Siang itu, saya bersama seorang teman sedang di kampus Dago. Saya sedang semangat 45 mengerjakan tugas kuliah. Makan siang yang kami pesan sudah datang. Saat itu, kondisi saya gak seratus persen fit sih. Sejak Sabtu, badan saya anget semriwing-semriwing gitu. Plus tenggorokan sakit. Ah, mau ngedrop kali. Maka, hari Minggunya saya sengaja full istirahat di rumah.
Senin pagi ada kegiatan yang harus saya ikuti. Semriwing-semriwing udah mulai berkurang, tapi entah kenapa perut gak enak plus mual banget. Sampai-sampai akhirnya paginya saya beli obat maag. Gak pernah semual ini sih. Rahim juga agak kram. Biasa sih, kalau lagi nge drop, si IUD suka beraksi. Sebenernya setelah acara saya ingin langsung pulang. Kayaknya butuh istirahat lagi. Setelah istirahat, biasanya semua keluhan berkurang. Tapi ada rapat jam 15. Ya udah sambil munggu rapat, sambil saya kerjain PR.
Tiba-tiba…ada sakit yang menjalar dari perut bawah, ke atas, dan memuncak di sebelah kanan. Sakiiiit banget. Menyebar, lalu meningkat intensitasnya…cenut-cenut hebat di kanan atas….perut rasanya mau pecah. Kayak bukaan 10 melahirkan gituh. Waduh…langsung saya telpon sopir. Saya minta jemput saya pake mobil. 1,5 jam menunggu sopir, badan saya meriang, keringet dingin, pengen muntah…aduuuh….tiap 10 menit sekali telpon sopir saya. “Pak udah sampe mana? cepet ya….” .
Saya putuskan mampir di IGD Hermina. Jam 14 saat itu, saya masuk sendiri bawa ransel yang setia menemani hari-hari aktifitas saya (haha…lebay)
Saya telpon si abah, mengabarkan saya di IGD. Cek lab….Kadar leukosit menunjukkan ada infeksi akut. Sore, si abah datang. Dokter bedah datang. Dokter bedah? “Bu, kalau dari gejala dan hasil lab, sepertinya sih radang di usus buntu. Dan kalau radang di usus buntu, obatnya satu…operasi…kita operasi besok ya, jam 8” . Demikian kata si dokter.
Untuk memastikan, dilakukan serangkaian test lagi. Mengingat sakit di “daerah” itu, bisa usus buntu, bisa masalah kandung kemih, bisa masalah kehamilan. Jujur ya, yang paling degdegan waktu test kehamilan dong….Hiks…hamil, adalah kondisi yang sedang tidak saya harapkan saat ini. Alhamdulillah setelah di periksa sama dokter SpOG, si dokter ramah itu bilang “Ibu, kondisi rahim dan alat kontrasepsi ibu baik, tidak ada masalah dalam organ reproduksi, saya setuju dengan diagnosa sejawat saya, tampaknya masalah ibu di usus buntu”.
Baiklah. Operasi. Besok. Di tengah-tengah semangat dan target aktifitas yang tengah dihadapi. Baiklah. Kita jalani saja episodenya. Sempet nangis? sempet dooong…biar sehat mental haha… nangis waktu ngontak anak-anak. Si gadis kecil yang mengangkat telpon bertanya: “Ibu kenapa udah sore ibu belum pulang? Kan kita mau belajar buat UTS”. Nangis lagi waktu si bujang kecil merebut telpon dan bertanya: “operasi? usus buntu? serius bu? “.
Karena anak-anak sedang UTS dan mamah dari Purwakarta baru bisa datang besok, maka malam itu, si abah saya minta pulang. Nemenin anak-anak belajar. “Tapi setengah tujuh harus udah disini ya bah…aku takut masuk ruang operasi”.
Meskipun teman saya yang dokter bedah menjelaskan panjang lebar di wa bahwa operasi usus buntu itu sudah “biasa”, resikonya kecil, tenang aja, dll….tapi pada akhirnya kita sepakat bahwa siapapun yang akan masuk ruang operasi, pasti merasa takut. Apalagi sebulan lalu, ada rekan saya yang wafat pasca operasi, karena tekanan darah yang naik. Konon ia stress banget menjelang masuk ruang operasi. Hhhmmm…tak ada alternatif lain selain TRUST pada para dokter dan perawat, YAKIN dan PASRAH pada skenarioNya. Bahwa mungkin saya tak hidup lagi setelah keluar ruang operasi…terpikir doong. Makanya malam itu, sambil memandang kerlip cahaya lampu kota dari jendela kamar saya, sambil beristighfar dan bersyahadat, saya berusaha mengevaluasi kehidupan saya. Tenangkah meninggalkan mas, anak-anak? ada yang dikhawatirkan kah? Gimana kewajiban-kewajiban lain ? a
Paginya…serangkaian prosedur lagi….lalu dilepas si abah masuk ruang operasi. Owh….ngalamin juga berada di ruang operasi. Ruang yang sama dengan ruang saat si bujang kecil dioperasi fimosis-sunat 6 tahun lalu. Ada 6 orang pasukan Hulk-pasukan berseragam hijau. Si dokter bedah ramah yang humoris dan easy going, sudah ada di sana. Saya liat jam. 8.20. Terbersit itu adalah hal terakhir yang bisa saya lihat di dunia ini, saat dokter anestesi yang sigap berkata pada saya: “kita mulai ya bu”, lalu memberikan masker bius. Saya pikir saya akan tidur perlahan. Ternyata tidak. Seluruh tubuh saya merasakan anestesinya bekerja. Saya bersyahadat dan…
Saat saya membuka mata, saya jam menunjukkan 9.40. Operasinya pasti sudah selesai. Saya didorong ke ruang pemulihan. Si abah sudah menunggu di sana. Di ruang pemulihan, saya sampai jam setengah 2. Dua orang yang bersama saya, adalah para ibu yang habis melahirkan sesar.
