Belajar membangun trust dengan anak. Bagaimana caranya?

Setiap wanita, punya potensi keibuan, punya potensi untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Kalau bahasa psikologinya, “attachment system and caregiving system is nature”. Itu harus kita yakini sepenuhnya. Sebagai muslim/ah; kita harus yakin pada ayat suci yang mengatakan bahwa manusia itu diciptakan dengan sempurna, dengan kondisi yang terbaik. Ketika Allah menciptakan seorang wanita, pasti lengkap dengan perangkat untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sekali lagi, dear para ibu, kita harus yakin ini sepenuhnya !! Mengapa demikian? karena saya pernah mendengar sekelompok ibu meminta saya menjadi pengisi materi parenting di komunitas mereka, dengan kalimat seperti ini; “kita tuh cuman bisa melahirkan aja bu Fitri, tapi blank dalam cara mengasuh dan mendidik”. NO WAY !! gak boleh ada pemikiran seperti itu.

Bagaimana potensi ini tumbuh menjadi perilaku pengasuhan yang PAS dengan anak-anak kita? itulah fungsi belajar. Kalau istilah psikologinya, potensi ini harus “diaktivasi”. Bagaimana cara belajarnya? minimal 2 cara.

(1) Menambah pengetahuan dan pemahaman. Belajar dari narasumber terpercaya mengenai what, why dan how mengasuh dan mendidik. Mulai dari prinsip sampai prakteknya. Nah…narasumber itu banyak. apalagi parenting. Banyaaaaaaaaak banggets. Rasanya siapapun bisa hehe… Ini harus kita filter. Kalau engga, dijamin bingung. Kenapa bingung? karena kita punya seabreg koleksi pengetahuan. Padahal pengetahuan bukan untuk dikoleksi. Pengetahuan untuk disusun sebagai ilmu, lalu diamalkan. Gimana cara memfilternya? pertama identifikasi dulu si narasumber itu memandang anak bagaimana, memandang orangtua bagaimana. Ada yang menganggap anak adalah tabula rasa. Dia adalah kertas kosong, orangtua yang 100% bertanggungjawab membentuknya. Ada yang berpendapat anak itu raja, orangtua harus 100% demokratis. Kalau anak gak mau sholat, ya jangan paksa anak untuk sholat dong. Kita harus demokratis. Ada yang berpendapat bahwa anak itu membawa potensi kebaikannya sendiri, tapi pengarahan dari lingkungan diperlukan.

Mana yang  benar? semuanya bisa benar. Makanya saya bilang tadi: pengasuhan yang PAS. bukan pengasuhan yang BENAR. Karena setiap orang punya nilai sendiri, punya pengalaman sendiri. Makanya saya mah gak setuju sama narasumber parenting yang memberikan tips “teknis” banget. “Ibu harus pinter mendongeng” misalnya. Saya suka stress. Soalnya saya gak bisa banget mendongeng. Narasumber yang enakeun kata saya mah yang memahamkan prinsip lalu memberikan alternatif cara. Misalnya: prinsipnya adalah, menjalin hubungan dengan anak itu harus playfull. Anak harus seneng, ibu juga seneng. Jadi sama-sama menikmati. Alternatifnya bisa dengan cara mendongeng sebelum tidur, atau nyanyi bareng, joget sama-sama, membacakan buku, main lempar bantal, sesuai kepribadian si ibu.

Setelah mengidentifikasi “madzhab” si narasumber, kita sendiri harus bisa mengidentifikasi, keyakinan kita bagaimana. Dijamin bingung kalau informasinya campur-campur. Misalnya kita yakin bahwa anak itu tabula rasa, orangtua yang seratus persen membentuk anak. Denger informasi bahwa kita harus percaya sama anak, pasti bingung. Karena gak nyambung. Narasumber yang percaya bahwa anak bisa dipercaya, didasari oleh asumsi bahwa anak bukan tabula rasa. Anak punya kemampuannya sendiri.

(2) Menghayati melalui pengalaman. Ada banyak hal dalam pengasuhan yang bisa kita hayati dari perjalanan kehidupan kita. Misalnya, inti mengasuh itu menjalin hubungan. Nah, hubungan ini kan terjadi juga antara kita dengan orang lain. Kita pernah jadi anak, menjalin hubungan dengan orangtua kita. Kita adalah istri, yang menjalin hubungan dengan suami kita. Kita adalah sahabat, kita murid, kita menantu. Ada prinsip-prinsip yang sama yang bisa kita hayati dan terapkan dalam hubungan pengasuhan.

Nah,di tulisan ini saya mau cerita soal poin kedua ini. 3 hari lalu, saya menulis mengenai trust anak pada kita sebagai orangtuanya. https://fitriariyanti.com/2017/03/01/menghancurkan-tembok-ketidakpercayaan-anak-pada-kita-catatan-tentang-trust-anak/. Menurut intipan dari dashboard blog saya, sampai pagi ini tulisan tersebut telah dibaca oleh 2370 orang. Moga-moga bermanfaat, bukannya nambah bingung atau nambah stress. Itu aja doa saya mah.

