Berhaji, Rindukanlah …

Seminggu lagi, 10 Dzulhijah akan datang. Di tanah air, kita merayakan salah satu dari dua hari super spesial buat umat Islam, yaitu Idul Adha. Buat sebagian teman-teman saya, bahkan berpendapat bahwa hari yang boleh dirayakan oleh kita sebagai muslim hanya dua hari raya, Idul Fitri dan Idul adha. Terlepas dari perbedaan pendapat dalam merayakan hari “spesial” lain, pendapat ini sekaligus mengukuhkan ke super spesial-an Idul adha.

Saat kita di tanah air merayakan sekaligus menghayati dengan puasa dan berqurban, sebagian saudara muslim/muslimah kita, tengah menjalani ritual super agung di tanah suci. Berhaji.

Beberapa minggu lalu saya bertemu dengan teman yang tiga tahun lalu bersama berhaji. Dia berkata: “sudah musim haji lagi ya….” lalu matanya berkaca-kaca, dan dia sesenggukan. Lalu kita berpelukan. Tanpa kata.”Kangen…. Mina….Arafah…” kata-kata itu terselip diantara senggukannya. Ya, saya mengerti. Saya sungguh mengerti. Saat menulis  ini pun genangan ini tak bisa dihentikan.

Berhaji, dirindukan oleh yang belum merasakannya. Lebih dirindukan lagi oleh yang telah merasakannya. Beberapa teman, mengingat antrian haji amat sangat panjang, mensegerakan ber-umroh. Saya senang sekali. Tapi saya selalu bilang sama teman-teman saya, umroh itu jangan diniatkan mengganti haji.

Dulu, mas pernah bilang: beda banget rasanya haji sama umroh. Itu karena sebelum haji, ia telah berumroh. Saya gak percaya. Namanya di tanah suci sama aja lah. Setelah saya merasakan sendiri… ya, saya setuju. Haji dan umroh itu berbeda.

Dari segi durasi, jelas berbeda. 10 hari versus 40 hari. Saat umroh, kadang kita tidak bisa sepenuhnya “menarik diri” dari rutinitas. Berbeda dengan haji. 40 hari. Kehidupan kita rasanya di restart. Dari semua peran.  Yang kedua, dari intensitas aktifitasnya. Tiga hari mina-arafah-midzalifah, dengan jumlah orang yang begitu ekstrim, kondisi alam yang begitu ekstrim, situasi yang begitu ekstrim…. Benar-benar “menelanjangi” lapis demi lapis diri kita. Tidak ada yang lebih “romantis” di dunia ini selain saat Sang Maha Pemilik Segalanya  membanggakan kita di hadapan para Malaikat.

Tiga hari mina-arafah-midzalifah, dengan jumlah orang yang begitu ekstrim, kondisi alam yang begitu ekstrim, situasi yang begitu ekstrim…. Benar-benar “menelanjangi” lapis demi lapis diri kita. Saya masih ingat, waktu itu dalam perjalanan yang panjang seorang teman kehabisan air minum. Teman saya yang lain, memberikan cadangan air minum yang ia persiapkan. Perjalanan masih panjang. Tapi teman saya memutuskan untuk memberikan simpanan minumnya. Saya masih sangat ingat ekspresi teman saya yang diberi air minum itu :    “Saya nanti bersaksi di akhirat teh…Allah yang membalas…Allah yang membalas” . Kalimat itu, ekspresi wajah itu, benar-banar simulasi padang mahsyar. Rasanya benar-benar langit dan arrasyNya, begitu dekat saat itu. Ya, haji adalah once in a lifetime experience.

Maka, meskipun kita sudah puluhan kali umroh, tetaplah rindukan berhaji. Meskipun kita pikir tak ada kemungkinan kita bisa lakukan – misalnya secara finansial dan situasi-situasi terbatas lainnya, tetap rindukanlah berhaji. Bukan. Bukan untuk gelar, bukan untuk mengukuhkan keluasan ilmu agama kita, bukan untuk menggugurkan kewajiban, apalagi untuk kita pamerkan di medsos. Tapi sebagai upaya sepenuh hati kita mendekatkan dri padaNya.

DSC_0102

Maka, rindukanlah berhaji. Caranya dengan apa? Dengan memupuk kerinduan kita. Bukan. Bukan dengan memajang dan mengusap lukisan ka’bah. Tapi dengan menyiapkan diri saat kita diundang olehNya.

Maka, baca buku tentang ritual haji, jangan nanti pas akan pergi. Dari sekarang. Itu cara memupuk kerinduan.

Baca buku tentang filosofi haji, jangan nanti saat akan pergi. Tapi sekarang. Untuk memupuk kerinduan itu.

Membaca kisah agung perjalanan Bapak para Nabi, Ibrahim, jangan nanti. Tapi mulai dari sekarang.

Membaca kisah hidup Rasulullah, para sahabat, membaca tempat2 bersejarah di tanah suci, makan Hamzah, bukit uhud, bukit hudaibiyah, jangan nanti…..dari sekarang….

Pupuk teruuuuuuus kerinduan itu, agar memuncak dan pada saatnya nanti, hingga tiap detik di sana akan menjadi sangat bermakna, tiap jengkal tanah yang kita injak  disana menjadi terhayati danmenjejak di lubuk hati terdalam.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, Allah SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: