Kalau di dunia maya minggu ini masih riuh membahas tentang aksi lalu membahas roti; di dunia nyata, minggu ini anak-anak kita sedang UAS. Beberapa teman saya, me-rearrange kegiatannya karena adanya hal ini. “gue harus nemenin anak gue belajar uy” begitu kata mereka. Saya termasuk emak yang memasukkan agenda “menemani anak belajar” dalam kegiatan saya. Oleh karena itu, seminggu ini saya juga me-rearrange semua kegiatan saya. Sejujurnya, saya senang sekali menemani persiapan ujian anak-anak saya. Mengumpulkan bahan-bahan ujian baik buku, berkas ulangan atau handout, menyisir pelajarannya satu demi satu sesuai dengan kisi-kisi, lalu ketika si gadis kecil atau si bujang kecil sudah “menguasai” poin itu, dengan bahagia mereka “mencontreng” poin kisi-kisi itu. Setelahnya, saya akan mengecek alat tulis mereka, menyerut pensil-pensil yang tumpul, lalu paginya akan berpesan berulang-ulang sambil mencium kepala mereka: “jangan lupa baca doa dulu, kalau udah selesai cek lagi dua kali. Yang penting berusaha maksimal”. Semua ritual itu adalah apa yang mama saya lakukan pada saya waktu jaman SD dulu. Haha…makanya engga tau siapa yang lebih semangat sebenarnya, anaknya atau emaknya.
Sebenarnya saya sudah pernah menulis mengenai prinsip pendampingan belajar anak di buku Bukan Emak Biasa. Oh ya…buat yang masih tertarik, masih ada ready stock loh (kesempatan dalam kesempitan haha….)
Saya selalu menganggap mendampingi anak belajar, terutama di momen ujian sebagai hal yang penting. Bukan. Bukan soal nilai. Tapi jauh lebih dari itu, Saya selalu memposisikan “pelajaran” sebagai representasi dari persoalan kehidupan. Oleh karena itu, pelajaran di sekolah menjadi media untuk melatih sikap mental anak. Ada banyak nilai kehidupan yang bisa kita ajarkan melalui momen mendampingi anak belajar. Bukan semata-mata untuk menguasai materinya.
Materi pelajaran yang mudah? jangan menggampangkan. Kalau kita “sombong” karena menganggap gampang, biasanya jadi kurang teliti. Ada materi yang susah? kita bisa lihat sikap mental anak kita. Mudah menyerah? gak pede? apatis? kita bisa ajak anak untuk hayu kita pelajari bareng…apa yang susah, susahnya kenapa. Apa yang bisa dilakukan. Melalui proses ini, kita sudah mengajarkan anak bahwa : (1) setiap masalah punya solusi (2) kita ajarkan keterampilan menganalisa masalah (3) kalau ada masalah, kamu bisa minta tolong orang lain. I’m here with you.
Nah, sampai sini pause dulu. Pada umumnya, waktu mendampingi belajar, kita jadinya “ngetes”. Ayo belajar dulu, nanti mama tes. Langkah pertama, itu oke. Namun ketika anak salah atau belum bisa, sikap kita akan menentukan nilai apa yang tertanam pada anak. Kalau kita marahi, kita omeli, haqqul yaqin anak pasti “menghindar” belajar sama kita. Dengan beragam alasan dan caranya. Ada yang nangis, ada yang marah… Kenapa? siapa yang mau coba… udah susah, malah ditambah susah dengan dimarahi atau diomeli.No solution. Tapi kalau kita cek kenapa dia gak bisa…. males baca kah? salah ngerti kah? belum kuat dasarnya kah? kurang teliti kah? bisa beda-beda alasannya; lalu kita umpan balikkan ke mereka, itu kesempatan langka. Kan gak bisa kita ujug-ujug “nasihatin” anak untuk tidak mudah menyerah kalau gak ada konteksnya.
Sampai kapan mendampingi anak belajar? Menurut saya, karena pelajaran kehidupan itu sepanjang masa, mendampingi anak menyelesaikan masalah pelajaran sebagai salah satu representasi masalah kehidupan, bisa sepanjang masa. Gak membuat anak tergantung gitu? Kalau kita mendampingi dan memberi umpan balik pada sikap anak kita secara intensif saat SD, biasanya saat SMP anak sudah “lepas landas”. Sudah punya tanggung jawab. Itu biasanya buah dari proses panjang selama 6 tahun mendampingi.
