Belajar Abstraksi dari Ritual Haji

apples-v-orangesKalau kita tunjukkan apel dan jeruk ke anak kecil, lalu kita tanya apakah apel dan jeruk itu sama atau beda; sampai dengan umur tertentu, mereka akan menjawab “beda”. Namun kalau kita tunjukkan pada anak yang lebih besar, lalu kita tanya dengan pertanyaan yang sama, mungkin mereka akan menjawab “sama”.

Mana yang benar? dua-duanya benar. Si anak kecil melihat apel dan jeruk  itu berbeda, karena perkembangan kemampuan berpikirnya baru sampai melihat dan menyimpulkan sesuatu berdasarkan hal konkrit yang ia lihat, cium, rasa, dengar atau sentuh.

Ketika ia melihat warna apel dan jeruk itu berbeda, lalu mencium baunya berbeda, rasanya berbeda, dan teksturnya berbeda; maka ia akan menyimpulkan dua benda itu berbeda. Kata Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan yang mengkonstruksi teori mengenai perkembangan kemampuan berpikir anak, sampai dengan usia 12 tahun pola pikir anak  masih bersifat konkrit.

Berbeda dengan jika apel dan jeruk itu kita tanyakan pada anak usia remaja dan dewasa, mungkin ia akan menjawab “sama”. Mengapa? karena ia melihat konsep yang tidak kasat mata, yaitu “buah-buahan”. Remaja dan dewasa sudah bisa berpikir “abstrak”.

Maka, kalau kita melihat kesamaan dan perbedaan sesuatu itu hanya dari kasat mata, maka kita harus berintrospeksi. Mungkin pola pikir kita masih seperti anak-anak. Misal: kita menilai  manusia berdasarkan jenis pakaian yang ia kenakan. Kalau warna dan gayanya begini, berarti mencintai Rasul. Yang warna dan gayanya gak begitu, gak cinta Rasul. Kalau dia masuk kelompok ini berarti orang baik, kelompok itu berarti orang dzalim. Pilih presiden ini orang baik,pilih presiden itu buruk. Tanpa mau menelisik lebih lanjut  apa yang menjadi landasan pertimbangannya. Atau, kita menyimpulkan orang berdasarkan kategori-kategori lain yang “kasat mata”. Harta, pangkat, jabatan, kecantikan, popularitas….

Padahal kalau kita sudah dewasa, harusnya kita bisa melihat kesamaan dan perbedaan yang sifatnya lebih abstrak. Bukan dari atribut yang kasat mata, tapi dari konsep-konsep yang tak kasat mata. “Walau orang itu model bajunya model orang yang sholeh, tapi akhlaknya kurang baik. Maka tidak boleh saya ikuti”. “Walaupun gelar akademiknya tinggi, orang itu melanggar kode etik. Tidak boleh kita contoh perilakunya”. “Walaupun orang itu memakai pakaian dengan gaya yang berbeda, tapi akhlaknya baik. Berarti dia mencintai Rasul”. “Walaupun kerudungnya tidak lebar, namun pakaiannya tidak menerawang, tidak membentuk tubuh, tidak terbuka, menutup dada, tidak menarik perhatian, berarti syar’i”, “Walaupun orang itu populer, namun sebenarnya ia kurang berilmu. Jangan bertanya padanya”

Ada satu ritual dalam Islam yang mengajarkan kita itu melebur semua “label” perbedaan konkrit. Haji. 3 hari berihrom, siapapun dia-tua muda, kaya miskin, bergelar akademis atau gak sekolah, dan beragam atribut sosial lainnya- semua dinilai sama. Sebagai seorang manusia dengan dua lembar kain putih tak berjahit bagi laki-laki, dan wanita berpakaian putih.

Saat berhaji, kita tak tahu orang lain itu siapa. Orang lain tak tahu kita siapa. Kita tanggalkan semua atribut sosial keduniaan. Kita gak tau gaya pakaiannya seperti apa, partainya apa, ngajinya sama ustadz mana, pilihan presidennya siapa. Dan kita “dipaksa” untuk berpikir abstrak: bahwa mereka semua adalah manusia yang ingin mendekatkan diri pada Tuhannya.

sumber gambar : http://criticalandcreative.blogspot.co.id/2012/12/differences-and-similarities.html