Saya sudah tau dari beberapa teman yang sesar, bahwa “musuh”nya abis operasi itu adalah batuk dan ketawa. Nah…di ruang pemulihan itu, ada satu kejadian yang bikin saya ketawa lalu meringis karena lukanya jadi kerasa. Ada seorang ibu yang melahirkan sesar, suaminya yang bule baru datang. Begitu melihat bayinya, si bule itu terkaget-kaget dan berseru: “wow bule bangget euy” haha… Tapi itu tak seberapa. Yang paling bikin sakit adalah saat kemarin, saya sudah dinyatakan boleh pulang, infus udah dibuka, saat saya mau ke kamar mandi, si abah memapah saya sambil…..bawa2 tiang infus yang tak terhubung apa-apa lagi dengan saya…haha…bodor banget. Tiap inget itu masih pengen ketawa ….
Sampai seminggu ke depan, dokter meminta saya tidak beraktifitas ke luar rumah dulu untuk memulihkan luka fisik. Banyak kegiatan yang ter-cancel. Ada beberapa keinginan yang tak bisa terpenuhi. Ada beberapa target yang tak mungkin tercapai jadinya.
Saya jadi ingat…paper yang sedang saya baca ketika tiba-tiba sakit hebat menyerang perut adalah paper tentang happiness vs meaningfulness. Senada dan menguatkan konsep hedonic well being vs eudaimonic well being di tulisan saya sebelumnya https://fitriariyanti.com/2016/09/14/merenungi-makna-kehidupan-yang-baik-catatan-kecil-tentang-well-being/
Di usia 37 tahun ini, saya semakin banyak melihat bahwa … menetapkan keinginan, lalu mengevaluasi apakah tercapai atau tidak-sebagai acuan menilai kebahagiaan hidup kita, bukanlah cara yang tepat. Dulu saya selalu kagum pada orang-orang yang berhasil mencapai keinginannya. Tapi kini, saya jauh lebih terpesona, pada orang-orang yang bisa bangkit kembali, setelah menghadapi situasi yang tak sesuai harapannya. Ibu yang ditinggal wafat anak kesayangannya, pebisnis yang ditipu kliennya, suami yang disakiti istrinya, mahasiswa yang gagal kuliahnya, atlit yang mengalami kecelakaan, namun mereka bisa bangkit lagi berdiri.
Ada banyak, sangat banyak ketidaksesuaian yang Allah terjadi-kan dalam kehiduan kita. Karena faktanya, Dia Sang Maha, bukanlah Dzat yang memanja-kan kita dengan memberikan semua yang kita mau. Ia, adalah Sang Maha Pemelihara. Ya, ia menciptakan kesedihan, kesakitan, kekecewaan, kepedihan… Namun seiring dengan itu, Ia pun menciptakan rasa dan pikir yang membuat kita selalu bisa melihat kebaikan di balik episode kehidupa yang tak sesuai harapan kita.
Kesungguhan dan profesionalitas para dokter bedah, dokter SpOG, dokter penyakit dalam, dokter anestesi yang begitu menenangkan saya, keramahan para perawat, binar mata para ibu dengan luka di perut itu saat menggendong bayi mereka, rasa syukur karena ada mama dan papa yang selalu sigap datang kapanpun saya membutuhkan, “kedewasaan” si bujang kecil membuatkan soal-soal matematika buat latihan belajar si gadis kecil, suapan lembut si sulung kala menyuapi saya, 100 persen rasa aman dan nyaman yang saya dapatkan dari si abah, ketelatenan dan kesabaran si abah menemani saya, bantuan tulus dari sopir saya, adik-adik saya, doa dan perhatian dari teman-teman…. hal itu menciptakan gelombang kebahagiaan yang sifatnya lebih ….deep impact.
Saat ini, memang hidup saya tidak “hepi”. Keinginan saya sehat wal afiat tidak tercapai. Tapi episode ini memberikan makna dalam hidup saya. Bahwa ada suatu masa dimana saya merasa takut, merasa tak berdaya, dan ada banyak kebaikan dan ketulusan yang Sang Maha tunjukkan.
Episode-episode kehidupan seperti ini, jauh lebih bermakna dibandingkan sebuah momen ketercapaian keinginan dan harapan. Momen-moment seperti ini, adalah moment-moment yang menguatkan. Moment-moment yang kalau ditranformasi dalam bentuk suara, ia akan menjelma menjadi sebuah bisikan: “sesakit apapun episode yang harus kau lalui, you’ll be oke. Menangislah. Merasa perih lah. But. you’ll be ok”.
Episode-episode kehidupan seperti ini, mudah-mudahan akan membuat kita siap menghadapi ketercapaian harapan kita dengan sepenuh rasa bahagia, namun di sisi lain, tak membuat kita cengeng, membuat kita menjadi tak takut lagi, saat kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Semangat !!!!
Sep 23, 2016 @ 10:36:24
Mantap.. teh fit, sellau inspirational tulisan tulisannya.. hehe..
Mengenai perasaan mendekati kematian itu, saya pernah merasakannya teh. Ibu saya meninggal sebulan lalu, dan entah kenapa saya kok ngerasa sy akan segera menyusulnya.. Lantas jadi bingung, karena apa yang harusnya sy pikirkan… Meminta maaf kah dengan orang orang dekat, bagaimana dgn istri, ayah.. dan sejumlah pikiran lain..
Mungkin teh fiitri punya ulasannya teh, mau dong di share… nuhun..