“Fitri, boleh gak saya minta tolong?” suara nge-bass nya selalu terasa hangat.
“Minta tolong apa Bang?” tanya saya.
“Ini kan makanan dan buah banyak banget bawaan yang nengok. Tapi saya kan engga mungkin makan. Boleh gak Fitri bawa pulang aja, buat anak-anak. Pasti anak-anak seneng”
Percakapan itu, beberapa bulan lalu. di salah satu ruang rawat inap di RS Advent. Saya bersama dua teman angkatan 97 menjenguk beliau, Bang Leo.
Tentu beragam kue dan buah itu tidak saya bawa pulang. Bersama beberapa teman beliau yang juga sedang menengok, kami memberikan kue-kue dan buah itu pada para perawat dan satpam, sambil menitipkan beliau pada mereka.
Peristiwa itu terbayang jelas hari selasa lalu, kurang lebih jam 11. Saat itu saya baru sejam-an keluar dari ruang operasi, masih di ruang pemulihan. Si abah yang pegang hape saya, rupanya membaca kabar duka wafatnya Bang Leo.
Seharian itu, saat saya sesekali baca facebook, beragam ucapan kehilangan beliau, diungkap oleh orang-orang yang mengenal beliau. Beragam cara dan beragam kalimat, namun semuanya menyuarakan satu hal. Semuanya merasakan betapa baiknya beliau.
Saya juga sedih, saya pernah berjanji pada diri saya….kalau saatnya tiba beliau dipanggil sang Maha, saya ingin mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Namun takdir berkata lain. Di saat yang sama, saya juga tengah terbaring tak berdaya.
Leonardus F. Polhaupessy. Bang Leo, demikian kami, warga Psikologi UNPAD mengenalnya. Saya pernah sangat intensif berinteraksi dengan beliau selama satu semester , saat beliau menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Waktu saya mendapat kabar bahwa beliau menjadi pembimbing saya, sempet deg-degan juga. Ya, di kelas, kami senang diajar Bang Leo. Waktu itu beliau mengajar kami kuliah Kecerdasan dan Psikoterapi Anak dan Dewasa. Kisah-kisah beliau dalam men”terapi” klien-klien beliau, suara nge bas beliau saat mempraktekkan relaksasi, sangat menarik untuk kami.
Tapi…skripsi itu berbeda. Zaman itu, setiap dosen senior Psikologi UNPAD diakui punya “keunikan” tersendiri. “Keunikan” ynag harus bisa kita pahami. Saya dan Bang Leo…berbeda segalanya. Usia….terpaut puluhan tahun. Suku bangsa, agama, semuanya beda. Apalagi ilmu beliau….haduuuh…ilmu psikodiagnostika-nya, ketajamannya menganalisa respons subjek pada alat test kecerdasan terutama yang kualitatif….membuat kita tak henti tertakjub-takjub.
Namun pertama kali bertemu beliau, semua perasaan cemas saya hilang. Ternyata beliau memiliki kesan positif terhadap saya di mata kuliah kecerdasan. Dan 1 semester bimbingan, selalu diisi dengan diskusi hangat yang diiringi humor dan suara tawa “ha..ha..ha..” beliau. Yang saya sangat ingat adalah, naskah skripsi saya, tak pernah tercorat-coret. Tak ada yang salah? tak mungkin….tapi beliau, mengoreksi naskah saya dengan mencoret rapi kalimat-kalimat saya, lalu menuliskan apa yang “benar”nya di bagian atas, dengan tulisan tegak bersambung yang rapiii….
Setelah menjadi kolega, setiap kali ketemu mahasiswa, Bang Leo selalu cerita: “Fitri ini mahasiswa bimbingan skripsi saya. Lulus satu semester loh, soalnya saya boongin. Waktu itu saya bilang…ayo harus beres satu bulan soalnya saya mau ke Belanda. Padahal saya gak jadi ke Belandanya ha..ha..ha..” . Tak lupa kemudian ia selalu menitipkan salam untuk anak-anak saya.
Beberapa tahun lalu beliau pensiun, beliau mulai sakit-sakitan. Tubuh kurusnya semakin ringkih terlihat beberapa kali kami bertemu di kampus. Senyum dan tawanya mulai jarang terlihat.
Di acara Dies Natalis Fakultas persis tahun lalu, di tengah keramaian, beliau memanggil saya. “Fit, kayaknya Fitri senang dengan warna ini ya” katanya sambil memegang kerudung saya. Saya nyengir aja. “Saya punya sesuatu yang akan pas banget”. Lalu Beliau mengeluarkan dua cincin bermata orange tua dari jari-jarinya. “Dua-duanya buat Fitri. Pas banget sama baju ini”. Katanya. Saya kaget dan tak menyangka. Dan saya tahu tak mungkin saya tolak. Setelah saya pake, beliau berkata: “Tuh, keren kan…” sambil mengedipkan sebelah matanya. Khas gaya beliau.
Sebulan kemudian, saya bertemu di kampus. Waktu saya menyalami beliau, beliau lagi-lagi mengeluarkan cincin yang tengah dipakainya Kali ini bermata biru tua. “Buat Fitri”, katanya.
Bang Leo. Saya yakin semua yang mengenalnya, punya cerita masing-masing denga Bang Leo. Cerita yang sebagian besarnya, pastilah cerita tentang kekaguman kami terhadap sosoknya yang sangat sederhana, rendah hati, ramah dan baik.
Konon, kita memandang dan menilai dunia berdasarkan pengalaman kita “bersentuhan” dengan dunia. Dan “bersentuhan” dengan Bang Leo, membuat saya, memandang bahwa di dunia ini … begitu berlimpah kebaikan yang kita miliki. Kebaikan yang bisa kita berikan pada siapa saja, dalam bentuk apa saja, kapan saja, bahkan sampai maut hampir merenggut nyawa kita.
Selamat jalan Bang Leo, Rest In Peace.
Recent Comments