Belajar Bikin Polling

Temans, ceritanya saya lagi belajar bikin polling nih. Jadi nanti kalau mau bahas topik tertentu, diawali dengan pooling, lalu hasil pollingnya nanti jadi bagian tulisan tsb. Seru kayaknya ya…. hehe….

Nah, buat mencoba, hari ini saya nyobain bikin polling iseng ini. Kalau berkenan, ikut isi ya…

(Jika kita menjadi) Dilan dan Milea

Jadi, begini ceritanya:

Weekend lalu, kami berenam berkunjung ke toko buku favorit kami. “Masing-masing boleh pilih 5 buku”. itu aturannya (sssttt…..meskipun saya sering melanggar aturan itu sih kkk… terutama kalau lagi banyak buku catatan atau agenda yang lutu-lutu ….suka kalap ;). 30 menit berpencar, masing-masing mulai “setor” buku hasil buruannya. Memang ada aturan tak tertulis bahwa buku-buku pilihan anak-anak, akan saya sensor. Lucu deh kalau liat ekspresi si bungsu. Si 4,5 tahun itu ngasihin buku hasil “buruan”nya dengan ekspresi harap-harap cemas. Apalagi kalau buku yang dia pengen banget, dia akan bilang: “boleh ya bu…plis plis pliiiiis” ;). Buku-buku “aktifitas prasekolah” bergambar boboyboy, cars dan spiderman si bungsu lolos sensor emaknya. Buku-buku komik KKPK si gadis kecil juga lolos sensor, membuat si 7 tahun itu bersorak. Demikian juga buku “Reptil”nya si bujang kecil. Dia memutuskan satu aja bukunya, soalnya mahal katanya. Hehe…si 10 tahun itu, makin hari makin bijaksana ;).

Tibalah giliran si sulung. Dengan ragu, dia menyodorkan sebuah novel. Critical Eleven judulnya. Karya Ika Natassa. Saya pernah denger buku ini dididskusikan oleh temen-temen “dosen muda” di kampus. Saya agak ragu juga sih…soalnya buku itu kayaknya seru … tapi…dibahasnya kan sama yang umurnya udah akhir 20an dan awal 30an…Cocok gitu buat gadis remaja umur 13 tahun?

Saya bilang: “Kaka, ibu engga yakin buku ini bagus untuk Kaka baca. Ibu mau tanya temen ibu dulu yang udah pernah baca”. “Tapi temen-temen Kaka juga pada baca…” katanya. “Iya, kalau bagus, ibu gak masalah”. Kata saya. Si remaja itu langsung cemberut maksimal. Emak-emak yang punya anak remaja, pasti kebayang gimana cemberutnya si remaja haha…. Saya kontak beberapa teman yang saya ingat pernah baca buku itu. Gak ada yang angkat. Saya baca bagian belakang ringkasan buku itu…yang jelas temanya percintaan, tapi gak terlalu tergambar isinya gimana. Si abah lalu mendekat. Saya ceritakan perasaan saya terhadap buku itu, lalu si abah memutuskan untuk browsing resensi novel itu. “Not recommended de” kata si abah pada saya. “Kaka, menurut resensi yang abah baca, buku ini gak cocok untuk Kaka baca. Nih, kaka mau baca beberapa resensinya?” kata si abah menyorongkan hapenya. Si sulung yang udah cemberut maksimal, menambah intensitas cemberutnya, dah mendung mau nangis wajahnya.

Sampai di antrian kasir, jawaban dari salah seorang temen saya tentang buku itu saya terima; “jangan mbaaaak…..buku itu bnovel percintaan dewasa….ada adegan dewasanya….” Alhamdulillah. “Kaka jadinya beli buku apa?” tanya saya. “Gak ada yang bagus” katanya. “Dari sekian banyak ini? gak ada?” kata saya. Si sulung menggeleng lalu diam. Wajahnay masih bete. Saya melirik tumpukan buku yang paling dekat dengan posisi antrian saya dekat kasir.

Sejak beberapa bulan lalu, saya sudah melihat tumpukan buku karya salah satu penulis favorit saya, Pidi Baiq. Judulnya. Dilan. Lalu saya lihat cover buku yang senada bertambah dua. Judulnya Dilan#buku kedua dan Milea. Saya fans nya Pidi Baiq. Saya koleksi buku seri “drunken-nya”; drunken monster, drunken mama, drunken molen, drunken marmut. Saya suka banget gaya humornya. Itulah sebabnya, akhir tahun lalu saya meminta beliau yang menulis endorsement utama untuk buku “Bukan Emak Biasa” saya. Kenapa sampai saya belum beli buku seri Dilan-nya Pidi Baiq? Gak tau. Tapi dalam situasi sore itu, spontan saya membeli tiga buku seri Dilan: Dilan, Dilan buku kedua dan Milea. Untuk si sulung. Saya percaya meskipun sepertinya itu buku tentang cicintaan remaja, gak akan ada hal-hal yang “aneh-aneh” dalam buku tersebut. Saya percaya pada “idealisme” penulisnya, dibalik gaya humor yang jadi ciri khasnya.

Dan…ternyata, pilihan spontan saya   berhasil membuat cemberut di wajah si sulung berangsur menghilang, dan dampak buat emaknya, lebih luar biasa lagi. Berawal dari iseng baca buku itu, saya merasa…meskipun si sulung bilang buku-buku itu “rame”, tapi saya, jauh lebih menikmatinya. Kenapa? karena buku itu bercerita tentang masa SMA yang settingnya tak jauh dari zaman saya. 1992 ceritanya, dan saya menjalani  SMA tahun 1994-1997.

Ah, bener kan…gak salah saya ngefans sama Pidi Baiq…. dia emang keren. Cerita di tiga buku ini, biasa banget. Sangat biasa. Cerita cinta anak SMA. Tapi gaya bahasanya, memang selalu luar biasa. Sederhana, natural  dan sangat lugu, tapi itu yang bikin istimewa. Pidi Baiq berhasil membuat saya yang pernah berada di setting zaman itu….dengan nama mata pelajaran saat itu, rutinitas saat itu, istilah-istilah khas terkait sekolah zaman itu…. ia berhasil membawa kita jalan-jalan ke masa itu, seolah kita berada di dalamnya…ah, keren banget deh. Rasa humornya masih khas, bikin saya minimal senyum dan sering ngakak sendiri saat baca buku itu. Yang sangat saya kagumi adalah, detil deskripsinya. Membaca rangkaian kalimatnya, seolah-olah kita berada di tempat yang ia gambarkan, saat itu juga.

SMA. SMU. Dari sekian perjalanan hidup kita,  tampaknya masa SMA sering menjadi masa yang istimewa. Terutama kalau terkait percintaan. Kenapa ya? menurut “penerawangan” saya, mungkin karena rasa cinta yang kita miliki dan cerita cinta yang terjadi saat SD dan atau SMP, itu adalah rasa cinta yang …. orang bilang cinta monyet. Sedangkan rasa cinta waktu jaman kuliah apalagi setelah lulus kuliah, adalah rasa cinta yang …. “relatif matang”. Ada unsur rasio yang semakin mendominasi perasaan dan hubungan cinta. Nah…rasa cinta dan kisah cinta saat SMA, memang tampaknya adalah rasa cinta yang full “RASA yang KAYA”. Romantic love lah….makanya, jejaknya biasaya mendalam.

Mungkin banyak diantar kita yang pernah menjadi Milea atau Dilan, dengan rasa dan kisah cinta yang begitu mendalam. Nah, cuman….kalau tak dikelola, pengalaman dan jejak rasa yang mendalam itu bisa berbuah bencana. Bencananya apa? bencananya bernama CLBK. CLBK ini adalah singkatan dari: (a)  Cinta Lama Bersemi Kembali ; (b)  Cinta Lama Belum Kelar; (c)  Cinta Lama Bubarkan Keluarga.

Ah, sebagai orang yang engga kreatip, suka kagum ama kreatipitas orang-orang merangkai bahasa. Mungkin sebenarnya ada lebih dari 3 singkatan dari CLBK. Tapi dari 3 singkatan yang saya tahu, ayo tebak…. apa persamaannya? Persamaannya adalaaaaah…. kepanjangan dari dua huruf singkatan pertama: CL. Cinta Lama.

Sejujurnya ya, dulu saya “gak percaya” pada fenomena CLBK. Baik yang singkatannya a, b, apalagi yang c. Tapi kemudian ada beberapa pengalaman terkait fenomena CLBK yang membuat saya ingin membuat catatan tentang hal ini. (Note: pengalaman terkait fenomena CLBK ya, bukan pengalaman CLBK … kkkk).

Meskipun konon yang bisa menghidupkan CLBK adalah  “reuni” (sampai ada beberapa suami/istri yang tau adakisah cinta pasangannya saat di SMA tak mengizinkan untuk ikutan reuni SMA), tapi menurut beberapa cerita teman, “reuni” tak terlalu berbahaya memunculkan CLBK. Ada yang jauh lebih berbahaya. Yaitu …..WA Group ! Kenapa? Kalau reuni, kita bertemu mantan secara konkrit. Kita dibantu untuk meregulasi diri dengan adanya batasan-batasan yang kasat mata. Penilaian sosial yang akan menentukan perilaku kita, lebih “jalan” di “dunia nyata”, karena “umpan balik” yang kita dapat dari panca indera kita lebih kumplit. “Pantas” atau “tidak pantas” suatu perilaku saya tunjukkan; misal: menatap si mantan, atau berkata dengan intonasi “romantis” atau menungkapkan kangen pada mantan, menjadi relatif terbatas.

Berbeda dengan saat kita berkomunikasi di dunia tak nyata, dunia maya. Ada fenemona dis-inhibition. Lebih detil mengenai apa itu disinhibition, bisa dibaca di tulisanhttps://fitriariyanti.com/2014/05/17/mengapa-kita-bisa-vulgar-dan-kasar-di-facebook/ . Intinya, saat berkomunikasi di dunia maya dengan sang mantan, maka regulasi diri dari dalam pribadi kita lah satu-satunya rem. Karena “umpan balik” dari lingkungan sosial menjadi minim.

Seperti yang Milea tulis di akhir buku Dilan#buku kedua; maka mungkin banyak diantara kita yang juga mengalami hal yang sama dengan Milea. Kita sudah menikah, punya anak… namun kenangan terhadap “Dilan kita”, sulit untuk dihilangkan. Rasa itu masih ada, tersimpan dengan orisinal. Rasa yang persis sama mudah terbangkit saat ada candaan-candaan “biasa” di wa grup bersamanya. Entah candaan iseng temen-temen, atau… satu dua kata dari “Dilan kita” yang mengungkit lagi rasa itu. Bukan…bukan berupa bujuk rayu kata-kata mesra yang bisa menghidupkan kembali rasa itu, Tapi kadang hal yang amat sederhana. Misalnya percakapan gak penting di wa grups seperti ini :

Teman-teman: ih, tumben grup ini sepi banget. ngobrol yuks…//…… beberapa teman memberi komentar….ngobrol ini itu…..lalu, ada seorang teman yang me-mention kita: “***” mana nih, kok gak muncul (misal *** adalah nama kita)//mantan kita lalu berkomentar “***” lagi ngemil rambutan kali//. 

Obrolan yang “biasa banget” kan…. tapi obrolan yang “biasa banget” itu, bisa memicu kembali beragam rasa bersama si mantan, karena hanya dia yang tau, bahwa rambutan, adalah makanan favorit kita. Dan perasaan “dia masih ingat hal itu”, akan membuat kita mulai dari senyum2, merasakan debaran di dada, sampai dengan menikmati berjam-jam memori bersamanya yang dengan kompak muncul dalam pikiran kita. Berawal dari episode-episode kayak gini nih…kehancuran rumah tangga bisa terjadi.

Nah, maka, berdasarkan hal itu, dalam tulisan ini saya ingin “menghimbau” (haha…siapa elu….) pada para pemirsa waGrup:

(1) Untuk bu mimin dan pak admin; sebaiknya sebelum membuat wa grup, minta izin pada yang akan diinvite. Memang sih di Indonesia, orang masih menganggap consent itu gak perlu. Tapi sebaiknya kita mulai menghargai pilihan orang lain, yang pastinya paling tau apa yang terbaik untuk dirinya. Hargai bila ada yang tak mau masuk grup. Mungkin bukan karena sombong atau gak mau bergaul. Tapi mungkin ia ingin menjada diri dan keluarganya. Sikap menghargai juga harus ditunjukkan saat ada teman kita yang left group. Itu hak nya. Tak boleh dijudge atau dihakimi.

(2) Jangan iseng becanda mengungkit kisah asmara masa lalu teman kita. Karena CLBK tipe c mungkin terjadi awalnya karena “becandaan” kita.

(3) Jangan follow up pertemanan di wa grup dengan mantan menjadi wa japri. Walaupun topik pembicaraannya bisa jadi sanjungan mengenai suami/istri si mantan, atau obrolan mengenai anak-anak masing2, namun konon katanya itu adalah mekanisme tak sadar untuk menutupi maksud kita sebenarnya: ingin mengenang kembali rasa yang pernah ada hehe…waspadalah….waspadalah…

Jika kita jadi Milea atau Dilan, yang141515_29155_mantan_chi punya rasa dan kisah cinta  tak terlupakan di masa SMA, yang merasa bahwa memori itu adalah bagian hidup kita yang berharga dan tak mungkin dilupakan, maka dewasalah…. seperti juga dewasanya Milea dan Dilan. Yang menghargai dan menyimpan kenangan itu sebagai kenangan. Bagian dari perjalanan hidup yang tak harus menghancurkan apa yang kita miliki saat ini.

Jangan sampai, kita mengalami total gerhana mantan haha…..;)

Marriage is a marathon

Waktu heboh pernikahan remaja  ganteng umur 17 tahun di negeri ini beberapa waktu yang lalu, saya termasuk yang tak setuju dengan kampanye “ayo nikah muda, malu dong sama anak 17 tahun…”. Apalagi kalau ditambah: “daripada zina mending nikah muda”.

Kenapa saya tak setuju? karena menurut saya, dua “himbauan” tadi, kalau hanya begitu bunyinya, bisa bikin orang jadi salah fokus.

(1) “Nikah Muda”;  Tua-Muda, Belasan tahun-puluhan tahun, menurut saya bukan sesuatu yang penting. Yang jauh lebih penting itu adalah “KESIAPAN”. ADA remaja 17 tahun yang sudah siap? ada. Tapi TIDAK SEMUA remaja 17 tahun siap. Jadi tak berlaku umum.  So, harusnya yang di”kampanye”kan bukan soal “17 tahun” atau “MUDA”nya. Tapi “SIAP”nya. “Apa ynag perlu disiapkan”. Jadi jernih gitu logikanya.

(2) “Daripada zina mending nikah muda” atau “daripada zina mending poligami”. Kalimat ini hanya benar untuk  seseorang yang hanya punya  dua pilihan. Kalau gak nikah dia akan berzina, atau kalau gak poligami dia akan berzina. ADA orang-orang yang kalau gak nikah akan terjerumus ke zina? ada. Ada orang-orang yang kalau gak poligami akan terjerumus ke zina, ada. Bagi mereka, himbauan ini berlaku. Dengan catatan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga menghindari zina.

Tapi TIDAK SEMUA orang hanya punya dua pilihan itu. Ada orang-orang muda yang tidak menikah, tapi bisa tak berzina. Ada orang-orang yang punya pilihan “bermonogami yang baik” diantara pilihan monogami dan zina. Jadi himbauan ini harusnya tak berlaku umum.

Kalau tidak disertai keterangan atau penjelasan, himbauan diatas  bisa menyesatkan. Orang bisa jadi menyimpulkan: “waduh, kalau saya gak nikah, saya pasti zina nih”. Atau “kalau saya gak poligami, saya pasti akan zina nih”. Jadi manusia tuh kayaknya gak berdaya gitu.  Yang lebih parah lagi, itu bisa dijadikan legalisasi sama orang-orang tak bertanggungjawab; orang-orang yang gak ngeuh ada ayat “jauhilah zina”. Dan….yang saya suka sedih, implisit dalam himbauan tersebut seolah-olah pernikahan itu HANYA berisi satu dimensi: seksual. Padahal pernikahan, jauuuuuh dari hanya masalah seksual.

12 tahun menjalani profesi psikolog dan sekarang banyak mendapatkan pengalaman terkait persoalan keluarga, semakin membuat saya yakin…. menikah itu…perlu persiapan. Itulah sebabnya dalam perjalanan kehidupan manusia, menikah … adalah “tugas perkembangan” pada saat seseorang telah “kokoh akar dirinya”. Karena setelah menikah, dia harus sudah siap “memberi” pada orang lain. “Siap” menghadapi apapun yang akan terjadi.

