Pagi kemarin saya mengantar sekaligus menunggui si gadis kecil latihan tifan di sekolahnya. Sebenarnya, keluarga kami sudah bersepakat bahwa anak-anak tidak memilih kegiatan apapun di hari Sabtu. Oleh karena itu, setiap menerima surat pemberitahuan jadwal ekskul yang bisa dipilih, ekskul yang kegiatannya hari Sabtu langsung di “blacklist”. Sabtu minggu adalah full family time. Paling sesekali saya mengisi seminar atau abahnya ada pertemuan urgent.
Tapi semester ini, kegiatan pramuka di sekolah si sulung kelas 8, jadi sabtu. Setengah hari. Untuk persiapan ke jambore dunia akhir tahun ini. Jadilah si bujang kecil dan si gadis kecil saya perbolehkan memilih ekskul di hari sabtu. Si gadis kecil yang baru berulangtahun ke 7 minggu lalu, tahun lalu memilih cooking class. Tahun ini, setelah sempat bingung memilih antara craft and art dan tifan, tak diduga ia memilih tifan. Saya seneng sih, karena ia agak clumsy. Jadi tifan bisa menstimulasi pengendalian dan koordinasi tubuhnya.Seperti juga si bujang kecil yang endurance tubuhnya minus, saya arahkan ke olahraga. Si bujang kecil memilih bola dan panahan.
Senin lalu adalah latihan tifan pertama si gadis kecil, jam 4 sampai setengah 6. Saya sengaja pulang lebih awal dari kampus untuk melihat kegiatan latihannya. Cuman ada 3 anak di latihan pertama itu, dua laki-laki kelas 3 adan kelas 5, dan si gadis kecil. Saya datang sudah jam 5. Saya lihat ia terseok-seok mengikuti beragam gerakan sederhana yang dilatihkan pelatihnya, Lalu ditugaskan melatih gerakannya secara mandiri. Satu gerakan 50 hitungan. Saat ia diminta untuk menyebutkan bilangan-bilangan dalam gerakannya, terdengar suaranya kayak mau nangis gitu hehe… saya udah siap aja kalau setelah latihan, dia bilang kapok.
Eh, tak terduga dia bilang seru latihannya. Dan kemarin, jam setengah 6 dia sudah mandi dan sudah siap dengan seragamnya, ngajak-ngajak saya dan abahnya untuk segera berangkat, takut terlambat katanya.
Salah satu kekhasan si gadis kecil adalah, ia sangat ekspresif `menunjukkan minatnya. Seperti tahun lalu ikut cooking class, setiap weekend pasti ngajak saya mempraktekkan kembali masakan-masakan yang telah dipelajarinya. Lalu semester lalu, ia minta les bahasa inggris. Ternyata belum ada temennya di levelnya. Saya tawarkan: mau sekarang tapi sendirian atau mau nunggu ada temnnya? Dia memilih sendirian gapapa. Seminggu dua kali lesnya. Dia pulang dari sekolah, istirahat 30 menit, berangkat lagi. Mau hujan, mau kurang fit, dia maksa. Istiqomah hehe….sampai semester ini, ia memutuskan untuk berhenti. Pelajarannya sama dengan yang diajarin di sekolah katanya. Kegiatan lain yang selalu membuat ia berbinar-binar adalah menggambar. Tiap hari kalau saya pulang ke rumah, minimal ada 5 lembar hasil gambarnya bertebaran di rumah. Akhir-akhir ini di asenang membuat komik. Komiknya yang “istiqomah” dan “bersambung” dari hari ke hari berjudul “sekolah kucing” ;).
Dan kegiatan ini, bener-bener jadi coping dia saat menghadapi “masalah”. Bulan puasa kemerin, ketika merasa lapar menjelang sore, ia akan menggambar segala macam jenis makanan yang terlintas di kepalanya. Kalau marah sama adiknya, dia juga menggambar kekesalannya, yang akan ia “laporkan” pada saya sepulang saya ke rumah. SUdah beberapa bulan ini, saya belikan dia skecthbook. Jadi komik bersambungnya tak bertebaran di mana-mana, bisa kita baca menjelang tidur.
Perilaku sI gadis kecil, selalu mengingatkan saya pada satu kata. Motivasi. Motivasi, secara sederhana bisa didefinisikan ENERGI yang MENDORONG dan MENGARAHKAN perilaku. Ada 4 keywords disini. Energi, mendorong, mengarahkan, perilaku.
