Salah satu hal klise yang sering disebut sebagai faktor penting dalam sebuah hubungan adalah KOMUNIKASI. Kalau komunikasi baik, hubungan baik. Kalau komunikasi buruk, hubungan pun buruk. Dalam semua bentuk relasi. Dan sejatinya, sepanjang hidup kita diisi oleh relasi. Bahkan identitas diri kita pun, kalau kita hayati, menunjukkan relasi. Saya anaknya …..; saya ibunya ….; saya saudaranya …..; saya istrinya ….. Anak, ibu, saudara, istri, itu adalah identitas yang menunjukkan relasi.
Nah, tapi… mengkomunikasikan sesuatu dengan baik, itu memang menantang, tidak selalu mudah. Kalau kita lagi curcol sama temen tentang hubungan kita yang sedang tidak baik dengan seseorang, teman kita umumnya akan mengatakan: “ya kamu ngomong aja atuh sama dia…” Dan kita akan bilang “gak semudah itu….”. Yups, berkomunikasi memang tak sekadar ngomong. Kalau kita udah berhasil ngomong pun, apakah dampaknya yang kita omongkan sesuai dengan harapan kita? belum tentu.
Salah satu tantangan buat para emak adalah gimana caranya “ngomong”, “menasihati” anak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan efektif. Yang umumnya terjadi adalah, emak ngomeeeeeel panjang x lebar = luas, anaknya lempeeeeng aja. Dalam tulisan ini saya mau cerita tentang eksperimen yang saya lakukan pada anak-anak saya. Eksperimen tentang gimana cara yang efektif mengubah perilaku anak-anak sesuai harapan saya, tanpa harus ngomel.
Jadi ya, di Psikologi itu ada ilmu namanya psikologi kerekayasaan. Human factor enginering. Apa yang direkayasa? yang direkayasa adalah lingkungan manusia. Untuk apa? untuk mengubah proses mental yang terjadi dalam diri manusia yang mendasari perilaku tertentu, sehingga perilakunya juga berubah. Sssstt…Psikologi UNPAD adalah satu-satunya Fakultas Psikologi yang membuka Program S2 Magister Psikolog Kerekayasaan loooh… (sempet-sempetnya promosi haha…).
Contohnya gimana sih aplikasi psikologi kerekayasaan dalam kehidupan sehari-hari? Suatu hari, saya sedang antri di sebuah rumah sakit. Saya adalah orang keempat yang datang. Kami berempat, saya dan tiga orang di depan saya berusaha membuat antrian. Berjejer ke belakang. Eeeh…orang kelima dan seterusnya gak mau nerusin antrian itu…langsung ke depan loket…semakin banyak…semakin banyak…bejubel. Akhirnya ribut. Petugas loket teriak: antri pak..antri bu….kasian dia. Diprotes sama yang antri, tapi bingung juga karena dokumen udah numpuk, orang-orang mulai “berantem”…Syukurlah kemudian ada petugas yang membawa penghalang dan membuat “garis antrian”. Sebuah garis yang dibatasi kiri-kanan, hanya cukup untuk satu orang. Kayak di BANK gitu loh…”Alat” itu “memaksa” orang untuk berjejer ke belakang satu demi satu. Udah aja….rapi aja.
Nah, ceritanya saya menerapkan prinsip “mengubah lingkungan untuk mengubah perilaku” ini pada anak-anak saya. Kejadiannya udah lama sih. Tahun lalu. Waktu itu, saya melihat si bujang kecil yang sudah duduk di kelas 4, males banget baca buku pelajaran. Oke, memang buku pelajarannya menyajikan maeri tidak dengan cara yang menarik buat anak. Saya punya 4 lemari buku untuk anak-anak, dari berbagai seumber. Ada yang tentang matematik, ada yang tentang sejarah, nabi, pengetahuan alam, ensiklopedia, dan segala macamnya. Seri buku-buku edukatif yang rajin saya cicil sejak belum menikah dulu hehe. Lalu saya pilihlah buku-buku yang sesuai dengan tema pelajarannya. Lemari buku kami ada di lantai bawah, sedangkan aktivitas keseharian kami banyak di atas. Saya minta si bujang kecil baca buku yang sudah saya pilih itu. Gak dilakukan.
