keluhan-keluhan orangtuanya, namun tetap…penghayatan terdalam adalah ketika menjalani fase itu, fase menjadi orangtua remaja. Saya ingin menceritakan satu kejadian yang membuat saya merasakan sekali proses belajar menjadi orangtua remaja.
Beberapa waktu yang lalu, si sulung 12,5 tahun minta dibelikan kerudung hitam langsungan untuk acara sekolahnya, solo bivak selama 3 hari. Tapi kemudian dia bilang, “Ga apa-apa bu, kalau ibu engga sempet. Kaka mau titip temen aja. Kaka punya kok uangnya”. Tapi tentu saya berupaya untuk membelikannya. Saya ingat betul, waktu itu jadwal saya padet banget. Tiap hari baru beres jam 5 dari Jatinangor. Sedangkan kalau saya telat pulang, berarti anak-anak juga telat makan malam. Tapi suatu hari, saya sengaja meminta anak-anak jemput ke Jatinangor, beli makanan sehingga anak-anak makan malam di mobil, jadi saya bisa mampir ke sebuah toko kerudung remaja, memilih-milih model kerudung berwarna hitam. Ukurannya? M. Lalu saya simpen di meja kerja saya. Saya bilang ke si sulung, saya sudah belikan kerudungnya. Tiga hari kemudian, saya melihat tiga buah kerudung hitam itu masih tergeleteak di meja saya. Hari itu hari terakhir packing untuk acara di sekolahnya. Saya tegur dia. Dalam hati, ada perasaan kesal. Rasa “tidak dihargai” muncul. Padahal effort saya untuk belikan keruudng itu, dalam kesempitan waktu saya, menurut saya cukup besar. Si sulung bilang “iya”.
Hari h, di apun berangkat. Pake kerudung item. Tapi bukan yang saya belikan. Modelnya beda. Menurut saya lebih jelek. Ukurannya S. Saya tanya “Kaka itu kerudung darimana?”. Dia bilang “Kaka titip beli ke temen”. Saya tanya lagi: “kerudung yang ibu beliin gimana?”. “Iya Kaka bawa” katanya. Oke. Meskipun agak ngeganjel dan menangkap sesuatu yang berbeda dari nada bicaranya. Siangnya, saya tidak sengaja buka lemarinya. Hwaaaa hiks….3 kerudung yang saya belikan, tergolek manis di tumpukan lemarinya. Sedih? Merasa tidak dihargai? ya.
Seperti biasanya saat saya “kesal” sama si sulung, langkah pertama yang saya lakukan adalah …cari tempat sampah. Tempat sampah emosi maksudnya. Curcol. Sama siapa? sama best friend dong. Si abah. Saya telpon si abah yang sedang di luar kota. Bla…bla…bla…bla…Sekitar 10 menit. Dan si abah tau persis apa yang harus ia lakukan. Mendengarkan. Dan ditutup dengan kalimat: “dirimu kan tau ilmunya. Nanti aku ngobrol sama dia” .
Baiklah. Emosi sudah keluar. Sekarang bisa berpikir jernih. Pertama, saya selalu ingat kalimat-kalimat dari Om (atau Opa ya ? hehe…) Laurence Steinberg, psikolog yang fokus meneliti mengenai remaja. Dalam berbagai artikelnya, berdasarkan penelitian-penelitiannya, beliau mengatakan bahwa biasanya, yang menjadi sumber “pertengkaran” orangtua dan remaja adalah perbedaan dalam hal-hal yang sifatnya “permukaan”. Bukan karena hal-hal yang sifatnya nilai-nilai dasar. Mengapa? karena nilai dasar itu penanamannya kan berproses. Kalau keluarga menanamkan sebuah nilai terus menerus pada anak, maka kalau nilai itu terhayati, gak akan ujug-ujug tercerabut dari si anak di masa remajanya.
