Perjalanan sang uban

Pada suatu hari, ketika saya sedang menyisir rambut, tiba-tiba…… saya melihat selembar rambut putih ! impulsif saya langsung mengontak si abah yang saat itu sedang di Jakarta. Setelah tersambung saya langsung setengah teriak:“abah….aku udah ubanan!!”. Si abah sepertinya sedang meeting penting, terdengar dari suara backgroudnya dan suara pelan darinya: “oh, gitu aja?”  haha…. emang cuman gitu aja sih….kkk.

Ya, sebenarnya sudah setahun ini saya merasa sudah masuk babak baru dalam kehidupan saya. Sudah merasa “tua” haha…. namun bayangan rambut beruban gak pernah kepikiran. Hihiiii…childish banget ya 😉

Penyebab saya merasa “tua”  tampaknya ada beberapa faktor. (1) Dari luar mungkin pengaruh si abah yang sejak berusia 40 tahun lalu, benar-benar menghayati dirinya sudah harus mempersiapkan diri berbekal untuk alam abadi nanti. Maka, topik pembicaraan kita pun berubah. Si abah menjadi lebih “bijaksana” dan “religius”. (2) Memang tahun lalu kami pun masuk fase perkembangan keluarga yang baru. Family with teenager. Maka, obrolan kami pun mulai merambah pada isu seputar calon mantu haha….trus merembet ke soal cucu haha…..(3) Di kampus, perlahan tapi pasti, adik2 junior saya para dosen “muda” menjadi lebih banyak jumlahnya. (4) Di tempat praktek, saya pernah tanya ke rekan saya: kenapa saya gak pernah dapet kasus tumbuh kembang ya? rasanya akhir-akhir ini dapet kasusnya yang “berat-berat”. Trus rekan saya bilang: “Iya lah mbak, kalau kasus tumbuh kembang kan kita yang muda2 yang tanganin. Mbak Fitri mah pegang kasus-kasus yang kliennya minta ditanganin sama psikolog senior”. Oh my god, sayah sudah senior ..saya barus sadar bahwa rekan saya itu, adalah mahasiswa-mahasiswa saya beberapa tahun lalu….haha…(5) Banyak “mantan” mahasiswa-mahasiswa saya yang suka minta “nasihat” dari saya. Yang mau nikah, yang mau tambah anak, yang mau memilih karir…..

Sebenernya, penghayatan bahwa … yups, saya sudah masuk fase “tua”; sama sekali tak saya rasakan sebagai suatu hal yang negatif. Tapi yang jelas penghayatan itu membuat saya seneng sama  2 hal :

(1) Membaca-baca buku mengenai perkembangan manusia. Santrock, dalam bukunya “life span development”, menjelaskan alasan mengapa kita perlu mempelajari perkembangan manusia, melalui sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menggelitik. “Apa pentingnya mengetahui dan memahami perkembangan manusia?”. Pada zaman dahulu kala, kita percaya bahwa perkembanagn hanya terjadi pada anak sampai dewasa. Ketika ia sudah dewasa, maka perkembangan tak terjadi lagi. Stabil. Titik. Tapi ternyata temuan-temuan melalui berbagai metodologi ilmiah menemukan bahwa perkembanagn manusia, berlangsung terus sampai dengan ajal menjelang. Perkembangan itu hakikatnya perubahan. Maka, seperti kata Santrok, menghayati perkembangan yang terjadi pada diri kita mulai sejak saat kita ingat kala kecil dahulu, sampai saat ini, akan memberi kita pelajaran berharga tentang kehidupan. Dan pemahaman terhadap apa yang akan terhadi pada diri kita dimasa yang akan datang, bagaimana itu dipengaruhi kehidupan kita sebelumnya, apa yang harus kita antisipasi dan lakukan saat ini, itu tak kalah berharganya.

(2) Setahun belakangan ini, saya jadi lebih seneng beratifitas dan berinteraksi dengan orang-orang yang usianya di atas saya. Orang-orang yang ketika tahu umur saya 38, mereka berata: “ya ampun Fiiit, masih muda banget”. Atau saat mereka cerita, mereka mengatakan: “waktu kita muda kayak Fitri ya, kita  bla..bla..bla…”. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santrock, berinteraksi dengan mereka memunculkan suatu gambaran dan penghayatan mengenai apa yang akan saya jalani nanti. Memberi contoh bagaimana saya harus menjalanisnya, memberikan gambaran antisipasi yang harus saya lakukan agar ketika saat itu tiba, kehidupan saya akan baik-baik saja.

Beberapa halnya adalah: (1)  hal keciiiil aja. Dua minggu lalu saya beraktifitas dengan para senior yang usianya sudah diatas 50 tahun. Waktu itu di sebuah hotel, kita menuruni tangga menuju ruang makan. Saya jalan biasa, trus pas sampe bawah, saya baru menyadari bahwa para senior saya masih setengah tangga. Pas ketemu di bawah, salah seorang senior saya bilang : “beda ya, anak muda mah. Turun tangga juga meni gesit, udah gak kekejar sama kita. Kita mah lutut udah gak kuat Fit lompat-lompat kayak Fitri. Pengalaman itu, tak akan saya alami kalau saya bergaul dengan teman-teman seusia dan yang lebih muda. Sebuah pengalaman yang menumbuhkan empati buat saya. Trus lalu mereka ngobtolin pengalaman menopause. Sebuah hal yang akan saya jalani kalau umur saya panjang sampai di saat itu, yang gak kebayang saat ini.

(2) Bergaul dengan mereka para senior itu, juga membuat saya terpapar pada pola pikir “bijaksana”. Saya terpapar pada sisi-sisi yang selama ini tak pernah terpikir untuk saya pertimbangkan. Saya jadi paham bahwa ada dimensi lain yang menambah bobot kualitas sebuah sikap, pilihan dan perilaku selain hitam–putih “benar-salah” atau “baik-benar”; yaitu “wisdom”.

(3) Pelajaran yang paling berharga dari mereka-mereka adalah pelajaran “self acceptance”. Penerimaan diri. Saya amat bersyukur di berbagai tempat saya beraktifitas baik aktifitas formal maupun non formal, saya selalu bersama dengan para perempuan “kuda perang” kalau istilah saya. Para wanita yang tak pernah berhenti berkiprah, sampai detik terakhir kehidupan mereka. Secara teori, hal yang paling mendasar dari “menjadi tua” adalah, kondisi fisik yang menurun. Nah, Saya seneeeeng banget kalau berada di antara mereka dan mereka mentertawakan penurunan kemampuan fisik mereka. Misalnya waktu itu saya pernah senam pagi bareng para senior. Lalu mereka mentertawakan gerakan-gerakan yang sudah tak sanggup mereka lakukan. Konon, mentertawakan kelemahan diri adalah tanda penerimaan. Awareness mereka terhadap keterbatasan fisik mereka, tak menghalangi mereka untuk tetap berkarya. “Aku mah udah gak bisa baca huruf kecil Fit. Boleh gak naskahnya diketik font 18?”. Tak ada rasa frustrasi dengan kemampuan yang menurun. Tak ada excuse. Mereka tetap memeriksa naskah saya dengan cermat. Tak bisa membaca huruf dengan ukuran standar, tak jadi halangan buat mereka.

stock-vector-cartoon-illustration-of-a-woman-during-different-life-stages-life-cycle-growth-development-153737195.jpgDua pengalaman ini, membuat saya merasa bahwa kehidupan ini, dari awal lahir sampai dengan menutup mata nantinya, adalah sebuah perjalanan yang seru. Selalu ada hal baru yang bisa kita pelajari. Selalu ada hal yang bisa kita lakukan. Selalu ada pengalaan yang menyenangkan di setiap fasenya, dalam bentuk yang berbeda. Maka, di hari ulangtahun ini, saya menghayati bahwa usia 60,70, itu adalah usia yang pendek. Itupun kalau sampai di usia itu. Tapi saya sangat excited menjalani hari-hari menjelang usia-usia ke depan. Ada banyak hal yang ingin saya pelajari. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan,  ada banyak pengalaman yang ingin saya coba dalam sajadah panjang kehidupan ini. Saya tak tahu uban di kepala saya akan menemani saya mempelajari apa, menjalani apa dan berapa lama.

Namun, saya berdoa untuk dipanjangkan umur. Bukan sembarang panjang umur. Tapi umur panjang dengan amal sholeh, bukan hanya amal baik. Maka, untuk teman-teman yang mengucapkan ulang tahun pada saya di hari ini (geer haha…..), mohon perkenan untuk menambah doanya menjadi “umur panjang dengan amal sholeh yang banyak”

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik diantara kalian ?”. Para shahabat menjawab, “Ya, mau”. Beliau bersabda, “Orang yang paling baik diantara kalian ialah orang yang paling panjang umurnya dan paling baik amalnya diantara kalian”. [HR. Ahmad, para perawinya perawi shahih. Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan Baihaqi]

Kala ke”islam”an kita dipertanyakan

Penghakiman. Itulah yang sedang marak akhir-akhir ini. Tanpa konteks. Standar-standar untuk menghakimi ditentukan secara “kasat mata”. Tak ada ruang untuk mendengarkan. Tak ada ruang untuk dialog. Tak ada ruang untuk perbedaan.

Kalau tak ikutan acara ini, munafik. Kalau bajunya gak begini, tak beriman. Kalau ngajinya bukan pada ustadz ini, kafir. Kalau tak ikut komunitas parenting yang itu, tak islami.

Tentu tak semuanya senang menghakimi seperti itu. Bahkan prosentasenya sedikit. Jauh lebih sedikit dibandingkan orang-orang yang memahami bahwa ada beragam cara untuk melakukan amal sholeh. Jumlahnya sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para guru yang memahami bahwa kesamaan pemahaman prinsip jauh lebih penting daripada persamaan seragam yang “kasat mata”. Namun yang jumlahnya sedikit ini, seringkali membuat luka yang dalam. Dikatakan bahwa niatnya mengingatkan karena peduli dan “sayang” serta ingin menyelamatkan. Tapi rangkaian kalimat dalam meme itu tak berbohong. “anda waras?” “anda sehat?” dan kalimat-kalimat yang terasa lebih sebagai sindiran dan ejekan itu menusuk lebih tajam.

Pagi sampai sore tadi, saya mengikuti sebuah workshop. Family and couple therapy. Dari seorang ahli psikoterapi dari Belanda. Setelah kami berpasangan mempraktekkan sebuah teknik yang menurut kami super duper keren, pasangan saya, seorang senior berkata: “Fit. kayaknya jaman sekarang mah kita teh dicap kafir kali ya, belajar ilmu kafir dari orang kafir”….

Ya, sudah sangat sering kami, orang-orang yang belajar psikologi, mendapat cap “kurang iman, kurang islam”. Saat saya mengungkapkan tema “menghindari pernikahan yang sakit dan mengupayakan perceraian yang sehat”; saya pernah disebut “berteman dengan syetan yang pekerjaannya memisahkan pernikahan antara dua muslim”. Ketika menyebutkan istilah remaja, saya dibilang terjerumus ke dalam propaganda kafir yang ingin melemahkan islam. Ketika mengajak orangtua untuk memberikan kesempatan pada anak untuk membuat keputusan dan  menghargai keputusan anak, dikatakan mengajarkan anak untuk tak birrul walidain. Ketika mengajak pemuda-pemudi untuk mengevaluasi kematangan diri dan calon pasangan sebelum memutuskan menikah, dibilang mendukung pemuda-pemudi untuk berzina. Ketika berpendapat mengenai poligami yang tak sehat, dikatakan melawan sunnah Rasul. Ketika mengajak menghayati pilihan untuk menjadi orangtua dan memikirkan kualitas pengasuhan, dibilang tak percaya “banyak anak banyak rejeki”.