Mertua yang turut campur, pihak ketiga yang mengganggu, pasangan yang sakit atau wafat, dan seribu satu persoalan lainnya. Lalu dalam pernikahan, ada peran menjadi orangtua. Kita tak tahu ujian apa yang akan kita hadapi. Tak kunjung dikarunia momongan, anak memiliki kebutuhan khusus, anak wafat, keguguran berkali-kali, anak sakit kronis dan akut….kita gak akan tahu.

Waktu menyiapkan materi “parenthood preparation”, saya baca literatur2 tentang “menjadi orangtua”. Secara filosofis dan psikologis. Saya terhenyak… begitu kompleks loh, amanah yang kita pegang saat kita sudah berstatus ibu dan ayah. Apalagi bagi perempuan. “three generation experience”. Saat kita menjadi anak dari ibu kita, tapi kita juga menjadi ibu dari anak kita. Saat itu, “self” kita “tergoncang”.

Kalau kita baik-baik saja menjalani proses ini, itulah sebabnya Allah puluhan kali dalam surat Arrahman menyampaikan: “nikmat mana yang kamu dustakan?” karena ada banyak sekali keburukan yang Ia hindarkan dari kita, tanpa kita sadar potensi keburukan itu ada.

Darimana tahu potensi keburukan itu ada? dari orang-orang yang tak bisa melalui proses itu dengan “selamat”. Dan perjalanan menjadi orangtua orangtua itu adalah sebuah perjalanan panjaaaaang….puluhan tahun. Sampai akhir hayat hidup kita.

Pernah ketemu ibu yang sangat benci pada anaknya? pernah ketemu anak yang sangat benci pada ibunya? pernah ketemu orangtua yang tidak bisa “melepaskan” anaknya? pernah ketemu anak yang tak bisa “lepas dari orangtuanya? pernah ketemu orangtua yang gak bisa berbuat “adil” pada anaknya? pernah ketemu suami yang menjalankan peran sebagai suami yang baik tapi tak bisa berperan sebagai ayah yang benar? pernah ketemu pasangan yang bercerai yang menjadikan anak sebagai “piala kemenangan” dengan memperebutkan hak asuh hanya untuk menunjukkan “saya yang menang”? pernah ketemu ayah yang menceritakan semua keburukan mantan istrinya pada anak sehingga si anak begitu benci pada ibunya? Kalau kita terus hidup bersama dengan pasangan kita, bagaimana sikap dan perasaan kita pada saat pasangan kita menua, ia mulai sakit-sakitan? atau ia mengalami masa pensiun lalu post power syndrom?

Ada banyak kompleksitas yang akan kita hadapi begitu kita masuk ke sebuah komitmen bernama “pernikahan”. Dari mulai hari h ijab kabul, sampai dengan hari h mata kita menutup untuk selamanya. Dan semua kompleksitas itu, membutuhkan kematangan dari semua dimensi kemanusiaan kita. Tak hanya kematangan seksual. Tapi kematangan emosi-mengenali dan mengendalikan perasaan. Juga kematangan spiritual. Kematangan finansial.

Di sebuah sesi mengenai “parenthood preparation”, saya pernah bertanya pada peserta yang hadir: “Siapa yang ketika akan menikah dan atau akan hamil, menghayati dengan sadar, melakukan pertimbangan sampai akhirnya keluar keputusan: oke, saya memilih untuk menikah. saya memilih untuk punya anak”.

Dari seluruh yang hadir, ternyata tak ada satu pun yang melakukannya. Ya, memang “memilih menikah atau tidak” atau “memilih punya anak atau tidak”, itu adalah budaya Barat. Di Indonesia, menikah dan punya anak tidak dihayati sebagai satu pilihan. Namun sebagai suatu ….. otomatisasi perjalanan hidup?

Kalau otomatisasi perjalanan hidup ini diiringi oleh kesadaran untuk  berubah dan mengembangkan diri, its oke. Namun jika tidak diiringi kesadaran itu… maka yang terjadi adalah, seorang ibu akan selalu memberikan gadget pada anaknya, biar ia punya waktu untuk bersosial media. Dia tak menghayati bahwa ketika ia berperan menjadi ibu, ada hal-hal yang tak terlalu penting yang harus ia korbankan sebagai konsekuensinya. Ada orangtua yang menyalahkan pengasuh ketika anak berperilaku ini-itu, tak menghayati bahwa pengasuh itu hanya pelaksana. Proses monitoring dan evaluasi dilakukan gak? Ada ayah yang gak mau denger “berisik”, memenuhi semua keinginan anaknya. Gak menghayati  kalau sudah jadi ayah, anak itu makhluk hidup, berproses dari tak bisa mengendalikan diri sampai kita didik untuk bisa mengendalikan diri. Kalau kita tak matang, mungkin kita akan iri pada besan saat anak kita nanti sudah punya mertua. Kita merasa “bersaing” Dengan menantu. Kita akan marah karena anak kita lebih memprioritaskan anaknya dibandingkan kita. Bisa itu terjadi? bisaaaa banget.

marriageAh…suka sedih saya kalau ketemu kejadian seperti itu. Maka, bagi kita yang sudah menjadi suami/istri/ibu/ayah, mari kita hayati peran ini sebagai peran yang kita pilih secara sadar, dengan segala konsekuensinya. Kalau kita cukup matang, maka kita akan bersedia untuk belajar. Bersedia berkorban. Bersedia berbagi.

Bagi yang belum menikah, ingatlah bahwa menikah bukan sprint. Bukan siapa yang duluan mulai. Bukan masalah umur. Bukan semata-mata soal penyaluran seksual yang halal.

Pernikahan adalah marathon. Ia yang punya persiapan dan nafas lebih panjang, yang akan sampai garis finish. Sampai garis finish dengan senyum manis, bersama pasangan dan anak-menantu-cucu.

