Salah satu rejeki yang perlu kita syukuri adalah, saat kita punya pilihan. Mengapa? karena menurut saya, salah satu hakikat kemuliaan manusia terletak pada kemampuannya untuk memilih. KeMahaan Sang Maha Sempurna, terletak pada kehebatannya membuat seperangkat “software” yang ia lekatkan pada manusia, untuk membuat pilihan-pilihan terbaik. Pilihan terbaik untuk kebaikan diri dan lingkungan, untuk keselamatan kini dan nanti. Bagi teman-teman yang mempelajari manusia, akan tahu bahwa “memilih” itu adalah proses yang super kompleks. Itu sebabnya kemampuan menentukan pilihan, hanya Dia berikan pada makhlukNya yang paling mulia, manusia.
Saya jarang sekali tertarik politik. Tak punya ilmu, tak punya kepentingan. Tapi kejadian yang sedang heboh dan panas terkait calon gubernur Jakarta, sudah masuk ke pikiran saya sejak tahun lalu. Ya, isu SARA khususnya Agama, memang rasanya baru terjadi (atau baru heboh? atau saya baru tahu?) di Jakarta ini. Mungkin juga karena ini JAKARTA gitu loh… jadi issunya super seksi.
Dalam tulisan ini, saya gak akan masuk ke analisa yang dalam soal dinamika yang terjadi. Gak ngerti saya mah. Saya juga gak akan memberikan tanggapan soal video yang tengah beredar. Gak sempet nonton uy…baik yang versi pendek maupun yang versi panjang. Saya mah cuman tertarik pada sikap memilih teman-teman muslim (sikap, da yang cuman bisa melakukan pemilihan mah kan cuman yang punya KTP Jegardah) terkait dengan agama Ahok.
Bahwa sebagian teman-teman berpendapat pertimbangan agama harus masuk saat kita memilih, saya memahami. “Religious self”, itulah temuan dari disertasi senior saya. Termasuk dari penelitian-penelitian saya di bidang parenting. Dalam “tujuan pengasuhan” misalnya. Di Indonesia, identitas agama sangat lekat. Identitas keagamaan, terutama buat Muslim yang saya ketahui, “melekat” bersama “diri”nya. Tak bisa dipisahkan. Itu adalah “belief”, berakar dari keyakinan “pilihan sesuai tuntutan Allah yang akan membuat saya selamat di akhirat”. Memang harus diakui bahwa di kelompok ini, sebagian menghayati betul, sebagian memang sebagai “simbol” saja, tanpa penghayatan. Hanya untuk menunjukkan pada orang lain “saya muslim yang baik loh”.
Sebagian teman-teman muslim yang lain, berbeda pendapat. Di kelompok ini, saya mengamati terbagi dua. Satu kelompok; mengakui bahwa ya, kita harus memilih pemimpin yang seiman. Tapi pemimpin dalam hal apa? Ini adalah pemimpin pemerintahan, tidak terkait langsung dengan agama. Maka, yang harus didahulukan adalah kualitas. Jadi, “memilih seorang pemimpin yang berbeda iman, tetap akan membuat saya selamat karena ini dalam konteks memimpin hal yang tak terkait dengan agama”
Sebagian teman-teman muslim yang lain, juga bersikap akan memilih calon pimpinan yang tak seiman, namun dengan alasan yang berbeda: agama itu, hanya tentang syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Gak ada hubungannya dengan pilih memilih pemimpin. Yang harus dipake itu rasio dong. Data empirik. Siapa yang paling oke untuk menyelesaikan masalah-masalah Jakarta? Bagi teman-teman di kelompok ini, maka keyakinan yang dipegang adalah “kalau saya memilih dengan full rasional, saya akan selamat, karena saya bisa menyampaikan argumentasi saya dengan clear saat saya diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan nanti”.
Terlepas dari ketiga kelompok sikap pemilih, saya punya kategorisasi lain. Akhlak. Perilaku dalam mengekspresikan pilihan. Pilihan pribadi, mau apa saja, mangga aja. Toh yang akan mempertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa kan sendiri-sendiri. Tapi ketika sudah mengekspresikan sikap ini dalam perilaku, baik ekspresi pribadi apalagi dalam mempersuasi orang lain, inilah yang menentukan “kualitas” seseorang buat saya. Secara operasional, menentukan orang itu akan saya unfollow atau engga gitu hehe…
Saya inget ya, beberapa bulan lalu, saya pernah ngobrol sama si abah. Waktu itu, belum ada “calon lain” selain calon incumbent yang menjadi kontroversi ini. Lalu hawar-hawar, ada issue seorang penyanyi rock muslim yang perilaku kemuslimannya dipertanyakan, akan maju menjadi calon. Waktu itu saya tanya sama si abah : “kalau abah orang Jakarta, akan pilih siapa? kasian, teman-temen kita di Jakarta pasti bingung. Pilih yang gak seiman? rasanya tak sesuai hati nurani. Tapi pilih muslim tapi kualitasnya kayak gitu? gimana bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan yang Maha Kuasa nanti? Golput? emang kalau kita golput kita gak harus mempertanggungjawabkan?” Bla…bla..bla… obrolan kita. Saat itu, entah kenapa saya berdoa agar … please atuh lah….dari sekian banyak muslim di Jakarta…gak ada gitu yang kualitasnya lebih baik dibanding si penyanyi rock? ayo atuh, yang pengen muslim jadi pemimpin Jakarta, bersatu. Mungkin harus “berkorban”. Jangan cuman berkutat di tataran idealisme, tapi harus turun mengoperasionalisasikannya. Keadaan gak akan berubah dengan berwacana dan beropini.
