Pagi tadi, si gadis kecil meminta uang pada saya. Tumben, hari selasa. Di sekolahnya, jatah “jajan” untuk kelas 2, kelasnya, adalah hari Rabu. Itu pun maksimal 5 ribu rupiah. “Ada bazar kelas 1 bu” katanya. Saya beri 12 ribu, beserta dompet kecil berwarna ungu bergambar gajah, oleh-oleh temen saya yang jalan-jalan ke Thailand beberapa tahun lalu. Bazar adalah program sekolah. Anak-anak di kelas tertentu berjualan, pembelinya adalah anak-anak dari kelas lain.
Sore tadi, pulang sekolah dia dan si bujang kecil cerita tentang bazar kelas 1. Si gadis kecil mengembalikan dompet kecilnya. Kosong. “Teteh habis semua uangnya? gak hilang? gak dikasih sama orang lain?” pertanyaan itu spontan mengalir. Jujur saja, saya kaget juga uang sebanyak itu habis. Dan kekagetan itu membawa saya pada dugaan-dugaan. Dugaan bahwa uangnya sebagian hilang, dikasih ke temennya atau…. di”palak” sama temennya. Saya mendengar beberapa kali peristiwa pemalakan. Mungkin niatnya bukan malak sih anak-anak itu; mungkin penilaian sosial mereka belum matang. Tapi bahwa ada beberapa anak yang suka memaksa meminta uang pada temannya yang lain, beberapa kali saya dengar. Minggu lalu, si gadis kecil bawa bekal kue tart ulang tahun saya, lalu dia cerita. “begitu teteh buka kotak bekel teteh, eh *** dan *** (dua anak laki-laki) langsung menyerbu. Engga minta, langsung ambil dan abisin kue teteh”.
Sehabis maghrib tadi, setelah menemaninya belajar dan membacakan buku untuk si bungsu, saya bilang ke si gadis kecil; “teteh, sini. Ibu mau bicara soal uang yag tadi pagi ibu kasih. Teteh cerita ya, uang itu habisnya gimana”. Di luar dugaan saya, dia langsung menangis tersedu-sedu. Baru minggu lalu saya belajar tentang emosi primer dan emosi sekunder. Perasaan yang tampak dan perasaan yang menjadi akarnya, di workshop family and couple therapy. Dia menangis; saya belum tau pasti kenapa. Yang jelas ia sedang mengalami perasaan tidak nyaman. Takut dan tidak nyaman.
Saya peluk dia. Dalam situasi seperti itu, saya tau dia butuh rasa nyaman. Saya juga kasih ia waktu Beberapa kali saya tanya: “teteh udah siap cerita?” dia menjawab dengan tangisan. 30 menit. Setiap kali tangisnya berhenti, saya tanya ia sudah siap atau belum. Dan kali ketiga, sambil menangis dia menjawab: “tapi nanti ibu marah”. Saya peluk lagi sambil bilang “ibu janji ibu gak akan marah”. Siklus itu, dia berhenti nangis-saya tanya udah siap atau belum-lalu dia jawab “nanti ibu marah” sambil nangis lagi, berlangsung 3 kali. 30 menit lagi.
Sambil mengeratkan pelukan sebagai pernyataan bahwa saya tak akan marah apapun yang ia ceritakan, saya merenung. Saya tahu, saat itu, ada tembok ketidakpercayaan yang membentengi saya dan si gadis kecil. Dan rasa percaya itu, tumbuhnya tak bisa dipaksakan. Tidak bisa diyakinkan dengan kata-kata. Ia perlu tumbuh perlahan dalam hati, perlahan sampai cukup memberikan kekuatan. Itu proses yang tengah terjadi pada si gadis kecil. Apa yang membuatnya tak percaya pada saya?
Ada banyak hal yang tidak saya sadari. Beberapa hari ini saya sedang PMS. Gabungan dari rasa kram di rahim berhari-hari, nyeri payudara plus “sumbu pendek” membuat saya hobi “marah-marah gak jelas”. Sampai kata si bungsu, “ibu sekarang jadi pengesel”. Waktu saya tanya apa itu “pengesel”, dia bilang: “iya kan kalau orang yang suka marah-marah namanya pemarah. Nah, yang suka sering kesel namanya pengesel. Ibu pengesel”
Sikap saya itu, bisa jadi membuat tembok ketidakpercayaan itu hadir. LaLu intonasi dan bahasa nonverbal saya saat saya bertanya dan kaget ketika melihat uangnya habis, bisa juga membuat tembok itu semakin tinggi. Menyadari hal itu, saya bilang ke si gadis kecil: “ya udah engga apa-apa kalau teteh belum siap cerita. Tapi kalau teteh udah siap, teteh cerita ya”.
10 menit kemudia setelah memeluk saya erat, terdengar suara pelan si gadis kecil. “tadi kan teteh dikasih uang 12ribu sama ibu” katanya sambil menunjukkan 10 jarinya, dan meraih 2 jari saya. “Terus teteh beli marshmallow 2000. Terus beli nustrisari 2, 4000″. bla..bla..bla… dia jelaskan satu persatu. Terakhir, sambil terisak lagi dia sampaikan kalau ia memberikan uang 500 ke sahabatnya, yang sudah saya kenal baik.
Saya peluk lagi. “Oh gitu…terus, kenapa teteh takut ibu marah?”.Dia nangis lagi. Saya peluk lagi. “iya, teteh takut ibu marah karena teteh jajannya banyak” katanya. “terus teteh kasihin uangnya 500 sama ***** “(dia sebutkan lagi nama sahabatnya).
Sambil saya peluk, lalu saya sampaikan “maaf ya, kalau ibu bikin teteh jadi takut. Tadi ibu khawatir kalau uang teteh hilang, atau teteh dimintain uang dipaksa sama temen teteh. Kalau uangnya habis karena bazar sama dikasih sama ***** sih gak apa-apa” kata saya. “Yang engga boleh itu kalau teteh dipaksa diminta sama teman”
………………
TRUST. Kepercayaan. Saya selalu meyakini bahwa itu, adalah hal yang sangat mahal. Mahal, tak mudah untuk mendapatkannya. Priceless.TRUST adalah inti dari sebuah hubungan. Hubungan apapun. Antar siapapun. Inti dari cinta yang matang dan dewasa. Bahkan, dalam teori attachment, trust ini adalah inti dari kehidupan. Dan…saya sedikit banyak setuju dengan hal ini. Secara hakiki, kita tidak akan hidup nyaman tanpa rasa percaya pada orangtua kita, teman kita, pasangan kita, Allah kita. Eh tunggu…tanpa rasa percaya, bahkan kita tak akan bisa punya teman. Tak akan bisa menjalani hubungan dengan pasangan. Kita akan terus merasa rapuh, curiga, merasa sendirian.
Saya ingin mengulanginya lagi. TRUST itu, priceless karena ia tak bisa ditumbuhkan secara instan. Ia tak bisa diyakinkan oleh siapapun dengan kata-kata. Ia harus tumbuh perlahan dalam hati. Dan ia sensitif. Konon, diri kita ini berlapis-lapis seperti bawang. Mempercayai seseorang berarti berani membuka lapis demi lapis diri kita, membuka diri kita yang paling dalam. Maka, kepercayaan hanya akan tumbuh pada seseorang yang kita yakin tak akan melukai kita. Kepercayaan akan kita berikan pada seseorang yang kita yakin akan selalu menerima kita, betapa buruknya pun kita.
Sabagai seorang ibu, saya menghayati…memelihara TRUST anak-anak kepada saya, menumbuhkan TRUST saya kepada mereka, adalah salah satu perjuangan terberat. Ibu, adalah pengejawantahan rahman-rahim; cinta tak bersyarat Allah di muka bumi. Ibu, adalah manusia yang ketika orang lain di seluruh dunia menolak seorang anak, ia akan menerimanya. Ibu, adalah manusia yang ketika seorang anak melakukan kesalahan dan semua orang di dunia menutup pintu, ia merentangkan tangannya untuk memeluk. Ia adalah perwakilan rahman-rahimNya Allah di muka bumi ini. Melalui sikap mencintai tanpa syarat seorang ibu-lah anak bisa menghayati rahman-rahimNya ALlah.
Dan mempertahankan ikatan TRUST itu, tak mudah. Bagaimana tidak? anak usia prasekolah dan anak SD, adalah anak yang paling mudah tumbuh rasa percaya pada orangtunya. Anak SMP? Remaja? Pfuih….kita akan menghadapi tantangan super duper berat. Tapi liat apa yang saya alami… yang katanya mudah pun…tak mudah ternyata.
Saya selalu merasa ingin menshare kejadian “kecil” seperti ini pada teman-teman, terutama para ibu yang tak “kenal” dengan psikologi. Saya ingin menunjukkan…lihat… saya, seorang psikolog, akademisi psikologi, yang bergelut dengan tema TRUST ini dalam klien-klien sehari-hari, dalam bacaan-bacaan…namun pada saat mempraktekkannya, tak semudah itu.
Maka, kalau teman-teman mengalami hal yang sama….it’s oke. Itu adalah hal yang wajar. Jangan merasa “saya bukan ibu yang baik”.jangan berpikri “saya tidak mampu”. Kita- saya, teman-teman, harus punya “self compassion”. “Belas kasih terhadap diri sendiri”. Menerima diri sendiri, dan percaya bahwa kita bisa belajar.
Saya bukan pengikut madzhab parenting yang mengatakan bahwa ibu itu harus “sempurna”; harus “kuat di mata anak-anak”. Perenungan saya membawa pada satu kesimpulan bahwa kita punya sebuah insting. Insting untuk melindungi anak kita. Sikap marah pada anak saat anak kita di bully, Sikap memaksa pada anak kita untuk menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya, sikap memaksa anak untuk mengikuti les ini les itu yang tak disukai anak, sikap mengkritik anak saat anak kita yang pintar tak mendapat nilai sempurna, semua itu sebenarnya didorong oleh insting untuk melindungi. Untuk melindungi, untuk meyakinkan bahwa anak kita mendapat bekal terbaik untuk kehidupannya.
Ibu yang baik bukan ibu yang tak pernah berbuat kesalahan. Bukan ibu yang tak pernah marah, bukan ibu yang selau terasa “sempurna”, bukan ibu yang tak pernah ngomel. Kita adalah emak-emak biasa yang tak biasa (haha…mulai absurd nih). Ketidak biasaan kita adalah karena kita selalu berusaha untuk peka. Peka ketika tembok ketidakpercayaan mulai tumbuh dan menghalangi hubungan kita dengan anak-anak kita. Dari mana kita tahu itu? dari pengalaman dan penghayatan kita.
Si sulung, pernah menceritakan masalah yang dialami seorang temannya. Beberapa hari, tema ceritanya sama. Saya penasaran. Saya baca chat di hapenya dengan temannya itu. Lalu saya tahu, masalah temannya sangat berat. Saya tawarkan untuk membantu. Dia tahu saya membaca chat hape tanpa izinnya. Setelah itu, si sulung “shut down”. Tak pernah lagi cerita tentang temannya tersebut. Ia merasa tak aman dan tak bisa percaya lagi pada saya. Saya membaca chatnya tanpa izinnya. Saya memasuki wilayah privacynya. NIat saya bagus, tapi apa yang saya lakukan melanggar batas buatnya. Perlu waktu berbulan-bulan bagia saya untuk menumbuhkan lagi kepercayaaanya pada saya. Dengan menahan diri sekuat hati untuk tak baca chat hapenya, tak baca diarynya, tak memaksa ia menceritakan apa yang tak ingin ia ceritakan; sampai ia sedikit-sedikit mulai mau cerita lagi.
Si bujang kecil, pernah saya ceritakan dulu, pernah beberapa waktu tidak mau menunjukkan nilai-nilai ulangannya. Pernah “meledak” dan bilang pada saya kalau dia gak mau jadi anak pinter, maunya jadi anak bodoh aja. Kenapa? karena ketika nilai-nilainya “nyaris” 100, ia dapat pujian dari saya, tapi reaksi nonverbal saya gak nyambung. Ia bisa menangkap bahwa saya tak jujur merasa “bangga” pada upayanya. Perlu sekitar satu semester buat saya untuk menumbuhkan rasa percayanya kembali. Setiap ada ulangan yang dibagikan, ia akan menyembunyikannya. Setelah satu semester, baru ia berani menunjukkannya. Saya ingat, dengan ragu ia berkata: “bu, ulangan mas jelek banget. 89”. Satu semester, adalah waktu yang cukup lama buat saya belajar tulus. “gapapa, tapi ibu liat mas belajarnya sungguh-sungguh banget waktu itu” . “Iya ibu….nih liat…soalnya susaaaah banget …. itu teh cuman mas yang nilainya diatas 80. Ada dua orang yang 76, trus yang lainnya remedial”. Hiks, waktu itu saya asa pengen nangis. Saya bisa merasa kepercayaannya pada saya sudah mulai tumbuh. Ia berani cerita tanpa takut lagi “terlukai” oleh tanggapan saya.
Bahkan si bungsu pun, pernah tumbuh tembok ketidakpercayaannya pada saya. Waktu itu beberapa hari saya di rumah. Pagi hari, setiap melihat saya tak memakai “baju pergi”, ia langsung berbinar-binar: “Ibu gak ke kampus? ibu di rumah?”. “iya, ibu akan tunggu dede pulang sekolah di rumah, di meja kerja ibu ya” jawab saya. Jam 13, terdengar ia membuka pintu. “ibu…dede datang”katanya. Saya iseng. saya ngumpet. Maksudnya bercandain. Si bungsu naik ke lantai dua, mencari-cari saya. Lalu nangis. Saya keluar dari tempat saya sembunyi, memeluknya. “Ibu bohong. Katanya ibu mau nunggu dede pulang sekolah di meja kerja ibu, tapi ibu engga ada” begitu katanya. Tau gak….berbulan-bulan setelah itu, setiap kali saya “berjanji”; menjemput dia ke sekolah, beliin ini itu sepulang dari kampus, ia tak percaya. Bahkan kalau sedang beraktivitas bersama, lalu tiba-tiba saya menghilang entah ke kamar mandi atau ke ruanagn lain, ia akan “panik” mencari. Berkali-kali saya bilang saya tak akan mengulangi apa yang saya lakukan, bahwa saya tak akan meninggalkannya tanpa bilang. Tapi kata-kata, memang tak pernah bisa menumbuhkan kepercayaan. konsistensi yang bisa menumbuhkannya.
Saya pernah merasakan rasa tidak percaya pada seorang figur otoritas. Saya tau persis rasanya “tidak aman”. Kita punya mekanisme otomatis untuk melindungi diri kita ketika kita memprediksi kita akan terlukai. Secara psikologis ya. Kita akan menutup diri, kita akan menghindar, kita akan menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya.
Buat saya, kepercayaan anak-anak adalah hal yang mahal. Beberapa hari yang lalu saya main “johari windows” sama anak-anak. Saat meminta mereka menyebutkan kejelekan saya, mereka spontan sekali. Bilang saya cerewet lah, ini lah, itu lah…si gadis kecil bahkan memperagakan omelan saya. Haha….saya senang sekali. Kepercayaan akan memunculkan keterbukaan dan rasa aman. Keterbukaan itu yang kita butuhkan bagi anak-anak. Kita tak pernah tau apakah yang kita lakukan benar atau salah, tanpa umpan balik dari anak-anak. Dan anak-anak, tak akan berani memberikan umpan balik saat mereka merasa tidak aman.
Sebagian dari diri anak itu adalah misteri. Tak bisa dijelaskan oleh teori apapun. Sebagian besar tugas saya di ruang konsultasi pada masalah keluarga adalah, menjadi mediator untuk menyampaikan perasaan terdalam seorang anak pada orangtuanya. Perasaan-perasaan “kecil” yang berdampak besar.
Ya, kita adalah para ibu. Penjelmaan rahman-rahimNya Allah di muka bumi. Kita akan terus belajar untuk menjadi peka saat tembok ketidakpercayaan mulai tumbuh diantara kita dan anak-anak. Kita akan terus berjuang untuk menjadi berani menghancurkan tembok itu dengan mengakui kesalahan dan bersabar menunggu kepercayaan itu tumbuh kembali. Sehingga anak-anak kita, selalu percaya bahwa di dunia ini, ada seseorang yang selalu menyediakan pelukan. Tempat ia bisa membuka dirinya tanpa topeng apapun. Sejauh apapun ia pergi, seburuk apapun yang ia lakukan, seberat apapun yang ia alami; ia tak akan putus asa, ia tak akan patah arang. Karena ia yakin punya tempat untuk “kembali”.
Karena cinta tanpa syarat, itulah yang dimiliki ibu pada anaknya. Hanya saja, kita harus selalu belajar untuk meyakinkannya pada anak-anak kita.
Mar 03, 2017 @ 05:12:13
Izin share ya Mbak. Dan salam kenal 🙂 Saya belajar banyak sekali dari tulisan ini.
Mar 16, 2017 @ 02:21:49
mbak, ijin share yaa di timeline fb saya