Jadi, begini ceritanya:
Weekend lalu, kami berenam berkunjung ke toko buku favorit kami. “Masing-masing boleh pilih 5 buku”. itu aturannya (sssttt…..meskipun saya sering melanggar aturan itu sih kkk… terutama kalau lagi banyak buku catatan atau agenda yang lutu-lutu ….suka kalap ;). 30 menit berpencar, masing-masing mulai “setor” buku hasil buruannya. Memang ada aturan tak tertulis bahwa buku-buku pilihan anak-anak, akan saya sensor. Lucu deh kalau liat ekspresi si bungsu. Si 4,5 tahun itu ngasihin buku hasil “buruan”nya dengan ekspresi harap-harap cemas. Apalagi kalau buku yang dia pengen banget, dia akan bilang: “boleh ya bu…plis plis pliiiiis” ;). Buku-buku “aktifitas prasekolah” bergambar boboyboy, cars dan spiderman si bungsu lolos sensor emaknya. Buku-buku komik KKPK si gadis kecil juga lolos sensor, membuat si 7 tahun itu bersorak. Demikian juga buku “Reptil”nya si bujang kecil. Dia memutuskan satu aja bukunya, soalnya mahal katanya. Hehe…si 10 tahun itu, makin hari makin bijaksana ;).
Tibalah giliran si sulung. Dengan ragu, dia menyodorkan sebuah novel. Critical Eleven judulnya. Karya Ika Natassa. Saya pernah denger buku ini dididskusikan oleh temen-temen “dosen muda” di kampus. Saya agak ragu juga sih…soalnya buku itu kayaknya seru … tapi…dibahasnya kan sama yang umurnya udah akhir 20an dan awal 30an…Cocok gitu buat gadis remaja umur 13 tahun?
Saya bilang: “Kaka, ibu engga yakin buku ini bagus untuk Kaka baca. Ibu mau tanya temen ibu dulu yang udah pernah baca”. “Tapi temen-temen Kaka juga pada baca…” katanya. “Iya, kalau bagus, ibu gak masalah”. Kata saya. Si remaja itu langsung cemberut maksimal. Emak-emak yang punya anak remaja, pasti kebayang gimana cemberutnya si remaja haha…. Saya kontak beberapa teman yang saya ingat pernah baca buku itu. Gak ada yang angkat. Saya baca bagian belakang ringkasan buku itu…yang jelas temanya percintaan, tapi gak terlalu tergambar isinya gimana. Si abah lalu mendekat. Saya ceritakan perasaan saya terhadap buku itu, lalu si abah memutuskan untuk browsing resensi novel itu. “Not recommended de” kata si abah pada saya. “Kaka, menurut resensi yang abah baca, buku ini gak cocok untuk Kaka baca. Nih, kaka mau baca beberapa resensinya?” kata si abah menyorongkan hapenya. Si sulung yang udah cemberut maksimal, menambah intensitas cemberutnya, dah mendung mau nangis wajahnya.
Sampai di antrian kasir, jawaban dari salah seorang temen saya tentang buku itu saya terima; “jangan mbaaaak…..buku itu bnovel percintaan dewasa….ada adegan dewasanya….” Alhamdulillah. “Kaka jadinya beli buku apa?” tanya saya. “Gak ada yang bagus” katanya. “Dari sekian banyak ini? gak ada?” kata saya. Si sulung menggeleng lalu diam. Wajahnay masih bete. Saya melirik tumpukan buku yang paling dekat dengan posisi antrian saya dekat kasir.
Sejak beberapa bulan lalu, saya sudah melihat tumpukan buku karya salah satu penulis favorit saya, Pidi Baiq. Judulnya. Dilan. Lalu saya lihat cover buku yang senada bertambah dua. Judulnya Dilan#buku kedua dan Milea. Saya fans nya Pidi Baiq. Saya koleksi buku seri “drunken-nya”; drunken monster, drunken mama, drunken molen, drunken marmut. Saya suka banget gaya humornya. Itulah sebabnya, akhir tahun lalu saya meminta beliau yang menulis endorsement utama untuk buku “Bukan Emak Biasa” saya. Kenapa sampai saya belum beli buku seri Dilan-nya Pidi Baiq? Gak tau. Tapi dalam situasi sore itu, spontan saya membeli tiga buku seri Dilan: Dilan, Dilan buku kedua dan Milea. Untuk si sulung. Saya percaya meskipun sepertinya itu buku tentang cicintaan remaja, gak akan ada hal-hal yang “aneh-aneh” dalam buku tersebut. Saya percaya pada “idealisme” penulisnya, dibalik gaya humor yang jadi ciri khasnya.
Dan…ternyata, pilihan spontan saya berhasil membuat cemberut di wajah si sulung berangsur menghilang, dan dampak buat emaknya, lebih luar biasa lagi. Berawal dari iseng baca buku itu, saya merasa…meskipun si sulung bilang buku-buku itu “rame”, tapi saya, jauh lebih menikmatinya. Kenapa? karena buku itu bercerita tentang masa SMA yang settingnya tak jauh dari zaman saya. 1992 ceritanya, dan saya menjalani SMA tahun 1994-1997.
Ah, bener kan…gak salah saya ngefans sama Pidi Baiq…. dia emang keren. Cerita di tiga buku ini, biasa banget. Sangat biasa. Cerita cinta anak SMA. Tapi gaya bahasanya, memang selalu luar biasa. Sederhana, natural dan sangat lugu, tapi itu yang bikin istimewa. Pidi Baiq berhasil membuat saya yang pernah berada di setting zaman itu….dengan nama mata pelajaran saat itu, rutinitas saat itu, istilah-istilah khas terkait sekolah zaman itu…. ia berhasil membawa kita jalan-jalan ke masa itu, seolah kita berada di dalamnya…ah, keren banget deh. Rasa humornya masih khas, bikin saya minimal senyum dan sering ngakak sendiri saat baca buku itu. Yang sangat saya kagumi adalah, detil deskripsinya. Membaca rangkaian kalimatnya, seolah-olah kita berada di tempat yang ia gambarkan, saat itu juga.
SMA. SMU. Dari sekian perjalanan hidup kita, tampaknya masa SMA sering menjadi masa yang istimewa. Terutama kalau terkait percintaan. Kenapa ya? menurut “penerawangan” saya, mungkin karena rasa cinta yang kita miliki dan cerita cinta yang terjadi saat SD dan atau SMP, itu adalah rasa cinta yang …. orang bilang cinta monyet. Sedangkan rasa cinta waktu jaman kuliah apalagi setelah lulus kuliah, adalah rasa cinta yang …. “relatif matang”. Ada unsur rasio yang semakin mendominasi perasaan dan hubungan cinta. Nah…rasa cinta dan kisah cinta saat SMA, memang tampaknya adalah rasa cinta yang full “RASA yang KAYA”. Romantic love lah….makanya, jejaknya biasaya mendalam.
Mungkin banyak diantar kita yang pernah menjadi Milea atau Dilan, dengan rasa dan kisah cinta yang begitu mendalam. Nah, cuman….kalau tak dikelola, pengalaman dan jejak rasa yang mendalam itu bisa berbuah bencana. Bencananya apa? bencananya bernama CLBK. CLBK ini adalah singkatan dari: (a) Cinta Lama Bersemi Kembali ; (b) Cinta Lama Belum Kelar; (c) Cinta Lama Bubarkan Keluarga.
Ah, sebagai orang yang engga kreatip, suka kagum ama kreatipitas orang-orang merangkai bahasa. Mungkin sebenarnya ada lebih dari 3 singkatan dari CLBK. Tapi dari 3 singkatan yang saya tahu, ayo tebak…. apa persamaannya? Persamaannya adalaaaaah…. kepanjangan dari dua huruf singkatan pertama: CL. Cinta Lama.
Sejujurnya ya, dulu saya “gak percaya” pada fenomena CLBK. Baik yang singkatannya a, b, apalagi yang c. Tapi kemudian ada beberapa pengalaman terkait fenomena CLBK yang membuat saya ingin membuat catatan tentang hal ini. (Note: pengalaman terkait fenomena CLBK ya, bukan pengalaman CLBK … kkkk).
Meskipun konon yang bisa menghidupkan CLBK adalah “reuni” (sampai ada beberapa suami/istri yang tau adakisah cinta pasangannya saat di SMA tak mengizinkan untuk ikutan reuni SMA), tapi menurut beberapa cerita teman, “reuni” tak terlalu berbahaya memunculkan CLBK. Ada yang jauh lebih berbahaya. Yaitu …..WA Group ! Kenapa? Kalau reuni, kita bertemu mantan secara konkrit. Kita dibantu untuk meregulasi diri dengan adanya batasan-batasan yang kasat mata. Penilaian sosial yang akan menentukan perilaku kita, lebih “jalan” di “dunia nyata”, karena “umpan balik” yang kita dapat dari panca indera kita lebih kumplit. “Pantas” atau “tidak pantas” suatu perilaku saya tunjukkan; misal: menatap si mantan, atau berkata dengan intonasi “romantis” atau menungkapkan kangen pada mantan, menjadi relatif terbatas.