Emak-Emak Millenials

Beberapa hari yang lalu, saya membaca buku karya Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab. Judulnya “Generasi Langgas ; Millenials Indonesia”. Buku gress yang baru keluar di tahun 2016 ini, meskipun paparannya ringan namun berdasarkan “riset” dari Youth Lab di 5 kota besar Indonesia.

Buku ini bercerita mengenai temuan penulis melalui aktifitasnya, mengenai karakteristik generasi langgas (aka generasi y/ generasi millenials) di Indonesia. Menurut penulis buku ini, meskipun sudah banyak tulisan mengenai karakteristik gen y; namun ada karakteristik khas generasi millenials di Indonesia, yang bisa berbeda dari karakteristik di luar negeri.

Setelah bagian intro, dalam buku ini terdiri dari 8 bagian. Kalau saya perhatikan, 8 bagian ini pada intinya bisa diekstrak lagi menjadi 3 hal: (1) kondisi perubahan lingkungan yang terjadi di Indonesia (poleksosbud), (2) Dampak perubahan tersebut pada “tema hidup” generasi yang hidup di jaman itu, yang oleh penulis disebut generasi langgas (3) Aplikasi karakter generasi langgas dalan kehidupan bekerja.

Siapakah yang disebut millenials/generasi langgas itu? adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1980-2000. Demikian yang penulis tulis di halaman 4 bukunya.

Nah, sesuai dengan judul tulisan ini plus identitas saya sebagai emak-emak, dalam tulisan ini saya ingin sharing mengenai apa yang saya amati dari para ibu millenials dalam pengasuhannya pada anak. Karena “karakteristik millenials” ini mempengaruhi individu, yang pastinya mempengaruhi juga perilakunya dalam konteks-konteks yang spesifik. Maka, kalau Yoris Sebastian mengungkapkan aplikasi karakteristik millenial ini dalam dunia kerja, saya ingin sharing mengenai aplikasi karakteristik millenial dalam dunia pengasuhan anak.

Oh ya…satu lagi…saya suka buku ini karena pandangannya sangat positif. Saya jadi ingat perbincangan saya dengan guru saya, hari Jumat lalu, saat kita membicarakan mengenai esensi “Psikologi Positif”.

Begini kurang lebih paparan guru saya: “Perubahan di dunia, perkembangan zaman, adalah suatu keniscayaan. Ada orang-orang yang melihat perubahan sebagai threat, ancaman; ada orang yang melihat perubahan sebagai challenge, tantangan”

Orang-orang yang melihat perubahan sebagai threat/ancaman, akan cenderung  berorientasi pada masa lalu dan melakukan upaya untuk menolak perubahan. Misalnya: “dulu mah gak ada internet, jadi anak-anak gak terpapar yang jelek-jelek. Internet itu merusak. So, anak-anak saya gak boleh akses internet”. Salah? engga lah…itu kan persepsi.

Orang-orang yang melihat perubahan sebagai challenge/tantangan, akan berorientasi pada masa depan dan melakukan upaya untuk mengetahui perubahan apa yang terjadi, apa dampaknya, dan bagaimana antisipasinya. Misalnya: “dulu gak ada internet, sekarang ada internet. apa sih manfaatnya internet? apa jeleknya internet? oh, dari internet itu, anak-anak akan dapet banyak pengetahuan yang tak bisa kita sediakan sebagai orangtua. Tapi, bisa juga anak-anak dapet banyak contoh negatif. Apa yang bisa membuat anak menyerap hal positif dari internet, tapi punya “teknologi” dalam dirinya untuk memfilter yang jeleknya? owh…monitoring dari ortu dan kontrol diri. Oke, anak-anak saya boleh akses internet, dan saya akan melakukan ini, ini, ini untuk meminimalisir dampak negatif internet”. 

Saya, merasa lebih pas dengan pandangan kedua. Alasannya, secara filosofis, manusia itu diberikan akal untuk memilih. Perubahan zaman saat ini, tak akan terjadi tanpa kehendakNya. Artinya, saya yakin bahwa jika kita mau belajar dan bekerja keras, perubahan dunia ini tak akan mencelakakan kita, tak akan mencelakakan anak-anak kita. Tapi kuncinya adalah: bergerak. Mencari tahu. Menghayati. Memahami. Sehingga manfaat baiknya kita dapat, buruknya tak terserap. Anak-anak kita pun punya comparative quality di jamannya nanti.

Nah, semangat memaknai perubahan menjadi sebuah “challenge” ini lah yang saya dapat dari buku ini. Ada beberapa tulisan yang saya tangkap menjudge “buruk” generasi millenials ini. Generasi instan. Generasi tidak peka. Itu sering kita dengar. Namun dalam buku ini, penulis menghadirkan contoh-contoh nyata para millenials yang memiliki karakteristik millenials, namun diiringi dengan penghayatan, justru bisa berkembang dengan baik.

Di buku Yoris, beliau mengungkapkan ada 9  ciri generasi langgas, yaitu :

(1) instan generation;  (2) efficient; (3) too many choices; (4) love learning; (5) information overload; (6) tech-savvy multitasker (7) (massive) peer affirmation rules (8) challenge speaker (9) endless opportunity.

whatsapp-image-2016-10-17-at-8-53-40-amNah, ke-9 ciri di atas, menurut penerawangan saya, sering terlihat nampak pada perilaku pengasuhan para emak yang usianya saat ini mendekati 40an sampai dengan para mahmud usia 20an. Nah, di bawah ini saya akan singgung satu persatu dengan contoh perilaku yang positif  menurut saya dan “jebakan” yang harus kita hayati, biar kita tidak “terjebak” seperti gambaran meme di samping ini hehe…

Etapi ini bukan didasari oleh riset ilmiah ya, ini mah berdasarkan pengamatan random aja.

