Mengenal Tahap Perkembangan Orangtua

Dua minggu ini saya intensif mengantar-jemput si sulung kerja kelompok. Di kelas 8 ini, tugas-tugasnya “canggih-canggih”. Tentu dibandingkan jaman emaknya kelas 2 SMP dulu… 25 tahun yang lalu haha…Kalau jaman dulu tugas kerja kelompok saya paling bikin kliping, atau bikin prakarya apa… gitu…nah…tugas kerja kelompok si sulung saat ini adalah: Bikin iklan. Mulai dari konsep, bikin skenario, storyboard, syuting, sampai editing. Trus bikin drama lah, bikin rekaman kamar dan penjelasannya pake bahasa inggris, tongue twister, dll. Yang technology based intinya mah.  Dan kalau saya ngintip hasilnya…gilee emang keren banget…. kreatif banget anak-anak umur 13 tahun itu. Pas saya tanya belajar dari mana, si sulung jawab nyari sendiri, dari yutub lah, tanya ke sutradara ternama via medsos lah… bener banget memang…si zaman ini, kolaborasi bisa terjadi antar siapa saja, tak terbatas ruang, waktu dan …umur hehe…

Yang mau saya share dalam tulisan ini adalah, perasaan saya saat “melepas” si sulung kerja kelompok, bersama teman-teman laki-lakinya. Jadi setiap saya anter si sulung, lalu melihat teman-teman laki-lakinya, jujur aja deg-degan sih. Meskipun saya udah sering liat wajah-wajah remaja tanggung itu via instagramnya si sulung, tapi tetep aja…melihat mereka “tiga dimensi”, bikin deg-degan. Secara fisik, baik si sulung dan teman-temannya maupun para teman laki-lakinya lagi “mekar-mekarnya”. Mulai keliatan pesona cantik-ganteng-jelita-gagahnya. Persis para pemeran sinetron remaja di tipi.

Saat melihat mereka, terbayang sekilas pose-pose pelukan, ciuman atau pegangan tangan para remaja tanggung yang kadang terlihat entah di sinetron atau di internet. Khawatir bahwa si sulung pun akan melakukan hal itu,jujur saja ada. Itu namanya cemas. Saya merasakan betul, ketika saya meninggalkan rumah teman si sulung setelah mengantarnya, dada saya penuh pergulatan. Pergulatan untuk mempercayai si sulung. Struggling to trust her. Saya sadar betul bahwa saya kini telah “resmi” menjadi orangtua remaja, dengan “tugas perkembangan”nya.

parenthoodKita mengenal tahap perkembangan dan tugas perkembangan PADA ANAK. Usia berapa anak harus sudah bisa berbagi, usia berapa anak harus sudah bisa “berpisah” dari orangtuanya… Nah, kadang kita lupa…atau mungkin gak tau, bahwa ada juga loh, TAHAP PERKEMBANGAN DAN TUGAS PERKEMBANGAN ORANGTUA. Dan, saya menghayati….permasalahan relasi anak-orangtua, kalau mau dilihat dari kacamata ini, biasanya terjadi saat perkembangan anak tidak diiringi perkembangan orangtua.

Dan tugas perkembangan saya sebagai orangtua remaja adalah…. belajar mempercayai si remaja.  Kenapa harus percaya sama si remaja? karena kalau gak percaya, kita gak akan bisa melepasnya. Gimana kalau kita gak mau melepasnya? tahap perkembangan dia untuk menjadi pribadi dewasa menjadi terhambat. Gimana caranya biar saya bisa percaya pada si remaja? lihat dia secara objektif. Apakah sudah cukup pengetahuan, pemahaman dan keterampilannya menjaga diri? apakah ada tanda-tanda dia tak bisa menjaga diri? Caranay gimana? ah, kan katanya “a worried mother does better research than FBI” 😉 . BAnyak jalan untuk memonitor si remaja.

