Perjalanan sang uban

Pada suatu hari, ketika saya sedang menyisir rambut, tiba-tiba…… saya melihat selembar rambut putih ! impulsif saya langsung mengontak si abah yang saat itu sedang di Jakarta. Setelah tersambung saya langsung setengah teriak:“abah….aku udah ubanan!!”. Si abah sepertinya sedang meeting penting, terdengar dari suara backgroudnya dan suara pelan darinya: “oh, gitu aja?”  haha…. emang cuman gitu aja sih….kkk.

Ya, sebenarnya sudah setahun ini saya merasa sudah masuk babak baru dalam kehidupan saya. Sudah merasa “tua” haha…. namun bayangan rambut beruban gak pernah kepikiran. Hihiiii…childish banget ya 😉

Penyebab saya merasa “tua”  tampaknya ada beberapa faktor. (1) Dari luar mungkin pengaruh si abah yang sejak berusia 40 tahun lalu, benar-benar menghayati dirinya sudah harus mempersiapkan diri berbekal untuk alam abadi nanti. Maka, topik pembicaraan kita pun berubah. Si abah menjadi lebih “bijaksana” dan “religius”. (2) Memang tahun lalu kami pun masuk fase perkembangan keluarga yang baru. Family with teenager. Maka, obrolan kami pun mulai merambah pada isu seputar calon mantu haha….trus merembet ke soal cucu haha…..(3) Di kampus, perlahan tapi pasti, adik2 junior saya para dosen “muda” menjadi lebih banyak jumlahnya. (4) Di tempat praktek, saya pernah tanya ke rekan saya: kenapa saya gak pernah dapet kasus tumbuh kembang ya? rasanya akhir-akhir ini dapet kasusnya yang “berat-berat”. Trus rekan saya bilang: “Iya lah mbak, kalau kasus tumbuh kembang kan kita yang muda2 yang tanganin. Mbak Fitri mah pegang kasus-kasus yang kliennya minta ditanganin sama psikolog senior”. Oh my god, sayah sudah senior ..saya barus sadar bahwa rekan saya itu, adalah mahasiswa-mahasiswa saya beberapa tahun lalu….haha…(5) Banyak “mantan” mahasiswa-mahasiswa saya yang suka minta “nasihat” dari saya. Yang mau nikah, yang mau tambah anak, yang mau memilih karir…..

Sebenernya, penghayatan bahwa … yups, saya sudah masuk fase “tua”; sama sekali tak saya rasakan sebagai suatu hal yang negatif. Tapi yang jelas penghayatan itu membuat saya seneng sama  2 hal :

(1) Membaca-baca buku mengenai perkembangan manusia. Santrock, dalam bukunya “life span development”, menjelaskan alasan mengapa kita perlu mempelajari perkembangan manusia, melalui sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menggelitik. “Apa pentingnya mengetahui dan memahami perkembangan manusia?”. Pada zaman dahulu kala, kita percaya bahwa perkembanagn hanya terjadi pada anak sampai dewasa. Ketika ia sudah dewasa, maka perkembangan tak terjadi lagi. Stabil. Titik. Tapi ternyata temuan-temuan melalui berbagai metodologi ilmiah menemukan bahwa perkembanagn manusia, berlangsung terus sampai dengan ajal menjelang. Perkembangan itu hakikatnya perubahan. Maka, seperti kata Santrok, menghayati perkembangan yang terjadi pada diri kita mulai sejak saat kita ingat kala kecil dahulu, sampai saat ini, akan memberi kita pelajaran berharga tentang kehidupan. Dan pemahaman terhadap apa yang akan terhadi pada diri kita dimasa yang akan datang, bagaimana itu dipengaruhi kehidupan kita sebelumnya, apa yang harus kita antisipasi dan lakukan saat ini, itu tak kalah berharganya.

(2) Setahun belakangan ini, saya jadi lebih seneng beratifitas dan berinteraksi dengan orang-orang yang usianya di atas saya. Orang-orang yang ketika tahu umur saya 38, mereka berata: “ya ampun Fiiit, masih muda banget”. Atau saat mereka cerita, mereka mengatakan: “waktu kita muda kayak Fitri ya, kita  bla..bla..bla…”. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santrock, berinteraksi dengan mereka memunculkan suatu gambaran dan penghayatan mengenai apa yang akan saya jalani nanti. Memberi contoh bagaimana saya harus menjalanisnya, memberikan gambaran antisipasi yang harus saya lakukan agar ketika saat itu tiba, kehidupan saya akan baik-baik saja.

Beberapa halnya adalah: (1)  hal keciiiil aja. Dua minggu lalu saya beraktifitas dengan para senior yang usianya sudah diatas 50 tahun. Waktu itu di sebuah hotel, kita menuruni tangga menuju ruang makan. Saya jalan biasa, trus pas sampe bawah, saya baru menyadari bahwa para senior saya masih setengah tangga. Pas ketemu di bawah, salah seorang senior saya bilang : “beda ya, anak muda mah. Turun tangga juga meni gesit, udah gak kekejar sama kita. Kita mah lutut udah gak kuat Fit lompat-lompat kayak Fitri. Pengalaman itu, tak akan saya alami kalau saya bergaul dengan teman-teman seusia dan yang lebih muda. Sebuah pengalaman yang menumbuhkan empati buat saya. Trus lalu mereka ngobtolin pengalaman menopause. Sebuah hal yang akan saya jalani kalau umur saya panjang sampai di saat itu, yang gak kebayang saat ini.

(2) Bergaul dengan mereka para senior itu, juga membuat saya terpapar pada pola pikir “bijaksana”. Saya terpapar pada sisi-sisi yang selama ini tak pernah terpikir untuk saya pertimbangkan. Saya jadi paham bahwa ada dimensi lain yang menambah bobot kualitas sebuah sikap, pilihan dan perilaku selain hitam–putih “benar-salah” atau “baik-benar”; yaitu “wisdom”.

(3) Pelajaran yang paling berharga dari mereka-mereka adalah pelajaran “self acceptance”. Penerimaan diri. Saya amat bersyukur di berbagai tempat saya beraktifitas baik aktifitas formal maupun non formal, saya selalu bersama dengan para perempuan “kuda perang” kalau istilah saya. Para wanita yang tak pernah berhenti berkiprah, sampai detik terakhir kehidupan mereka. Secara teori, hal yang paling mendasar dari “menjadi tua” adalah, kondisi fisik yang menurun. Nah, Saya seneeeeng banget kalau berada di antara mereka dan mereka mentertawakan penurunan kemampuan fisik mereka. Misalnya waktu itu saya pernah senam pagi bareng para senior. Lalu mereka mentertawakan gerakan-gerakan yang sudah tak sanggup mereka lakukan. Konon, mentertawakan kelemahan diri adalah tanda penerimaan. Awareness mereka terhadap keterbatasan fisik mereka, tak menghalangi mereka untuk tetap berkarya. “Aku mah udah gak bisa baca huruf kecil Fit. Boleh gak naskahnya diketik font 18?”. Tak ada rasa frustrasi dengan kemampuan yang menurun. Tak ada excuse. Mereka tetap memeriksa naskah saya dengan cermat. Tak bisa membaca huruf dengan ukuran standar, tak jadi halangan buat mereka.

stock-vector-cartoon-illustration-of-a-woman-during-different-life-stages-life-cycle-growth-development-153737195.jpgDua pengalaman ini, membuat saya merasa bahwa kehidupan ini, dari awal lahir sampai dengan menutup mata nantinya, adalah sebuah perjalanan yang seru. Selalu ada hal baru yang bisa kita pelajari. Selalu ada hal yang bisa kita lakukan. Selalu ada pengalaan yang menyenangkan di setiap fasenya, dalam bentuk yang berbeda. Maka, di hari ulangtahun ini, saya menghayati bahwa usia 60,70, itu adalah usia yang pendek. Itupun kalau sampai di usia itu. Tapi saya sangat excited menjalani hari-hari menjelang usia-usia ke depan. Ada banyak hal yang ingin saya pelajari. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan,  ada banyak pengalaman yang ingin saya coba dalam sajadah panjang kehidupan ini. Saya tak tahu uban di kepala saya akan menemani saya mempelajari apa, menjalani apa dan berapa lama.