Saya tak bohong, seringkali sedih sih. Sedih banget. Kesedihan itu terutama karena rasanya “tak dipercaya” bahwa saya beritikad baik oleh “saudara sendiri”. Biasanya kalau sudah menerima penghakiman seperti ini, apapun penjelasan saya mengenai konteks dan apa maksudnya, tak akan didengar. Cap sudah dilekatkan.

Seorang teman, ketika ia tak mengikuti suatu kegiatan lalu oleh temannya yang mengikuti kegiatan tersebut dipertanyakan keimanannya, bertanya pada saya: “emang aku gak beriman ya Fit?”. Saat itu, saya tak menjawab. Kami diam lama….dan dalam diam itu terbayang sebuah film tentang teman saya ini. Seorang yang sangat peduli pada orang yang membutuhkan, menjadi donatur di beberapa rumah anak yatim, memberikan jasa profesional gratis di sana-sini untuk yang membutuhkan. Tapi saya paham bahwa pertanyaannya, bukanlah pertanyaan retoris. Sebuah pertanyaan yang juga berulang-ulang saya tanyakan pada diri saya sendiri setiap kali saya mendapat reaksi “negatif”, Pertanyaan yang kemudian mengundang dialektika.

Benarkah saya kurang beriman  jika saya mengatakan perceraian sehat lebih baik dibandingkan pernikahan yang sakit? kenapa dalam Islam diperbolehkan bercerai kalau memang tak ada kebaikan dalam perceraian itu? Lalu, kalau suami isitri tetap bersama tapi setiap hari bertengkar, lalu suami maupun istri memiliki selingkuhan yang membuat mereka nyaman, anak-anak benci berada di rumah…. itu tetap lebih baik dibandingkan dengan bercerai?

Apakah saya kurang islam jika menunjukkan fakta bahwa penyangkalan terhadap perubahan biologis, kognitif dan emosi seorang anak sekitar usia pubertas itu justru akan membuat orangtau menjadi kurang tepat dalam mengarahkan perilaku anak? bahwa istilah remaja hanyalah sebuah istilah yang bisa kita pakai, bisa tidak? bahwa key issue-nya bukan di istilah itu?

Dan teruuuuus dialektika itu terjadi untuk setiap issue yang kami dianggap “bertentangan dengan nilai-nilai agama”. Dan saya tahu akar masalahnya: karena kami bergerak di lapangan. Kami melihat fakta. Perceraian yang buruk diakibatkan tak peduli pada apa yang harus disiapkan saat memasuki pernikahan; anak-anak yang hancur saat sang ayah berpoligami tanpa peduli pada etika; kepribadian tak matang seorang dewasa karena seluruh hidupnya mengikuti apa yang diminta orangtua dengan satu kata “birrul walidain”, dan semua permasalahan yang membuat kami kadang tak bsia tidur kala malam. Semua masalah itu nyata, ada di hadapan mata kami.

Agama ini tak melarang kita untuk hidup bahagia. Bahkan doa “sapu jagad” yang kita lantunkan, adalah memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kita layak bahagia. Pernikahan kita layak kita perjuangkan untuk menjadi pernikahan yang bahagia. Anak-anak kita layak menjalani pilihan hidup yang jadi passionnya, remaja-remaja kita layak untuk dipahami. Toh, semua perubahan itu Allah juga yang mentakdirkan. Psikologi, ya berkembang di Barat. Lalu apakah itu artinya semua temuan Psikologi bertentangan dengan ajaran agama? Ajaran agama tak pernah salah, ia sempurna. Maka, kalau pada prakteknya ternyata memunculkan keburukan, pasti ada yang salah dalam pemahaman terhadap ajaran agama tersebut. Nah, itu yang kemudian perlu didiskusikan.

Setelah saya membawa kegalauan ini pada saat berhaji 4 tahun lalu, kini saya punya tips jitu saat saya merasa “sedih” dan “terluka” karena “penghakiman”  itu.

(1) Kala ada yang mempertanyakan kualitas keislaman, keimanan, kecintaan kita pada agama kita,  dengan pilihan dan tindakan kita yang berbeda dengan “keseragaman” yang dibuat di luar sana, maka terima pertanyaan itu. Secara jujur, tanyakan pada nurani kita. Lalu jawab juga dengan jujur. Dengan mendengarkan alasan mengapa mereka meragukan kita. Dengan melakukan dialog dengan hati nurani kita. Mungkin memang benar kita kurang iman, kurang islam. Maka, dekatkan diri dengan banyak beribadah. Benar-benar tulus minta pada yang Maha Kuasa. Kalau memang benar kita salah, mohon diluruskan.

(2) Kita sesunguhnya tak perlu berjuang untuk membuktikan keislaman dan keimanan kita pada manusia, pada dunia. Keimanan itu, pada hakikatnya adalah hubungan dengan Allah. Bahwa secara “identitas sosial” kita tak dipandang sebagai seseorang yang berada di kubu “agamis”, ya….itu bukan bagian dari inti tauhid sebenarnya. Jangan patah arang. Tetap semangat melakukan kebaikan dan mengkalibrasi kebaikan itu dengan kebenaran agama.

d61d56bdffae15e719edc87fed94bbb3Bahwa ada rasa sedih ketika menghadapi penghakiman itu, ya…kita jalani aja. Nangis aja. Tapi sungguh, kita tak perlu membuktikan keimanan dan keislaman kita pada manusia.

Amalkan saja ayat di QS At-TAubah 105 ini. Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Ibu: Tentang Kepercayaan diri dan kekuatan doa-nya

Saya percaya pada pertolongan Allah. Tapi saya tidak percaya kalau Dia yang Maha Cermat dan Maha Sempurna, memberikan pertolongan secara “random”. Saya percaya bahwa pertolongan dariNya, diturunkan melalui sebuah sistem keteraturan. Sistem ini-lah, yang kata Ustadz Aam, bernama nashrullah. Kita belajar keras, lalu dapat nilai yang baik; berarti perilaku kita belajar keras adalah bentuk upaya untuk mendapatkan nasrullahNya. Kalau kita ingin anak kita punya kontrol diri yang baik, lalu kita berupaya untuk mengenalkannya pada aturan dan batasan sejak ia berusia 2 tahun, konsisten menjalankan dan memonitor aturan dan batasan tersebut, maka kontrol diri yang tertanam dalam diri anak kita, adalah nasrullahNya.

Tapi, saya juga percaya pada keajaiban. Bagi saya sebagai muslimah, tentu sumber keajaiban adalah dari Allah juga. Kata Ustadz Aam, itulah yang namanya inayatullah. Pertolongan Allah yang ia berikan ada hambaNya, yang tidak mengikuti suatu aturan logis. Seseorang yang sakit berat, secara medis sudah tak ada yang bisa dilakukan lagi selain menunggu saat ajal menjemput, tiba-tiba segar bugar kembali. Seorang anak sebatang kara, tak punya sanak saudara, untuk makan saja tak terbayang; bisa sekolah sampai jenjang akademik tertinggi. Ada banyak kisah “ajaib” yang pernah kita dengar. Itulah inayatullahNya.

Kalau upaya kita untuk mendapatkan nasrullahNya adalah dengan mempelajari dan mengamalkan “sistem sunnatullah pertolongan Allah”; maka inayatullah dapat dihadirkan dengan DOA. Doa adalah pengubah takdir. Kekuatannya menembus ruang dan waktu. Buktinya, doa seorang anak sholeh bisa mengubah kondisi orangtuanya di alam barzah.

Keyakinan terhadap dua bentuk pertolongan Allah inilah, yang saya rasa selalu bisa menjadi nyala api yang membuat saya termotivasi untuk terus bergerak. Karena saya yakin, upaya sampai titik darah penghabisan pada hakikatnya akan mengundang nasrullahNya. Namun ketika persoalan yang dihadapi melihatkan hal-hal dan pihak-pihak lain di luar kontrol diri saya, maka keyakinan akan inayatullahNya, menghindarkan saya dari perasaan hopeless.

Saya punya andalan untuk mengundang inayatullahNya. Kalau istilah Ustadz Aam sih, kalau punya andalan, seolah kita punya “jimat”. Apa “jimat” saya? Mamah. Doa Mamah, selalu saya yakini sanggup membuat keajaiban pada saat situasi tampaknya “tak mungkin”. 15 tahun lalu, “jimat” saya bertambah. Emak. Doa emak, mertua saya. Mamah dan Emak, ajaibnya, meskipun tak saling kenal dan berada di tempat yang saling jauh, tapi punya rutinitas ynag sama. Dhuha, Tahajjud, dzikir, shaum sunnah. Mereka juga punya kebiasaan yang sama. Kalau anak-anaknya sedang ujian, mereka akan puasa hari itu, sholat, dzikir dan berdoa selama waktu anaknya ujian. Baru berhenti saat anaknya sudah di rumah dan atau sudah mengabari kalau ujiannya selesai.

8 tahun lalu, saat saya hamil anak ketiga si gadis kecil, saya mengalami plasenta previa. Plasenta “tertanam” di jalan lahir. Oleh karena itulah selama hamil; berbulan-bulan bedrest total plus mengkonsumsi obat penguat kehamilan. Kalau engga, pendarahan hebat berkali-kali terjadi. Pada saat usg di bulan terakhir menjelang kehamilan, dokter mengatakan saya harus bersiap melahirkan dengan cara operasi. Secara medis tak ada upaya yang bisa dilakukan terhadap kondisi plasenta previa saya. Baiklah. Tapi meskipun rasio saya mengatakan “tak mungkin”, saya terus meminta doa dari mamah dan emak. Saya ingin melahirkan normal. Dua minggu sebelum melahirkan, pada saat kontrol, dokter menyatakan plasentanya bergeser dan saya bisa melahirkan normal. Itu adalah salah satu dari sekian banyak “keajaiban”; inayatullah yang Allah turunkan yang saya yakini, turut dipengaruhi oleh kekuatan doa mamah dan emak. Maka, meminta doa dari mamah dan emak pun berlanjut sampai untuk kepentingan anak-anak saya. Anak-anak sakit sudah pasti, anak-anak ujian, si sulung seleksi untuk jadi pengurus OSIS, si bukang kecil mau ikutan OSN, dll dll.

Suatu hari, saya bilang ke si sulung saat ia akan menjalani suatu seleksi masuk suatu tim yang sangat ia dambakan. “Kaka, telpon nenek dan yangti Ka, minta doa. Doa dari orangtua terutama ibu itu, kekuatannya dahsyat banget loh” saya bilang. Si sulung menurut. Tapi ternyata, buat saya sendiri, kata-kata yang saya ucapkan pada si sulung seperti bergema. Dan gema itu, mengundang suatu dialog antara….entah antara siapa. Mungkin antara nurani saya. Begini dialognya:

“Doa ibu itu dahsyat kekuatannya. Kamu kan ibu. Kenapa bukan kamu yang berdoa untuk si sulung?”//”Iya ya….saya adalah seorang ibu. ibunya. Doa saya, apabila saya panjatkan sungguh-sungguh, kekuatannya bisa dahsyat. Tapi….doa mamah dan doa emak sudah terbukti kekuatannya. Saya lebih tenang kalau anak-anak minta doa dari nenek dan yangtinya”//”Kenapa? kan kamu ibunya”suara yang bertanya terasa mendesak. Saya tak bisa menjawab dengan segera. Lidah saya kelu rasanya. Saya butuh waktu merenung untuk menyampaikan jawabannya. Beberapa saat kemudian, saya mendengar suara pelan yang parau. Suara saya. Saya gak pede. 