(1) instan generation;  (2) too many chioces; (5) information overload;

Sebenernya saya lebih seneng kalau Yoris nulisnya “fast generation”.  Yups…jaman dulu, informasi didapat hanya dari orangtua kita. Atau kalaupun dari ahli, kita harus cari bukunya. Minimal harus “jalan” ke toko buku. Emak-emak millenials? apapun tinggal ketik di om Gugel, jreeeeng kluar segalanya.

Generasi instan, jadi emak-emak instan, itu jebakannya. Saat kita telan mentah-mentah semua informasi tanpa melakukan penyaringan. Kata pakar parenting ini anak harus digituin, kata pakar parenting itu anak harus diginiin… kalau instan, ujung-ujungnya bingung.

Kalau kritis, kita akan liat dulu…siapa yang bicara. “pakar”…apa yang disebut pakar? apa latar belakang pengalaman dan keilmuan yang bersangkutan? berdasarkan apa “teori-teori” yang dipaparkan? berdasarkan pengalaman mengasuh anak-anaknya saja? boleh kita ikutin. Tapi ingat…kalau anak-anak kita dan atau kita tidak seperti beliau situasinya, berarti kurang pas kalau diterapkan.

Berdasarkan common sense? idealisme ? bahaya kalau tanpa daya kritis. Karena ilmu itu, beda sama pengetahuan. Ilmu itu, pengetahuan yang sistematis. Ada akarnya, ada batang, ranting, bunga dan buahnya. Jadi kalau narasumber kita berilmu, saat mengatakan bahwa “tidak semua keinginan anak harus kita penuhi”, bisa menjelaskan dari mulai filosofi, kenapa, yang mana yang tidak boleh dipenuhi, yang mana yang harus dipenuhi,  apa yang terjadi pada diri si anak, proses apa yang terjadi,apa saja kemungkinan2 dinamika dampak yang terjadi. Kalau common sense? bahaya banget. Misalnya narasumber bilang: “ibu harus dekat dengan anaknya”. Ya, betul. “oleh karena itu, ibu harus selalu bersama dengan anak “. Common sense yang keliru. Apa definisi “dekat” ? bagaimana bentuk “dekat” itu? kapan kita harus “dekat”? kapan harus memberi ruang bagi anak? Apa dampaknya kalau anak tak diberi ruang sendiri?

Idealisme, misalnya narasumber yang bilang: “Ibu yang sholeh itu pasti sabar. Kalau ibu sabar, anak juga pasti akan jadi anak yang penurut”. Kalau anak kita bilang : “aku gak mau les bahasa inggris, aku capek. pengen main aja di rumah”. lalu kita menyimpulkan anak kita tak penurut, berarti kita tidak sabar dan bukan ibu yang sholehah…gubrak…

(2) efficient; emak-emak millenials memiliki ciri eficient. Positifnya, kalau dimanage dengan baik, itu yang membuat saya suka geleng-geleng kepala. Emak-emak millenials itu bisa ya…tanpa ART, ngurus beberapa anak, masih bisa ngerjain ini itu, berkarya ini itu….eh, ternyata karena wawasannya pake aplikasi ini itu, memanfaatkan jasa outsource ini itu…. two tumbs up.

(4) love learning; meskipun tak selalu bisa memenuhi karena alasan waktu maupun alasan keterbatasan pengetahuan saya, namun sering saya diminta mengisi webinar, kulwap, dan sejenisnya. Isinya? emak-emak millenials dari berbagai tempat….jarak tak menjadi penghalang sekarang. Bukan saja seantero Indonesia, tapi juga senatero dunia… ada yang dari Chicago, bisa sharing sharing sama yang dari Ciamis, yang di Aussie, di Jepang, di Rusia, di Balanda, di Inggris, temanya juga macem-macem banget, menunjukkan keluasan wawasan dan semangat belajar yang tinggi.

Nah, tapi hati-hati….jebakannya adalah, kita jadi “merasa banyak tahu”, melebihi ahlinya. Saya jadi inget ya, seorang teman saya, dokter anak, pernah cerita gini ” gw kesel banget sama pasien-pasien gue. Dijelasin gini, gitu, belom beres gue jelasin, udah bilang …tapi kalau saya guggling gini dok…kata dokter yang di internet gitu dok…Padahal udah gue jelasin bahwa kondisinya berbeda. Gak ada kondisi medis yang sama persis dari satu pasien dengan pasien lainnya. Buat apa ada pemeriksaan ini itu…. suatu waktu gue lagi PMS, gue bilang aja sama ibu yang keukeuh gak mau denger saran gue: Kalau begitu silahkan ibu datang saja ke pakar di internet itu”  

Hehe…saya juga sering sih, dapet klien yang cenderung “lebih percaya” sama beberapa pakar beken di internet yang kurang saya setujui pendapatnya. Tapi ya…kalau psikolog mah punya strategi lain kalau lagi PMS haha….

 (6) tech-savvy multitasker; emak-emak, terkenal dengan kemampuan multi taskingnya. di sisi lain, generasi millenials pun terkenal dengan multi taskingnya. emak-emak millenials? double. Yes….kemampuan ini membuat emak-emak millenials jadi bisa efisien ngerjain banyak hal. Tapi awas jebakannya… kualitas relasi….itu tak bisa dilakukan sambil multi tasking. Ya, nemenin anak ngerjain PR selesai, sambil kita masak, sambil nyuci, sambil nyetrika. Tapi kualitas relasi dengan anak saat ngerjain PR tersebut? gak akan kekejar. Nanti lain waktu saya cerita gimana menyiasati 24 jam, anak lebih dari 2, tapi tetep dapet “mindfull experiences” dengan si kecil.

(7) (massive) peer affirmation rules; kata penulis buku ini, generasi millenial sangat percaya dengan suara teman-temannya. Misalnya film apa yang bagus untuk anak-anak, kegiatan apa yang keren, seminar parenting mana yang seru…. ini sangat amat membantu. tapi ingat…jebakannya sama dengan poin “information overload”. 

(8) challenge seeker; waktu saya ikutan beberaap kali kemping bersama Komunitas Kemah Keluarga Indonesia, terkaget-kaget liat bayi-bayi merah pada udah ikutan kemping. Waktu si gadis kecil ikutan eco cubs beberapa waktu lalu, anak 7 tahun kemping sendiri, mandayung perahu, di tempat yang ortu nya gak boleh ikut….. waktu itu inget kata mamah saya: “teh, ga apa-apa itu? gak bahaya?” … tapi saya sebagai emak millenials (haha…) mungkin masuk kategori challenge seeker. Malah si bujang kecil mau diikutin kegiatan serupa, outbond di luar pulau.

(9) endless opportunity; nah, poin ini nih yang paling saya suka. Suka takjub sama beragam kreatifitas emak-emak millenials memanfaatkan kemajuan zaman plus talenta nya untuk mengambil kesempatan untuk tetap berkontribusi pada dunia meskipun di tengah ke rempongan ngurus anak-anak.

Jebakannya? jangan lupa prioritas. Prioritas utama adalah kualitas relasi dengan anak-anak. Zaman sekarang ini, jebakannya adalah …kita cenderung pengen “vicible”. “terlihat”. minimal di status lah, di komentar wa grup lah… kalau untuk visible itu kita jadi mengorbankan kualitas waktu dan relasi dengan anak-anak…don’t try at  home….

Waduh, panjang juga yah….semoga bermanfaat ah….

Mensyukuri Pilihan

Salah satu rejeki yang perlu kita syukuri adalah, saat kita punya pilihan. Mengapa? karena menurut saya, salah satu hakikat kemuliaan manusia terletak pada kemampuannya untuk memilih. KeMahaan Sang Maha Sempurna, terletak pada kehebatannya membuat seperangkat “software” yang ia lekatkan pada manusia, untuk membuat pilihan-pilihan terbaik. Pilihan terbaik untuk kebaikan diri dan lingkungan, untuk keselamatan kini dan nanti. Bagi teman-teman yang mempelajari manusia, akan tahu bahwa “memilih” itu adalah proses yang super kompleks. Itu sebabnya kemampuan menentukan pilihan, hanya Dia berikan pada makhlukNya yang paling mulia, manusia.

Saya jarang sekali tertarik politik. Tak punya ilmu, tak punya kepentingan. Tapi kejadian yang sedang heboh dan panas terkait calon gubernur Jakarta, sudah masuk ke pikiran saya sejak tahun lalu. Ya, isu SARA khususnya Agama, memang rasanya baru terjadi (atau baru heboh? atau saya baru tahu?) di Jakarta ini. Mungkin juga karena ini JAKARTA gitu loh… jadi issunya super seksi.

Dalam tulisan ini, saya gak akan masuk ke analisa yang dalam soal dinamika yang terjadi. Gak ngerti saya mah. Saya juga gak akan memberikan tanggapan soal video yang tengah beredar. Gak sempet nonton uy…baik yang versi pendek maupun yang versi panjang. Saya mah cuman tertarik pada sikap memilih teman-teman muslim (sikap, da yang cuman bisa melakukan pemilihan mah kan cuman yang punya KTP Jegardah) terkait dengan agama Ahok.

Bahwa sebagian teman-teman berpendapat  pertimbangan agama harus masuk saat kita memilih, saya memahami. “Religious self”, itulah temuan dari disertasi senior saya. Termasuk dari penelitian-penelitian saya di bidang parenting. Dalam “tujuan pengasuhan” misalnya. Di Indonesia, identitas agama sangat lekat. Identitas keagamaan, terutama buat Muslim yang saya ketahui, “melekat” bersama “diri”nya. Tak bisa dipisahkan. Itu adalah “belief”, berakar dari keyakinan “pilihan sesuai tuntutan Allah yang akan membuat saya selamat di akhirat”. Memang harus diakui bahwa di kelompok ini, sebagian menghayati betul, sebagian memang sebagai “simbol” saja, tanpa penghayatan. Hanya untuk menunjukkan pada orang lain “saya muslim yang baik loh”.

Sebagian teman-teman muslim yang lain, berbeda pendapat. Di kelompok ini, saya mengamati terbagi dua. Satu kelompok; mengakui bahwa ya, kita harus memilih pemimpin yang seiman. Tapi pemimpin dalam hal apa? Ini adalah pemimpin pemerintahan, tidak terkait langsung dengan agama. Maka, yang harus didahulukan adalah kualitas. Jadi, “memilih seorang pemimpin yang berbeda iman, tetap akan membuat saya selamat karena ini dalam konteks memimpin hal yang tak terkait dengan agama”

Sebagian teman-teman muslim yang lain, juga bersikap akan memilih calon pimpinan yang tak seiman, namun dengan alasan yang berbeda: agama itu, hanya tentang syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Gak ada hubungannya dengan pilih memilih pemimpin. Yang harus dipake itu rasio dong. Data empirik. Siapa yang paling oke untuk menyelesaikan masalah-masalah Jakarta? Bagi teman-teman di kelompok ini, maka keyakinan yang dipegang adalah “kalau saya memilih dengan full rasional, saya akan selamat, karena saya bisa menyampaikan argumentasi saya dengan clear saat saya diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan nanti”.