Waktu saya diminta sharing mengenai pengasuhan remaja di sebuah SMP, saya suka banget waktu ibu kepala sekolahnya menawarkan tagline “mendewasa bersama remaja”. Ya, remaja harus belajar secara bertahap menjadi dewasa. Menganalisa situasi. Mempertanyakan nilai. Menentukan pilihan. Kita pun sebagai orangtuanya harus melakukan proses yang sama. Bertahap.

Kali ini, kita percayai si remaja kerja kelompok bersama teman-temannya, baik-laki-laki maupun perempuan. 5 tahun lagi, kita percayai anak untuk memilih jurusan di Perguruan Tinggi yang menjadi minat dan kemampuannya. 10 tahun lagi, kita percayai dia memilih profesi yang akan membuat hidupnya bermakna. Kurang dari 10 tahun tahun lagi, kita percayai dia memilih pasangan hidupnya….selanjutnya kita percayai prinsip-prinsipnya mengelola rumah tangga, mendidik anak-anaknya….Bayangkan kalau kita tidak belajar mempercayainya secara bertahap…..

Menjadi orangtua itu, adalah perjalanan sepanjang hayat, mulai saat kita melihat dua garis merah di alat test kehamilan, sampai kita menutup mata. Allah, Sang Maha Sempurna, telah sedemikian rupa merancang tahap perkembangan anak, dengan sangat cermat…sehingga setiap tahapnya, adalah fondasi untuk menjadi tangguh di tahap berikutnya. Dan perubahan karakteristik perkembangan anak, adalah media bagi ANAK dan juga bagi ORANGTUA untuk terus berkembang menjadi lebih dewasa dan lebih bijaksana.

Kalau ada kesempatan, nanti saya share lebih sistematis tahap-tahap dan tugas perkembangan orangtua. Insya allah.

 

 

 

 

Menasihati anak tanpa kata

Salah satu hal klise yang sering disebut sebagai faktor penting dalam sebuah hubungan adalah KOMUNIKASI. Kalau komunikasi baik, hubungan baik. Kalau komunikasi buruk, hubungan pun buruk. Dalam semua bentuk relasi. Dan sejatinya, sepanjang hidup kita diisi oleh relasi. Bahkan identitas diri kita pun, kalau kita hayati, menunjukkan relasi. Saya anaknya …..; saya ibunya ….; saya saudaranya …..; saya istrinya ….. Anak, ibu, saudara, istri, itu adalah identitas yang menunjukkan relasi.

Nah, tapi… mengkomunikasikan sesuatu dengan baik, itu memang menantang, tidak selalu mudah. Kalau kita lagi curcol sama temen tentang hubungan kita yang sedang tidak baik dengan seseorang, teman kita umumnya akan mengatakan: “ya kamu ngomong aja atuh sama dia…” Dan kita akan bilang “gak semudah itu….”. Yups, berkomunikasi memang tak sekadar ngomong. Kalau kita udah berhasil ngomong pun, apakah dampaknya yang kita omongkan  sesuai dengan harapan kita? belum tentu.

Salah satu tantangan buat para emak adalah gimana caranya “ngomong”, “menasihati” anak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan efektif. Yang umumnya terjadi adalah, emak ngomeeeeeel panjang x lebar = luas, anaknya lempeeeeng aja. Dalam tulisan ini saya mau cerita tentang eksperimen yang saya lakukan pada anak-anak saya. Eksperimen tentang gimana cara yang efektif mengubah perilaku anak-anak sesuai harapan saya, tanpa harus ngomel.

Jadi ya, di Psikologi itu ada ilmu namanya psikologi kerekayasaan. Human factor enginering. Apa yang direkayasa? yang direkayasa adalah lingkungan manusia. Untuk apa? untuk mengubah proses mental yang terjadi dalam diri manusia yang mendasari perilaku tertentu, sehingga perilakunya juga berubah. Sssstt…Psikologi UNPAD adalah satu-satunya Fakultas Psikologi yang membuka Program S2 Magister Psikolog Kerekayasaan loooh… (sempet-sempetnya promosi haha…).

Contohnya gimana sih aplikasi psikologi kerekayasaan dalam kehidupan sehari-hari? Suatu hari, saya sedang antri di sebuah rumah sakit. Saya adalah orang keempat yang datang. Kami berempat, saya dan tiga orang di depan saya berusaha membuat antrian. Berjejer ke belakang. Eeeh…orang kelima dan seterusnya gak mau nerusin antrian itu…langsung ke depan loket…semakin banyak…semakin banyak…bejubel. Akhirnya ribut. Petugas loket teriak: antri pak..antri bu….kasian dia. Diprotes sama yang antri, tapi bingung juga karena dokumen udah numpuk, orang-orang mulai “berantem”…Syukurlah kemudian ada petugas yang membawa penghalang dan membuat “garis antrian”. Sebuah garis yang dibatasi kiri-kanan, hanya cukup untuk satu orang. Kayak di BANK gitu loh…”Alat” itu “memaksa” orang untuk berjejer ke belakang satu demi satu. Udah aja….rapi aja.

Nah, ceritanya saya menerapkan prinsip “mengubah lingkungan untuk mengubah perilaku” ini pada anak-anak saya. Kejadiannya udah lama sih. Tahun lalu. Waktu itu, saya melihat si bujang kecil yang sudah duduk di kelas 4, males banget baca buku pelajaran. Oke, memang buku pelajarannya menyajikan maeri tidak dengan cara yang menarik buat anak. Saya punya 4 lemari buku  untuk anak-anak, dari berbagai seumber. Ada  yang tentang matematik, ada yang tentang sejarah, nabi, pengetahuan alam, ensiklopedia, dan segala macamnya. Seri buku-buku edukatif yang rajin saya cicil sejak belum menikah dulu hehe. Lalu saya pilihlah buku-buku yang sesuai dengan tema pelajarannya. Lemari buku kami ada di lantai bawah, sedangkan aktivitas keseharian kami banyak di atas.  Saya minta si bujang kecil baca buku yang sudah saya pilih itu. Gak dilakukan.

Hhhhmmm..menggunakan prinsip kerekayasaan tadi, saya bawa buku-buku itu ke atas, ke ruangan tempat kami berkumpul, saya beli lemari pajangan buku yang lucu, saya kasih karpet berbulu empuk, Lalu saya simpen buku-buku yang ingin anak-anak saya baca disitu. Ada buku tentang kisah Rasulullah, ada buku-buku pengetahuan yang sesuai dengan tema pelajaran, ada buku novel berkualitas yang saya ingin dibaca si sulung, komik-komik agama buat dibaca si gadis kecil, buku worksheet buat si bungsu, dan buku-buku yang saya lihat belum dibaca sama anak-anak. Saya gak ngomong apa-apa … daaaan… yeay….eksperimen say berhasil ! setiap ada waktu luang, anak-anak akan selonjoran di karpet empuk itu, sambil….baca buku ! Nah, jadi…tiap minggu saya ganti buku-bukunya dengan buku-buku lain yang saya pengen anak-anak baca. Hhhmm..hemat omelan berapa ratus kalimat tuh hehe…

Lalu, saya lebarkan eksperimen ini pada hal-hal yang lain. Saya ingin “menasihati” si bungsu 4 tahun untuk mandiri ambil minum sendiri atau bikin susu sendiri. Waktu dia minta minum dan saya bilang: “dede ambil sendiri dong, kan gampang tinggal pencet air dari galon”; dia jawab : “tapi dede takut gelasnya pecah”. Oh, baiklah…saya ganti lah semua gelas di rumah saya dengan gelas berbahan non kaca. Dan itu membuat si bungsu leluasa ambil minum sendiri. Kalau uda gini, tinggal kita “recognition” : “wah, dede mandiri banget ya” . Senyum manis dan binar mata si kecil itu, tak akan tergantikan dengan apapun. Seiring dengan tumbuhnya bunga “i believe i can!” dalam hatinya. Gitu kata buku sih ….;)

Saya ingin menasihati si bungsu untuk mandiri makan sendiri, waktu saya bilangin dia jawab: “tapi dede takut sayurnya tumpah ke kursi…nanti kotor..nanti ibu marah” (ssst…seperti juga emak-emak yang lain, saya stress lah kalau kursi ketumpahan sesuatu…iiih…warnanya kan jadi jelek banget dan kesannya jorok gitu…wajar lah itu mah). Denger jawaban si bungsu, si abah langsung mendapat kesempatan: “Tuh de…kataku juga apa…pas anak-anak masih kecil gini…kita ganti lah kain kursi dan sofa kita   jadi yang gak tembus air, warna gelap, biar bisa di lap…dirimu gak stress, anak-anak juga lebih leluasa”. Yups…maka kulit sofa pun kami ganti, saya ajarkan kalau tumpah gak apa-apa, lap aja. Dan kini, saya bisa dengar anak-anak melapor : “ibu, teteh tumpahin susu…tapi udah teteh lap” …. everyone is happy…

Waktu mas dengan semangat 45 pengen ganti TV pake layar yang lebar, saya menggeleng dengan mantap. Membeli TV layar lebar, plus sofa nyaman di depan TV, berarti kita “menasihati” anak untuk nonton TV terus …lha wong enak banget kok…Sofa nonton TV itu, emang didesain biar secara anatomis tubuh nyamaaaan duduk di situ dalam jangka waktu lama. Begitu juga rengekan anak-anak untuk pasang VCD  player di mobil biar bisa nonton film kesukaan mereka di mobil, saya tolak mentah-mentah. Saya sangat menikmati obrolan seru dan beragam permainan yang “terpaksa” diciptakan anak-anak kala kemacetan melanda, dibanding keantengan dengan menonton video di dalam mobil.

Pada anak, saya percaya bahwa mengubah lingkungan adalah cara alternatif yang jitu untuk menasehati. Buat ibu-ibu yang harus beraktivitas di luar rumah, anak kita lebih seneng main tablet dibanding baca buku? mungkin karena kita meninggalkan anak di rumah dengan tablet dan chargernya. Gimana kalau kita ubah: tinggalin tablet yang cuman tinggal 20 persen batrenya, chargernya kita bawa, lalu kita tempatkan lemari buku dan mainan edukatif di tempat biasa ia main di rumah.

Kita bisa membuat si TK A tergantung pada kita untuk memakai sepatu karena belum bisa membedakan kiri dan kanan,  membuat kita mengomel karena dia salah pake sepatu, atau …. kita bisa potong stiker smiley di tengahnya, tempelin di masing-masing sepatu, dan kita ajarin si anak: kalau mau pake sepatu, si smileynya harus ketemu jadi senyum ya…

Kalau kita liat di sekolah TK yang bagus, kita akan liat wastafelnya dibikin pendek, jadi anak bisa cuci tangan tanpa bantuan. Satu design itu, bisa menggantikan beragam program dan kata-kata untuk membuat anak merasa “aku bisa” dan “aku mandiri”.

Jangankan pada anak loh…pada orang dewasa aja, rekayasa lingkungan ini berlaku. Saya sering mengalami kesulitan mengendalikan frekuensi posting di facebook. Tentu posting yang gak jelas. Saya pengen ubah perilaku saya…tapi susah…. baiklah…kenapa saya bisa sering banget posting? karena facebooknya terinstall di hape saya. Oke, saya uninstal. Minimal, saya cuman bisa akses facebook pas buka laptop, dan itu jauh lebih terbatas dibanding buka hape. Kalau udah merasa “waras”, baru saya install lagi. Gak waras lagi? uninstall lagi. Soalnya kalau udah se”tua” saya gini, siaapa coba yang mau nasihatin? ya nasihatin diri sendiri hehe…

talk-observeMaka, kalau kita udah capek ngomel ini itu gak berhasil merubah perilaku anak-anak kita, maka mungkin kita perlu berheneti bicara dan mulai mengamati serta mendengarkan. Seperti waktu si bungsu bilang “dede takut gelasnya pecah”… itu hal yang gak kepikiran sama saya loh…

 

Setelah mengamati dan mendengarkan, mungkin yang perlu kita ubah adalah lingkungan. Tata letak di rumah kita, material benda-benda di rumah kita, apa yang mudah dilihat, didengar, dijangkau anak, mungkin bukan hal-hal yang kita inginkan. Mungkin itu yang harus diubah. Dan mumpung anak kita masih anak-anak, mengubah perilakunya dengan mengubah benda fisik, jauh lebih mudah dibanding mengubah dengan kata-kata.

