Air Mata Ibu di Hari Ibu; catatan tentang “self” ibu

Catatan: butuh satu tahun untuk menyelesaikan tulisan ini. Dimulai tgl 22 Desember 2016, Selesai tgl 2 Januari 2017 😉

22 Desember (2016) adalah Hari Ibu.

Bagi kami sejumlah Ibu yang memutuskan untuk kembali ke bangku sekolah, Hari ini adalah Hari kedua ujian kualifikasi. Apakah ujian kualifikasi itu? Secara filosofis, ujian kualifikasi ditujukan untuk menguji apakah kami qualified (memenuhi syarat) untuk menempuh tuntutan akademik di jenjang Doktoral. Dan karena program Doktor di tempat kami menuntut ilmu menganut falsafah PhD atau doktor philosophy, maka kami tidak hanya diharapkan mampu melakukan penelitian yang excellent, namun juga ditempa unntuk memiliki pola pikir seperti para filsuf yang selalu mempertanyakan secara kritis akar dari segala sesuatu, mulai dari “realitas” yang akan kami teliti. Bagaimana kami memandang “manusia”, juga akan berdampak pada hakikat metodologi yang kami gunakan.  Jika kami “lulus” ujian ini, maka kami berhak menyandang gelar “kandidat doktor”.

Satu semester berlalu, memang sangat terasa tempaan yang kami terima. Untuk bisa memetakan dimana “posisi kami” dalam penelitian di topik serupa dalam jagad raya ilmu pengetahuan, maka kami harus “melahap” puluhan jurnal, mengkritisi, analisa-sintesa… Tapi jujur saja, yang kami rasa paling berat adalah saat kami dituntut untuk berpikir “radikal”, “fundamental”, “mengakar” terhadap segala sesuatu. Padahal, karena sebagian besar kami adalah dosen, dalam ujian atau membimbing mahasiswa, rasanya kami sudah mengajak mahasiswa untuk berpikir sangat mengakar. Misalnya saat mahasiswa meneliti relasi antara ibu dan anak. Kami akan mengajak mahasiswa untuk bisa memahami betul; “apa sih hakikatnya relasi itu? apa sih pentingnya relasi anak dan ibu? kenapa ibu harus menjalin relasi dengan anak? mengapa bentuk relasinya harus memenuhi persyaratan tertentu? ” Nah ternyata, kemampuan kami berpikir “mendasar” itu tak ada apa-apanya di jenjang ini.

Kami ditempa untuk berpikir jauuuuuuuh lebih mendasar lagi. Apa sih ilmu itu? buat apa ada ilmu? Psikologi itu ilmu atau bukan? Manusia itu apa sih? Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya? human nature manusia? emang kenapa sih manusia harus menjalin relasi? gak bisa gitu dia hidup sendiri? bener gak bisa? apa yang bikin gak bisa? Pfuih….meskipun dosen filsafat kami super duper keyyen dalam menyajikan berbagai fakta dan fenomena menarik dan kekinian untuk menggiring kami agar bisa berpikir filosofis, tetep aja kami tertatih-tatih untuk bisa merunut variabel-variabel keren dan kompleks kami ke pemikiran dasarnya, ke filosofinya, ke hakikatnya.

Tapi, buah dari tempaan itu sudah terasa. “Efek samping” dari 2 proses itu amat terasa.

(1) Saya jadi merasa bahwa kemampuan berpikir kami terbataaaaas banget. Saya sampe berhari-haribahkan berminggu-minggu memikirkan gimana ya cara mensintesa semua hasil bacaan saya, menuangkannya menjadi kalimat yang runtut satu sama lain. Udah pake segala cara; mind map, pake sticky notes, pake kertas super besar…. tapi masih sering kebingungan gimana caranya merangkum semua fakta dan data itu.

(2) Saya jadi merasa; ilmu yang kami ketahui itu sedikiiiiiiiiiiit banget. Gagasan “besar” dan “keren” yang kami pikirkan selama ini, ternyata sudah digagas orang lain belasan tahun lalu, misalnya. Kalaupun kami berkonstribusi terhadap imlmu pengetahuan, maka kontribuisnya bagai setitik debu di antara gunungan ilmu di topik penelitian ini.

(3) Saya jadi semakin terpesona sama kesungguhan para ilmuwan dalam mencari “kebenaran”. Upaya yang mereka lakukan, kerumitan metodologinya, mereka adalah para “mujahid” di bidang mereka masing-masing.