Beberapa minggu lalu, akhirnya saya tahu bahwa ada dua pasang pilihan lain buat teman-teman di Jakarta. Gak tau kenapa, saya merasa legaaaa banget. Serasa doa saya dikabulkan hehe…
Maka, menurut saya, kondisi sekarang jauh lebih baik. Teman-teman yang merasa “harus memilih yang seiman” , kini punya pilihan. Pertanggungjawaban di hadapan Yang Maha Kuasa menjadi lebih ringan, karena ada dua pasang alternatif pilihan kini. Orang-orang yang secara kualitas, juga baik.
Maka, menurut saya, yang bisa kita lakukan sekarang adalah mensyukuri adanya pilihan. Memilih yang seiman adalah belief, oke. Untuk keselamatan diri. Tapi ingat….kita juga punya kapasitas yang lebih. Kita bisa “menyelamatkan diri sendiri”, juga menyelamatkan Jakarta. Dengan cara apa? memilih pemimpin yang berkualitas. Maka, menurut saya, kalau begitu, kini fokus kita harusnya ke arah mengeksplorasi kualitas-kualitas dua pasangan lainnya. Bukan mencari kelemahan pasangan incumbent.
Kita tak memilih beliau karena tak seiman dengan kita, itu hak kita. Namun karena ia tak seiman dengan kita maka kita mencari keburukannya, menyebarkan, menghina, mencaci, itu akan menunjukkan kualitas kita seperti apa.
Beda loh, saya pilih B atau C karena A jelek, dengan saya pilih B atau C karena B atau C emang bagus. Kalau kita berusaha mempengaruhi orang lain untuk pilih B atau C karena A jelek, berarti sebenarnya kita underestimate B atau C loh…seolah-olah B atau C sendiri gak punya apa-apa. B atau C cuman sebagai “konsekuensi” karena A jangan dipilih. Bisa jadi kita gak tau apa yang B atau C punya kualitas apa untuk bekal memimpin nanti. Ini adalah kesesatan…dan menyedihkan buat saya.
Buat teman-teman yang punya informasi mengenai analisa keunggulan dua pasang lainnya, sok tampilkan…tapi yang rasional ya…jangan blow soal gantengnya…da ganteng mah bukan kualitas yang menunjukkan upaya ybs.
Analisa kualitasnya misal: Pengalaman si B ini memimpin sebuah kementrian, beliau bukan figur yang “menonjol”, tapi beliau terkenal sangat mau mendengarkan. Semua pihak, merasa “didengarkan” dan dihargai oleh beliau. Bekal kesediaan mendengarkan inilah yang membuatnya bisa merumuskan kebijakan yang komprehensif, karena di kepala beliau tak hanya Jakarta, atau Jawa Barat, Tapi juga Maluku, Papua, Indonesia. Nah, sikap ini, akan bermanfaatkah untuk memimpin Jakarta? Lalu calon lainnya, terkenal cerdas, memimpin dan mengembangkan beberapa perusahaan di usia muda, itu teh gak mudah kan…eksplor lagi perjalanan hidup beliau. Lalu calon yang lain… prestasi di bidang militernya sangat menojol di usia muda. Menjadi kebanggaan bangsa. Apa yang bisa jadi bekal yang baik buat memimpin Jakarta, didampingi oleh ibu yang punya pengalaman di birokrasi? Orang yang memimpin Jakarta harus tegas. Oke, tegas ya, beda tegas dengan keras. Kata orang dua pasangan ini terlalu santun. Oke, kalau santun gak bisa tegas ? atau gimana? Yuks…kita analisa dari berbagai dimensi. Bukan untuk mencari yang sempurna, tapi minimal, kita tahu apa kelemahan figur pilihan kita, dan kalau kita punya akses nanti, kita bisa sarankan gimana sistem support yang pas untuk mencover kelemahan itu.
Gitu sih menurut saya. Buat saya mah, it’s not about the choice, it’s about the way we express the choice. It’s not about their quality, it’s about our quality.
Recent Comments