“Ah, males saya kalau nemenin anak belajar. Suka jadi emosi”. Yups, saya pun merasakannya. Lalu, kita hindari aktifitas mendampingi belajar anak? itu mah sama atuh sikap mentalnya dengan anak kita. Mengajar anak = mengajar diri sendiri. Mendidik anak = mendidik diri sendiri. Kalau kita mau mengajarkan anak untuk mengelola emosinya, kita amalkan itu pada diri sendiri. Kalau kita mau mengajarkan anak bahwa kalau ia punya kesulitan ia bisa minta tolong, kita bisa mengamalkan pelajaran itu untuk diri kita sendiri.
Saya mengalaminya. Si sulung kelas 8, seperti pada umumnya anak2 lain, sulit memahami matematika. Untuk mata pelajaran lain, dia semangat dan mandiri banget. Tapi heuseus matematika, ketika sulit, kecenderungannya adalah menghindar. Gak mau latihan. Padahal logika pikir matematika akan terasah kalau sering dilatih. Saya udah wanti-wanti kalau dia harus kasih tau saya seminggu sebelum ujian matematika, biar saya bisa dampingi dia nyicil. Biar latihannya makin banyak. Saya udah sering ingetin dan tanya, eh… lalu kamis sore minggu lalu, dia telpon saya. Bu, kaka ujian matematikanya besok. Tapi udah belajar kok. Dikasih latihan soal sama guru. Katanya. Saya cek, salah semua. Saya keseeeeel banget. Kesel plus plus karena wanti-wanti saya untuk ngasih tau saya jauh-jauh hari tidak ia lakukan. Kalau saya terus dampingi dia, bisa saya yang meledak nih. Emak-emak kan punya kecenderungan melampiaskan kekesalannya pada anak. Maka, saya delegasikan dampingi belajarnya sama si abah. Saya meledaknya sama si abah aja haha…
Saya menenangkan diri dengan mandi, lalu relaksasi. Terdengar gelak tawa si sulung sama si abah. Biasa…..emak-emak kan suka kesel ya… para pak suami biasanya lebih rileks karena gak masuk ke lingkaran keseharian sama anak . Beda sama emak-emak. Trus nasehatin kita supaya lebih sabar….Tapi daripada kesel, kita manfaatkan sajah.
Setelah beberapa jam, kesel saya mereda, baru saya bicara sama si sulung. “Kaka, tadi ibu kesel banget. Ibu kan udah bilang kita ciciil matematikanya. Ibu lihat Kaka tuh bisa, tapi males latihan. Emang Kaka merasa susah ya?”
bla…bla..si sulung menumpahkan kekesalannya. Guru yang terlalu cepat ngajarnya…PR yang banyak…latihan yang susah…
Iya, ibu ngerti. Tapi bukan begitu cara menyelesaikan masalah. Menghindari masalah hanya akan memperbesar masalah. Inget gak kakak waktu Kaka gak ngerti materi persamaan linear dua variabel? dua bulan lalu? kita belajar seminggu, sampai belajar jam 3 pagi… sampai kaka nangis-nangis. Tapi ibu inget banget waktu itu Kaka pulang sekolah lompat-lompat seneng karena nilainya bagus. Belum pernah ibu liat Kaka seseneng itu.
Coba Kaka inget-inget lagi perasaan Kaka waktu Kaka bisa persamaan linear dua variabel itu gimana rasanya? Si Kaka menjawab: bla…bla..bla..
“Iya, Merasa bisa dengan kerja keras itu penting banget. Karena bikin kita percaya sama diri kita. Kadang kita menyerah karena kita merasa sendiri. Nah, itu sebabnya ibu nemenin Kaka.”
Yups…orangtua dan guru adalah sama-sama pendidik anak. Tapi kelebihan orangtua adalah, kita punya momen -momen kehidupan sehari-hari yang tak dimiliki guru. Momen-momen kehidupan sehari-hari itu, adalah media jitu untuk mengajarkan tentang nilai kehidupan. Kapan dan dari siapa lagi anak dan juga kita sendiri belajar nilai kehidupan ?
sumber gambar : http://crosslight.org.au/2013/06/01/learning-for-life-2/
Recent Comments