Selamat mencoba 😉

Sepatu Zebra : serunya jadi ortu anak remaja

Waktu si sulung masih kecil, sebagai mahmud (mamah muda) yang baru punya anak pertama dan anaknya perempuan, saya seneng banget dandanin si sulung pake baju plus aksesori girly. Pinky girl lah…. Kini, si gadis kecil itu sudah 13 tahun. Sudah menjadi “gadis besar”. Gayanya, jauh dari girly. Pilihan warnanya adalah warna gelap. Bahan dan modelnya, super casual. Dari mulai kerudung sampai sepatu. Tiap menjelang lebaran, tantenya yang punya butik pakaian muslimah minta kami memilih sesuka hati model baju yang kami pengen. Tantenya biasanya semangat menunjukkan beragam model rok atau gamis remaja yang feminin; dia akan menggeleng dengan mantap. Sebenarnya kalau mau cari kambing hitam, secara genetik mau secara contoh; memang gaya dan pilihan dia persiiiiiis gaya dan pilihan saya. Casual, gak mau ribet, praktis. Tapi dasar emak-emak…tetep aja sebenernya saya pengen dia tampil feminin 😉

Akhir tahun lalu, waktu saya ke Bali, saya belikan dia sepatu casual yang bahannya dari kain tenun, kembaran sama saya. Tentu bukan jenis sepatu yang kuat. Tapi dia seneng banget. Dipakenyaaaa terus sepatu itu sampai sudah robek-robek. Saya bilang “Kaka, udah waktunya Kaka beli sepatu lagi, itu sudah robek”. Tapi dia selalu menolak. Hampir sepuluh kali lah saya ajak dia -baik tidak sengaja maupun menyengajakan- ke toko sepatu. Semua….dia jawab dengan gelengan kepala. Sampai waktu mau lebaran, saya keseeel banget :“Kaka, masa sih Kaka mau lebaran pake sepatu kayak gitu? ayo masa dari ratusan sepatu di sini gak ada satu pun yaag Kaka suka?”. Dan respons si sulung adalaaaaah….nangis sesenggukan. Sampai saya diliatin sama pengunjung se-jagat toko sepatu itu hehe…

sepatu-kets-model-zebra-wanitaSuatu hari, waktu kita jalan-jalan ke Borma (saat itu saya sudah hopeless dan mengikuti nasihat si abah, membiarkannya “memilih” tetap memakai sepatu butut itu), tiba-tiba si sulung menarik tangan saya; “Bu, ada sepatu yang Kaka mau” katanya. Ah, saya bahagia banget. Saya ikuti dia menunjukkan tempat sepatu itu. Dan, tadaaaa …. saya mau pingsan pas liat sepatu yang ia tunjukkan. Sepatu zebra! kayak yang di samping ini! si gadis manisku suka dan mau pake sepatu kayak gini… saya inget…kalau ada mahasiswa yang pake motif kayak gini saya suka agak “nyureng” hehe…

“Hargai pilihan si remaja, jangan terlalu baper untuk pilihan yang sifatnya tidak prinsip”. Langsung saya inget hal ini. “Owh, emang ini cukup di kaki Kaka? kayaknya kekecilan deh” kata saya. “Iya emang. Kaka mau tanya siapa tau nomernya ada yang pas” katanya penuh semangat. Sambil menunggu si sulung bertanya sama SPGnya, saya langung menghampiri si abah dan curhat: “abah…tau gak…ini sepatu yang dipengenin si Kaka…ya ampuuun….”. Reaksi si abah, udah bisa saya tebak. “Kan dirimu yang bilang….. beda generasi, beda selera. Biarin lah selama bukan hal prinsip”. “Iya, aku tau…tapi motif ini …ya ampuuun..” .Saya masih ingin mengekspresikan perasaan haha…

Si sulung kembali menemui saya, wajahnya sedih; “Engga ada yang pas nomornya Bu”. katanya. Alhamdulillah….sorak hati saya hehe… “Ini bagus Ka…” kata saya menyodorkan sepatu manis bermotif bunga kecil. Si sulung menggeleng dengan mantap. Baiklah….

Meskipun saya sering diminta berbagi mengenai pengasuhan, namun saya senang juga cerita mengenai “babak belurnya” saya menjalani peran mendampingi anak-anak saya dalam tahap-tahap perkembangannya. Jadi apa dong gunanya “belajar parenting” ? kalau tetap merasa kesel, marah, sedih, khawatir, bingung…saat menghadapi episode pengasuhan yang sesungguhnya?

Hhhmmm….menurut saya, belajar ilmu pengasuhan itu bukan untuk membuat kita jadi “lempeng” saat menghadapi situasi yang menantang. Tapi pengetahuan itu akan membuat kita “sadar”, apa yang tengah terjadi pada kita dan pada anak kita saat itu. Istilah keren psikologinya mah mungkin  “metacognition”. Kita jadi kemampuan untuk “thinking about thinking”. Kita jadi tau dan sadar bagaimana cara kita berpikir.

Kalau saya mah suka ngebayangin….dengan pengetahuan kita tentang perkembangan anak, tentang kondisi psikologis orangtua….pas lagi momen kejadiannya teh…kita kesel, kita marah, kita bingung, tapi pengetahuan yang kita punya, membuat seolah-olah “diri” kita keluar, menyaksikan diri kita yang lagi mengalami kejadian tersebut. Kayak kejadian sepatu zebra itu, meskipun saya merasa pengen pingsan dan langsung curhat sepenuh hati ama si abah, tapi pas lagi curhat itu, bagian dari diri saya ada yang menyaksikan itu, lalu ngetawain diri saya haha…

Nah, metakognisi ini yang menurut saya, membuat meskipun kita merasakan emosi negatif, tapi emosi itu “gak masuk ke hati” dan “gak jadi penyakit”. Beberapa waktu lalu ada yang memberi feedbak mengenai tulisan saya di blog ini: “tulisan-tulisan pengasuhan di blog ini membuat saya merasa tidak sendirian” katanya. Yes ! emang itu harapan saya. Demikian pun kalau sharing tema pengasuhan. Bukan untuk mengajari. Da aku mah apa atuh…. GAk ada istilah “ahli parenting”… Tapi niat saya adalah sharing fakta, sharing pengalaman. Karena saya punya kesempatan baca buku, baca hasil penelitian, lakukan penelitian, ketemu klien-klien….

Mengasuh  itu seperti perjalanan panjang. Kalau kita fokus hanya pada akhirnya, sayang…lebih baik kita nikmati pemandangan, cuaca dan segala rintangan yang kita hadapi di sepanjang perjalanan. Geleng-geleng kepala, shock, pengen pingsan, pengen nangis, keseeel bangeeet, …. semua rasa itu, adalah ke-seru-an yang mari kita nikmati. Sambil kita tahu bahwa itu adalah bagian dari perjalanan panjang ini.

 

 

 

 

Dendeng Batokok

Saya mah orangnya “konvensional”. Cinta kemapanan dan setia haha….. Dari sekian banyak restoran di Bandung, tempat yang saya kunjungi kalau makan di luar cuman dua. Dan di dua restoran itu, saya selalu duduk di tempat yang sama, memesan menu yang sama. Sejak bertahun-tahun lalu. Memang jadinya tidak kreatif sih. Salah satu “kelakuan” saya yang menunjukkan saya tidak kreatif adalah, rutinitas makanan setiap kali “ngantor” di Dago tiap hari Jumat. Teman-teman saya udah tau kalau hari Jumat saya ke Dago (dulu), pasti saya sarapannya lontong padang Uda Pero yang di simpang dago. Sayurnya sayur daun pakis haha…. Trus makan siangnya, OB yang suka beliin makanan udah gak pernah tanya lagi. Pasti saya pesen dendeng batokok kkkkk.

Buat temen-temen yang kemampuan memasaknya amatiran kayak saya, coba deh buka page nya “tastemade indonesia” di facebook. Ada banyak video2 memasak singkat, dengan menu-menu sederhana. Ah, saya suka banget sama page itu. Seumur2 gak pernah sukses sesuai standar yang dicita-citakan kalau bikin bakwan jagung, beberapa bulan lalu saya bahagia banget…mengikuti cara yang ditunjukkin di page itu, berhasil ! yeay !!!! Sampai kata si bujang kecil; “ini berarti sejarah ya bu, dalam hidup ibu” kkkk.

Jadi, ketika suatu saat saya liat ada video cara bikin dendeng batokok, langsung lah saya dengan semangat 45 mempraktekkannya. Nah, itu yang mau saya sampaikan di tulisan ini hihi….

Bahan-bahan: daging sapi yang kualitasnya bagus;  bumbu-bumbu: garam, bawang putih, ketumbar, jahe, garam; dan air kelapa untuk merebus daging. Buat sambel ijo-nya: cabe ijo, bawang merah, bawang putih, garam,

Langkah pertama: blender bawang putih, ketumbar dan jahe. Lumuri daging. Diamkan sekitar 5-10 menit. Ssssttt…tahu gak…saya sering lupa loh langkah pertama ini haha…jadi kalau lupa, keburu nyemplungin daging ke air kelapa, setelah ber”astagfirullah”, saya suka cheating. bikin bumbu trus saya cemplungin ke air rebusan itu haha…. better late than never kan ? kkkk

Langkah kedua: didihkan air kelapa, masukkan daging. Kenapa harus air kelapa bukan air biasa? katanya sih bikin empuk. Dan saya pernah coba ya, pake air biasa. Gak tau sugesti gak tau objektif, tapi emang dagingnya emang gak seempuk kalau direbus pake air kelapa. Orang kimia kayaknya yang bsia menjelaskan secara ilmiah, zat-zat apa saja yang berinteraksi antara air kelapa dan daging hingga jadi lebih empuk.

Setelah empuk, potong-potong sesuai selera (kayak ukuran gepuk gitu), lalu pukul-pukul pake ulekan hingga jadi gepeng. Tahap selanjutnya adalah memanggang. Dagingnya dilumuri minyak. Lebih sehat kalau minyak dendengzaitun. Panggang hingga ada gosong-gosongnya. Sajikan di piring.

Untuk sambel ijonya: blender cabe ijo, bawang merah dan bawang putih. Tumis, kasih garam. Buat saya yang gak kuat makan pedes, pedesnya cabe ijo ini pas banget. Jadi gak usah dibuang bijinya. Praktis kaaaan masaknya buat emak-emak rempong kayak kita. Dan tadaaaa hasilnya seperti gambar ini 😉

Anak-anak saya, bilangnya makanan ini adalah “gepuk” haha…. apapun namanya, yang penting mereka suka. Ada 4 madzhab cara makan dendeng batokok ini di rumah kami.

(1) madzhab si bungsu: karena gak mau ada “item-itemnya”, si bungsu gak mau makan yang udah dipanggang. Jadi begitu diambil dari panci, dipukul-pukul ampe gepeng, disuir-suir, langsung dimakan ama dia. Bumbunya udah meresap, jadi enak.

(2) madzhab si bujang kecil dan si gadis kecil: dipanggang, tanpa cabe ijo.

(3) madzhab si sulung: yang udah dipanggang disuir, sambel cabe ijo disimpen di pinggir piring

(4) madzhab ibu dan abahnya: sambel ijo diaduk sama nasi. Itu uenaaaaak banget. Bisa nambah nasi dua piring. Dendengnya sih kadang kebagian kadang engga. Haha….

Baiklah, demikian tulisan ringan dan lucu pagi ini…warming up buat ngerjain kerjaan yang super seurieus hari ini 😉

Sariwangi, suatu pagi yang dingin #sok romantis 😉