Ini hari keempat ditinggal sanlat oleh si bujang kecil, dan hari kedua ditinggal si sulung sanlat juga. Si bujang kecil kelas 4 SD, mengikuti sanlat bertema luar angkasa yang diselenggarakan oleh unit Pembinaan Anak di Salman ITB. Si sulung kelas 7 ikut sanlat bertema pembuatan film, di unit film salman juga.
Melihat foto-foto dan video yang ada di medsos kegiatan si bujang kecil, tampaknya para peserta, termasuk si bujang kecil, sangat hepi dan antusias. Apalagi ia memang sangat suka sama luar angkasa. Entah berapa puluh buku yang dia punya tentang beragam planet dan galaksi. Konsep sanlat anak yang diikuti si bujang kecil memang bagus. Berupa rangkaian aktifitas yang sambung menyambung dan apik. Mulai dari materi tentang tata surya dari himastron ITB, berkelompok mengkreasi baju astronot, membuat percobaan roket air, dan hari ini berkunjung ke bosscha.
Kegiatan si sulung tak kalah seru sepertinya kalau liat dari video dan foto yang tampak dari medsos panitianya. Sanlat yang ia ikuti namanya sanlat tematik. Selama 5 hari, sanlat dengan materi diniah plus materi dan praktek membuat film. Jadi selama sanlat tiap kelompok harus menghasilkan 1 film pendek. Semalam saya wa si sulung, tanya gimana sanlatnya, dan jawab si sulung: “seruuuuuuu” dengan huruf “u” yang banyak 😉
Dua hari lalu, saat saya dan si abah bersama melihat foto-foto keseruan aktifitas si bujang kecil, terlintas pertanyaan pada benak saya. “sebenarnya, dengan keseruan itu, apakah ada sesuatu yang tertanam dalam diri si anak? maksudnya….entah itu pengetahuan atau penghayatan tentang Islam. Apakah kegiatan-kegiatan itu mencapai tujuan akhirnya yaitu menanamkan keimanan yang mengakar pada anak-anak dan remaja kita? atau cuman hore-hore aja?”
Karena saya tak bisa menjawab pertanyaan itu, maka pertanyaan itu saya ajukan pada si abah. Biasanya dia punya sudut pandang yang gak kepikiran sama saya. Dan ketika pertanyaan itu saya ajukan padanya, si abah menjawab dengan pertanyaan: “inget gak de, kita belajar agama itu lebih banyak dikasih orangtua atau nyari sendiri?”. “Nyari sendiri”. jawab saya. “Pertanyaannya adalah, kenapa kita mau nyari sendiri?” itu pertanyaan lanjutan si abah. Pertanyaan yang butuh waktu lama buat saya untuk menjawabnya. Jadi si abah jawab sendiri: “karena, orangtua kita ngasih dasar ke kita. Ngasih pengalaman ke kita bahwa agama ini menyenangkan. Inget kan…jaman dulu orangtua kita nyuruh kita ikutan ngaji setelah maghrib sama temen-temen sebaya kita. Mungkin saat itu yang kita inget dan berkesan buat kita adalah mainnya. Ajaran guru agama kita tangkep sepotong-sepotong. Tapi pengalaman menyenangkan itu, membuat kita jadi tertarik untuk bertanya dan berusaha nyari jawabannya. Itu yang berharga. Dan pengalaman itulah yang dikasih sama para penyelenggara sanlat anak dan remaja itu”.
“Oooh…jadi asosiasi agama dan kegiatan menyenangkan itu ya bah yang berharga” itu kesimpulan saya. Saya gak bisa mendebat si abah karena memang saya gak punya jawaban. Kalau kita mau evaluasi program, memang butuh instrumen yang keren dan butuh waktu untuk menjawab pertanyaan saya: apakah kegiatan semacam ini mencapai tujuannya menanamkan keimanan yang mengakar? Tapi kalau mengacu pada 4 tingkat evaluasi program, ada yang yang namanya evaluasi reaksi. Dan dari jenis evaluasi ini, penyelenggara sanlat yang kami ikuti telah berhasil.
Saya juga jadi inget. Tahun lalu, si bujang kecil kami ikutkan sanlat di salah satu pesantren. Pimpinan pesantrennya seorang ustadz yang bagus banget menurut kami. Selalu kami jadikan sumber saat kami ada pertanyaan mengenai agama. Materinya? saya lihat bagus juga. Membenahi fiqih kegiatan ritual keagamaan. Bagaimana wudhu yang baik dan benar, dll. Saya membayangkan, sepulang sanlat, si bujang kecil akan lebih tertib ibadahnya. dan beberapa hari kemudian, saat saya menjenguknya, dia menangis ingin pulang. Gak seru, ngantuk … katanya. Dan ketika pulang, dia bilang: “mas Umar gak mau ikut sanlat lagi selamanya”. Apa yang salah? pemateri dan materi bagus. Tapi tampaknya satu yang kurang…cara. Bagi anak-anak yang sedang berkembang curiosity nya, sedang ingin banyak bergerak tubuhnya, sedang mengembangkan kemampuan kolaborasinya, materi ceramah dihayati sebagai kegiatan yang amat menyiksa.
Saat saya mendaftarkannya ikut sanlat ini tahun ini, sanlat yang sudah kami “incar” bahkan sudah kami datangi sekretariatnya saat mereka masih merancang sanlat ini dan jauh sebelum buka pendaftaran, susah payah kami membujuknya, bahwa sanlat yang ini berbeda.
Ya, CARA. Bahasa kerennya METODA. Tampaknya itu PR terbesar kita untuk anak-anak kita. Saya sebenarnya punya pertanyaan yang lebih mendasar lagi: mengapa Allah menciptakan “dunia anak” itu berbeda dengan dunia dewasa? mudah padahal bagiNya Sang Maha menciptakan tubuh kecil anak memiliki cara pikir seperti orang dewasa. Sehingga dalam mengajarkan agama pun, akan lebih mudah bagi kita karena kita bisa menyampaikan dengan “cara dewasa”. Saya belum punya jawaban memuaskan terhadap pertanyaan ini. Jawaban sementara saya adalah, bahwa ALlah meminta kita untuk berpikir, berusaha dengan sungguh-sungguh. Bahwa ajaran ini sempurna, itu adalah kepastian. Mengenalkan ajaran yang sempurna ini dengan cara yang baik sesuai fitrah perkembangan anak tanpa mereduksi esensinya, itu adalah ladang ibadah kita. Wallahu alam.
Jun 23, 2016 @ 00:57:19
nah ini. my turning point: cari guru yang bisa memperbaiki akhlak murid itu susaaaaaah. Guru yang benar-benar berdedikasi, bukan cuma ngejar gaji
Jun 28, 2016 @ 08:28:25
Uhuksss, makasiii banget cerita2nya ya mbaaaa.
Really admire your blog 🙂