Ibu: Tentang Kepercayaan diri dan kekuatan doa-nya

Saya percaya pada pertolongan Allah. Tapi saya tidak percaya kalau Dia yang Maha Cermat dan Maha Sempurna, memberikan pertolongan secara “random”. Saya percaya bahwa pertolongan dariNya, diturunkan melalui sebuah sistem keteraturan. Sistem ini-lah, yang kata Ustadz Aam, bernama nashrullah. Kita belajar keras, lalu dapat nilai yang baik; berarti perilaku kita belajar keras adalah bentuk upaya untuk mendapatkan nasrullahNya. Kalau kita ingin anak kita punya kontrol diri yang baik, lalu kita berupaya untuk mengenalkannya pada aturan dan batasan sejak ia berusia 2 tahun, konsisten menjalankan dan memonitor aturan dan batasan tersebut, maka kontrol diri yang tertanam dalam diri anak kita, adalah nasrullahNya.

Tapi, saya juga percaya pada keajaiban. Bagi saya sebagai muslimah, tentu sumber keajaiban adalah dari Allah juga. Kata Ustadz Aam, itulah yang namanya inayatullah. Pertolongan Allah yang ia berikan ada hambaNya, yang tidak mengikuti suatu aturan logis. Seseorang yang sakit berat, secara medis sudah tak ada yang bisa dilakukan lagi selain menunggu saat ajal menjemput, tiba-tiba segar bugar kembali. Seorang anak sebatang kara, tak punya sanak saudara, untuk makan saja tak terbayang; bisa sekolah sampai jenjang akademik tertinggi. Ada banyak kisah “ajaib” yang pernah kita dengar. Itulah inayatullahNya.

Kalau upaya kita untuk mendapatkan nasrullahNya adalah dengan mempelajari dan mengamalkan “sistem sunnatullah pertolongan Allah”; maka inayatullah dapat dihadirkan dengan DOA. Doa adalah pengubah takdir. Kekuatannya menembus ruang dan waktu. Buktinya, doa seorang anak sholeh bisa mengubah kondisi orangtuanya di alam barzah.

Keyakinan terhadap dua bentuk pertolongan Allah inilah, yang saya rasa selalu bisa menjadi nyala api yang membuat saya termotivasi untuk terus bergerak. Karena saya yakin, upaya sampai titik darah penghabisan pada hakikatnya akan mengundang nasrullahNya. Namun ketika persoalan yang dihadapi melihatkan hal-hal dan pihak-pihak lain di luar kontrol diri saya, maka keyakinan akan inayatullahNya, menghindarkan saya dari perasaan hopeless.

Saya punya andalan untuk mengundang inayatullahNya. Kalau istilah Ustadz Aam sih, kalau punya andalan, seolah kita punya “jimat”. Apa “jimat” saya? Mamah. Doa Mamah, selalu saya yakini sanggup membuat keajaiban pada saat situasi tampaknya “tak mungkin”. 15 tahun lalu, “jimat” saya bertambah. Emak. Doa emak, mertua saya. Mamah dan Emak, ajaibnya, meskipun tak saling kenal dan berada di tempat yang saling jauh, tapi punya rutinitas ynag sama. Dhuha, Tahajjud, dzikir, shaum sunnah. Mereka juga punya kebiasaan yang sama. Kalau anak-anaknya sedang ujian, mereka akan puasa hari itu, sholat, dzikir dan berdoa selama waktu anaknya ujian. Baru berhenti saat anaknya sudah di rumah dan atau sudah mengabari kalau ujiannya selesai.

8 tahun lalu, saat saya hamil anak ketiga si gadis kecil, saya mengalami plasenta previa. Plasenta “tertanam” di jalan lahir. Oleh karena itulah selama hamil; berbulan-bulan bedrest total plus mengkonsumsi obat penguat kehamilan. Kalau engga, pendarahan hebat berkali-kali terjadi. Pada saat usg di bulan terakhir menjelang kehamilan, dokter mengatakan saya harus bersiap melahirkan dengan cara operasi. Secara medis tak ada upaya yang bisa dilakukan terhadap kondisi plasenta previa saya. Baiklah. Tapi meskipun rasio saya mengatakan “tak mungkin”, saya terus meminta doa dari mamah dan emak. Saya ingin melahirkan normal. Dua minggu sebelum melahirkan, pada saat kontrol, dokter menyatakan plasentanya bergeser dan saya bisa melahirkan normal. Itu adalah salah satu dari sekian banyak “keajaiban”; inayatullah yang Allah turunkan yang saya yakini, turut dipengaruhi oleh kekuatan doa mamah dan emak. Maka, meminta doa dari mamah dan emak pun berlanjut sampai untuk kepentingan anak-anak saya. Anak-anak sakit sudah pasti, anak-anak ujian, si sulung seleksi untuk jadi pengurus OSIS, si bukang kecil mau ikutan OSN, dll dll.

Suatu hari, saya bilang ke si sulung saat ia akan menjalani suatu seleksi masuk suatu tim yang sangat ia dambakan. “Kaka, telpon nenek dan yangti Ka, minta doa. Doa dari orangtua terutama ibu itu, kekuatannya dahsyat banget loh” saya bilang. Si sulung menurut. Tapi ternyata, buat saya sendiri, kata-kata yang saya ucapkan pada si sulung seperti bergema. Dan gema itu, mengundang suatu dialog antara….entah antara siapa. Mungkin antara nurani saya. Begini dialognya:

“Doa ibu itu dahsyat kekuatannya. Kamu kan ibu. Kenapa bukan kamu yang berdoa untuk si sulung?”//”Iya ya….saya adalah seorang ibu. ibunya. Doa saya, apabila saya panjatkan sungguh-sungguh, kekuatannya bisa dahsyat. Tapi….doa mamah dan doa emak sudah terbukti kekuatannya. Saya lebih tenang kalau anak-anak minta doa dari nenek dan yangtinya”//”Kenapa? kan kamu ibunya”suara yang bertanya terasa mendesak. Saya tak bisa menjawab dengan segera. Lidah saya kelu rasanya. Saya butuh waktu merenung untuk menyampaikan jawabannya. Beberapa saat kemudian, saya mendengar suara pelan yang parau. Suara saya. Saya gak pede. 

Ya, saya tidak percaya diri pada kekuatan doa saya. Kenapa? karena…karena…kualitas ruhiyah saya, jauuuuuuh dibanding kualitas ruhiyah mamah dan emak. Mereka, dekaaaat sekali dengan Allah, melalui ritual ibadah rutin mereka. Saya? kualitas saya jauuuuh dibanding mereka.

Ya, saya memang seorang ibu. Ya, setiap bada sholat, saya mengucapkan “robbiii hablii minas sholihiin” 4 kali, masing-masing sambil membayangkan wajah si sulung, si bujang kecil, si gadis kecil dan si bungsu. Tapi….saya engga pede doa saya bisa menembus langit, menggetarkan ArRasy-nya…… saya baru tersadar…padahal Allah tergantung persangkaan hambaNya. Dan kekuatan doa, salah satu faktornya adalah keyakinan kita saat memohonkan doa itu….

Beberapa hari saya resah dan gelisah dengan pemikiran ini, sampai suatu hari, saya sampaikan sama si abah: “bah, kenapa ya…aku kok rasanya gak pede kalau ngedoain anak-anak terutama untuk hal-hal yang sepertinya gak mungkin. Aku lebih tenang dan lebih pede minta doa dari mamah dan emak“kata saya. Jawaban si abah: “mungkin karena kualitas ibadahmu tidak sebagus mamah dan emak de”. KLOP. CONFIRMED. memang itu penyebabnya.

 “Sesayang-sayangnya aku sama anak-anak, ada satu hal yang gak bisa aku kejar, yang dimiliki dirimu de” begitu kata si abah. “kekuatan doa”. Katanya lagi. Saya juga ingat, suatu hari saya menemukan artikel mengenai seorang teman saya. Di usianya saat ini, ia sangat cemerlang dan gemilang di bidangnya. Saya menyatakan kekaguman saya pada teman saya itu. Si abah menanggapi; “aku gak mau dirimu tenar kayak gitu de. Aku pengen, anak-anak merasa tenang setelah minta doa darimu, seperti tenangnya kita setelah minta doa dari mamah dan emak”.

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaJLEB. Sebuah permintaan sekaligus “wasiat” yang super duper berat. Tapi 100% benar.  Semakin hari, sebagai seorang ibu saya merasa permasalahan anak-anak saya semakin kompleks. Si sulung sudah masuk masa remaja, mulai harus saya “lepaskan” sedikit demi sedikit. Semakin banyak masalah yang melibatkan faktor “luar” yang tak sepenuhnya bisa saya kendalikan. Dan saya, merasa semakin butuh inayatullahNya. Saya butuh “keajaiban” yang bisa memagari anak-anak saya dari keburukan yang tak terlihat dan terdengar. Anak-anak juga semakin menghadapi beragam persoalan yang semakin kompleks dan berat untuk mereka. Mereka butuh bantuan doa dari ibunya. Saya.

Saya tidak tahu apakah teman-teman pernah mengalami perasaan yang sama dengan saya. Namun saya, tak selalu aware terhadap “potensi” sekaligus “amanah” Allah terhadap diri saya. Saya sering teringatkan oleh celotehan anak-anak, misalnya saat si bungsu bertanya: “Ibu, kenapa syurga ada di telapak kaki ibu, bukan telapak kaki abah?”. Atau pernyataan si gadis kecil kecil: “ibu, setiap abis sholat teteh selalu berdoa robbighfirli wali-wali dayya 4 kali” . “Kenapa 4 kali?” tanya saya. “Ya kan untuk ibu 3 kali, abah satu kali. Gitu kata bu Guru. Kan kata Rasulullah juga ibumu…ibumu…ibumu…baru ayahmu. Jadi ibu tiga kali, abah satu kali”.

Suka pengen nangis kalau udah denger kata2 yang memuliakan ibu segitunya teh. Sedih apa ya…sedih terharu sambil takut. Takut karena sebegitu mulianya ibu ditempatkan oleh Allah dan Rasulullah, sedangkan kualitas ruhiyah saya….hiks…

Ah, tapi gak boleh lebay ya. Harus bangkit berjuang. Karena bagi seorang wanita, ketika ia menjadi seorang ibu, perjuangannya tak pernah untuk dirinya sendiri. Ketika hamil muda dan males makan apa-apa, seorang ibu harus memikirkan janin di kandungannya. Ketika menghadapi beragam macam persoalan, seorang ibu harus berjuang memanage energi, emosi dan waktunya; agar anak-anaknya tetap mendapatkan hak-nya. Demikianpun saat ia berupaya mendekatkan diri pada RabbNya, seorang ibu harusnya meniatkan juga agar ia mudah mendapatkan pertolongan Allah, pertolongan yang akan ia mohonkan bagi anak-anaknya.

Ya, memang seharusnya basic trust seorang anak tumbuh pada TuhanNya dan pada ibunya. Melalui kedekatan ibunya dengan Tuhannya lah, seorang anak bisa menumbuhkan dua basic trust itu secara bersamaan. Hayu berjuang bersama. Insyaallah kita bisa.

1 Comment (+add yours?)

  1. Ika Hijriani
    Feb 21, 2017 @ 12:39:46

    ijin share ya mba…nangis terharu ngebacanya…hiks

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: