Kala ibu tak lagi “hebat”

Dear Para Emak, pernahkah kita melakukan hal kecil atau atraksi kecil, lalu anak-anak kita begitu terkagum-kagum dan dengan mata berbinar mengatakan “ibu hebat!”…”ibu keren”… ? pasti pernah kaaaan…

Bahkan mungkin kadang kita suka heran…hal yang “biasa banget” buat orang dewasa, di mata si kecil, seringkali dinilai suatu hal yang luar biasa. Saya sering sekali mendapat tepuk tangan atau pekikan kekaguman dari si bungsu 4 tahun dan si gadis kecil 7 tahun. Saat saya membuatkan si bungsu pesawat kertas; si bungsu bilang: “wow, ibu ahli pembuat pesawat”. Kala saya membuat gambar singa (yang wajahnya lebih mirip monyet), si bungsu masih terkagum-kagum: “ibu keren gambarnya rapih banget”. Kala saya menggoreng telur, si gadis kecil bilang: “hebat ih, ibu mah bisa mecahin telor dengan mulus”. 

Kalau…ini mah kalau ya…ada teman-teman yang gak pernah “dikagumi” ama anak-anaknya, saya mau ngasih resep satu atraksi favorit saya, yang dijamin akan bikin anak-anak kita terkagum-kagum. Saya menyebutnya: ATRAKSI TELUR AJAIB.

Alat dan bahan: satu atau lebih telur (boleh telur ayam atau telur bebek); direbus sampai matang (catatan, saat merebus, jangan sampai anak-anak tahu). Setelah matang, angkat, tiriskan, setelah dingin masukkan ke tempat telur di kulkas bersama “teman-temannya” para telur mentah. Tapi kasih tanda. Lalu, ajak anak-anak ke dapur dan katakan: “ibu mau melakukan atraksi. Ibu bisa lempar-tangkap telur tanpa pecah”. Ambil telur yang tadi sudah kita rebus, lalu lemparkan-tangkap. Buat se-atraktif mungkin; misal: lemparan telur sampai mengenai langit-langit, kita menangkapnya dengan berbagai gaya; hampir terjatuh, tangan kiri, tangan kanan… Untuk menambah kesan, bilang sama anak-anak: “mau coba? tapi awas pecah ya” ... Trus sesekali, kalau gak tertangkap, gapapa telornya jatuh ambil lagi, lalu tunjukkan bahwa telur tersebut tidak pecah. Kalau pada anak-anak saya, si bungsu dan si gadis kecil berteriak kegirangan sambil bertepuk tangan dan bilang: “ibu hebat…ibu hebat…”.

Nah…teman-teman… mudah bukan, membuat kita terlihat “hebat” di mata si kecil? Sekarang coba bayangkan kalau atraksi heboh itu kita lakukan di depan anak remaja kita. Minimal anak kelas 1 SMP lah. Hiii…sebenernya saya pengen eksperimen sih…beratraksi di depan si sulung…tapi gak berani nanggung resikonya uy haha…. kebayang saya, si sulung akan mengeryitkan dahinya dan berkata: “ibu ngapain? geje banget”. Dan yang pasti, rahasia identitas si telur sebgai telur rebus, akan sangat mudah terbongkar. Jangankan si sulung yang udah kelas 8…si bujang kecil saja, kelas 5…hanya butuh waktu sebentar untuk bilang: “coba bu, sini aku pegang telurnya…kayaknya bukan telur mentah deh”. 

Temans…moral of the storynya adalah…betapa sangat mudah kita menjadi “hebat dan mengagumkan” buat si kecil. Tapi untuk menjadi “hebat dan mengagumkan” buat si remaja? Tak mudah. 1#Mengapa bisa begitu? Dan …. 2#itu sangat tak menyenangkan bukan? 3#Lalu kita harus bagaimana? Saya akan jawab satu-satu pertanyaan tsb.

