IQRO: bukan sekedar film

Seumur hidup, saya gak pernah nonton film yang sama di bioskop, dua kali. Dua hari berturut-turut lagi. Apalagi film Indonesia. Pertama kalinya terjadi weekend dua minggu lalu, Sabtu dan Minggu. IQRO: Petualangan Meraih Bintang adalah film yang saya tonton dua kali dalam dua hari berturut-turut.

Apa istimewanya film ini? pertanyaan ini, akan saya jawab di akhir tulisan ini. Cieeeh…sok misterius haha…

Tadinya saya berpikir bahwa dua kali nonton, hanya sebagai sebuah dukungan terhadap karya yang dirindukan ini. Istilah kerennya mah seperti semut ibrahim gitu hehe… Hari Sabtu, saya nonton bersama ratusan senior dan teman-teman alumni Karisma ITB, yang menyatukan diri dalam sebuah wadah yang bernama baiturrahman net. Disponsori oleh Elzatta, yang ownernya adalah alumni Karisma.

Hari Minggu, nobar sesi dua bersama keluarga Transforma, kantor si abah. Sebenarnya hari Minggu itu jadwal pengajian bulanan kantor. Setiap bulan, kami mengadakan pengajian bergantian tempatnya, sambil silaturahim. Nah heuseus untuk pengajian bulan ini, tim direksi memutuskan diganti dengan nobar film IQRO. Biar kekinian katanya haha….tapi engga cuman itu sih. Sebagian Transformer (sebutan untuk Tim Transforma) adalah alumni Salman. Ada yang alumni Karisma, Gamais dan Pustena.

Ternyata, dua kali nonton itu adalah formula yang sangat pas buat saya. Di hari pertama, kalau saya ditanya filmnya bagus gak? Saya gak akan bisa jawab. Kenapa? Karena saya nonton di hari pertama gak pake mata, tapi pake hati eaaa…. Buktinya, saya udah sesenggukan bahkan sebelum ada adegan yang ditampilkan. Ini nih tayangan yang bikin saya sesenggukan. whatsapp-image-2017-01-29-at-3-17-25-pm-1

Iya….tayangan itu. tulisan itu. Masjid Salman ITB. Hwaaa….hiks…hiks…begitu mata saya melihat huruf-huruf itu, langsung sepersekian detik kemudian seluruh memori dan perasaan saya terlempar ke masa-masa itu. One of the best episode in my life. Langsung  deh sesenggukan hehe… Bangga banget….perasaan gak pernah ada sebuah mesjid bisa memproduksi film layar lebar. Mungkin juga karena sebelum kita nobar, acara dibuka oleh Mas Wien. Mas Wien adalah panggilan akrab kami untuk ketua karisma periode pertama. Saya, aktif di Karisma periode ke-20. Yang ikutan nobar, lengkap dari mulai periode pertama sampai dengan yang saat ini, periode ke 37. Auranya tuh gimanaaaa gituh. Jadi cepet banget air mata meleleh liat adegan-adegan filmnya.

Nah…hari kedua, baru saya bisa objektif menilai film ini. Secara objektif, selain para pemeran utama plus Bu Subur, pemeran lainnya memang terlihat “kurang natural”. Tapi di nonton yang kedua ini, saya tetep nangis liat beberapa adegan. Sedangkan si bungsu yang belum bisa menagkap inti cerita, tampak sangat terkesan oleh Bang Codet hehe…Secara objektif saya harus bilang …film ini bagus. Recommended untuk ditonton oleh keluarga kita, oleh anak-anak kita. Adegan yang saya suka banget dan bikin saya “meleleh” adalah tampilan Fauzi yang sedang khusyuk membaca AlQuran kecil, kala kak Raudhah menceritakan bahwa untuk Fauzi, Al Quran adalah pelipur lara. Tampilan visual seorang remaja dengan gesture yang “nikmat” membaca AlQuran, saat ini adalah barang langka. Saya berharap  tampilan visual itu melekat di memori jangka panjang para remaja yang menonton film itu.

Tapi buat saya, film ini tak sekedar sebuah film. Ada tiga hal lain yang saya hayati dari film ini.

