Sudah seminggu lebih kami ber-piknik ria. “Tour de Java” adalah cita-cita si abah. Karena kami adalah pecinta jalur selatan tiap kali mudik, maka kali ini kami ingin mencoba jalur utara. Keluar dari Cipali, kami menyusuri kota-kota di pantai utara. Beli telur asin di Brebes, “iseng” mampir beli batik di Pekalongan, menginap di Semarang dan menyengajakan bertemu teman-teman kami di Semarang.
Ada percakapan lucu dengan si bujang kecil di Pekalongan. Jadi waktu itu, saya cuman bilang ke si abah: “mampir dulu bentaaaar aja. Masa lewat Pekalongan gak liat-liat batik”. Akhirnya kami berhenti di salah satu toko, daaaaan…. “sebentar” itu ternyata jadi satu jam haha…. soalnya batiknya keren-keren dan murah-murah! tadinya cuman mau beliin mamah dan emak, eh….jadi beliin adik-adik, ipar, ponakan, tetangga…haha… Itu juga kalau gak disusul si bujang kecil, bakal tambah lama tuh. Waktu saya tanya abah nunggu dimana, si bujang kecil bilang: abah nunggu di mobil, tidur kkkk. Padahal sebelum tenggelam dalam proses memilih-memilah batik yang lutu-lutu, si abah rasanya mendampingi saya tadi. Trus saya bilang ke si bujang kecil: “Mas, nanti kalau Mas Umar jadi suami, Mas Umar harus kayak abah. Ibu-ibu tuh kalau udah belanja, suka gak inget waktu. Nah, abah tuh kalau masih wajar, mau nungguin. Biasanya abah tidur. Jadi ibu gak keganggu, abah juga gak kesel. Kecuali kalau ibu sudah keterlaluan, abah suka ingetin ibu dengan tegas. Ibu juga suka takut kalau diingetin abah. Jadi abah ngingetinnya efektif efisien”. Jawaban di bujang kecil: “iya, tapi mas Umar gak mau punya istri kayak ibu. Nanti kalau mas Umar taaruf, akan mas Umar tanya perempuan yang taaruf sama mas Umar: kalau belanja lama gak? kalau lama, Mas Umar akan cari yang lain yang gak suka belanja lama “ hahaha……
Tengah hari, kami melanjutkan perjalanan dari Semarang ke Kediri, tujuan utama kami. Anak-anak sudah sakaw untuk ketemu yangti-nya dan abahnya anak-anak udah sakaw untuk ketemu ……soto Kediri dan sambel tumpang kkkk. Beberapa hari di Kediri, kami melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Kami akan terbang ke Lombok dan piknik beberapa hari di sana.
Sebenarnya ide piknik ke Lombok ini adalah ide spontan si abah. Waktu ia melihat saya berhari-hari menghadapi laptop dikelilingi puluhan buku dan jurnal untuk persiapan ujian kualifikasi, dia bilang; “kayaknya dirimu abis ujian butuh liburan deh” . Gimana bisa keidean ke Lombok? Karena bisa lanjut dari Kediri hehe. Memang meskipun gak pernah janjian, tapi ternyata saya dan si abah punya keinginan yang sama: Lebih ingin menjelajahi Indonesia daripada menjelajahi dunia. Lebih ingin keliling Indonesia daripada keliling dunia.
Lalu beberapa hari kemudian si abah booking tempat, pesen tiket….ngajak ngobrol saya sih, tapi saya gak konsen kkk…. itulah sebabnya si abah melakukan kesalahan fatal. Beli tiket pesawat sehari lebih awal dibanding booking tempat haha….Memang ia agak ADD sih (attention deficit disorder) kkk . Biasanya saya akan bertugas ngecek. Tapi karena saya gak konsen, maka kesalahan itu terjadi. Sebuah blessing in disguise. Gara-gara kesalahan itu, kami jadi gak langsung ke Gili Trawangan, tapi menghabiskan satu hari dulu di Senggigi.
Ini adalah pertamakalinya si bungsu naik pesawat. Dan sebagai seorang explorer sejati, dia mencoba segala hal yang baru buatnya. Buka tutup jendela pesawat, pake-lepas belt berpuluh-puluh kali, jalan-jalan, beberapa kali nyobain ke kamar mandi sendiri, pengen coba pelampung setelah tanteu pramugari jelaskan kalau di bawah kursi ada pelampung, dan maksa mau masuk ke ruangan pilot: “de Azzam pengen ketemu sama om pilot”. Hadeeeuh….dengan kehebohan itu, perjalanan satu jam Surabaya-Lombok jadi tak terasa buat saya.
Dari bandara, kami memesan mobil untuk mengantar ke villa tempat kami menginap di Senggigi. Dalam perjalanan, kami diantar ke Sukarare. Di sana, kami didandani dengan baju khas suku Sasak, berfoto di rumah adatnya, dijelaskan filosofi menenun, lalu diajak berkeliling melihat hasil tenunan karya warga desa tersebut. Disini saya sangat bersyukur tak jadi perempuan desa itu. Karena kalau saya jadi perempuan desa itu, saya gak bakal nikah-nikah sodara-sodara…karena di sini, aturannya adalah ….. seorang perempuan gak boleh nikah kalau dia belum bisa menenun;)
Sepanjang perjalanan, kami ngobrol sama pak Sopir. Pengetahuan IPS saya banyak bertambah dengan penjelasan pak Sopir tentang sejarah yang membentuk sosio-demografi masyarakat Lombok saat ini. Suku Sasak adalah suku asli di Lombok. Dan mereka beragam Islam. Pak Sopir pun dengan sabar meladeni pertanyaan saya dan pertanyaan anak-anak. Misalnya ia menjawab pertanyaan saya kenapa Bali itu didominasi Hindu dan Lombok didominasi Islam. Ia juga menjawab pertanyaan si gadis kecil: “Kenapa Bali lebih terkenal daripada Lombok Om, padahal menurut teteh sih Lombok udaranya lebih enak dibanding Bali”.
Di perjalanan, kami melihat banyak masjid. Begitu saya tanyakan, pak Sopir dengan nada bangga menceritakan bahwa Lombok memang terkenal sebagai “pulau seribu masjid”. Oh iya…saya pernah denger. Pak Sopir pun sangat bangga bercerita bahwa Gubernurnya, adalah seorang “Tuan Guru”. Sebuah sebutan bagi ulama di Lombok. “Gubernur paling muda bu, penghafal Qur’an. Doktor lulusan Al Azhar” ucapnya bangga sambil menunjukkan bangunan islamic center yang keyyeen. Ya, ya….saya juga pernah membaca berita tentang Tuan Guru Bajang ini. Super duper keren ya….sayang berita menyejukkan tentang gubernur keren ini tenggelam oleh berita kontroversi mengenai gubernur yang lain…
Villa Kila, tempat kami menginap di Senggigi, super duper cozy. Tempatnya dikelilingi pantai. Disini aktifitas anak-anak hanya ada satu: berenang. Berenang di kolam renang, lalu ke laut, lalu ke kolam renang lagi, lalu ke laut lagi. Pantai yang indah dengan udara sejuk….it’s my dream. Eh eh tau gak….saya suka bayangin…apa yang paling saya pengen… dan jawabannya adalah…baca buku di pinggir pantai yang sejuk. And my dream comes true! bisa berjam-jam baca buku, memandang pantai yang indah, sambil menyaksikan anak-anak yang tahan berjam-jam berenang, lalu membuat istana pasir, lalu berenang lagi….
Citarasa tanah seribu masjid, kami rasakan di sini. Di tiap kamar disediakan sajadah, ada Qur’an juga. Memang ada bibel juga. Anak-anak yang baru pertama kali mengenal bibel, pada rebutan pengen baca; sambil heboh berdebat mengenai boleh tidaknya seorang muslim baca bibel.