#Mengapa bisa begitu?

Saya ingat suatu waktu, saya mendampingi seorang senior saya memberikan penyuluhan pengasuhan. Itu adalah acara pengabdian masyarakat yang saya buat, untuk ibu-ibu di kalangan menangah ke bawah di suatu desa. Setelah masing-masing ibu diminta mengungkapkan kesulitan pengasuhan yang intinya adalah ibu kesal karena anak melawan, senior saya berkata: “waktu bayi, anak kita melawan gak bu?” “engga…” jawab ibu-ibu itu. Kenapa sekarang melawan? “karena udah bisa ngomong” celetuk seorang ibu. “Nah, dulu anak ibu gak bisa ngomong. Sekarang bisa ngomong. Artinya apa bu? artinya anak kita berkembang”. “Ibu kasih makan gak anak ibu?” . “Iyaaaa” jawab ibu-ibu itu kompak. “Biar apa ibu kasih makan? “Biar tambah besar….” “Nah, itu…artinya, anak kita melawan karena ia tumbuh. Berkembang. Kalau ibu gak mau anak ibu tumbuh dan berkembang, ya udah… gak usah kasih makan aja…” para ibu itu hampir semua tertawa, sebagian mengangguk-angguk.

Yups…. saya sering sekali mendapatkan keluhan anak remaja yang “berubah” menjadi “melawan”. Biasanya, saya suka ajak orangtua untuk membayangkan perilaku apa yang diharapkan. Misalnya: kita ingin anak kita mengatakan “ya” pada semua yang kita katakan? Kita bilang: “hari ini kamu pake baju ini ya….”.Anak remaja kita bilang “ya”. “Hari ini kita ke undangan teman ibu ya, kamu harus ikut”. Anak kita bilang ya. .. hanya ya dan ya. Itu yang kita inginkan? ya? konsekuensinya, jika itu yang kita inginkan, kita ingin saat kita beratraksi telur tadi si remaja kita ikut berteputk tangan dan bilang kita hebat?

Saya sih tidak mau. Kalau kita mau jujur, perkembangan anak itu selalu amazing dalam setiap tahapnya. Teori menjelaskan bahwa anak “melawan” karena perkembangan kemampuan berpikirnya berkembang. Piaget bilang, setelah anak berusia 12 tahun, kemampuan berpikirnya sama dengan orang dewasa, di tahap formal operational. kalau baca buku tentang remaja, dikatakan bahwa remaja sudah bisa deductive reasoning & hypothetical thinking. Intinya adalah, dia sudah bisa berpikir seperti orang dewasa. Maka, ketika kita biscara pada remaja, kita seperti bicara dengan orang dewasa. Dia bisa melihat beberapa kemungkinan. Dia bisa memikirkan hal-hal yang abstrak, yang belum pernah ia lihat, dengar dan alami sebelumnya. Kalau kita bilang pada si remaja “bawa payung, nanti kamu kehujanan”. Trus si remaja bilang: “ih, males banget, aku pake jaket aja”. Berarti, dia sudah bisa membayangkan bahwa membawa payung itu konsekuensinya gimana.Lalu ia membandingkan antara membawa payung dengan memakai jaket. Lalu ia sampai pada kesimpulan  bahwa memakai jaket, benefitnya yaitu gak kehujanan dapet, tapi costnya lebih ringan dibanding harus bawa payung. Artinya, ia sudah bisa berpikir kompleks. Kita, tak menyadari karena proses berpikir itu berlangsung sedemikian cepatnya, sepersekian detik. Lalu kita bilang si remaja “melawan” karena “langsung nyahut”.

Maka, sekali lagi saya ingin sampaikan bahwa perkembangan manusia, dalam setiap tahapnya, itu selalu amazing. Coba kita coba amati si remaja kita. Cara dia bicara, cara dia merencanakan sesuatu, cara dia membuat keputusan, itu beda banget dibanding ketika dia anak.

Si sulung, saat ini sedang jatuh cinta. Saya beberapa kali menemukan lembaran kertas berisi ungkapan perasaannya, tercecer di meja belajar atau di kasurnya. Ya ampuuun…ia sudah bisa merasakan perasaan yang begitu kompleks. Beda banget sama si gadis kecil yang minggu lalu bilang: “bu, teteh suka sama ***. dia teh gak ganteng, tapi baik banget. Gak pernah berantem, gak pernah berisik di kelas”. Anak umur 7 tahun dan anak umur 13 trahun, sama-sama sedang “menyukai” seseorang tapi dengan proses dan penghayatan yang jauh sekali bedanya. Si  7 tahun sangat simpel, sangat konkrit, si 13 tahun sangat kompleks. Abstrak.

2#itu sangat tak menyenangkan bukan?

Ya, perkembangan anak, itu selalu amazing. Namun apakah kita rasa menyenangkan atau tidak, seringkali standarnya adalah kebutuhan kita. Kita ingin si kecil tampil menawan di undangan, kita beliin satu baju, si kecil mau, kita senang. Kita ingin si remaja tampil anggun di acara keluarga, kita minta dia pake baju tertentu, si remaja gak mau, kita kesal. Kita kesal karena ia tak mengikuti keinginan kita, tak memenuhi kebutuhan kita.

3#Lalu kita harus bagaimana?

Tapi gimana kalau untuk hal-hal yang baik? misalnya kita ingin dia belajar… kan itu untuk kebaikan dia, kebutuhan dia, bukan kebutuhan orangtua… nah…ayo kita hayati. Kalau kita keseeeel si remaja gak mau belajar, sedangkan kita pengen dia belajar, maka belajar itu, nilai baik itu, kebutuhan siapa hayo…kebutuhan kita atau kebutuhan anak?

Bahwa belajar itu baik dan harusnya jadi kebutuhan anak? Yes, absolutely. Jadi, apa yang salah? yang salah adalah, kita mengerahkan energi agar anak kita mau memenuhi kebutuhan kita, bukan mengerahkan energi agar belajar itu, prestasi itu menjadi kebutuhannya. Sama juga kita memfokuskan perhatian agar anak kita beresin kasurnya karena kita pengen kamarnya rapi, dan lupa untuk memfokuskan perhatian untuk membuatnya merasa perlu membereskan kasurnya dan menanamkan nilai mengapa kamar harsu terlihat rapi.

Menginternalisasikan nilai, membuat kebutuhan kita (yang baik) menjadi kebutuhan anak, itu memang tidak mudah. Butuh proses. Gak instan. Butuh dialog. Butuh kesediaan mendengarkan. Intinya butuh usaha. Tapi setelah kita berhasil…kita akan tenang melepas anak menghadapi dunianya. Ingat…kita tak akan pernah bisa selalu berada di samping anak dan memberithu apa yang boleh dan apa yang tidak boeleh dilakukannya.

Maka, beri kesempatan mereka untuk menganalisa. Membandingkan satu pilihan dengan pilihan lainnya. Membandingkan alternatif yang kita sampaikan dengan alternatif yang muncul dari hasil olah pikirnya sendiri. Biarkan ia memutuskan. Belajar memahami dan menjalani kosekuensi pilihannya. Saat remaja awal, konsekuensinya kan masih ringan. untuk kasus payung tadi, konsekuensi terberat adalah dia kehujanan, jadi flu…