Tapi saya tahu, “efek samping” yang kami rasakan, sesungguhnya adalah bagian dari proses pendidikan di jenjang ini. Saya ingat kalimat salah seorang dosen saya, yang menurut saya sangat “mempesona”. “Ini adalah jenjang pendidikan akademik terakhir bagi kalian. Di jenjang ini, kalian akan belajar tentang kehidupan. Maka, sejatinya, seorang doktor adalah seorang yang secara keilmuan ia adalah ahli di bidangnya, namun secara kepribadian ia adalah seorang yang rendah hati dan bijak”. Ah, semoga saya bisa menyelesaikan jenjang pendidikan ini dengan juga memiliki kualitas-kualitas itu.

Dengan gambaran di atas, maka 3 hari ujian kualifikasi tgl 21,22 dan 23, bukanlah ujian “biasa” buat kami (gambarannya ternyata panjang ya… sambil curcol soalnya haha…..). Hari pertama, jam 09.00-16.00 kami harus menjawab 3 pertanyaan filsafat mengenai topik penelitian masing-masing. Waktu maghrib saya sampai rumah dengan wajah kuyu, si gadis kecil bertanya pada saya: ” ibu, emang ujiannya berapa soal sih?”. “Tiga”. jawab saya. “Hah? tiga soal? trus ibu ngerjain dari pagi sampai sore? Teteh kemaren pas UAS 30 soal, waktunya satu jam  teteh bisa. Kayaknay ibu kurang rajin belajar deh”… haha…lumayan jadi refreshing  kata-kata anak-anak teh.

Tgl 22, hari kedua, adalah hari terberat buat kami. Kami harus bisa menjawab 8 pertanyaan. 4 pertanyaan mengenai penguasaan teori dan 4 pertanyaan mengenai penguasaan metodologi terkait dengan penelitian yang akan kami lakukan. Kasat matanya sih 8 soal. Tapi “the facto”, dalam satu butir soal bisa terkandung 2, 3, 4, 5 dst butir soal.

Teknis ujian adalah, kami dibagi dalam ruangan-ruangan. Open book tentu saja. Kami pun bebas membawa dan atau mencari beragam sumber dari internet. Saya sendiri membawa sekoper penuh print out jurnal haha…. Rajin? bukan. Jadul. Karena saya lebih seneng stabilo-in dan corat-coret di hardfile ketimbang di softfile seperti teman-teman saya yang lain yang ratusan jurnalnya tersimpan di tablet atau laptop.

Saya satu ruangan dengan 2 teman. Salah satunya, adalah seorang ibu yang baru saja 2,5 bulan lalu melahirkan. Setelah dibagikan soal, lalu kami pun “menyisir” mana soal yang “gampang”, mana yang susah bahkan blank jawabannya. Masing-masing mendapatkan soal yang berbeda dari promotor masing-masing, sesuai dengan naskah makalah yang kami masukkan seminggu sebelumnya.  Tapi kami bisa berdiskusi memberi masukan dan gagasan. Dan kami bertiga sepakat, soal yang diterima oleh teman kami, si busui (ibu menyusui) itu memang susah. Terlebih lagi, selama melahirkan kemarin ia agak tertinggal bimbingan. Setelah diskusi sebentar, kami pun segera memfokuskan diri pada laptop kami. Pengalaman hari pertama, jam 9-12 tuh berlalu dengan sangat cepat.

Jam 09.30, telpon saya berbunyi. Saya angkat, terdengar isak tangis di ujung telpon. Si gadis kecil. “tadi teteh denger ibu bilang ke abah ibu akan pulang malem…teteh gak mau ibu pulang malem….” kataya diantara isaknya. “belum pasti ibu pulang malem teteh…memang hari ini ibu ujiannya soalnya banyak, mungkin ibu belum selesai sore. Tapi ibu akan usahakan maksimal jam 5 selesai” jawab saya sambil menatap nanar soal-soal yang jawabannya, akan puluhan lembar. Saya sendiri tidak yakin apakah akan selesai sore atau harus extend sampai malem. bla..bla..bla..bla… 15 menit telponan, si gadis kecil sudah berhenti nangisnya. Tutup telpon, kerjain lagi.

15 menit kemudian, masuk video call. Kali ini si bungsu, yang 4 hari lalu baru operasi hernia dan sunat, dan masih belum pulih sepenuhnya. “Ibu, dede mau pipis. Tapi masih takut. Mau sama ibu pipisnya….” Bla..bla..bla… 10 menit. Berhasil membuatnya mengangguk untuk pipis sama kakaknya, si sulung. Tak lupa diakhiri pesan: “kalau mau telpon lagi, jam 12 ya… biar ibu cepet selesai kerjainnya, jadi cepet pulang…”

15 menit kemudian, jadwal teman saya si busui memerah ASI. Setelah kami bantu persiapannya (mengunci ruangan, menyiapkan kursi), teman saya pun mulai memerah. “Hiks…liat…ASInya dikit banget…..” katanya sambil berkaca-kaca. Kami berdua menenangkan lalu menyemangatinya. Ia terus berusaha memeras, dengan genangan di air matanya. “Kayaknya aku stress deh. jadi dikit banget ASInya” katanya. Setelah ASInya tak keluar lagi, ia kembali meneruskan pekerjaannya. Saya salut banget sama teman saya ini. Dia sedih, tapi tak lebay. Air mata masih menggenang, tapi ia kembali tekun mengerjakan. “Aku gak boleh kepecah konsesntrasi. Biar cepet selesai, cepet pulang ketemu si dede” katanya. 30 menit kemudian, ia menerima telpon. Dari nada suaranya, tampaknya dari anaknya. Anak pertamanya seusia si bungsu, TK A. Lalu ia menerima telpon tsb di luar ruangan. Masuk ke ruangan, air mata yang tadi menggenang mengalir …. lalu ia cerita. Hari ini, adalah pembagian raport anaknya. Dan ia gak bisa ambilkan juga. Katanya anaknya bilang teman-temannya diambilkan raport sama ibunya. Itu yang membuat air matanya mengalir. “Sedih banget aku. ASI gak keluar, anakku sedih, aku disini susah banget ngerjain…ngapain sih aku teh….” gitu kurang lebih yang ia katakan di sela isaknya. Kami berdua memeluknya. Lima menit, ia menghapus air matanya. Lalu kami kembali mengerjakan. Posisi duduknya, meskipun agak jauh, namun berhadapan dengan saya. Saya bisa melihat bahwa ia tekun mengerjakan, tapi kadang air mata menggenang, kadang mengalir, tapi tak membuatnya mengalihkan perhatian dari laptopnya. Tanpa sadar, air mata saya juga ikut menggenang. Saya pernah merasakan perasaan itu. Saya sekuat tenaga menahan agar air mata saya tak samapi mengalir.

Hari itu hari ibu. Pagi tadi sampai siang itu, beragam lagu, doa, kata-kata indah tentang kasih sayang ibu, terus mengalir di medsos. Dan di ruangan itu, saya menyaksikan betul adegan nyata yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu. Perjuangan seorang ibu. Ibu-ibu macam teman yang ada di hadapan saya itu, yang “tega” meninggalkan anaknya yang masih bayi, bagi sebagian orang dianggap sebagai ibu yang “kurang mulia”. Sampai saya pulang, saya masih teringat kata-kata terakhir yang ia ucapkan…. “…..ngapain sih aku teh?”

Pertanyaan itu, merupakan pertanyaan yang amat fundamental. Saat hati nurani bertanya seperti itu, saya pribadi dan juga saya menyampaikan pada teman-teman yang bercerita pada saya, memilih untuk “menjawab pertanyaan itu dengan jujur”. Kalau kita mau jujur, pertanyaan itu sesungguhnya adalah awal dari pertanyaan yang sangat panjang. Dan ujung jawaban dari pertanyaan panjang itu, akan memantapkan diri kita, keputusan apapun yang kita pilih nantinya.

Akan ada banyak skenario dari rangkaian pertanyaan-jawaban itu:

“Ngapain sih aku teh?”/”Bantu suami mencari nafkah”/”Kenapa harus bantu dia cari nafkah?”/”Karena kapasitas suami kurang memadai, jadi kesempatan yang ia dapat minimal, penghasilan pun minim. Tidak cukup. Suami jadi merasa tidak memenuhi kewajibannya. Saya, punya kapasitas lebih besar dari suami. Pekerjaan saya halal, tidak melalaikan kewajiban domestik, dan membuat kebutuhan kami tercukupi. Harga diri suami jadi terjaga”.

“Ngapain sih aku teh?”/”Saya punya keahlian membantu orang lain dengan profesi ini”/”Emang gak ada orang lain gitu?”/”Ada sih, tapi emang kenapa kalau saya memilih tetap beraktifitas? suami mengizinkan, kualitas buat keluarga ada, kalau gak beraktifitas sesuai profesi saya, saya merasa gak berkembang, saya malah bete sama suami dan anak”

“Ngapain sih aku teh?”/”Mencari uang”/”Kan itu kewajiban suami?”/”Iya, tapi keluarga saya sangat miskin. Saya anak pertama. Kalau saya gak bantu keluarga, adik-adik saya gak akan bisa sekolah. Penghasilan suami cukup, untuk keluarga saja. Tidak cukup untuk membiayai orangtua dan adik-adik saya. Suami saya mengizinkan, pekerjaan ini halal”

“Ngapain sih aku teh?”/”Kerja”/”Kenapa harus kerja”/”Iya yah, kenapa….padahal aku teh orangnya cape-an. Dengan kerja ini, aku jadi gampang stress. Kalau aku jadi stress, marah-marah ke anak-anak. Emang nambah penghasilan sih. Tapi penghasilan suami juga sebenernya cukup. Ngapain ya? kalau aku brenti kerja, situasi akan lebih baik gak? kayaknya lebih baik deh”.

……..dan tak terhingga skenario lainnya.

Buat saya, keputusan akhir seorang wanita untuk beraktifitas di dalam atau di luar rumah, bukan masalah yang esensial; dengan catatan aktifitasnya (baik di dalam maupun di luar) memenuhi syarat-syarat kebaikan dan kebenaran. Yang esensial adalah alasan yang mendasarinya. Pertimbangan dan strategi yang akan memberikan kita resultan kebaikan yang lebih besar. Apapun bentuk aktifitas yang dipilih, saya mengamati, kesadaran akan manfaat bentuk pilihan itu buat ybs, plus penghayatan akan konsekuensi dari pilihan itu, yang membuat seorang ibu bisa tegar berdiri, percaya diri namun rendah hati dengan pilihannya.

Episode sedih akan ada, tapi tak lebay. Persis seperti teman saya yang saya ceritakan di atas. Gak bisa ambil raport karena ada kegiatan yang gak bisa digeser? Apa yang esensial dari pembagian raport? Perhatian orangtua terhadap perkembangan anak. Oke,  janjian di lain waktu dengan gurunya untuk ngobrol perkembangan anak.

Tapi kan…. itu pemikiran kita. Gimana kalau anak merasa ia tidak diperhatikan, merasa ia tidak lebih penting dari kegiatan ibunya? Nah, disini berlaku hukum “exception”. Kita harus bersikap dengan tulus, sehingga anak menghayati bahwa ibunya gak bisa ambil raport, maknanya adalah ibuku gak bisa ambil raport karena ada kegiatan lain yang gak bisa digeser, bukan ibuku gak peduli sama aku. Gimana caranya? ketika ada momen-momen anak dimana kita gak ada kegiatan, ya kita hadir. Ketika kita luang, ya kita perhatikan dia. Ketika kita memang gak ada yang urgen, ya kita prioritaskan dia.

Tapi akan susah buat anak untuk menghayati exception kalau pas kerjaan penuh maupun lagi santai, kita cuek sama anak. Pas dikejar deadline kita marah-marah minta anak gak ganggu kita ngerjain, pas gak dikejar deadline kita minta anak gak ganggu kita medsos-an.

Saya pernah membantu keluarga-keluarga TKW. Ibu-ibu yang “super tega” meninggalkan anaknya bertahun-tahun. Ada sebagian anak yang “marah” lalu melakukan kenakalan bahkan kejahatan. Tapi ada sebagian yang “baik”, “hormat”, bahkan sangat sayang pada ibunya. Apa pembedanya? exception. Dan komunikasi. Bahwa pilihan ini, dengan tulus, adalah pilihan yang membawa resultan kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik untuk keluarga kita.

33c1a94682502b1c77bab148ee4cf655Seorang wanita, ketika ia menjadi ibu, memang ia tidak lagi menjadi dirinya yang “original”. Bahasa ilmiahnya, “self”nya berubah. Seorang wanita, kalau ia menjadi seorang ibu, harus memikirkan, menghayati ulang keinginannya, cita-citanya, idealismenya, harapannya, impiannya.

Ada beragam jalan yang ditempuh. Ada yang tetap ingin mencapainya, ada yang menunda waktunya, ada yang memodifikasinya, ada yang menggantinya, ada yang melupakannya.

Penelitian tentang “self” terbaru menemukan, bahwa penghayatan tentang siapa diri kita, adalah hal yang kompleks. Kita adalah perempuan, anak, adik, kakak, istri, ibu, karyawan, muslimah, orang sunda, orang indonesia, direktur, penulis, artis, dokter, penjahit, mentri, dll dll…………. Nah…katanya kapasitas kita tidak memadai untuk mengaktifkan seluruh mode SELF kita dalam satu situasi. Maka, dalam situasi tertentu, kita hanya bisa mengaktifkan sebagian dari “self” kita dan akan mempengaruhi perilaku kita. Saat seorang wanita berhadapan dengan anak-anaknya, dan ia bisa berkomitmen mengaktifkan mode self “IBU” sebagai mode yang dominan, bukan mode self yang lain, maka dialah seorang ibu 

Apapun pilihannya, pilihan yang didasari oleh perenungan yang mendalam dan pemikiran yang matang, adalah pilihan yang akan membuat seorang ibu tegar berdiri dengan rendah hati. Pilihan yang didasari oleh keikhlasan dan penghayatan bahwa ini sajadah panjang yang ia pilih. Apapun pilihannya, ia akan melalui episode sulit dan  sedih, tapi ia tak akan cengeng.