Hanya satu hari kami di Senggigi. Namanya juga kesalahan haha…. Hari selanjutnya kami menuju ke Gili Trawangan yang terkenal itu. Ada dua pilihan menuju ke sana. Pake speed boat atau slow boat. Bedanya, selain di kata “speed” dan “slow” adalah: harga, waktu dan jumlah orang. Kalau pake speedboat, harganya lebih mahal, waktuya lebih cepat dan bisa eksklusif sekeluarga. Slow boat sebaliknya. Dan kami memilih slow boat, Anak-anak pengen lebih lama di perahunya. “Biar bisa menikmati bu” kata si sulung. “Biar kayak Moana bu” kata si gadis kecil. Baiklah. Daaaan…. 45 menit berperahu, membuat saya menyadari bahwa keseruan petualangan Moana, adalah kartun belaka haha…. aslinya sih….ayunan gelombang yang cukup besar itu bikin stress, terutama buat sayah. Si abah dan anak-anak sangat menikmati menertawakan emaknya yang udah pengen nangis haha…
Menginjakkan kaki di Gili Trawangan, kami langsung berkesimpulan: kami lebih suka di Senggigi daripada di sini. Terasa banget bedanya. Di sini, kami adalah minoritas. Sejauh mata memandang adalah para bule. Tentu dengan pakaian yang tidak syar’i hehe….Baik yang berjalan kaki, naik delman maupun sepeda. Delman dan sepeda adalah transportasi yang digunakan di Gili ini. Saat menuju villa yang sudah kami booking, kami banyak melewati bar yang penuh hiruk pikuk, atau dengan musik dag-dug-dag-dug yang “terlalu bising” buat kami. Daftar menu yang terpampang di bar, sebagian besar gak familiar buat saya. Bir dan wine, tampaknya jumlahnya lebih banyak variannya dibandingkan soft drink.
Alhamdulillaaaah…. villa yang dibooking si abah, adalah tipe villa buat “keluarga”. Tempatnya tenaaang…. jauh dari hiruk pikuk. Hanya dua keluarga termasuk kami yang non bule. Tapi yang bule pun, kebanyakan adalah keluarga dengan ayah-ibu yang telah berumur. “Satu frekuensi” lah dengan kami hehe… Seneng deh pas sarapan, liat keluarga-keluarga ini bercengkrama. Asik mengobrol satu sama lain….pagi tadi, si ayah dari keluarga Indonesia bercerita sesuatu tampaknya pengalamannya, yang membuat dua anak remajanya tertawa terbahak-bahak…. Sesekali terdengar nasihat si ayah untuk anak-anaknya tersebut.
Punya privat pool, membuat anak-anak juga hanya punya dua aktifitas: berenang di kolam dan ke pantai. Berenang lagi, ke pantai lagi. Nah… disini, citarasa tanah seribu masjid sudah tak terasa. Tandanya satu. Di kamar, tak ada penunjuk arah kiblat sehingga kami harus ngecek sendiri. Tapi yang amazing adalah, di tiap waktu sholat, kami mendengar suara adzan !
Siang tadi, kami snorkling dan mengunjugi dua gili lainnya: gili Meno dan Gili Air. Kami = tiga anak itu; si sulung, si bujang kecil dan si gadis kecil. Saya, dari awal memutuskan tidak. Saya takut air hehe… jadi saya pilih menilmati pemandangan dari kaca di dasar perahu kami sajah. Si bungsu, awalnya sangat semangat pake perlengkapan snorkling. Berjam-jam berenang hari-hari kemarin, membuatnya bisa “menyelam” dan “lompat” ke air. Udah jelas kalau berenang pake pelampung tangan, dia udah berani meskipun dalem. Turun beberapa menit, ternyata dia nangis. “Dede seneng berenang di air yang gak asin, ini airnya asin. Dede gak suka. Dede takut”. Gitu katanya. Di Gilir Air, kami turun dan makan siang disana. Kalau kesini lagi, kayaknya kami akan menginap di Gili Air. Meskipun kurang komersil, tapi kayaknya lebih pas buat kami. Gak terlalu “heboh”. Sore tadi, kami bersepeda menuju tempat sunset. Lumayan keringetan juga sepedaan sekitar 45 menit-an…..
Malam ini, selain suara adzan, setelah maghrib sampai isya, lantunan ayat suci terdengar dari masjid. Mengingatkan saya bahwa walaupun sedang “bersenang-senang”, namun ini malam Jumat. Malam istimewa buat muslim/ah. Malam penuh berkah. Suara lantunan ayat suci itu, mengingatkan bahwa Al Kahfi harus tetap dibaca. Teringat salah satu meme yang saya pernah saya baca: “meskipun liburan, catatan amal jalan terus”.
Ah, senang sekali saya berkunjung ke pulau ini. Beragam orang, datang dari jauh, “hanya” untuk menikmati ke-maha-an ciptaan Allah: matahari, pantai-pantai indah, keindahan bawah laut, debur ombak, kura-kura, ikan warna-warni, lukisan alam…
Seribu mesjid itu…semoga tetap terjaga. Semoga keberkahannya tetap menjaga kebaikan dalam hati orang-orang di pulau ini, juga di negeri ini.
Recent Comments