Berbeda dengan saat kita berkomunikasi di dunia tak nyata, dunia maya. Ada fenemona dis-inhibition. Lebih detil mengenai apa itu disinhibition, bisa dibaca di tulisanhttps://fitriariyanti.com/2014/05/17/mengapa-kita-bisa-vulgar-dan-kasar-di-facebook/ . Intinya, saat berkomunikasi di dunia maya dengan sang mantan, maka regulasi diri dari dalam pribadi kita lah satu-satunya rem. Karena “umpan balik” dari lingkungan sosial menjadi minim.
Seperti yang Milea tulis di akhir buku Dilan#buku kedua; maka mungkin banyak diantara kita yang juga mengalami hal yang sama dengan Milea. Kita sudah menikah, punya anak… namun kenangan terhadap “Dilan kita”, sulit untuk dihilangkan. Rasa itu masih ada, tersimpan dengan orisinal. Rasa yang persis sama mudah terbangkit saat ada candaan-candaan “biasa” di wa grup bersamanya. Entah candaan iseng temen-temen, atau… satu dua kata dari “Dilan kita” yang mengungkit lagi rasa itu. Bukan…bukan berupa bujuk rayu kata-kata mesra yang bisa menghidupkan kembali rasa itu, Tapi kadang hal yang amat sederhana. Misalnya percakapan gak penting di wa grups seperti ini :
Teman-teman: ih, tumben grup ini sepi banget. ngobrol yuks…//…… beberapa teman memberi komentar….ngobrol ini itu…..lalu, ada seorang teman yang me-mention kita: “***” mana nih, kok gak muncul (misal *** adalah nama kita)//mantan kita lalu berkomentar “***” lagi ngemil rambutan kali//.
Obrolan yang “biasa banget” kan…. tapi obrolan yang “biasa banget” itu, bisa memicu kembali beragam rasa bersama si mantan, karena hanya dia yang tau, bahwa rambutan, adalah makanan favorit kita. Dan perasaan “dia masih ingat hal itu”, akan membuat kita mulai dari senyum2, merasakan debaran di dada, sampai dengan menikmati berjam-jam memori bersamanya yang dengan kompak muncul dalam pikiran kita. Berawal dari episode-episode kayak gini nih…kehancuran rumah tangga bisa terjadi.
Nah, maka, berdasarkan hal itu, dalam tulisan ini saya ingin “menghimbau” (haha…siapa elu….) pada para pemirsa waGrup:
(1) Untuk bu mimin dan pak admin; sebaiknya sebelum membuat wa grup, minta izin pada yang akan diinvite. Memang sih di Indonesia, orang masih menganggap consent itu gak perlu. Tapi sebaiknya kita mulai menghargai pilihan orang lain, yang pastinya paling tau apa yang terbaik untuk dirinya. Hargai bila ada yang tak mau masuk grup. Mungkin bukan karena sombong atau gak mau bergaul. Tapi mungkin ia ingin menjada diri dan keluarganya. Sikap menghargai juga harus ditunjukkan saat ada teman kita yang left group. Itu hak nya. Tak boleh dijudge atau dihakimi.
(2) Jangan iseng becanda mengungkit kisah asmara masa lalu teman kita. Karena CLBK tipe c mungkin terjadi awalnya karena “becandaan” kita.
(3) Jangan follow up pertemanan di wa grup dengan mantan menjadi wa japri. Walaupun topik pembicaraannya bisa jadi sanjungan mengenai suami/istri si mantan, atau obrolan mengenai anak-anak masing2, namun konon katanya itu adalah mekanisme tak sadar untuk menutupi maksud kita sebenarnya: ingin mengenang kembali rasa yang pernah ada hehe…waspadalah….waspadalah…
Jika kita jadi Milea atau Dilan, yang punya rasa dan kisah cinta tak terlupakan di masa SMA, yang merasa bahwa memori itu adalah bagian hidup kita yang berharga dan tak mungkin dilupakan, maka dewasalah…. seperti juga dewasanya Milea dan Dilan. Yang menghargai dan menyimpan kenangan itu sebagai kenangan. Bagian dari perjalanan hidup yang tak harus menghancurkan apa yang kita miliki saat ini.
Jangan sampai, kita mengalami total gerhana mantan haha…..;)
Recent Comments