Bagi teman-teman yang pernah ikut asesmen psikologi untuk penjurusan dan atau untuk melamar pekerjaannya, salah satu asesmen psikologi yang biasanya “wajib” dikerjakan adalah asesment motivasi ini. Dari hasil asesment itu, bisa tergambarlah besar energi yang dimiliki, keterarahan energinya, pengelolaan energinya, dll.
Mengapa industri/organisasi selalu meminta dilakukan asesment terhadap motivasi? Karena hanya karyawam yang memiliki motivasi lah yang akan “tergerak” untuk melakukan pekerjaannya. Dan itu artinya produktifitas. Keuntungan. Secerdas apapun karyawan, sehebat apapun skill yang dimiliki, kalau ia tak mau “bergerak” mah gak ada manfaatnya. Begitu juga dengan siswa/mahasiswa. Setingi apapun IQ nya, kalau ia tak tergerak untuk belajar, mengerjakan tugas, ya IQnya akan “mubadzir”.
Secara sederhana, sebagai emak-emak, kita bisa kelompokkan anak-anak kita ditinjau dari sudut pandang motivasinya, menjadi 4 kelompok, dengan sub-sub kelompoknya; sebagai berikut:
(1) Anak yang energinya besar, dan energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas. a. Anak energinya besar, energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas sesuai keinginan ortu
b. Anak energinya besar, energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas, tapi tidak sesuai keinginan ortu
(2) Anak yang energinya kecil, tapi energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas
a. Anak energinya kecil, energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas sesuai keinginan ortu
b. Anak energinya kecil, energinya sudah terfokus pada tujuan yang jelas, tapi tidak sesuai keinginan ortu
(3) Anak yang energinya besar, tapi energinya belum terarah pada tujuan yang jelas
(4) Anak yang energinya kecil, dan energinya belum terarah pada tujuan yang jelas
Nah, sebelum melanjutkan….yuks, kita petakan dulu…anak-anak kita ada di posisi yang mana.
Sudah? mari kita lanjutkan.
Saya sendiri merasa, dari klien-klien yang bertemu saya, beberapa tahun lalu, permasalahan “motivasi” anak pada umumnya berada di area no. 1b dan 2b. Isunya adalah ketidaksesuaian harapan orangtua dengan pilihan anak. Orangtua yang anaknya di posisi 1a dan 2a sih biasanya tidak datang ke psikolog hehe…
Nah, di tahun-tahun belakangan ini, permasalahan tampaknya lebih pada no. 3 dan n0.4. Dulu kalau penjurusan, pertanyaannya adalah: saya lebih cocok dimana, di jurusan A atau jurusan B? semakin kesini, pertanyaannya menjadi: “jurusan apa ya, yang paling cocok buat saya?” itu biasa. Nanti kita akan lihat hasil asesment, lalu wawancara untuk menggali minat-minat yang mungkin belum disadari anak.
Nah, yang bingung adalah, kalau ketemu anak di no.4. Dari asesment, tak tergambar ada minat yang menonjol. Tak ada ketergugahan yang melonjak terhadap sesuatu. Dari wawancara, anak tak punya hobi. Tak tau apa yang dia sukai apa yang tidak ia sukai, apa yang menarik apa yang engga menarik, apa yang bikin semangat apa yang engga bikin semangat. Biasanya, untuk kasus seperti ini, anak dan orangtua akan dikasih “PR” dulu, untuk bisa menghayati minat, perasaann, kesukaan, dll.
Nah, kalau dalam konteks pengasuhan nih. Tentu kita tak ingin anak kita sampai pada kondisi no.4 . Target kita sebenarnya adalah anak di kondisi no 1 dan 2. Buat saya sendiri, jika anak berada di posisi 1b atau 2b, tidak menjadi masalah.
Misalnya kita pengen anak kita menekuni bidang “profesional”. Jadi dokter, insnyur…eh, anak kita malah pengen jadi penulis atau pelukis … atau kita pengen anak kita jadi hafidz/hafidzah, eh anak kita malah tekuuuun mempelajari biomolekular. Nah, menurut saya itu mah issue nya ada di area kelapangan hati orangtua. Yang harus dilakukan orangtua? Mendukung dan tetap menanamkan nilai.
Gapapa gak jadi hafidz/hafidzah kalau mau jadi profesor biomolekuler, tapi jadi profesor yang sungguh-sungguh, baik, yang rendah hati, cari dan komunikasikan keMaha-an Allah lewat temuan-temuan ilmiahmu nak…..Meskipun ibu/ayah khawatir kamu tidak dapat rejeki yang tetap, namun kalau kami mau jadi penulis, jadilah penulis yang sungguh-sungguh, ynag menulis sesuatu yang berkualitas, bisa menginsipirasi orang lain…
Jadi, yang kita lihat sebagai orangtua bukan “bentuk”nya: hafidz/hafidzah.dokter.insinyur.penulis; tapi “esensinya”. kerja keras. kesungguhan. kerendahan hati. keuletan menghadapi tantangan. kesadaran bahwa harus bergerak untuk mendapatkan apa yang diinginkan. kepedulian. kualitas.
Apa “bahaya”nya kalau kita tak belajar untuk “berlapang hati?” . Secara filosofis, pada orang dewasa, kita tidak akan bisa memotivasi seseorang bergerak menuju sesuatu, kalau itu bukan tujuan pribadinya. Paling sedih saya kalau bertemu klien bimbingan karir. Usia sudah bukan usia “mencari” lagi, tapi belum “nyaman” dengan apa yang dilakukan sekarang. BIsa jadi tak berprestasi, atau bisa jadi berprestasi tapi ia tak merasa “bahagia”. Karena tujuannya, apa yang menjadi passionnya, ada di arah sana, di arah yang “dimatikan” oleh orangtuanya. Sayaaaang banget.
Nah, bagaimana sikap kita jika anak kita ada di posisi no 3 dan 4? Saya sering mendapatkan pertanyaan dari orangtua anak usia prasekolah/ SD : “adakah alau untuk mengetahui minat dan bakat anak?”. Sepengetahuan saya, asesment psikologi yang langsung bisa menunjukkan anak ini minat dan bakat di bidang vokal, anak ini di bidang olahraga renang, anak ini di bidang coding, tidak ada. Yang bisa “mengidentifikasi” adalah para ahli di bidang tersebut. Kalau kit agak pernah terpapar kegiatan seni, kita gak akan tahu kalau anak kita peka nada dan berbakat di bidang musik, misalnya. Kalau kita bukan orang yang bergerak di bidang human services, mungkin kita gak bakalan ngeuh bahwa anak kita punya empati yang tinggi.
Jadi, jawaban saya kalau ditanya “gimana cara mengetahui minat dan bakat anak?” sejauh ini saya menjawab; amati apa yang membuat matanya berbinar, kegiatan yang membuat ia semangat….terutama untuk hal-hal yang produktif. Kalau terlihat ia hanya semangat pada hal-hal yang sifatnya tidak produktif misalnya main game, atau nonton TV, mungkin kita kurang mengenalkan beragam kegiatan padanya. Karena kita tak pernah mengajaknya main bola, mungkin kita tak akan tahu kalau dia keren ngegocek bola. Kalau kita tak pernah membacakan cerita padanya, mungkin potensi ia untuk menjadi penutur cerita, tak pernah tergali.
Bagaimana kalau anak kita terlanjur besar tanpa tau maunya apa, sukanya apa, minatnya apa? Ya, kondisi itu tak ideal. Namun bukan berarti tak mungkin untuk mulai membantunya mengenal dirinya. Biasanya para psikolog punya teknik-teknik untuk menggali, baik secara langsung, maupun melalui “PR” yang diberikan.
Tapi yang jelas, jangan biarkan anak kita tumbuh dewasa tanpa motivasi pada apapun. Kasihan. Hidupnya tak akan bergairah. Tak ada mimpi yang bisa ia bayangkan. Tak ada nyala api kehidupan ynag bisa mendorongnya. Biarkan dan bantu ia untuk memiliki “jejak” kesenangan pada sesuatu. Semangat membuncah pada sesuatu. Binar mata pada sesuatu. Caranya? dengan mengajaknya banyak mengalami. Lalu kita amati, kita temani, kita apresiasi.
sumber gambar : http://positivepsychologynews.com/news/christine-duvivier/200904091778
Dec 23, 2016 @ 18:40:21
Hmm… Saya juga punya keluarga di kategori 3/4. Mungkin karena dari keluarga kurang mengenalkan ke macam-macam kegiatan produktif, jadi saat ini minatnya masih terlihat di hal-hal non-produktif, misal hobi minum kopi atau traveling.
Tapi… sebenarnya hobi-hobi itu bisa dikonversi menjadi produktif juga ya Bu kalau dipikir-pikir? Misalnya habis traveling, diminta menulis blog.
Nah masalah barunya, apakah dia suka menulis…