Ya, saya tidak percaya diri pada kekuatan doa saya. Kenapa? karena…karena…kualitas ruhiyah saya, jauuuuuuh dibanding kualitas ruhiyah mamah dan emak. Mereka, dekaaaat sekali dengan Allah, melalui ritual ibadah rutin mereka. Saya? kualitas saya jauuuuh dibanding mereka.

Ya, saya memang seorang ibu. Ya, setiap bada sholat, saya mengucapkan “robbiii hablii minas sholihiin” 4 kali, masing-masing sambil membayangkan wajah si sulung, si bujang kecil, si gadis kecil dan si bungsu. Tapi….saya engga pede doa saya bisa menembus langit, menggetarkan ArRasy-nya…… saya baru tersadar…padahal Allah tergantung persangkaan hambaNya. Dan kekuatan doa, salah satu faktornya adalah keyakinan kita saat memohonkan doa itu….

Beberapa hari saya resah dan gelisah dengan pemikiran ini, sampai suatu hari, saya sampaikan sama si abah: “bah, kenapa ya…aku kok rasanya gak pede kalau ngedoain anak-anak terutama untuk hal-hal yang sepertinya gak mungkin. Aku lebih tenang dan lebih pede minta doa dari mamah dan emak“kata saya. Jawaban si abah: “mungkin karena kualitas ibadahmu tidak sebagus mamah dan emak de”. KLOP. CONFIRMED. memang itu penyebabnya.

 “Sesayang-sayangnya aku sama anak-anak, ada satu hal yang gak bisa aku kejar, yang dimiliki dirimu de” begitu kata si abah. “kekuatan doa”. Katanya lagi. Saya juga ingat, suatu hari saya menemukan artikel mengenai seorang teman saya. Di usianya saat ini, ia sangat cemerlang dan gemilang di bidangnya. Saya menyatakan kekaguman saya pada teman saya itu. Si abah menanggapi; “aku gak mau dirimu tenar kayak gitu de. Aku pengen, anak-anak merasa tenang setelah minta doa darimu, seperti tenangnya kita setelah minta doa dari mamah dan emak”.

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaJLEB. Sebuah permintaan sekaligus “wasiat” yang super duper berat. Tapi 100% benar.  Semakin hari, sebagai seorang ibu saya merasa permasalahan anak-anak saya semakin kompleks. Si sulung sudah masuk masa remaja, mulai harus saya “lepaskan” sedikit demi sedikit. Semakin banyak masalah yang melibatkan faktor “luar” yang tak sepenuhnya bisa saya kendalikan. Dan saya, merasa semakin butuh inayatullahNya. Saya butuh “keajaiban” yang bisa memagari anak-anak saya dari keburukan yang tak terlihat dan terdengar. Anak-anak juga semakin menghadapi beragam persoalan yang semakin kompleks dan berat untuk mereka. Mereka butuh bantuan doa dari ibunya. Saya.

Saya tidak tahu apakah teman-teman pernah mengalami perasaan yang sama dengan saya. Namun saya, tak selalu aware terhadap “potensi” sekaligus “amanah” Allah terhadap diri saya. Saya sering teringatkan oleh celotehan anak-anak, misalnya saat si bungsu bertanya: “Ibu, kenapa syurga ada di telapak kaki ibu, bukan telapak kaki abah?”. Atau pernyataan si gadis kecil kecil: “ibu, setiap abis sholat teteh selalu berdoa robbighfirli wali-wali dayya 4 kali” . “Kenapa 4 kali?” tanya saya. “Ya kan untuk ibu 3 kali, abah satu kali. Gitu kata bu Guru. Kan kata Rasulullah juga ibumu…ibumu…ibumu…baru ayahmu. Jadi ibu tiga kali, abah satu kali”.

Suka pengen nangis kalau udah denger kata2 yang memuliakan ibu segitunya teh. Sedih apa ya…sedih terharu sambil takut. Takut karena sebegitu mulianya ibu ditempatkan oleh Allah dan Rasulullah, sedangkan kualitas ruhiyah saya….hiks…

Ah, tapi gak boleh lebay ya. Harus bangkit berjuang. Karena bagi seorang wanita, ketika ia menjadi seorang ibu, perjuangannya tak pernah untuk dirinya sendiri. Ketika hamil muda dan males makan apa-apa, seorang ibu harus memikirkan janin di kandungannya. Ketika menghadapi beragam macam persoalan, seorang ibu harus berjuang memanage energi, emosi dan waktunya; agar anak-anaknya tetap mendapatkan hak-nya. Demikianpun saat ia berupaya mendekatkan diri pada RabbNya, seorang ibu harusnya meniatkan juga agar ia mudah mendapatkan pertolongan Allah, pertolongan yang akan ia mohonkan bagi anak-anaknya.

Ya, memang seharusnya basic trust seorang anak tumbuh pada TuhanNya dan pada ibunya. Melalui kedekatan ibunya dengan Tuhannya lah, seorang anak bisa menumbuhkan dua basic trust itu secara bersamaan. Hayu berjuang bersama. Insyaallah kita bisa.

IQRO: bukan sekedar film

Seumur hidup, saya gak pernah nonton film yang sama di bioskop, dua kali. Dua hari berturut-turut lagi. Apalagi film Indonesia. Pertama kalinya terjadi weekend dua minggu lalu, Sabtu dan Minggu. IQRO: Petualangan Meraih Bintang adalah film yang saya tonton dua kali dalam dua hari berturut-turut.

Apa istimewanya film ini? pertanyaan ini, akan saya jawab di akhir tulisan ini. Cieeeh…sok misterius haha…

Tadinya saya berpikir bahwa dua kali nonton, hanya sebagai sebuah dukungan terhadap karya yang dirindukan ini. Istilah kerennya mah seperti semut ibrahim gitu hehe… Hari Sabtu, saya nonton bersama ratusan senior dan teman-teman alumni Karisma ITB, yang menyatukan diri dalam sebuah wadah yang bernama baiturrahman net. Disponsori oleh Elzatta, yang ownernya adalah alumni Karisma.

Hari Minggu, nobar sesi dua bersama keluarga Transforma, kantor si abah. Sebenarnya hari Minggu itu jadwal pengajian bulanan kantor. Setiap bulan, kami mengadakan pengajian bergantian tempatnya, sambil silaturahim. Nah heuseus untuk pengajian bulan ini, tim direksi memutuskan diganti dengan nobar film IQRO. Biar kekinian katanya haha….tapi engga cuman itu sih. Sebagian Transformer (sebutan untuk Tim Transforma) adalah alumni Salman. Ada yang alumni Karisma, Gamais dan Pustena.

Ternyata, dua kali nonton itu adalah formula yang sangat pas buat saya. Di hari pertama, kalau saya ditanya filmnya bagus gak? Saya gak akan bisa jawab. Kenapa? Karena saya nonton di hari pertama gak pake mata, tapi pake hati eaaa…. Buktinya, saya udah sesenggukan bahkan sebelum ada adegan yang ditampilkan. Ini nih tayangan yang bikin saya sesenggukan. whatsapp-image-2017-01-29-at-3-17-25-pm-1

Iya….tayangan itu. tulisan itu. Masjid Salman ITB. Hwaaa….hiks…hiks…begitu mata saya melihat huruf-huruf itu, langsung sepersekian detik kemudian seluruh memori dan perasaan saya terlempar ke masa-masa itu. One of the best episode in my life. Langsung  deh sesenggukan hehe… Bangga banget….perasaan gak pernah ada sebuah mesjid bisa memproduksi film layar lebar. Mungkin juga karena sebelum kita nobar, acara dibuka oleh Mas Wien. Mas Wien adalah panggilan akrab kami untuk ketua karisma periode pertama. Saya, aktif di Karisma periode ke-20. Yang ikutan nobar, lengkap dari mulai periode pertama sampai dengan yang saat ini, periode ke 37. Auranya tuh gimanaaaa gituh. Jadi cepet banget air mata meleleh liat adegan-adegan filmnya.

Nah…hari kedua, baru saya bisa objektif menilai film ini. Secara objektif, selain para pemeran utama plus Bu Subur, pemeran lainnya memang terlihat “kurang natural”. Tapi di nonton yang kedua ini, saya tetep nangis liat beberapa adegan. Sedangkan si bungsu yang belum bisa menagkap inti cerita, tampak sangat terkesan oleh Bang Codet hehe…Secara objektif saya harus bilang …film ini bagus. Recommended untuk ditonton oleh keluarga kita, oleh anak-anak kita. Adegan yang saya suka banget dan bikin saya “meleleh” adalah tampilan Fauzi yang sedang khusyuk membaca AlQuran kecil, kala kak Raudhah menceritakan bahwa untuk Fauzi, Al Quran adalah pelipur lara. Tampilan visual seorang remaja dengan gesture yang “nikmat” membaca AlQuran, saat ini adalah barang langka. Saya berharap  tampilan visual itu melekat di memori jangka panjang para remaja yang menonton film itu.

Tapi buat saya, film ini tak sekedar sebuah film. Ada tiga hal lain yang saya hayati dari film ini.

#Pertama. Setiap kali kami memberikan “wejangan” pada anak-anak mengenai passion, kesungguhan dan persistensi, nama Om Iqbal adalah salah satu nama yang selalu kami sebut. “Ibu dan abah punya temen waktu di Salman, namanya om Iqbal. Dulu, 18 tahun yang lalu, om Iqbal udah semangat untuk bikin foto atau film pendek Islami. Saat itu, belum banyak yang tertarik. Tapi Om Iqbal teruuus aja. Ibu dan abah udah lulus, udah gak di Salman lagi, Teman-temen ibu dan abah yang dari Salman udah pada kemanaaaa…. Om Iqbal teruuuus menekuni dunia itu. Konsisten. Dan sekarang, belasan tahun kemudian, konsistensi Om Iqbal membuahkan hasilnya. Sanlat film. Lalu film-film pendek yang diproduksinya, lalu film IQRO”

Ya, dulu…format dakwah ke remaja dengan gaya mentoring sudah berhasil mengajak remaja dekat ke mesjid. Saat ini, belasan tahun kemudian, saat saya menawarkan ke si sulung mau ikut sanlat yang mana, dua kali dia memilih sanlat film yang diadakan Om Iqbal. Saya ingat kata-kata Aa Gym mengenai dakwah, bahwa setiap orang punya titik sentuh yang berbeda. Oleh karena itu, salah satu ikhtiar kita adalah berbagi tugas menggarap titik sentuh dakwah kita. Dan meskipun saya tak terlalu kenal dekat secara personal, saya pikir Kang Iqbal telah memilih titik sentuh dakwahnya. Sebuah titik sentuh yang ia pilih ketika pilihan itu masih tak populer, terus ia perjuangkan sampai berbuah belasan tahun kemudian. Sssssttt…buat yang pengen tau Om Iqbal itu yang mana, tonton aja filmnya. Beliau adalah “asrot”nya Prof Wibowo di awal film hehe….