ec982bdb8bb6cc84963fbedeb220faceTeknisnya dengan cara apa? dialog. Dialog yang kita lakukan dengan tulus. Tanpa prasangkan bahwa si remaja “sengaja bikin kita kesel”. Kalau kita bilang sesuatu dan dia bilang: “iya….udah tahu”…maka, percayailah bahwa ia memang sudah tahu. Lalu bisa kita lanjutkan: “kalau kamu udah tau kalau gak belajar nilainya bakal jelek, kenapa kamu gak belajar?” ….. (bukan pertanyaan menghakimi, tapi kita tulus bene pengen tau apa yang dipikirkan anak) “kenapa kamu gak mau renkingnya bagus?” …. teruuuuuus….selami cara berpikir anak. Kita tahu sesuatu, …sampaikan pada anak. “kalau kamu gak belajar, nanti kamu gak dapet SMA bagus. Kalau kamu gak dapet SMA bagus, nanti susah dapet jurusan yang kamu pengenin di Perguruan Tinggi. Padahal, ayah liat  teman-teman ayah, jurusan di Perguruan Tinggi itu sebagian besar menentukan profesi apa yang akan kita jalani” ……..”oh, jadi menurut kamu, gapapa kuliah di bidang apa tapi kerjanya di bidang apa? tapi kalau menurut ayah, kok sayang ya…kuliah kamu kalau ilmunya gak diamalkan. Menurut ayah, akan lebih baik kalau selama 4 tahun kuliah, kamu memang mendalami bidang yang kamu suka”……. teruuuus aja… kalau kita beneran pengen tau, lama-lama seneng kok ngobrol sama si remaja-remaja teh…Kadang banyak pengetahuan yang kita baru tahu dari mereka. Sudut pandang yang kita gak pernah pikirkan sebelumnya. Apalagi di zaman internet sekarang ini. Anak-anak kita bisa dapat informasi yang lebih banyak dibandingkan kita. Nah… ini bedanya remaja sama anak. Kalau pada anak, kita kayak “give”, mereka “take”. Tapi kalau dengan remaja, kit audah saling take and give. 

Dan efek samping dari proses dialog ini, super duper keren. Didengarkan. Sederhana ya. Tapi  gak mudah kan? Ya, karena ada proses mendalam ynag berujung pada kesediaan kita mendengarkan. Kepercayaan kita pada anak. Kita baru akan bisa mendengarkan kalau kita percaya pada anak. Dan “dipercayai” itu… dampaknya luar biasa banget buat si remaja. Ingat…remaja itu adalah proses ia menjadi “seseorang”. Dan dipercayai sehingga didengarkan, akan menumbuhkan perasaan saya adalah “seseorang”. Pikiran saya berharga, sehingga layak didengarkan. Perasaan saya berharga. Gagasan saya berharga. Pengetahuan saya berharga. Keinginan saya berharga. SAYA BERHARGA.

Maka, kalau hari-hari ini kita merasa kesal dengan anak remaja kita, itu wajar. Sangat wajar. Saat keinginan kita tak terpenuhi, itu namanya kita frustrasi. Tapi trus gimana? Coba buang dulu kekesalan kita, lalu nikmati interaksi dengan mereka: tatap lekat wajahnya, dengarkan setiap rangkaian kata yang ia ucapkan, perhatikan gesturnya, sama seperti kita menikmati si kecil 1 tahun yang sedang tertatih-tatih belajar berjalan. Jatuh, bangun …jatuh bangun… tapi kita tetap antusias, memberikan semangat, memeluk kala jatuh.

__anak, dalam setiap tahap perkembangannya, selalu amazing. Yang membuatnya menjadi tidak amazing adalah, karena ia tak memenuhi keinginan kita__

sumber gambar: https://id.pinterest.com/explore/parenting-humor-teenagers/

Berapa Usia Percikan Kebaikan? In Memoriam Ibu Koestini

Beberapa hari yang lalu mendapat kabar duka wafatnya seorang dosen. Beliau sudah cukup lama pensiun. Tapi tak ada istilah “mantan dosen” bukan? Namanya Ibu Kestini D. Soedarsono, dari Departemen Psikologi Industri dan Organisasi. Memang beliau tidak termasuk dosen yang “populer”. Gaya beliau yang  formal baik dalam berpakaian maupun dalam membawakan diri membuat kami “segan” pada beliau.

Saya ingat, bertemu beliau di kelas saat kuliah manajemen. Bukunya karya  Schermerhorn. Saya inget banget da …. warnanya biru muda soft copy dengan tulisan perak. Itu buku fotokopian saya maksudnya hehe. Saya juga sangat ingat beliau menyampaikan bahwa ilmu manajemen pertama kali digunakan oleh Nabi Musa. Hmmm….itu berapa tahun lalu ya? 19 tahun lalu. Tapi bukan itu kenangan yang selalu saya ingat dengan beliau.

2002. Saat itu saya adalah mahasiswa semester pertama program profesi psikolog. Saya adalah angkatan terakhir sebelum berganti jadi magister profesi dengan majoring-majoringnya. Zaman profesi, kami menjalani seluruh majoring. Satu semester mendalami klinis dewasa; setiap hari ke Rumah Sakit Jiwa, mengerjakan sejumlah kasus. Satu semester di industri, magang di perusahaan sambil mengambil kasus individu dan kasus organisasi. Semester selanjutnya di sosial, observasi partisipasi di komunitas tertentu, lalu buat intervensi. Lalu pendidikan, klinis anak. Pengalaman yang tak dialami oleh angkatan selanjutnya yang menjalani program magister profesi, yang langsung mendalami salah satu majoring.

Tapi  kesamaan antara kami yang mengambil program profesi dan yang mengambil magister profesi adalah….di semester pertama, ada yang namanya kuliah kasuistik. Meskipun di atas kertas “hanya” 3 sks, namun mata kuliah ini mengambil seluruh jiwa dan raga kami haha…. Lulusan Psikopad, rasanya tak ada yang tak punya story  dengan mata kuliah ini. Jadi ceritanya, kami harus mengerjakan kasus pemeriksaan psikologi individu. Menggunakan segenap kemampuan asesmen yang telah kami pelajari secara teori. Observasi, interviu, anamnesa, pemeriksaan tertulis-projektif dan objektif. Kami diberi kesempatan bimbingan 2 kasus, dan kasus ketiga adalah kasus ujian. Satu hari bertemu subjek, satu hari buat laporan kepribadian. Lalu kemudian ujian lisan.

Nah, jaman saya, bimbingan itu sering dilakukan di rumah dosen dan jam-nya…. tak terhingga. Biasanya dari pagi sampai sore bahkan malam. Nah, salah satu kasus kasusitika saya, pembimbingnya adalah Ibu Koestini. Begitu saya mendapat informasi  bahwa beliau menjadi dosen pembimbing saya…. langsung super duper cemas. Beliau dikenal sangat detil dan sebagai dosen senior, biasanya kemampuan dignostiknya sudah “di atas awan”, dan … satu lagi yang saya cemaskan…di rumahnya banyak kucing. Sedangkan saya takut kucing.

Bismillahirrohmanirrohiim….setiap hari saya bimbingan di rumah beliau Jl Banda No. 4. Rumah tua kayak zaman Belanda. Alhamdulillah selama saya bimbingan kucing beliau tak mengganggu. Dan..beliau pun jauh dari kesan “seram” yang saya bayangkan. Ternyata beliau keibuan sekali. Saya inget, hari itu Kamis pagi tgl 13 Juni 2002. Saya bimbingan kasuistik. Bla…bla..bla… Tiba-tiba beliau berhenti: “Fitri, kamu katanya mau manten. Sabtu ini bukannya ya?” … yups, saya memang menikah di tengah-tengah kasuistik. Jadi inget salah seorang mahasiswa teman saya pernah bilang gini: “Bu, saya stress ngerjain tesis. Saya mau nikah dulu aja”. Naaah…di alam bawah sadar, mungkin saya juga begitu hehe… Setelah saya jawab iya, beliau langsung menutup berkas-berkas saya: “Udah, sana kamu pulang…manten dulu ….” Lalu beliau pun “mencereweti saya” untuk melupakan segalanya dan menikmati momen pernikahan saya.

Seminggu kemudian, saya kembali ke rumah beliau untuk melanjutkan bimbingan.  Pembantu ibu mempersilahkan saya masuk, ibu sedang berganti baju. Saya pandang pintu tempat ibu akan keluar, di atasnya ada jam. 12.05.

……..

ups…saya tertidur. 5 menit kayaknya. Ibu belum muncul. Saya lihat jam … 13.10. Apah???? saya kucek-kucek mata saya. bener. 13.10. Jadiiiii… saya tidur bukan 5 menit. Tapi satu jam 5 menit. Oh My God…bagaimana ini? pasti ibu marah…. saya gak sopan banget …aduh, gimana ini? haduuuuh….saya harus minta maaf dengan cara apa?

saat saya sedang resah begitu, ibu datang. “Eh, udah bangun? Sejam lalu saya keluar, kamu nyenyaaaak banget tidurnya. Saya gak tega bangunin. Ini, kamu minum dulu”. Perasaan saya saat itu…campur aduk banget . Malu, terharu, bersyukur, … rasanya pengen peluk ibu… tapi gak berani hehe

Adegan itu, selalu muncul dengan jelas setiap kali saya bertemu beliau saat sudah menjadi kolega di kampus. Dan saya mengenang itu sebagai percikan kebaikan ibu. Saat mendengar kabar wafatnya beliau, adegan itu kembali hadir dengan sangat nyata. Berapa tahun yang lalu ya itu ? 14 tahun lalu. 14 tahun usia percikan kebaikan itu. Dan saya, masih bisa merasakannya. Mungkin tak akan pupus sampai ajal saya jelang.

ibu-koestiniDi hari beliau wafat, saya membaca beberapa tulisan teman saya mengenai beliau. Kenangan pada kebaikan beliau. Saya membayangkan, bahwa percikan-percikan kebaikan itu, akan abadi. Mungkin itu yang disebut bahwa usia amal sholeh itu bisa lebih panjang dari usia kita.

Dan kemudian saya membayangkan… apa yang akan orang kenang dari saya saat mereka mendengar kabar wafatnya saya kelak? Apakah saya sudah memercikkan kebaikan pada orang-orang ayng berinteraksi dengan saya?

Hhhhmmm..Ibu Koestini, meskipun interaksi kita singkat, saya mendengar banyak kebaikan beliau. Dan saya pun pernah merasakan percikan kebaikannya. Percikan yang membuat saya nanti akan bersaksi di hadapanNya, di hari pertanggungjawaban kelak.

Allahummagfirlaha warhamha waafii wa’funaha. Semoga ibu dilapangkan dalam kubur, diterangi oleh amal sholeh ibu dan dipeluk oleh Rahman-RahimNya. Aamiiin

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/my2morrow2day/water-art

 

 

 

Mendampingi anak belajar = Mengajarkan nilai-nilai kehidupan

Kalau di dunia maya minggu ini  masih riuh membahas tentang aksi lalu membahas roti; di dunia nyata, minggu ini anak-anak kita sedang UAS. Beberapa teman saya, me-rearrange kegiatannya karena adanya hal ini. “gue harus nemenin anak gue belajar uy” begitu kata mereka. Saya termasuk emak yang memasukkan agenda “menemani anak belajar” dalam kegiatan saya. Oleh karena itu, seminggu ini saya juga me-rearrange semua kegiatan saya. Sejujurnya, saya senang sekali menemani persiapan ujian anak-anak saya. Mengumpulkan bahan-bahan ujian baik buku, berkas ulangan atau handout, menyisir pelajarannya satu demi satu sesuai dengan kisi-kisi, lalu ketika si gadis kecil atau si bujang kecil sudah “menguasai” poin itu, dengan bahagia mereka “mencontreng” poin kisi-kisi itu. Setelahnya, saya akan mengecek alat tulis mereka, menyerut pensil-pensil yang tumpul, lalu paginya akan berpesan berulang-ulang sambil mencium kepala mereka:  “jangan lupa baca doa dulu, kalau udah selesai cek lagi dua kali. Yang penting berusaha maksimal”. Semua ritual itu adalah apa yang mama saya lakukan pada saya waktu jaman SD dulu. Haha…makanya engga tau siapa yang lebih semangat sebenarnya, anaknya atau emaknya.

Sebenarnya saya sudah pernah menulis mengenai prinsip pendampingan belajar anak di buku Bukan Emak Biasa. Oh ya…buat yang masih tertarik, masih ada ready stock loh (kesempatan dalam kesempitan haha….)

Saya selalu menganggap mendampingi anak belajar, terutama di momen ujian sebagai hal yang penting. Bukan. Bukan soal nilai. Tapi jauh lebih dari itu, Saya selalu memposisikan “pelajaran” sebagai representasi dari persoalan kehidupan. Oleh karena itu, pelajaran di sekolah menjadi media untuk melatih sikap mental anak. Ada banyak nilai kehidupan yang bisa kita ajarkan melalui momen mendampingi anak belajar. Bukan semata-mata untuk menguasai materinya.

Materi pelajaran yang mudah? jangan menggampangkan. Kalau kita “sombong” karena menganggap gampang, biasanya jadi kurang teliti. Ada materi yang susah? kita bisa lihat sikap mental anak kita. Mudah menyerah? gak pede? apatis? kita bisa ajak anak untuk hayu kita pelajari bareng…apa yang susah, susahnya kenapa. Apa yang bisa dilakukan. Melalui proses ini, kita sudah mengajarkan anak bahwa : (1) setiap masalah punya solusi (2) kita ajarkan keterampilan menganalisa masalah (3) kalau ada masalah, kamu bisa minta tolong orang lain. I’m here with you.

Nah, sampai sini pause dulu. Pada umumnya, waktu mendampingi belajar, kita jadinya “ngetes”. Ayo belajar dulu, nanti mama tes. Langkah pertama, itu oke. Namun ketika anak salah atau belum bisa, sikap kita akan menentukan nilai apa yang tertanam pada anak. Kalau kita marahi, kita omeli, haqqul yaqin anak pasti “menghindar” belajar sama kita. Dengan beragam alasan dan caranya. Ada yang nangis, ada yang marah… Kenapa? siapa yang mau coba… udah susah, malah ditambah susah dengan dimarahi atau diomeli.No solution.  Tapi kalau kita cek kenapa dia gak bisa…. males baca kah? salah ngerti kah? belum kuat dasarnya kah? kurang teliti kah? bisa beda-beda alasannya; lalu kita umpan balikkan ke mereka, itu kesempatan langka. Kan gak bisa kita ujug-ujug “nasihatin” anak untuk tidak mudah menyerah kalau gak ada konteksnya.

Sampai kapan mendampingi anak belajar? Menurut saya, karena pelajaran kehidupan itu sepanjang masa, mendampingi anak menyelesaikan masalah pelajaran sebagai salah satu representasi masalah kehidupan, bisa sepanjang masa. Gak membuat anak tergantung gitu? Kalau kita mendampingi dan memberi umpan balik pada sikap anak kita secara intensif saat SD, biasanya saat SMP anak sudah “lepas landas”. Sudah punya tanggung jawab. Itu biasanya buah dari proses panjang selama 6 tahun mendampingi.

“Ah, males saya kalau nemenin anak belajar. Suka jadi emosi”. Yups, saya pun merasakannya. Lalu, kita hindari aktifitas mendampingi belajar anak? itu mah sama atuh sikap mentalnya dengan anak kita. Mengajar anak = mengajar diri sendiri. Mendidik anak = mendidik diri sendiri. Kalau kita mau mengajarkan anak untuk mengelola emosinya, kita amalkan itu pada diri sendiri. Kalau kita mau mengajarkan anak bahwa kalau ia punya kesulitan ia bisa minta tolong, kita bisa mengamalkan pelajaran itu untuk diri kita sendiri.

Saya mengalaminya. Si sulung kelas 8, seperti pada umumnya anak2 lain, sulit memahami matematika. Untuk mata pelajaran lain, dia semangat dan mandiri banget. Tapi heuseus matematika, ketika sulit, kecenderungannya adalah menghindar. Gak mau latihan. Padahal logika pikir matematika akan terasah kalau sering dilatih. Saya udah wanti-wanti kalau dia harus kasih tau saya seminggu sebelum ujian matematika, biar saya bisa dampingi dia nyicil. Biar latihannya makin banyak. Saya udah sering ingetin dan tanya, eh… lalu kamis sore minggu lalu, dia telpon saya. Bu, kaka ujian matematikanya besok. Tapi udah belajar kok. Dikasih latihan soal sama guru. Katanya. Saya cek, salah semua. Saya keseeeeel banget. Kesel plus plus karena wanti-wanti saya untuk ngasih tau saya jauh-jauh hari tidak ia lakukan. Kalau saya terus dampingi dia, bisa saya yang meledak nih. Emak-emak kan punya kecenderungan melampiaskan kekesalannya pada anak. Maka, saya delegasikan dampingi belajarnya sama si abah. Saya meledaknya sama si abah aja haha…

Saya menenangkan diri dengan mandi, lalu relaksasi. Terdengar gelak tawa si sulung sama si abah. Biasa…..emak-emak kan suka kesel ya… para pak suami biasanya lebih rileks karena gak masuk ke lingkaran keseharian sama anak . Beda sama emak-emak. Trus nasehatin kita supaya lebih sabar….Tapi daripada kesel, kita manfaatkan sajah.

Setelah beberapa jam, kesel saya mereda, baru saya bicara sama si sulung. “Kaka, tadi ibu kesel banget. Ibu kan udah bilang kita ciciil matematikanya. Ibu lihat Kaka tuh bisa, tapi males latihan. Emang Kaka merasa susah ya?”

bla…bla..si sulung menumpahkan kekesalannya. Guru yang terlalu cepat ngajarnya…PR yang banyak…latihan yang susah…

Iya, ibu ngerti. Tapi bukan begitu cara menyelesaikan masalah. Menghindari masalah hanya akan memperbesar masalah. Inget gak kakak waktu Kaka gak ngerti materi persamaan linear dua variabel? dua bulan lalu? kita belajar seminggu, sampai belajar jam 3 pagi… sampai kaka nangis-nangis. Tapi ibu inget banget waktu itu Kaka pulang sekolah lompat-lompat seneng karena nilainya bagus. Belum pernah ibu liat Kaka seseneng itu.

Coba Kaka inget-inget lagi perasaan Kaka waktu Kaka bisa persamaan linear dua variabel itu gimana rasanya?  Si Kaka menjawab: bla…bla..bla..

“Iya, Merasa bisa dengan kerja keras itu penting banget. Karena bikin kita percaya sama diri kita. Kadang kita menyerah karena kita merasa sendiri. Nah, itu sebabnya ibu nemenin Kaka.” 

13_tree-hearts-handsYups…orangtua dan guru adalah sama-sama pendidik anak. Tapi kelebihan orangtua adalah, kita  punya momen -momen kehidupan sehari-hari yang tak dimiliki guru. Momen-momen kehidupan sehari-hari itu, adalah media jitu untuk mengajarkan tentang nilai kehidupan. Kapan dan dari siapa lagi anak dan juga kita sendiri  belajar nilai kehidupan ?

sumber gambar : http://crosslight.org.au/2013/06/01/learning-for-life-2/