Terlepas dari ketiga kelompok sikap pemilih, saya punya kategorisasi lain. Akhlak. Perilaku dalam mengekspresikan pilihan. Pilihan pribadi, mau apa saja, mangga aja. Toh yang akan mempertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa kan sendiri-sendiri. Tapi ketika sudah mengekspresikan sikap ini dalam perilaku, baik ekspresi pribadi apalagi dalam mempersuasi orang lain, inilah yang menentukan “kualitas” seseorang buat saya. Secara operasional, menentukan orang itu akan saya unfollow atau engga gitu hehe…

Saya inget ya, beberapa bulan lalu, saya pernah ngobrol sama si abah. Waktu itu, belum ada “calon lain” selain calon incumbent yang menjadi kontroversi ini. Lalu hawar-hawar, ada issue seorang penyanyi rock muslim yang perilaku kemuslimannya dipertanyakan, akan maju menjadi calon. Waktu itu saya tanya sama si abah : “kalau abah orang Jakarta, akan pilih siapa? kasian, teman-temen kita di Jakarta pasti bingung. Pilih yang gak seiman? rasanya tak sesuai hati nurani. Tapi pilih  muslim tapi kualitasnya kayak gitu? gimana bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan yang Maha Kuasa nanti? Golput? emang kalau kita golput kita gak harus mempertanggungjawabkan?” Bla…bla..bla… obrolan kita. Saat itu, entah kenapa saya berdoa agar … please atuh lah….dari sekian banyak muslim di Jakarta…gak ada gitu yang kualitasnya lebih baik dibanding si penyanyi rock? ayo atuh, yang pengen muslim jadi pemimpin Jakarta, bersatu. Mungkin harus “berkorban”. Jangan cuman berkutat di tataran idealisme, tapi harus turun mengoperasionalisasikannya. Keadaan gak akan berubah dengan berwacana dan beropini.

Beberapa minggu lalu, akhirnya saya tahu bahwa ada dua pasang pilihan lain buat teman-teman di Jakarta. Gak tau kenapa, saya merasa legaaaa banget. Serasa doa saya dikabulkan hehe…

Maka, menurut saya, kondisi sekarang jauh lebih baik. Teman-teman yang merasa “harus memilih yang seiman” , kini punya pilihan. Pertanggungjawaban di hadapan Yang Maha Kuasa menjadi lebih ringan, karena ada dua pasang alternatif pilihan kini. Orang-orang yang secara kualitas, juga baik.

Maka, menurut saya, yang bisa kita lakukan sekarang adalah mensyukuri adanya pilihan. Memilih yang seiman adalah belief, oke. Untuk keselamatan diri. Tapi ingat….kita juga punya kapasitas yang lebih. Kita bisa “menyelamatkan diri sendiri”, juga menyelamatkan Jakarta. Dengan cara apa? memilih pemimpin yang berkualitas. Maka, menurut saya, kalau begitu, kini fokus kita harusnya ke arah mengeksplorasi  kualitas-kualitas dua pasangan lainnya. Bukan mencari kelemahan pasangan incumbent.

Kita tak memilih beliau karena tak seiman dengan kita, itu hak kita. Namun karena ia tak seiman dengan kita maka kita mencari keburukannya, menyebarkan, menghina, mencaci, itu akan menunjukkan kualitas kita seperti apa.

cagubBeda loh, saya pilih B atau C karena A jelek, dengan saya pilih B atau C karena B atau C emang bagus. Kalau kita berusaha mempengaruhi orang lain untuk pilih B atau C karena A jelek, berarti sebenarnya kita underestimate B atau C loh…seolah-olah B atau C sendiri gak punya apa-apa. B atau C  cuman sebagai “konsekuensi” karena A jangan dipilih.  Bisa jadi kita gak tau apa yang B atau C  punya kualitas apa untuk bekal memimpin nanti. Ini adalah kesesatan…dan menyedihkan buat saya.

Buat teman-teman yang punya informasi mengenai analisa keunggulan dua pasang lainnya, sok tampilkan…tapi yang rasional ya…jangan blow soal gantengnya…da ganteng mah bukan kualitas yang menunjukkan upaya ybs.

Analisa kualitasnya misal: Pengalaman si B ini memimpin sebuah kementrian, beliau bukan figur yang “menonjol”, tapi beliau terkenal sangat mau mendengarkan. Semua pihak, merasa “didengarkan” dan dihargai oleh beliau. Bekal kesediaan mendengarkan inilah yang membuatnya bisa merumuskan kebijakan yang komprehensif, karena di kepala beliau tak hanya Jakarta, atau Jawa Barat, Tapi juga Maluku, Papua, Indonesia. Nah, sikap ini, akan bermanfaatkah untuk memimpin Jakarta? Lalu calon lainnya, terkenal cerdas, memimpin dan mengembangkan beberapa perusahaan di usia muda, itu teh gak mudah kan…eksplor lagi perjalanan hidup beliau. Lalu calon yang lain… prestasi di bidang militernya sangat menojol di usia muda. Menjadi kebanggaan bangsa. Apa yang bisa jadi bekal yang baik buat memimpin Jakarta, didampingi oleh ibu yang punya pengalaman di birokrasi? Orang yang memimpin Jakarta harus tegas. Oke, tegas ya, beda tegas dengan keras. Kata orang dua pasangan ini terlalu santun. Oke, kalau santun gak bisa tegas ? atau gimana? Yuks…kita analisa dari berbagai dimensi. Bukan untuk mencari yang sempurna, tapi minimal, kita tahu apa kelemahan figur pilihan kita, dan kalau kita punya akses nanti, kita bisa sarankan gimana sistem support yang pas untuk mencover kelemahan itu.

Gitu sih menurut saya. Buat saya mah, it’s not about the choice, it’s about the way we express the choice. It’s not about their quality, it’s about our quality.