#Pertama. Setiap kali kami memberikan “wejangan” pada anak-anak mengenai passion, kesungguhan dan persistensi, nama Om Iqbal adalah salah satu nama yang selalu kami sebut. “Ibu dan abah punya temen waktu di Salman, namanya om Iqbal. Dulu, 18 tahun yang lalu, om Iqbal udah semangat untuk bikin foto atau film pendek Islami. Saat itu, belum banyak yang tertarik. Tapi Om Iqbal teruuus aja. Ibu dan abah udah lulus, udah gak di Salman lagi, Teman-temen ibu dan abah yang dari Salman udah pada kemanaaaa…. Om Iqbal teruuuus menekuni dunia itu. Konsisten. Dan sekarang, belasan tahun kemudian, konsistensi Om Iqbal membuahkan hasilnya. Sanlat film. Lalu film-film pendek yang diproduksinya, lalu film IQRO”

Ya, dulu…format dakwah ke remaja dengan gaya mentoring sudah berhasil mengajak remaja dekat ke mesjid. Saat ini, belasan tahun kemudian, saat saya menawarkan ke si sulung mau ikut sanlat yang mana, dua kali dia memilih sanlat film yang diadakan Om Iqbal. Saya ingat kata-kata Aa Gym mengenai dakwah, bahwa setiap orang punya titik sentuh yang berbeda. Oleh karena itu, salah satu ikhtiar kita adalah berbagi tugas menggarap titik sentuh dakwah kita. Dan meskipun saya tak terlalu kenal dekat secara personal, saya pikir Kang Iqbal telah memilih titik sentuh dakwahnya. Sebuah titik sentuh yang ia pilih ketika pilihan itu masih tak populer, terus ia perjuangkan sampai berbuah belasan tahun kemudian. Sssssttt…buat yang pengen tau Om Iqbal itu yang mana, tonton aja filmnya. Beliau adalah “asrot”nya Prof Wibowo di awal film hehe….

#Kedua. Saya sangat terharu pada beruntun acara nobar yang digelar oleh beragam komunitas Islam. Baitnet sendiri sudah melakukan 4 kali nobar di berbagai kota. Yang punya keluangan rejeki, mensponsori komunitasnya untuk nonton free. Belum lagi sekolah-sekolah Islam, Pesantren, majlis taklim, arisan ibu-ibu…. Saya jadi ingat waktu akhir tahun lalu umat Islam mengadakan beberapa kali aksi damai. Saya mendengar dan membaca kegelisahan. Ya, aksi-aksi itu berhasi menunjukkan satu hal. Bahwa secara kuantitas, umat Islam itu banyak. Jutaan. Solider. Keren. Tapi saya menangkap kerinduan yang sangat dalam bahwa kita perlu aksi yang sifatnya lebih mengarah pada sinergi. Kerjasama. Kualitas. Dan film ini, menurut saya telah menjadi suatu karya berkualitas yang membuat sinergi itu menjadi sangat nyata untuk bisa diwujudkan. Bahwa potensi kita sebagai Muslim, kalau kita mau berkarya dan saling mendukung, akan sangat dahsyat.

#Ketiga. Kalau dalam dunia psikolog, ada tipe klien yang tergolong “complainer“. Tipe klien seperti ini, biasanya tak sungguh-sungguh ingin mengubah keadaan. Sebagian besar malah “menikmati masalahnya”. Maka, menghadapi klien tipe ini, tugas kami sebagai psikolog lebih rumit. Karena kami harus memikirkan teknik-teknik yang bisa membuat klien menyadari apakah ia benar-banar datang ke psikolog ingin dibantu untuk mencari solusi atau hanya sekedar mencari media untuk “eksis” dengan masalahnya. Di masyarakat, sekarang ini banyak tipe complainer. Hobinya komplain. “film gak ada yang islami!”. “tanyangan TV gak mendidik”. “gadget membuat anak-anak gak berkembang sosialnya”. “fitnah akhir zaman”. “umat islam ekonominya terpuruk”. Komplain. Tanpa menyumbangkan solusi. Saya merasa, produksi film ini bisa menjadi teknik “confronting” yang tepat untuk para complainer. Bahwa berkomentar saja tak akan menyelesaikan masalah. Ayo bergerak. Saya tahu membuat film layar lebar tak mudah. Kompleks. Tapi produksi film ini menurut saya mengajarkan bahwa kebaikan itu, ketika diwujudkan, masih sangat dirindukan. 

Saya masih ingat setelah foto bersama, saat kami akan keluar bioskop, Mas Wien bertanya pada saya: “gimana filmnya de?” Saya bilang “bagus Mas”. Lalu mas Wien bilang: “insya allah, kita akan bikin lagi yang lebih bagus”.

Salmanku, Kang Iqbal, teruslah berkarya, luruskan niat dan teruslah rendah hati ya… Semoga menjadi amal jariah yang menginspirasi dan menggerakkan…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: