Ada minus plus jika kita punya teman yang amat beragam dalam hal nilai kehidupan yang dipegangnya. Buat saya sendiri, minusnya adalah bahwa kita sering “terbentur-bentur”; mendapatkan informasi, opini dan sikap yang super ekstrim, yang membuat kita menjadi terus mengevaluasi nilai kita sendiri. Plusnya apa? Plusnya adalah, cakrawala wawasan kita jadi luas, dan kita selalu dalam posisi “bergerak” untuk mencari gimana yang “pas” dan “yang paling benar” menurut kita.
Ya, saya punya teman yang amat beragam. Sebenarnya tak cukup menggambarkan keberagamannya melalui satu garis linear saja. Tapi okelah, untuk sederhananya, kita gambarkan dalam satu garis linear.
Saya punya teman beragam, dari yang menganggap selain ustadznya dia adalah salah, sampai dengan teman yang menggap semua agama, termasuk tak beragama adalah “sama”. Saya punya teman beragam, dari yang sangat serius menekuni ilmu kedokteran sampai ia menganggap hasil riset itu di atas agama, sampai dengan teman yang menganggap bahwa memvaksin anak itu sama dengan mendahului takdir Allah. Saya punya teman dari yang berpendapat bahwa anak itu harus diberikan batasan seketat-ketatnya, sampai dengan teman yang berpendapat bahwa anak itu harus diberikan kebebasan sebebas-bebasnya. Dan, beragam teman yang berbeda kutub secara ekstrim dalam beragam dimensi kehidupan lainnya.
Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah, dua titik ekstrim mengenai pendidikan anak.
Salah satu isue dalam dalam psikologi pendidikan dan pengasuhan adalah, bagaimana orangtua/guru perlu memahami dan “mempertimbangkan” karakteristik perkembangan anak. Dalam buku-buku introduction to Educational Psychology, dalam bagan yang menjelaskan bagaimana aplikasi psikologi dalam bidang pendidikan, selalu akan ditemui “learner characteristics”. Bahwa guru, harus memahami karakteristik anak. Maka, muncullah beragam macam metode yang akarnya berawal dari sudut pandang ini. Beragam macam metode. Tujuannya adalah, agar anak “senang” dan “menikmati” proses belajar. Asumsinya adalah, jika anak “senang” dan “menikmati”, maka apa yang diajarkan akan “nempel”. Baik itu berupa pengetahuan, pemahaman, sikap maupun keterampilan.
Selama ini, saya berada di arus ini.
Lalu beberapa waktu yang lalu, seorang teman menyampaikan sebuah pernyataan yang “mengobrak-abrik” apa yang sudah ada di kepala saya. Menurut teman saya itu, arus pendidikan saat ini, membuat anak-anak menjadi “manja”. Anak “dimanjakan” dengan beragam metoda pembelajaran yang menyenangkan. Tak ada hukuman yang “membuat jera”. Padahal kalau liat jaman dulu, orang-orang “besar” itu belajr tidak dengan cara yang menyenangkan. Menurut teman saya, justru anak-anak ini harus dibuat “bosan”. Biar “ambang kebosanan” mereka jadi tinggi. Tidak selalu menunutut orangtua atau guru untuk mencari 1001 cara agar mereka senang belajar. Lalu ia menunjukkan sebuah share-an berita yang menjelaskan adanya sebuah sekolah yang menganut madzhab “anak jangan dibuat manja”.
Hmmm….bener juga ya…bener kan teman-teman? gimana menurut teman-teman? Argumennya terasa benar…tapi …jujur saja, sulit bagi saya menerimanya. Dari pernyataan teman saya tadi jadi muncul pertanyaan: kenapa sih anak harus dibuat senang dengan kegiatannya? bukankah itu membuat mereka menjadi manja? Kenapa tidak kita “paksa” anak kita untuk mengikuti kegiatan itu?
Saya terus berusaha cari jawabannya, dan hari ini saya dapat jawabannya.
Begini temans….kalau kita renungi…apa sih yang sebenarnya kita harapkan dari anak kita? bahasa agamanya bahagia dunia akhirat. Bahasa psikologinya, well being. Sejahtera. Lagi ngehits nih penelitian children well being di Indonesia. Secara sederhana orang yang well being atau sejahtera bisa diartikan bahagia dan puas dengan kehidupannya, implisit di dalamnya bahwa mereka mampu memenuhi berbagai tuntutan kehidupan sesuai dengan perkembangannya, dengan baik.
Nah, dalam bahasa well being pada anak, ada satu istilah yang membuat saya kesengsem, yaitu istilah well-becoming. Ada dimensi waktu saat kita membahas kesejahteraan anak. Bahwa mereka, tak hanya harus kita bantu untuk sejahtera saat ini. Tapi sejahtera dalam kehidupannya mendatang. Kalau dalam pandangan psikologi, kehidupan mendatang adalah selama anak hidup. Dalam sudut pandang agama, sampai pada rentang kehidupan setelah kematian.
Maka, dalam beragam tataran praktisnya, apapun yang kita lakukan pada anak, selain kita harap bisa melihat dampak positifnya pada saat ini, kita juga harus meninggalkan “jejak” dalam dirinya, yang bisa membuat dampak positif untuk masa yang akan datang. Kita tak tahu apa yang akan dihadapi anak di masa yang akan datang. Tapi ada bekal mendasar yang harus kita pastikan mengakar dalam diri mereka.
Kembali lagi pada kasus pembelajaran tadi….kenapa kita harus berupaya mempelajari ini itu, menggunakan metoda ini itu untuk anak? untuk apa effort sebesar itu? apa “imbalan” ya ng kita dapat? Jawabannya adalah…karena tujuan kita bukan hanya agar anak duduk diam mendengarkan. Bukan hanya agar anak memahami pelajaran itu. Bukan hanya agar anak menguasai apa yang kita ajarkan. Tapi lebih jauh dari itu, agar anak tumbuh motivasi intrinsiknya untuk balajar.
Mengapa harus ada beragam riset untuk menemukan metoda menghafal AlQuran? itu membuat anak manja. Kita “paksa” aja anak dengan metoda konvensional…..Jawabannya adalah….Karena tujuan kita bukan hanya anak hafal pada saat pendidikan. Tapi kita ingin meninggalkan jajak, bahwa menghafal alQur’an itu menyenangkan. Kita ingin ada dorongan yang mengakar dalam diri anak untuk menghafal al quran. Karena kita ingin memastikan bahwa tanpa kehadiran kita, anak akan terus menghafal al qur an. Sepanjang hidupnya.
Mengapa harus ada berbagai penelitian untuk menemukan metoda belajar matematika agar menyenangkan? bukankah itu membuat anak kita manja? Kta “paksa” aja anak dengan metoda konvensional…… Jawabannya adalah …..Karena tujuan kita bukan hanya anak mengerti dan mendapat nilai baik. Tapi kita ingin meninggalkan jejak yang mengakar, bahwa belajar matematika itu menyenangkan. Bahwa sesuatu yang sulit itu bisa ditaklukkan. Karena kita ingin memastikan, bahwa tanpa kehadiran kita, anak punya dorongan yang mengakar untuk belajar. Sepanjang hiupnya.
Kita tentu sudah banyak mendengar bagaimana ada sejumlah anak yang “baik” saat ada di lingkungan yang baik, namun lingkungan baik itu tak berjejak pada dirinya saat ia tak ada di lingkungan baik tersebut. Kita juga sudah banyak mendengar anak yang baik saat didampingi oleh orangtua yang baik, namun jejak kebaikan orangtuanya tak mengakar dalam dirinya.
Saya pernah bertanya pada diri saya sendiri; mengapa Allah menciptakan manusia dalam tahapan2: bayi, anak, remaja, dewasa. Waktu itu saya tanyakan pada anak saya, dia jawab; “ya ampun, ibu….gimana ngelahirinnya kalau langsung gede”. Bener juga ya…tapi kenapa Allah tidak menciptakan fisiknya aja yang bertahap-bayi, anak, remaja, dewasa” tapi secara psikologis udah langsung dewasa gitu? Kenapa coba? Yang ini saya belum punya jawaban yang “clear”, Masih mencari.
Tapi yag jelas, bayi, anak …itu akan tumbuh menjadi seseorang yang dewasa. Kalau kita percaya bahwa sebagai orangtua kita memiliki kewajiban untuk memberikan “bekal” pada anak-anak kita, maka kita harus bekalkan sesuatu yang akan abadi ada dalam diri anak kita, tanpa kita harus hadir bersama mereka.
Sebut beragam istilah. Tapi saat ini, saya mendekatinya dengan istilah motivasi instrinsik. Dorongan yang muncul dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Sesuatu itu; adalah nilai-nilai yang ingin kita tanamkan. Ritual ibadah. Belajar. Menaklukkan tantangan.
Dan konon, dorongan dari dalam diri itu, hanya akan tumbuh jika anak merasa : (1) memiliki “kendali” terhadap dirinya, tidak “dikendalikan” oleh orang lain. (2) merasa kompeten, “aku bisa”. (3) merasa terhubung dengan orang lain. Dengan orangtuanya, dengan gurunya.
Dan ketiga hal tadi, akan terasa oleh anak, jika kita mengupayakan sebuah pengalaman yang menyenangkan bagi anak. Pengalaman yang memberikan jejak kesenangan dan ketertarikan, meskipun apa yang dialami tidak selalu hal yang mereka sukai dan mereka minati.
Wallahu alam
Recent Comments