#Kedua. Saya sangat terharu pada beruntun acara nobar yang digelar oleh beragam komunitas Islam. Baitnet sendiri sudah melakukan 4 kali nobar di berbagai kota. Yang punya keluangan rejeki, mensponsori komunitasnya untuk nonton free. Belum lagi sekolah-sekolah Islam, Pesantren, majlis taklim, arisan ibu-ibu…. Saya jadi ingat waktu akhir tahun lalu umat Islam mengadakan beberapa kali aksi damai. Saya mendengar dan membaca kegelisahan. Ya, aksi-aksi itu berhasi menunjukkan satu hal. Bahwa secara kuantitas, umat Islam itu banyak. Jutaan. Solider. Keren. Tapi saya menangkap kerinduan yang sangat dalam bahwa kita perlu aksi yang sifatnya lebih mengarah pada sinergi. Kerjasama. Kualitas. Dan film ini, menurut saya telah menjadi suatu karya berkualitas yang membuat sinergi itu menjadi sangat nyata untuk bisa diwujudkan. Bahwa potensi kita sebagai Muslim, kalau kita mau berkarya dan saling mendukung, akan sangat dahsyat.

#Ketiga. Kalau dalam dunia psikolog, ada tipe klien yang tergolong “complainer“. Tipe klien seperti ini, biasanya tak sungguh-sungguh ingin mengubah keadaan. Sebagian besar malah “menikmati masalahnya”. Maka, menghadapi klien tipe ini, tugas kami sebagai psikolog lebih rumit. Karena kami harus memikirkan teknik-teknik yang bisa membuat klien menyadari apakah ia benar-banar datang ke psikolog ingin dibantu untuk mencari solusi atau hanya sekedar mencari media untuk “eksis” dengan masalahnya. Di masyarakat, sekarang ini banyak tipe complainer. Hobinya komplain. “film gak ada yang islami!”. “tanyangan TV gak mendidik”. “gadget membuat anak-anak gak berkembang sosialnya”. “fitnah akhir zaman”. “umat islam ekonominya terpuruk”. Komplain. Tanpa menyumbangkan solusi. Saya merasa, produksi film ini bisa menjadi teknik “confronting” yang tepat untuk para complainer. Bahwa berkomentar saja tak akan menyelesaikan masalah. Ayo bergerak. Saya tahu membuat film layar lebar tak mudah. Kompleks. Tapi produksi film ini menurut saya mengajarkan bahwa kebaikan itu, ketika diwujudkan, masih sangat dirindukan. 

Saya masih ingat setelah foto bersama, saat kami akan keluar bioskop, Mas Wien bertanya pada saya: “gimana filmnya de?” Saya bilang “bagus Mas”. Lalu mas Wien bilang: “insya allah, kita akan bikin lagi yang lebih bagus”.

Salmanku, Kang Iqbal, teruslah berkarya, luruskan niat dan teruslah rendah hati ya… Semoga menjadi amal jariah yang menginspirasi dan menggerakkan…

Tentang “binar mata” anak-anak kita

4954315a-2fe4-49db-9364-495bde80312bBeberapa waktu lalu, saya membaca dua buku ini. Ayo tebak….apa persamaan dua buku ini.

Saya ceritain ya sedikit isi 2 buku ini. Yang satu, berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi; seperti judulnya, adalah sebuah buku “akademis” mengenai metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Ditulis oleh seorang dosen “muda” (lebih muda dari saya maksudnya) dari salah satu universitas di Indonesia. Buku ini saya peroleh dari salah seorang teman saya, waktu saya bilang saya lagi cari beragam referensi mengenai metoda kualitatif untuk penelitian saya.

Buku satu lagi, berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Ditulis oleh seorang dosen juga, dosen unpad !!! yeay … hehe. Buku ini direkomendasikan oleh seorang teman. Teman saya, adalah salah satu emak yang di tasnya, saya intip selalu ada buku. Beres buku ini, lanjut buku itu. Buku yang ia baca macam-macam. Kadang berbahasa Inggris, kadang novel, kadang buku “serius”. Maka, waktu ia merekomendasikan buku ini sebagai buku “keren”, besoknya saya langsung ke toko buku untuk membelinya.

Jadi, apa persamaan dua buku ini? sama-sama ditulis sama dosen? sama-sama ditulis sama cowok? sama-sama berbahasa Indonesia? ya….boleh lah… Tapi buat saya, setelah membaca lembar demi lembar kedua buku diatas, buku itu punya dua kesamaan: PASSION dan KESUNGGUHAN.

Jujur saja, saya “terdoktrin” untuk membaca buku berbahasa Inggris dalam urusan akademis. Dosen-dosen saya, tak pernah “bertoleransi” pada kami ynag membaca buku berbahasa Indonesia. Setelah menjadi dosen, saya juga selalu memberikan feedback pada mahasiswa yang membawa buku terjemahan berbahasa Indonesia ke kelas. Masalahanya adalah, review kami terhadap buku-buku Psikologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau buku psikologi berbahasa Indonesia, membuat kami menyimpulkan bahwa konsep-konsep psikologi kadang tak diterjemahkan dengan benar. Kalaupun benar, buku berbahasa Indonesia cenderung tidak uptodate. Itulah sebabnya, saya tak pernah tertarik membeli buku akademik psikologi yang berbahasa Indonesia.

Tapi membaca buku Metodologi Kualitatif berbahasa Indonesia yang ini, rasanya berbeda. Isinya komprehensif mulai dari filosofinya, sampai ke tataran teknis. Materi-materi yang cukup “berat” dipaparkan dengan “ringan”, dengan bahasa yang mengalir diselingi contoh-contoh real yang kadang berasal dari pengalaman pribadi sang penulis. Ternyata, ini adalah buku ke-4 penulis. Awal ketertarikannya pada metoda kualitatif adalah saat ia menyelesaikan tesisnya menggunakan metode ini. Super duper keren.

Cung siapa yang suka sama sejarah. Saya yakin, tak banyak dari kita yang suka dengan sejarah. Jujur, kalau anak kita bilang bahwa ia akan jadi “sejarawan”, akan menekuni bidang sejarah, apakah kita akan senang? mendukungnya? saya tidak yakin.

Buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, adalah tesis seorang mahasiswa sejarah, yang juga seorang dosen ilmu sejarah. Sejarah? sejarah makanan lagi? gak keren amat. Buat saya, gak perlu sampai ke halaman satu untuk bisa mematahkan pendapat itu. Di halaman ucapan terima kasih, saya langsung minder. Ya, buku ini memang tentang sejarah. Sejarah makanan. Tapi dari kalimat demi kalimatnya, dari referensinya, dari ucapan terima kasih terhadap para narasumber penelitian ini, buku ini langsung mengeluarkan dua aroma: passion dan kesungguhan. Saat ini sang penulis bersama istrinya mengelola sebat website mengenai sejarah makanan. Saya sudah ngintip websitenya. Super duper keren.

“Terserah Kaka, Mas, Teteh sama Dede mau jadi apa. Tapi Kaka, Mas, Teteh, Dede harus tau apa yang kalian bener-bener suka. Allah itu, menciptakan setiap orang engga sama. Kita harus menemukan apa keistimewaan yang Allah ciptakan pada diri kita, yang bisa bikin kita paliiiing bermanfaat untuk orang lain. Kalau kita suka, kita akan sungguh-sungguh dan akan menciptakan hal-hal yang engga kepikiran sama orang lain. Kayak temen ibu dan abah….tante ini, om itu, ……” kami menyebutkan beberapa nama-nama teman kami dan kiprahnya masing-masing.

“Wejangan” itu, semakin sering kami ucapkan pada anak-anak. Jujur saja, beberapa tahun yang lalu, saya mengakui kalimat itu masih berupa basa-basi. Sebagai orang yang dibesarkan dengan nilai bahwa hal-hal yang sifatnya akademis itu yang paling utama, di awal-awal saya sangat academic oriented pada anak-anak. Profesi-profesi yang saya bayangkan dan akan saya arahkan pada anak-anak tak jauh dari profesi dokter-insinyur.

Tapi saat ini, saya sudah banyak bertemu orang. sudah banyak melihat dan mendengar kejadian-kejadian. Kini sebagai seorang ibu, saya menghayati…. “jadi apa”, “di bidang apa”, itu bukanlah fokus perhatian saya. Tapi “jadi apa yang seperti apa” dan “kenapa memilih bidang itu”; itu yang jauh lebih penting.

Menggeluti bidang akademik? profesor yang meneliti sesuatu yang jadi passionnya, pasti beda dengan profesor yang jadi profesor karena “mengikuti arus”. Menjadi dokter spesialis sebagai profesi yang super duper keren?  jiika bidang itu adalah passionnya, maka akan sangat berbeda sikapnya pada pasien dengan dokter spesialis yang menjalani kegiatannay sebagai sebuah “pekerjaan saja”. Menjadi pelukis, menjadi ustadz, menjadi guru, menjadi relawan, menjadi ibu rumah tangga…… apapun, sesuatu yang dipilih dan digeluti karena passion, akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dan orang yang bersungguh-sungguh itu, selalu mempesona. Selalu menginspirasi. Selalu menggerakkan. 

Maka, tugas kita sebagai orangtua adalah, menemukan dan menumbuhkan passion itu. Bagaimana caranya? tak selalu harus datang ke psikolog.  Kita bisa tahu dengan mengamati hal produktif apa yang membuat anak-anak kita “berbinar-binar”. Apakah berbentuk nilai? pelajaran? olahraga? seni? bisa jadi. Tapi bisa jadi juga bukan itu.

Saya baru belajar hal ini dari si bujang kecil kami. Salah satu hobinya adalah mencari tayangan dan panduan eksperimen-eksperimen di youtube; mulai dari eksperimen sederhana yang melibatkan bahan di rumah seperti garam, merica, cuka, magnet, korek api, lilin, lem, es batu dll; sampai bahan-bahan kimia yang ia pesan pada saya dan abahnya. Dan setiap kali ia mengerjakan “eksperimennya”, saya selalu “terpesona”. Si anak kelas 5 yang super “bosenan” itu, pernah 2 jam non stop membuat bubuk mesiu dari ujung korek api, dua bungkus. 2 jam nonstop ! ia juga pernah 5 jam, sampai tengah malam, berupaya untuk merakit solar robot yang dibelikan abahnya. Anak yang motorik halusnya kurang terampil itu, berjam-jam membentuk alat-alat dari kertas yang membutuhkan pengerahan semua kemampuan motorik halus: menggunting, melipat, me-lem, memilin. Dan binar mata itu, binar mata ketika ia berhasil melakukan percobaan-percobaan itu…. tak bisa saya lupakan. Ekspresi puasnya, teriakannya, lompatannya, tak bisa saya lupakan. Terbayang binar mata itu akan redup kalau kami memaksanya untuk menjadi dokter, atau insinyur informatika, meskipun profesi-profesi itu keren dan secara akademik, nilai2nya memungkinkan untuk ke sana.

Maka, yang bisa kita lakukan agar anak-anak kita menjadi individu yang tak hanya menjalani hidupnya secara otomatis-namun bisa merasakan puas, menciptakan karya dengan sungguh-sungguh adalah; dengan memberikan kesempatan,  ruang dan waktu bagi mereka untuk menemukan apa yang dicintainya.

Kala anak kita memilih jalan yang tak populer, tak keren, tak sesuai dengan keinginan kita, harusnya kita tak sedih. Yang harus kita sedihkan adalah kala anak-anak kita tak tahu apa yang ia sukai. Bingung apa yang ia minati. Tak punya rasa cinta, tak pernah merasakan dadanya membuncah, tak pernah tau apa rasanya semangat, tak tahu apa yang diinginkannya, tak pernah bersungguh-sungguh.

Menjadi apapun dan di bidang apapun anak kita memilih hidupnya nanti, sesuatu yang ia jalani dengan cinta dan kesungguhan, akan menjadikan dirinya mempesona. menginspirasi. menggerakkan.

Semoga.