Generasi Penggema Hujan

generasi penggema hujanBuku ini adalah buku terakhir dari novel biografi Rasulullah Muhammad karya sang juru cerita Tasaro GK. Tiga buku sebelumnya adalah https://fitriariyanti.com/2016/06/14/lelaki-penggenggam-hujan/, https://fitriariyanti.com/2016/06/28/lelaki-pengeja-hujan/, dan https://fitriariyanti.com/2016/07/01/sang-pewaris-hujan/.

Dari keempat buku tersebut, buku ini adalah buku yang paling membuat saya sedih kala membacanya. Jeda-jeda untuk menyeka air mata saat saya membaca buku pertama dan kedua, jeda-jeda untuk mencerna kedalaman makna mengenai ajaran-ajaran agama yang diutarakan dalam bentuk perbincangan sang pencari Himada di buku ketiga, lebih sering saya lakukan saat membaca buku ini. Tapi dengan alasan yang berbeda.

Saya tahu, buku ini akan bercerita mengenai masa-masa kekhalifahan Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Saya sudah berkali-kali membaca siroh yang bercerita mengenai masa itu. Masa kejayaan Islam secara wilayah, dan mulainya masa-masa perpecahan yang berujung pada kesedihan. Dan seperti di tiga buku sebelumnya, Sang juru cerita penulis buku ini benar-benar bisa menggambarkan situasi itu dengan gamblang.

Jeda-jeda yang saya lakukan saat membaca buku ini, adalah karena kesedihan. Bukan karena rangkaian kalimat maupun situasi yang digambarkan di buku itu. Namun karena, situasi yang digambarkan di buku ini, adalah cerminan dari gambaran apa yang terjadi  di sini, saat ini. Secara pemikiran, jujur saya mendapatkan jawaban mengenai kecamuk gelisan yang ada di hari saya selama ini. Namun seiring dengan penemuan jawaban tersebut, saya harus berkali-kali menjeda, untuk menarik nafas panjang, melepaskan kesedihan yang ada di dada ini.

Ada satu keresahan yang bergemuruh di dada saya sejak lama, dan semakin kesini semakin menjadi-jadi. Mengenai persatuan dan kesatuan ummat agama ini. Agama ini begitu sempurna. Begitu indah. Dilihat dari sisi manapun. Tapi mengapa kesempurnaannya seolah tak tampak? keindahannya seolah tak bisa dinikmati? Apakah mungkin kita bersatu? UMMAH. Itu istilah yang saya baca. Umat islam yang menyatu. Bagai satu tubuh. Pertanyaan itu, saya bawa berhaji 3 tahun lalu. Haji, adalah gambaran menyatunya secara fisik, umat Islam. Dalam ritual yang suci. Di tempat yang suci. Pertanyaan itu berkali-keli muncul di kepala dan hati saya kala melihat begitu kental sikap ke-aku-an dan atau ke-kami-an yang membatasi persatuan. Begitu tinggi, kokoh dan kuat benteng-benteng prejudice. Prejudice negara, prejudice ras, prejudice suku, bahkan sampai prejudice syal antar KBIH. Tahun ini, pertanyaan yang sama saya bawa ketika ziarah ke tanah suci. Dan hal yang sama masih saya lihat.

Di tanah air, di negeri yang umat muslimnya terbanyak sedunia, pertanyaan itu semakin sering muncul dalam kepala dan hati saya. Perbedaan madzhab. Perbedaan cara berpakaian. Perbedaan pilihan politik. Perbedaan tafsir. Perbedaan pendekatan dakwah. Perbedaan pendapat mengenai satu dan lain hal. Perbedaan …. perbedaan ….perbedaaan…perbedaaan… begitu banyak perbedaan yang dipermasalahkan.  Bukan perbedaannya yang membuat saya sedih. Namun sikap terhadap perbedaannya itu yang membuat seluruh emosi negatif, menyatu dalam hati saya. Apalagi jika perbedaan itu adalah bukan hal yang esensial.

Membaca buku ini, membuat saya mendapatkan jawaban dari semua ini. Dalam buku ini digambarkan bagaimana keresahan dankesedihan perasaan Ali menghadapi perilaku ummat 25 tahun sepeninggal Rasulullah. 25 tahun ! hanya 25 tahun !! dan dalam jangka waktu itu, sudah banyak terjadi perbedaan. Jelas, perbedaan antara baik dan buruk. Antara pemimpin seperti Umar Bin Khatab yang menjalankan standar hidup warga termiskin, dengan para Gubernur yang bahkan memiliki istana saat itu. Jelas, perbedaan antara orang-orang yang mengagumi Ali karena kualitasnya, dengan munculnya kelompok yang mendewakan Ali dan menyatakan bahwa Ali adalah Nabi. Tapi selain perbedaan itu, ada juga perbedaan-perbedaan antara yang baik, dengan yang baik. Yang benar dengan yang benar.

25 tahun setelah nabi wafat, hanya 25 tahun setelah Rasulullah tiada, dalam buku ini diceritakan bagaimana para tokoh “suci”, sahabat-sahabat mulia yang kisahnya membuat hati kita mengharu biru di buku-buku sebelumnya, kini saling berhadapan di dua kubu yang berbeda. Perang Unta adalah gambara yang terang benderang. Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi, melawan Ali dan Ammar Bin Yasir di kubu yang lain. Aisyah! Istri yang paling dicintai Nabi! Thalhah dan Zubair! sahabat-sahabat Rasul yang dijamin masuk syurga! saling beradu pedang dengan Ali sang gerbang ilmu yang dijamin masuk syurga juga, serta Ammar bin Yasir, yang ibunya adalah syahidah pertama!

Siapapun yang membaca kisah mengenai perang Unta, akan merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka, tokoh-tokoh utama dalam perang pertama antara muslim ini adalah orang-orang mulia. Orang-orang terdekat dengan Rasulullah. Dan mereka bisa berada dalam situasi demikian. Jika ditelusuri, dan coba kita hayati, pendapat kedua pihak adalah benar. Seperti juga sama-sama benarnya pendapat Fathimah dan Abu Bakar mengenai tanah Fadak yang dituntut Fathimah sedangkan Abu Bakar bersikukuh itu bukan hak ahli waris Rasulullah. Sama-sama benarnya  pendapat Utsman Bin Affan yang menganggap bahwa kemewahan hidup Muawiyah adalah wajar selama ia telah menunaikan zakat sedangkan Abu Dzar Al Ghifari menganggap haram harta yang melebihi kebutuhan hidup kita. Perbedaan antara dua hal yang sama-sama baik dan benar, itu sudah terjadi 25 tahun setelah Rasulullah wafat! Sedangkan kita, berapa jarak kita dengan Rasulullah? lebih dari 1400 tahun !!!

Membaca buku ini, meski entah berapa puluh kali saya harus menjeda untuk menghela nafas melepaskan kesedihan, namun saya mendapatkan jawaban “mengapa ummat Islam sulit bersatu; sekaligus kunci bagaimana agar bisa bersatu”. Menganalisis dan menyikapi perbedaan. Itu kuncinya. Menganalisis? untuk memahami apakah perbedaan itu esensial atau tidak, dan untuk menempatkan di posisi yang tepat, kapan saatnya memaknakan perbedaan itu.

Teman kerja kita seorang syiah misalnya. Oke. Perbedaannya esensial? katakanlah esensial. Perbedaannya akidah. Oke. Lalu, kita posisikan dimana perbedaan itu? apakah kita jadi menjauhi kerjasama dengan dia? tak mau berteman dengannya? tak mau berhubungan dengan dia? atau…pertemanan itu tetap kita jalin, namun jika anak kita akan menikah dengannya, baru kita katakan “tidak”?. Pasangan  kita, memutuskan untuk golput karena ia berpikir tidak ada pilihan yang baik. Sedangkan kita, memutuskan untuk memilih “the best from the worst” karena kalau kita golput, yang lebih jelek yang akan menang. Oke, itu berbeda. Lalu dimana kita posisikan perbedaa itu? apakah itu perbedaan yang kemudian harus mewarnai kebaikan rumah tangga kita selanjutnya? Ustadz ini berdakwah dengan sentuhan sosial. Ustadz itu berdakwah dengan concern pada akidah. Ustadz ini berdakwah dengan menitikberatkan pada fikih. Ustadz itu berjuang di dunia politik.

Mengapa harus saling membandingkan dan selalu menganggap perbedaan itu adalah benar dan salah??? Mengapa tidak dipandang sebagai potongan puzzle yang saling melengkapi? Dan kalaupun ada kesalahan yang harus diluruskan, mengapa tak diselesaikan dengan silaturahim pribadi tanpa harus saling menyindir di media sosial? Dan kita, para pengikutnya, mengapa harus men-share tulisan “nyinyir” satu ustadz pada ustadz lainnya? padahal belum tentu itu tulisan ustadz ybs. 