Hhhhmmm..menggunakan prinsip kerekayasaan tadi, saya bawa buku-buku itu ke atas, ke ruangan tempat kami berkumpul, saya beli lemari pajangan buku yang lucu, saya kasih karpet berbulu empuk, Lalu saya simpen buku-buku yang ingin anak-anak saya baca disitu. Ada buku tentang kisah Rasulullah, ada buku-buku pengetahuan yang sesuai dengan tema pelajaran, ada buku novel berkualitas yang saya ingin dibaca si sulung, komik-komik agama buat dibaca si gadis kecil, buku worksheet buat si bungsu, dan buku-buku yang saya lihat belum dibaca sama anak-anak. Saya gak ngomong apa-apa … daaaan… yeay….eksperimen say berhasil ! setiap ada waktu luang, anak-anak akan selonjoran di karpet empuk itu, sambil….baca buku ! Nah, jadi…tiap minggu saya ganti buku-bukunya dengan buku-buku lain yang saya pengen anak-anak baca. Hhhmm..hemat omelan berapa ratus kalimat tuh hehe…
Lalu, saya lebarkan eksperimen ini pada hal-hal yang lain. Saya ingin “menasihati” si bungsu 4 tahun untuk mandiri ambil minum sendiri atau bikin susu sendiri. Waktu dia minta minum dan saya bilang: “dede ambil sendiri dong, kan gampang tinggal pencet air dari galon”; dia jawab : “tapi dede takut gelasnya pecah”. Oh, baiklah…saya ganti lah semua gelas di rumah saya dengan gelas berbahan non kaca. Dan itu membuat si bungsu leluasa ambil minum sendiri. Kalau uda gini, tinggal kita “recognition” : “wah, dede mandiri banget ya” . Senyum manis dan binar mata si kecil itu, tak akan tergantikan dengan apapun. Seiring dengan tumbuhnya bunga “i believe i can!” dalam hatinya. Gitu kata buku sih ….;)
Saya ingin menasihati si bungsu untuk mandiri makan sendiri, waktu saya bilangin dia jawab: “tapi dede takut sayurnya tumpah ke kursi…nanti kotor..nanti ibu marah” (ssst…seperti juga emak-emak yang lain, saya stress lah kalau kursi ketumpahan sesuatu…iiih…warnanya kan jadi jelek banget dan kesannya jorok gitu…wajar lah itu mah). Denger jawaban si bungsu, si abah langsung mendapat kesempatan: “Tuh de…kataku juga apa…pas anak-anak masih kecil gini…kita ganti lah kain kursi dan sofa kita jadi yang gak tembus air, warna gelap, biar bisa di lap…dirimu gak stress, anak-anak juga lebih leluasa”. Yups…maka kulit sofa pun kami ganti, saya ajarkan kalau tumpah gak apa-apa, lap aja. Dan kini, saya bisa dengar anak-anak melapor : “ibu, teteh tumpahin susu…tapi udah teteh lap” …. everyone is happy…
Waktu mas dengan semangat 45 pengen ganti TV pake layar yang lebar, saya menggeleng dengan mantap. Membeli TV layar lebar, plus sofa nyaman di depan TV, berarti kita “menasihati” anak untuk nonton TV terus …lha wong enak banget kok…Sofa nonton TV itu, emang didesain biar secara anatomis tubuh nyamaaaan duduk di situ dalam jangka waktu lama. Begitu juga rengekan anak-anak untuk pasang VCD player di mobil biar bisa nonton film kesukaan mereka di mobil, saya tolak mentah-mentah. Saya sangat menikmati obrolan seru dan beragam permainan yang “terpaksa” diciptakan anak-anak kala kemacetan melanda, dibanding keantengan dengan menonton video di dalam mobil.
Pada anak, saya percaya bahwa mengubah lingkungan adalah cara alternatif yang jitu untuk menasehati. Buat ibu-ibu yang harus beraktivitas di luar rumah, anak kita lebih seneng main tablet dibanding baca buku? mungkin karena kita meninggalkan anak di rumah dengan tablet dan chargernya. Gimana kalau kita ubah: tinggalin tablet yang cuman tinggal 20 persen batrenya, chargernya kita bawa, lalu kita tempatkan lemari buku dan mainan edukatif di tempat biasa ia main di rumah.
Kita bisa membuat si TK A tergantung pada kita untuk memakai sepatu karena belum bisa membedakan kiri dan kanan, membuat kita mengomel karena dia salah pake sepatu, atau …. kita bisa potong stiker smiley di tengahnya, tempelin di masing-masing sepatu, dan kita ajarin si anak: kalau mau pake sepatu, si smileynya harus ketemu jadi senyum ya…
Kalau kita liat di sekolah TK yang bagus, kita akan liat wastafelnya dibikin pendek, jadi anak bisa cuci tangan tanpa bantuan. Satu design itu, bisa menggantikan beragam program dan kata-kata untuk membuat anak merasa “aku bisa” dan “aku mandiri”.
Jangankan pada anak loh…pada orang dewasa aja, rekayasa lingkungan ini berlaku. Saya sering mengalami kesulitan mengendalikan frekuensi posting di facebook. Tentu posting yang gak jelas. Saya pengen ubah perilaku saya…tapi susah…. baiklah…kenapa saya bisa sering banget posting? karena facebooknya terinstall di hape saya. Oke, saya uninstal. Minimal, saya cuman bisa akses facebook pas buka laptop, dan itu jauh lebih terbatas dibanding buka hape. Kalau udah merasa “waras”, baru saya install lagi. Gak waras lagi? uninstall lagi. Soalnya kalau udah se”tua” saya gini, siaapa coba yang mau nasihatin? ya nasihatin diri sendiri hehe…
Maka, kalau kita udah capek ngomel ini itu gak berhasil merubah perilaku anak-anak kita, maka mungkin kita perlu berheneti bicara dan mulai mengamati serta mendengarkan. Seperti waktu si bungsu bilang “dede takut gelasnya pecah”… itu hal yang gak kepikiran sama saya loh…
Setelah mengamati dan mendengarkan, mungkin yang perlu kita ubah adalah lingkungan. Tata letak di rumah kita, material benda-benda di rumah kita, apa yang mudah dilihat, didengar, dijangkau anak, mungkin bukan hal-hal yang kita inginkan. Mungkin itu yang harus diubah. Dan mumpung anak kita masih anak-anak, mengubah perilakunya dengan mengubah benda fisik, jauh lebih mudah dibanding mengubah dengan kata-kata.
Selamat mencoba 😉
Recent Comments