Nah, setelah menulis itu 3 hari lalu, langsung deh saya mengalami kejadian dimana saya berposisi seperti si gadis kecil. Gini ceritanya:

Jadi awal bulan lalu, si abah “memaksa” membelikan saya laptop baru. Hadiah ulang tahun katanya. Harganya muahall buat saya mah. Tapi fiturnya emang keren sih. “ini ringan banget de, biar gak berat bawanya” kata si abah. “ini bisa dilipet jadi tablet loh, biar kalau sambil nunggu atau apa, bisa enak baca jurnal”. “Dirimu suka touchscreen kan? ini pake touchscreen”. Intinya, keren. Sampai saya takut makenya karena saya mah orangnya jorok. Daaaan….kekhawatiran saya terbukti. Beberapa hari lalu, saat saya menutup laptop, krek….suara apa itu? Ya Allah…ada ujung usb di keyboardnya, gak saya perhatikan. Jadi pas saya tutup, ngeganjel, daaaan LCDnya retak ! dikit sih tapi…..haduuuh saya stress banget.

Saya belum berani bilang ke si abah. Tiap si abah pake atau liat laptop saya, saya degdegan, syukurlah si abah mah orangnya gak teliti. Jadi gak ngeuh. Menyimpan rahasia itu sesungguhnya membuat stress teman-teman….saya merenungi beberapa hari ini …apa yang membuat saya segan gak bilang si abah ya?  Takut marah? kalau dia marah wajar sih. Lagian saya percaya marahnya dia gak akan melukai saya. Tapi tetep aja saya akan gak nyaman dengan ekspresi marahnya kalau ia marah. Takut kecewa? yes, itu dia. Dia udah membelikan dengan sepenuh hati, eh saya gak bisa menjaganya. Istri macam apa saya? hehe….

Sampai kemudian, kemarin saya putuskan untuk bilang. Tapi gak berani langsung. via wa haha…. saya bilang saya punya rahasia, mau cerita tapi takut dia marah. Si abah tanya, tapi setelah saya bilang saya belum berani, dia bilang: “kayak si gadis kecil aja haha…ya udah nanti aja cerita kalau udah siap” . Pagi ini, waktu saya ngerjain sesuatu, retak si LCD semakin menjalar. Sampai akhirnya bikin kursornya loncat-loncat sendiri, pokoknya udah gak berjalan dengan baik lah. Akhirnya saya bilanglah ke si abah. Udah nutup muka gak mau liat dia marah. Ternyata si abah gak marah. ….mungkin karena dia tau betapa saya akan gak nyaman kalau dia marah. “Ya udah cari tempat servisnya dimana, trus gantinya bayar sendiri loh ya….lain kali, kalau mau tutup laptop, harus liat dulu” ya, ya, saya tahu saya harus bertanggungjawab terhadap kecerobohan saya. Tapi it’s oke. Ynag pentig adalah, secara psikologis, saya tidak terluka haha…

Nah, kejadian-kejadian ini, dimana kita berposisi seperti anak kita; mungkin sering kita alami. Dari kejadian ini, kita bisa menghayati bagaimana perasaan anak kita saat “takut” sama kita. Saat mereka takut mengecewakan kita. Gimana rasanya ketika kita dikasih waktu sebelum memutuskan untuk “berani” jujur. Gimana rasanya ketika  kejujuran kita diterima dan dihargai. Atau sebaliknya.

Dan hubungan itu, adalah siklus saling mempengaruhi. Saya percaya saya suami saya. Tapi kalau misalnya pagi tadi suami saya marah dan melukai saya secara psikologis, mengatakan bahwa saya gak menghargai dia yang memberikan hadiah mahal, bla..bla..bla…mungkin lain kali saya akan pikir-pikir untuk mau cerita lagi.

Mother soothing ChildJadi, trust itu bukan suatu hal yang saklek. Hitam putih. Ya atau tidak. Trust itu adalah kadar. Kadarnya kadang bertambah, kadang berkurang. Di titik manapun kita berada, kita selalu punya kesempatan untuk meningkatkan kadarnya. Tapi kita harus ingat, menjaga kepercayaan itu sama sulitnya dengan mempercayai seseorang. Maka, kalau anak-anak kita berjuang mengumpulkan keberanian untuk mempercayai kita, maka kita pun harus mengimbanginya dengan mengumpulkan kebijaksanaan menjaga kepercayaan anak kita. Anak berani terbuka, kita bijaksana menghargai, anak semakin terbuka, kita semakin bijaksana menghargai, teruuuus….itulah relationship. Hubungan.

Misalnya, salah satu isu yang sedang hits dalam pengasuhan remaja adalah soal “berbohong”. Beberapa kali, saya menemukan si sulung berbohong. Padahal untuk hal-hal sederhana, yang sebenarnya dia tak perlu berbohong dan saya tak akan marah, misalnya dia punya kerudung yang dia titip beliin ke temennya.  Kenapa si sulung gak jujur aja? melebat dalam ingatan saya, kata-kata seorang remaja yang dikeluhkan sering melakukan kebohongan besar pada orangtuanya. “Kata ibuku aku harus jujur, harus cerita semuanya, apapun itu.  eh…pas aku cerita, malah dimarahin. Ya udah mending aku bohong aja”. 

Marah, memang cara yang sangat mudah. “kalau gak dimarahi dia gak akan ngerti”. Begitu biasanya logika kita. Tapi benarkah anak kita hanya akan mengerti kalau dimarahi? Memarahi anak yang telah berjuang mengumpulkan keberanian untuk jujur, untuk kebaikan mereka atau untuk kepentingan kita? jawaban dari pertanyaan ini, adalah proses bagi kita untuk menjadi bijaksana. 

Menjadi orang tua, sama dengan menjadi anak. Berproses. Belajar. Itu yang membuat pengasuhan menjadi seru dan berkesan. Semangat !!!