Setelah membaca buku ini, entah mengapa saya merasa seperti mendapatkan peta, gambaran situasi here and now yang tengah saya hadapi. Sebuah peta dari gambaran situasi 1400 tahun lalu, namun bisa dipakai sampai abad ini. Ada golongan “syeh hitam” yang memandang seorang tokoh panutannya suci, tanpa salah dan cela. Ada golongan khawarij, yang berasal dari kelompok penghafal Qur’an saat itu, yang hatinya keras, merasa dirinya paling benar, memahami ajaran agama secara letter-lek; merasa semua orang salah selain kelompoknya. Ada golongan yang cinta dunia dan kekuasaan, yang memanfaatkan isu-isu “kebenaran” untuk kepentingan pribadinya.  Ada golongan yang memiliki segala kelebihan, namun kelebihannya itu ia manfaatkan untuk mendapatkan keinginan pribadinya, seperti Amr Bin Ash. Ada golongan yang memanfaatkan kekacauan untuk kepentingan diri dan golongannya, ada kelompok yang tak terlalu berperan penting namun “berisik” mengomentari ini itu…Dan, ada kelompok Ali bin Abi Thalib; kelompok yang tetap teguh pada kebenaran, komitmen terhadap aturan serta kelompok Hasan bin Ali, yang berlapang hati, mengalahkan ego demi persatuan ummat.

Seluruh peta kelompok itu, hari ini, ada. Dengan peta ini, pilihan-pilihannya menjadi gamblang. Akan masuk di kelompok manakah kita saat ini?

Tak ada gading yang tak retak. Saya adalah fans berat sang penutur cerita. Namun bukan berarti ia sempurna. Di buku ini, tampaknya ada beberapa poin yang menunjukkan subjektifitas penulis. Subjektifitas itu terlihat dari referensi yang beliau gunakan sebagai acuan kisah siroh yang beliau tuliskan. Pada bagian kisah mengenai peran unta, saya menangkap uraian beliau mengenai perilaku Thalhah dan Zubair bernada negatif. Begitu juga gambaran perilaku Utsman Bin Affan terhadap sahabat Rasul yang terkenal, Abi Dzar Al Ghifari. Kisah yang beliau tuturkan membuat saya bertanya-tanya. Mungkinkah perilaku Thalhah dan Zubair demikian “buruk”? mereka sahabat yang dijamin masuk syurga loh. Demikian juga perilaku Utsman. Demikiankah? Lalu saya buka buku siroh dan beberapa artikel mengenai mereka dan peristiwa itu. Di sumber yang berbeda dengan sumber yang dikutip penulis, saya mendapatkan pandangan yang berbeda. Bahkan ada salah satu artikel yang baguuus sekali menjelaskan bahwa kita harus hati-hati sekali menilai sikap, perilaku dan keputusan para sahabat. Kehati-hatian itu, menurut saya bisa dioperasionalisasikan dengan mencari sumber seobjektif mungkin. Dan karena buku ini dinyatakan sebagai biografi meskipun dituturkan dalam bahasa novel, poin akurasi dan objektifitas itu  yang ingin saya sarankan pada penulis.

Di halaman 613 buku ini, penulis menuliskan rangkaian kalimat penutup dari keempat buku tebal yang telah ditulisnya, diberi judul “Lambaian Tangan”. Seluruh kalimatnya, saya rasa keluar dari lubuk hati terdalam sang penulis. Semuanya menyentuh dan mewakili perasaan kita semua sesungguhnya. Namun ada kalimat di dua paragraf terakhir yang ingin saya kutip disini:

“……Apa sebenarnya motivasi sejati anda ketika menyusun buku ini?…….”

“Saya adalah muslim yang bodoh. saya tidak tahu banyak mengenai agama saya. Saay tahu amalan saya tidak akan pernah cukup mengetuk pintu kebaikan akhirat. Tapi setidaknya, di Padang Mahsyar kelak, ketika Rasulullah menimang-nimang siapa diantara umatnya yang layak mendapatkan syafaat, saya akan berkata: saya pernah menulis kisah tentangmu dengan lelehan air mata, ya Rasul”.

Kalimat penulis yang saya tebalkan, membuat saya tak bisa menahan lelehan air mata.

Wallahu Alam.

Kediri, 1 syawal 1437 H