Oke. Apa tadi masalahnya yang bikin saya nyesek? si sulung pake kerudung ukurannya S. Tapi masih menutupi dadanya. Modelnya gak sebagus model yang saya pilihkan? bentar…bentar…itu masalah “permukaan” atau masalah “nilai dasar?” hehe…jujur sih, itu masalah selera. Gak prinsip.
Tapi kan dia tidak menghargai orangtua! satu sisi batin saya berteriak. Wajar dong kalau nanti tiga hari kemudian dia pulang saya bilang ke dia: “Kaka, kaka berdosa loh….bikin ibu sedih dan kesal. Tau gak…ibu udah berkorban beliin Kaka kerudung…bla..bla..bla..Engga boleh loh Kaka, bikin ibu sedih. Ingat, surga itu ada di telapak kaki ibu”. Salah gak kalau saya bilang gitu? engga. Emang benar kan, fakta dan ajaran agamanya gitu. Apalagi kita sebagai ibu punya satu senjata: keridhoan. Tak terhitung ajaran agama yang menyatakan pentingnya keridhoan seorang ibu untuk anaknya, bukan?
Lalu kemudian saya teringat senior saya. Putra pertamanya kini berusia 18 tahun. Beberapa tahun yang lalu, dalam perbincangan kami, ia menceritakan bahwa puteranya ini memiliki hobi tertentu. Hobi yang positif dan konstruktif sih, meskipun “tidak islami”. Tapi tak keluar dari koridor baik dan benar. Hobinya ini membuat si anak yang waktu itu masih di SMP, harus mengikuti beragam kegiatan dan bertemu komunitas sejenis, yang ia khawatirkan berdampak negatif. Oleh karena itu, setiap kali puteranya meminta izin mengikuti kegiatan tersebut bahkan sampai ke luar kota, ia akan mengizinkan dengan satu syarat: ia ikut. Repot, ya. Kenapa harus gitu? Bukankah kita bisa gak mengizinkan? tanya saya waktu itu. Jawaban senior saya itu, membuat dahi saya berkerut sat itu. “Aku tau Fit, kalau aku gak izinin, dia tetap akan pergi karena buat dia ini tuh penting banget. Kalau dia pergi tanpa seizin aku, dia kan berdosa. Nah, oleh karena itu aku mengizinkan dengan syarat aku ikut”.
Saya baru mengerti logika itu, pada saat mengalami kejadian “kerudung hitam” dengan si sulung. Seperti kata Uncle Ben-nya spiderman, with great power comes great responsibility. Sebagai ibu, kita punya great power. Doa. Kerdihoan. KIta punya pilihan, apakah akan menggunakanpower ini untuk “menuntutnya”, mengukuhkan posisi kita sebagai “otoritas”. Atau, kita berusaha untuk memanfaatkan power ini untuk “melidunginya”.
Minggu lalu, Ustadz Aam di Majelis Percikan Iman menyinggung hal ini. Bahwa seorang ibu harus punya kebijaksanaan untuk meridhoi sesuatu yang ia tak setujui dari anaknya. Tentunya selama pilihan anaknya tak keluar dari koridor kebaikan dan kebenaran. Hal ini beliau sampaikan menanggapi wawancara dengan dua orang hafidz/hafidzah, yang salah satunya mengatakan bahwa awalnya orangtuanya tidak ridho ia menunda kuliah untuk menghafal AlQuran. Selama masa itu, sulit buatnya menghafal. Hingga pada suatu hari, ia menemui orangtuanya, berbincang, sampai orangtuanya mengatakan Ridho dengan pilihan putrinya. Setelah itu, entah mengapa…mudah sekali buatnya menghafal. Sang hafidzah mengatakan bahwa ridho orangtua, ia hayati sebagai pembuak pintu kemudahan menjalani pilihannya.