Namun, saya berdoa untuk dipanjangkan umur. Bukan sembarang panjang umur. Tapi umur panjang dengan amal sholeh, bukan hanya amal baik. Maka, untuk teman-teman yang mengucapkan ulang tahun pada saya di hari ini (geer haha…..), mohon perkenan untuk menambah doanya menjadi “umur panjang dengan amal sholeh yang banyak”

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik diantara kalian ?”. Para shahabat menjawab, “Ya, mau”. Beliau bersabda, “Orang yang paling baik diantara kalian ialah orang yang paling panjang umurnya dan paling baik amalnya diantara kalian”. [HR. Ahmad, para perawinya perawi shahih. Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan Baihaqi]

Kala ke”islam”an kita dipertanyakan

Penghakiman. Itulah yang sedang marak akhir-akhir ini. Tanpa konteks. Standar-standar untuk menghakimi ditentukan secara “kasat mata”. Tak ada ruang untuk mendengarkan. Tak ada ruang untuk dialog. Tak ada ruang untuk perbedaan.

Kalau tak ikutan acara ini, munafik. Kalau bajunya gak begini, tak beriman. Kalau ngajinya bukan pada ustadz ini, kafir. Kalau tak ikut komunitas parenting yang itu, tak islami.

Tentu tak semuanya senang menghakimi seperti itu. Bahkan prosentasenya sedikit. Jauh lebih sedikit dibandingkan orang-orang yang memahami bahwa ada beragam cara untuk melakukan amal sholeh. Jumlahnya sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para guru yang memahami bahwa kesamaan pemahaman prinsip jauh lebih penting daripada persamaan seragam yang “kasat mata”. Namun yang jumlahnya sedikit ini, seringkali membuat luka yang dalam. Dikatakan bahwa niatnya mengingatkan karena peduli dan “sayang” serta ingin menyelamatkan. Tapi rangkaian kalimat dalam meme itu tak berbohong. “anda waras?” “anda sehat?” dan kalimat-kalimat yang terasa lebih sebagai sindiran dan ejekan itu menusuk lebih tajam.

Pagi sampai sore tadi, saya mengikuti sebuah workshop. Family and couple therapy. Dari seorang ahli psikoterapi dari Belanda. Setelah kami berpasangan mempraktekkan sebuah teknik yang menurut kami super duper keren, pasangan saya, seorang senior berkata: “Fit. kayaknya jaman sekarang mah kita teh dicap kafir kali ya, belajar ilmu kafir dari orang kafir”….

Ya, sudah sangat sering kami, orang-orang yang belajar psikologi, mendapat cap “kurang iman, kurang islam”. Saat saya mengungkapkan tema “menghindari pernikahan yang sakit dan mengupayakan perceraian yang sehat”; saya pernah disebut “berteman dengan syetan yang pekerjaannya memisahkan pernikahan antara dua muslim”. Ketika menyebutkan istilah remaja, saya dibilang terjerumus ke dalam propaganda kafir yang ingin melemahkan islam. Ketika mengajak orangtua untuk memberikan kesempatan pada anak untuk membuat keputusan dan  menghargai keputusan anak, dikatakan mengajarkan anak untuk tak birrul walidain. Ketika mengajak pemuda-pemudi untuk mengevaluasi kematangan diri dan calon pasangan sebelum memutuskan menikah, dibilang mendukung pemuda-pemudi untuk berzina. Ketika berpendapat mengenai poligami yang tak sehat, dikatakan melawan sunnah Rasul. Ketika mengajak menghayati pilihan untuk menjadi orangtua dan memikirkan kualitas pengasuhan, dibilang tak percaya “banyak anak banyak rejeki”.

Saya tak bohong, seringkali sedih sih. Sedih banget. Kesedihan itu terutama karena rasanya “tak dipercaya” bahwa saya beritikad baik oleh “saudara sendiri”. Biasanya kalau sudah menerima penghakiman seperti ini, apapun penjelasan saya mengenai konteks dan apa maksudnya, tak akan didengar. Cap sudah dilekatkan.

Seorang teman, ketika ia tak mengikuti suatu kegiatan lalu oleh temannya yang mengikuti kegiatan tersebut dipertanyakan keimanannya, bertanya pada saya: “emang aku gak beriman ya Fit?”. Saat itu, saya tak menjawab. Kami diam lama….dan dalam diam itu terbayang sebuah film tentang teman saya ini. Seorang yang sangat peduli pada orang yang membutuhkan, menjadi donatur di beberapa rumah anak yatim, memberikan jasa profesional gratis di sana-sini untuk yang membutuhkan. Tapi saya paham bahwa pertanyaannya, bukanlah pertanyaan retoris. Sebuah pertanyaan yang juga berulang-ulang saya tanyakan pada diri saya sendiri setiap kali saya mendapat reaksi “negatif”, Pertanyaan yang kemudian mengundang dialektika.

Benarkah saya kurang beriman  jika saya mengatakan perceraian sehat lebih baik dibandingkan pernikahan yang sakit? kenapa dalam Islam diperbolehkan bercerai kalau memang tak ada kebaikan dalam perceraian itu? Lalu, kalau suami isitri tetap bersama tapi setiap hari bertengkar, lalu suami maupun istri memiliki selingkuhan yang membuat mereka nyaman, anak-anak benci berada di rumah…. itu tetap lebih baik dibandingkan dengan bercerai?

Apakah saya kurang islam jika menunjukkan fakta bahwa penyangkalan terhadap perubahan biologis, kognitif dan emosi seorang anak sekitar usia pubertas itu justru akan membuat orangtau menjadi kurang tepat dalam mengarahkan perilaku anak? bahwa istilah remaja hanyalah sebuah istilah yang bisa kita pakai, bisa tidak? bahwa key issue-nya bukan di istilah itu?

Dan teruuuuus dialektika itu terjadi untuk setiap issue yang kami dianggap “bertentangan dengan nilai-nilai agama”. Dan saya tahu akar masalahnya: karena kami bergerak di lapangan. Kami melihat fakta. Perceraian yang buruk diakibatkan tak peduli pada apa yang harus disiapkan saat memasuki pernikahan; anak-anak yang hancur saat sang ayah berpoligami tanpa peduli pada etika; kepribadian tak matang seorang dewasa karena seluruh hidupnya mengikuti apa yang diminta orangtua dengan satu kata “birrul walidain”, dan semua permasalahan yang membuat kami kadang tak bsia tidur kala malam. Semua masalah itu nyata, ada di hadapan mata kami.

Agama ini tak melarang kita untuk hidup bahagia. Bahkan doa “sapu jagad” yang kita lantunkan, adalah memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kita layak bahagia. Pernikahan kita layak kita perjuangkan untuk menjadi pernikahan yang bahagia. Anak-anak kita layak menjalani pilihan hidup yang jadi passionnya, remaja-remaja kita layak untuk dipahami. Toh, semua perubahan itu Allah juga yang mentakdirkan. Psikologi, ya berkembang di Barat. Lalu apakah itu artinya semua temuan Psikologi bertentangan dengan ajaran agama? Ajaran agama tak pernah salah, ia sempurna. Maka, kalau pada prakteknya ternyata memunculkan keburukan, pasti ada yang salah dalam pemahaman terhadap ajaran agama tersebut. Nah, itu yang kemudian perlu didiskusikan.

Setelah saya membawa kegalauan ini pada saat berhaji 4 tahun lalu, kini saya punya tips jitu saat saya merasa “sedih” dan “terluka” karena “penghakiman”  itu.

(1) Kala ada yang mempertanyakan kualitas keislaman, keimanan, kecintaan kita pada agama kita,  dengan pilihan dan tindakan kita yang berbeda dengan “keseragaman” yang dibuat di luar sana, maka terima pertanyaan itu. Secara jujur, tanyakan pada nurani kita. Lalu jawab juga dengan jujur. Dengan mendengarkan alasan mengapa mereka meragukan kita. Dengan melakukan dialog dengan hati nurani kita. Mungkin memang benar kita kurang iman, kurang islam. Maka, dekatkan diri dengan banyak beribadah. Benar-benar tulus minta pada yang Maha Kuasa. Kalau memang benar kita salah, mohon diluruskan.

(2) Kita sesunguhnya tak perlu berjuang untuk membuktikan keislaman dan keimanan kita pada manusia, pada dunia. Keimanan itu, pada hakikatnya adalah hubungan dengan Allah. Bahwa secara “identitas sosial” kita tak dipandang sebagai seseorang yang berada di kubu “agamis”, ya….itu bukan bagian dari inti tauhid sebenarnya. Jangan patah arang. Tetap semangat melakukan kebaikan dan mengkalibrasi kebaikan itu dengan kebenaran agama.

d61d56bdffae15e719edc87fed94bbb3Bahwa ada rasa sedih ketika menghadapi penghakiman itu, ya…kita jalani aja. Nangis aja. Tapi sungguh, kita tak perlu membuktikan keimanan dan keislaman kita pada manusia.

Amalkan saja ayat di QS At-TAubah 105 ini. Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.