Waktu heboh pernikahan remaja ganteng umur 17 tahun di negeri ini beberapa waktu yang lalu, saya termasuk yang tak setuju dengan kampanye “ayo nikah muda, malu dong sama anak 17 tahun…”. Apalagi kalau ditambah: “daripada zina mending nikah muda”.
Kenapa saya tak setuju? karena menurut saya, dua “himbauan” tadi, kalau hanya begitu bunyinya, bisa bikin orang jadi salah fokus.
(1) “Nikah Muda”; Tua-Muda, Belasan tahun-puluhan tahun, menurut saya bukan sesuatu yang penting. Yang jauh lebih penting itu adalah “KESIAPAN”. ADA remaja 17 tahun yang sudah siap? ada. Tapi TIDAK SEMUA remaja 17 tahun siap. Jadi tak berlaku umum. So, harusnya yang di”kampanye”kan bukan soal “17 tahun” atau “MUDA”nya. Tapi “SIAP”nya. “Apa ynag perlu disiapkan”. Jadi jernih gitu logikanya.
(2) “Daripada zina mending nikah muda” atau “daripada zina mending poligami”. Kalimat ini hanya benar untuk seseorang yang hanya punya dua pilihan. Kalau gak nikah dia akan berzina, atau kalau gak poligami dia akan berzina. ADA orang-orang yang kalau gak nikah akan terjerumus ke zina? ada. Ada orang-orang yang kalau gak poligami akan terjerumus ke zina, ada. Bagi mereka, himbauan ini berlaku. Dengan catatan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga menghindari zina.
Tapi TIDAK SEMUA orang hanya punya dua pilihan itu. Ada orang-orang muda yang tidak menikah, tapi bisa tak berzina. Ada orang-orang yang punya pilihan “bermonogami yang baik” diantara pilihan monogami dan zina. Jadi himbauan ini harusnya tak berlaku umum.
Kalau tidak disertai keterangan atau penjelasan, himbauan diatas bisa menyesatkan. Orang bisa jadi menyimpulkan: “waduh, kalau saya gak nikah, saya pasti zina nih”. Atau “kalau saya gak poligami, saya pasti akan zina nih”. Jadi manusia tuh kayaknya gak berdaya gitu. Yang lebih parah lagi, itu bisa dijadikan legalisasi sama orang-orang tak bertanggungjawab; orang-orang yang gak ngeuh ada ayat “jauhilah zina”. Dan….yang saya suka sedih, implisit dalam himbauan tersebut seolah-olah pernikahan itu HANYA berisi satu dimensi: seksual. Padahal pernikahan, jauuuuuh dari hanya masalah seksual.
12 tahun menjalani profesi psikolog dan sekarang banyak mendapatkan pengalaman terkait persoalan keluarga, semakin membuat saya yakin…. menikah itu…perlu persiapan. Itulah sebabnya dalam perjalanan kehidupan manusia, menikah … adalah “tugas perkembangan” pada saat seseorang telah “kokoh akar dirinya”. Karena setelah menikah, dia harus sudah siap “memberi” pada orang lain. “Siap” menghadapi apapun yang akan terjadi.
Mertua yang turut campur, pihak ketiga yang mengganggu, pasangan yang sakit atau wafat, dan seribu satu persoalan lainnya. Lalu dalam pernikahan, ada peran menjadi orangtua. Kita tak tahu ujian apa yang akan kita hadapi. Tak kunjung dikarunia momongan, anak memiliki kebutuhan khusus, anak wafat, keguguran berkali-kali, anak sakit kronis dan akut….kita gak akan tahu.
Waktu menyiapkan materi “parenthood preparation”, saya baca literatur2 tentang “menjadi orangtua”. Secara filosofis dan psikologis. Saya terhenyak… begitu kompleks loh, amanah yang kita pegang saat kita sudah berstatus ibu dan ayah. Apalagi bagi perempuan. “three generation experience”. Saat kita menjadi anak dari ibu kita, tapi kita juga menjadi ibu dari anak kita. Saat itu, “self” kita “tergoncang”.
Kalau kita baik-baik saja menjalani proses ini, itulah sebabnya Allah puluhan kali dalam surat Arrahman menyampaikan: “nikmat mana yang kamu dustakan?” karena ada banyak sekali keburukan yang Ia hindarkan dari kita, tanpa kita sadar potensi keburukan itu ada.
Darimana tahu potensi keburukan itu ada? dari orang-orang yang tak bisa melalui proses itu dengan “selamat”. Dan perjalanan menjadi orangtua orangtua itu adalah sebuah perjalanan panjaaaaang….puluhan tahun. Sampai akhir hayat hidup kita.
Pernah ketemu ibu yang sangat benci pada anaknya? pernah ketemu anak yang sangat benci pada ibunya? pernah ketemu orangtua yang tidak bisa “melepaskan” anaknya? pernah ketemu anak yang tak bisa “lepas dari orangtuanya? pernah ketemu orangtua yang gak bisa berbuat “adil” pada anaknya? pernah ketemu suami yang menjalankan peran sebagai suami yang baik tapi tak bisa berperan sebagai ayah yang benar? pernah ketemu pasangan yang bercerai yang menjadikan anak sebagai “piala kemenangan” dengan memperebutkan hak asuh hanya untuk menunjukkan “saya yang menang”? pernah ketemu ayah yang menceritakan semua keburukan mantan istrinya pada anak sehingga si anak begitu benci pada ibunya? Kalau kita terus hidup bersama dengan pasangan kita, bagaimana sikap dan perasaan kita pada saat pasangan kita menua, ia mulai sakit-sakitan? atau ia mengalami masa pensiun lalu post power syndrom?
Ada banyak kompleksitas yang akan kita hadapi begitu kita masuk ke sebuah komitmen bernama “pernikahan”. Dari mulai hari h ijab kabul, sampai dengan hari h mata kita menutup untuk selamanya. Dan semua kompleksitas itu, membutuhkan kematangan dari semua dimensi kemanusiaan kita. Tak hanya kematangan seksual. Tapi kematangan emosi-mengenali dan mengendalikan perasaan. Juga kematangan spiritual. Kematangan finansial.
Di sebuah sesi mengenai “parenthood preparation”, saya pernah bertanya pada peserta yang hadir: “Siapa yang ketika akan menikah dan atau akan hamil, menghayati dengan sadar, melakukan pertimbangan sampai akhirnya keluar keputusan: oke, saya memilih untuk menikah. saya memilih untuk punya anak”.
Dari seluruh yang hadir, ternyata tak ada satu pun yang melakukannya. Ya, memang “memilih menikah atau tidak” atau “memilih punya anak atau tidak”, itu adalah budaya Barat. Di Indonesia, menikah dan punya anak tidak dihayati sebagai satu pilihan. Namun sebagai suatu ….. otomatisasi perjalanan hidup?
Kalau otomatisasi perjalanan hidup ini diiringi oleh kesadaran untuk berubah dan mengembangkan diri, its oke. Namun jika tidak diiringi kesadaran itu… maka yang terjadi adalah, seorang ibu akan selalu memberikan gadget pada anaknya, biar ia punya waktu untuk bersosial media. Dia tak menghayati bahwa ketika ia berperan menjadi ibu, ada hal-hal yang tak terlalu penting yang harus ia korbankan sebagai konsekuensinya. Ada orangtua yang menyalahkan pengasuh ketika anak berperilaku ini-itu, tak menghayati bahwa pengasuh itu hanya pelaksana. Proses monitoring dan evaluasi dilakukan gak? Ada ayah yang gak mau denger “berisik”, memenuhi semua keinginan anaknya. Gak menghayati kalau sudah jadi ayah, anak itu makhluk hidup, berproses dari tak bisa mengendalikan diri sampai kita didik untuk bisa mengendalikan diri. Kalau kita tak matang, mungkin kita akan iri pada besan saat anak kita nanti sudah punya mertua. Kita merasa “bersaing” Dengan menantu. Kita akan marah karena anak kita lebih memprioritaskan anaknya dibandingkan kita. Bisa itu terjadi? bisaaaa banget.
Ah…suka sedih saya kalau ketemu kejadian seperti itu. Maka, bagi kita yang sudah menjadi suami/istri/ibu/ayah, mari kita hayati peran ini sebagai peran yang kita pilih secara sadar, dengan segala konsekuensinya. Kalau kita cukup matang, maka kita akan bersedia untuk belajar. Bersedia berkorban. Bersedia berbagi.
Bagi yang belum menikah, ingatlah bahwa menikah bukan sprint. Bukan siapa yang duluan mulai. Bukan masalah umur. Bukan semata-mata soal penyaluran seksual yang halal.
Pernikahan adalah marathon. Ia yang punya persiapan dan nafas lebih panjang, yang akan sampai garis finish. Sampai garis finish dengan senyum manis, bersama pasangan dan anak-menantu-cucu.
Recent Comments