Tapi si sulung udah berbohong. Ya, saya punya pilihan. “menghukumnya”, atau “mendidiknya”. Kalau saya pilih menghukumnya, saya bisa tegur dia. Kalau saya pilih mendidik, saya bisa ajak ngobrol dia. “Kaka, ibu tahu Kaka engga suka kerudung yang ibu berikan. Lain kali, kalau Kaka engga suka, lebih baik Kaka bilang. Ibu ngerti, mungkin Kaka engga enak sama ibu. Ya, ibu juga pengennya Kaka pake sih, tapi kalau Kaka bilang, ibu akan berusaha untuk menghargai Kaka. Daripada Kaka bilang iya tapi kenyataannay Kaka engga pake. “
Ya, sebagai orangtua, kita selalu punya pilihan. Tak hanya pilihan bersikap tidak benar atau benar, tapi juga pilihan bersikap benar atau bersikap bijak.
Kesimpulannya, sesuai judul tulisan ini, salah satu hal yang harus kita pelajari sebagai orangtua dari remaja adalah: jangan baper. Jangan bawa perasaan. Tersinggung, tak merasa dihargai….untuk hal-hal atau persoalan-persoalan yang sifatnya “permukaan”, tak prinsip, harus kita latih untuk mudah menjadikan perbedaan antara keinginan kita dan pilihan si remaja, menjadi persoalan kecil yang bisa diabaikan.
Dan kalau menurut penghayatan saya, kita memang perlu sungguh-sungguh berlatih ini saat anak kita masih remaja. Mengapa? karena saat ia dewasa, anak kita punya hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan-pilihan besar dalam hidupnya. Dan kita harus menghargainya. Meridhoinya. Ajaran agama mengisyaratkan hal itu. Bukankah pernah datang seorang wanita pada Rasulullah dan bertanya apakah boleh ia keberatan dengan jodoh yang ditentukan oleh ayahnya, dan Rasulullah mengatakan boleh?
Di masa depan, saat anak kita menjadi dewasa, akan semakin banyak pilihan-pilihan besar yang akan ia putuskan sendiri, yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Pilihan jurusan kuliah, pilihan jenis pekerjaan, pilihan pasangan hidup. Maka, perbedaan-perbedaan kecil yang kita hadapi dengan si remaja, sesungguhnya adalah fasilitas dari sang Maha untuk mengasah sikap mental kita. Belajar menganalisa: ini prinsip gak? melanggar kebaikan dan kebenaran gak? kalau engga, kalau perbedaannya masalah selera, disitu kita harus belajar bijak dan legowo. KiIta harus berlatih karena kalau engga, nanti kita sulit dan menyulitkan anak kita saat ciri utama kedewasaannya, yaitu membuat keputusan sendiri, kita intervensi.
Jadi, kalau kita latihan dari sekarang, semoga nanti kita bisa mengatakan: “Sebenarnya ibu pengen kamu jadi dokter. Apalagi kamu udah diterima di Fakultas Kedokteran. Tapi kalau kamu maunya jadi wartawan, engga apa-apa. Ibu ridho. Ibu doakan semoga kuliah kamu lancar, jadi wartawan yang baik, yang jujur, berintegritas”. Atau kita bisa mengatakan: “Sebenarnya ibu pengen punya menantu yang satu suku, yang pake kacamata, yang humoris. Tapi kalau kamu sudah memilih dia yang beda negara, gak pake kacamata dan pendiam, it’s oke. Toh dia sholeh. Kewajiban-kewajiban agama tidak pernah ditinggalkan, akhlaknya baik. Ibu Ridho”.
Menurut pengalaman saya dengan klien-klien saya, konflik dengan orangtua atau dengan anak, adalah salah satu konflik yang paling membuat batin menderita. Dan seringkali, sayangnya, konflik itu, bukan pada hal-hal yang sifatnya prinsipil, tapi pada hal-hal “permukaan”, namun kita tak terbiasa melatihnya.
Wallahu alam. Semoga bermanfaat.
sumber gambar : https://hendosays.wordpress.com/tag/great-power/
Recent Comments