Beberapa waktu lalu, saya membaca dua buku ini. Ayo tebak….apa persamaan dua buku ini.
Saya ceritain ya sedikit isi 2 buku ini. Yang satu, berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi; seperti judulnya, adalah sebuah buku “akademis” mengenai metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Ditulis oleh seorang dosen “muda” (lebih muda dari saya maksudnya) dari salah satu universitas di Indonesia. Buku ini saya peroleh dari salah seorang teman saya, waktu saya bilang saya lagi cari beragam referensi mengenai metoda kualitatif untuk penelitian saya.
Buku satu lagi, berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Ditulis oleh seorang dosen juga, dosen unpad !!! yeay … hehe. Buku ini direkomendasikan oleh seorang teman. Teman saya, adalah salah satu emak yang di tasnya, saya intip selalu ada buku. Beres buku ini, lanjut buku itu. Buku yang ia baca macam-macam. Kadang berbahasa Inggris, kadang novel, kadang buku “serius”. Maka, waktu ia merekomendasikan buku ini sebagai buku “keren”, besoknya saya langsung ke toko buku untuk membelinya.
Jadi, apa persamaan dua buku ini? sama-sama ditulis sama dosen? sama-sama ditulis sama cowok? sama-sama berbahasa Indonesia? ya….boleh lah… Tapi buat saya, setelah membaca lembar demi lembar kedua buku diatas, buku itu punya dua kesamaan: PASSION dan KESUNGGUHAN.
Jujur saja, saya “terdoktrin” untuk membaca buku berbahasa Inggris dalam urusan akademis. Dosen-dosen saya, tak pernah “bertoleransi” pada kami ynag membaca buku berbahasa Indonesia. Setelah menjadi dosen, saya juga selalu memberikan feedback pada mahasiswa yang membawa buku terjemahan berbahasa Indonesia ke kelas. Masalahanya adalah, review kami terhadap buku-buku Psikologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau buku psikologi berbahasa Indonesia, membuat kami menyimpulkan bahwa konsep-konsep psikologi kadang tak diterjemahkan dengan benar. Kalaupun benar, buku berbahasa Indonesia cenderung tidak uptodate. Itulah sebabnya, saya tak pernah tertarik membeli buku akademik psikologi yang berbahasa Indonesia.
Tapi membaca buku Metodologi Kualitatif berbahasa Indonesia yang ini, rasanya berbeda. Isinya komprehensif mulai dari filosofinya, sampai ke tataran teknis. Materi-materi yang cukup “berat” dipaparkan dengan “ringan”, dengan bahasa yang mengalir diselingi contoh-contoh real yang kadang berasal dari pengalaman pribadi sang penulis. Ternyata, ini adalah buku ke-4 penulis. Awal ketertarikannya pada metoda kualitatif adalah saat ia menyelesaikan tesisnya menggunakan metode ini. Super duper keren.
Cung siapa yang suka sama sejarah. Saya yakin, tak banyak dari kita yang suka dengan sejarah. Jujur, kalau anak kita bilang bahwa ia akan jadi “sejarawan”, akan menekuni bidang sejarah, apakah kita akan senang? mendukungnya? saya tidak yakin.
Buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, adalah tesis seorang mahasiswa sejarah, yang juga seorang dosen ilmu sejarah. Sejarah? sejarah makanan lagi? gak keren amat. Buat saya, gak perlu sampai ke halaman satu untuk bisa mematahkan pendapat itu. Di halaman ucapan terima kasih, saya langsung minder. Ya, buku ini memang tentang sejarah. Sejarah makanan. Tapi dari kalimat demi kalimatnya, dari referensinya, dari ucapan terima kasih terhadap para narasumber penelitian ini, buku ini langsung mengeluarkan dua aroma: passion dan kesungguhan. Saat ini sang penulis bersama istrinya mengelola sebat website mengenai sejarah makanan. Saya sudah ngintip websitenya. Super duper keren.
“Terserah Kaka, Mas, Teteh sama Dede mau jadi apa. Tapi Kaka, Mas, Teteh, Dede harus tau apa yang kalian bener-bener suka. Allah itu, menciptakan setiap orang engga sama. Kita harus menemukan apa keistimewaan yang Allah ciptakan pada diri kita, yang bisa bikin kita paliiiing bermanfaat untuk orang lain. Kalau kita suka, kita akan sungguh-sungguh dan akan menciptakan hal-hal yang engga kepikiran sama orang lain. Kayak temen ibu dan abah….tante ini, om itu, ……” kami menyebutkan beberapa nama-nama teman kami dan kiprahnya masing-masing.
“Wejangan” itu, semakin sering kami ucapkan pada anak-anak. Jujur saja, beberapa tahun yang lalu, saya mengakui kalimat itu masih berupa basa-basi. Sebagai orang yang dibesarkan dengan nilai bahwa hal-hal yang sifatnya akademis itu yang paling utama, di awal-awal saya sangat academic oriented pada anak-anak. Profesi-profesi yang saya bayangkan dan akan saya arahkan pada anak-anak tak jauh dari profesi dokter-insinyur.
Tapi saat ini, saya sudah banyak bertemu orang. sudah banyak melihat dan mendengar kejadian-kejadian. Kini sebagai seorang ibu, saya menghayati…. “jadi apa”, “di bidang apa”, itu bukanlah fokus perhatian saya. Tapi “jadi apa yang seperti apa” dan “kenapa memilih bidang itu”; itu yang jauh lebih penting.
Menggeluti bidang akademik? profesor yang meneliti sesuatu yang jadi passionnya, pasti beda dengan profesor yang jadi profesor karena “mengikuti arus”. Menjadi dokter spesialis sebagai profesi yang super duper keren? jiika bidang itu adalah passionnya, maka akan sangat berbeda sikapnya pada pasien dengan dokter spesialis yang menjalani kegiatannay sebagai sebuah “pekerjaan saja”. Menjadi pelukis, menjadi ustadz, menjadi guru, menjadi relawan, menjadi ibu rumah tangga…… apapun, sesuatu yang dipilih dan digeluti karena passion, akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dan orang yang bersungguh-sungguh itu, selalu mempesona. Selalu menginspirasi. Selalu menggerakkan.
Maka, tugas kita sebagai orangtua adalah, menemukan dan menumbuhkan passion itu. Bagaimana caranya? tak selalu harus datang ke psikolog. Kita bisa tahu dengan mengamati hal produktif apa yang membuat anak-anak kita “berbinar-binar”. Apakah berbentuk nilai? pelajaran? olahraga? seni? bisa jadi. Tapi bisa jadi juga bukan itu.
Saya baru belajar hal ini dari si bujang kecil kami. Salah satu hobinya adalah mencari tayangan dan panduan eksperimen-eksperimen di youtube; mulai dari eksperimen sederhana yang melibatkan bahan di rumah seperti garam, merica, cuka, magnet, korek api, lilin, lem, es batu dll; sampai bahan-bahan kimia yang ia pesan pada saya dan abahnya. Dan setiap kali ia mengerjakan “eksperimennya”, saya selalu “terpesona”. Si anak kelas 5 yang super “bosenan” itu, pernah 2 jam non stop membuat bubuk mesiu dari ujung korek api, dua bungkus. 2 jam nonstop ! ia juga pernah 5 jam, sampai tengah malam, berupaya untuk merakit solar robot yang dibelikan abahnya. Anak yang motorik halusnya kurang terampil itu, berjam-jam membentuk alat-alat dari kertas yang membutuhkan pengerahan semua kemampuan motorik halus: menggunting, melipat, me-lem, memilin. Dan binar mata itu, binar mata ketika ia berhasil melakukan percobaan-percobaan itu…. tak bisa saya lupakan. Ekspresi puasnya, teriakannya, lompatannya, tak bisa saya lupakan. Terbayang binar mata itu akan redup kalau kami memaksanya untuk menjadi dokter, atau insinyur informatika, meskipun profesi-profesi itu keren dan secara akademik, nilai2nya memungkinkan untuk ke sana.
Maka, yang bisa kita lakukan agar anak-anak kita menjadi individu yang tak hanya menjalani hidupnya secara otomatis-namun bisa merasakan puas, menciptakan karya dengan sungguh-sungguh adalah; dengan memberikan kesempatan, ruang dan waktu bagi mereka untuk menemukan apa yang dicintainya.
Kala anak kita memilih jalan yang tak populer, tak keren, tak sesuai dengan keinginan kita, harusnya kita tak sedih. Yang harus kita sedihkan adalah kala anak-anak kita tak tahu apa yang ia sukai. Bingung apa yang ia minati. Tak punya rasa cinta, tak pernah merasakan dadanya membuncah, tak pernah tau apa rasanya semangat, tak tahu apa yang diinginkannya, tak pernah bersungguh-sungguh.
Menjadi apapun dan di bidang apapun anak kita memilih hidupnya nanti, sesuatu yang ia jalani dengan cinta dan kesungguhan, akan menjadikan dirinya mempesona. menginspirasi. menggerakkan.
Semoga.
Feb 06, 2017 @ 11:52:45
thanks mba, beautifully written as always 🙂