Bener banget deh Om Duvall yang menyusun teori tahap perkembangan keluarga, berdasarkan usia anak pertama.(Btw, Duvall teh om atau tante ya? hehe)
Pentahapannya sebagai berikut:
1 – Married couples (no children) 2 – Childbearing families (oldest child aged birth to 30 months) 3 – Families with preschool children (oldest child aged 2½ to 6 years) 4 – Families with school children (oldest child aged 6 to 13 years) 5 – Families with teenagers (oldest child aged 13 to 20 years) 6 – Families launching young adults (stage begins when oldest child leaves home and ends when youngest child leaves home) 7 – Middle-aged parents (stage begins with empty nest and ends at start of retirement) 8 – Aging family members (stage begins with spouses’ retirement and ends at their deaths) (Duvall& Miller, 1985)
Kenapa bener banget? Karena saya merasakannya. Kalau menurut pandangan “family system theory”, keluarga itu adalah sebuah sistem. Perubahan dalam satu elemen sistem itu, pasti berpengaruh pada perubahan sistem keluarga secara keseluruhan. Salah satu sumber perubahan, adalah perkembangan dari masing-masing anggota keluarga.
Yang paling gampang? penampakan keluarga secara “kasat mata” adalah rumah. Saya tuh lagi seneng banget “mengamati” hal-hal yang “kasat mata”, yang biasanya kita pandang hal yang tak bermakna, padahal bermakna banget. Saya terpesona untuk mengamati tuh sejak saya denger papar Uicol Kim, tokoh indigenous psychology yang paparannya isinya adalah gambar-gambar pengamatan terhadap perubahan yang terjadi, yang kalau direfleksikan itu sebenernya maknanya “dalem”. Hal-hal sederhana…misalnya cara berpakaian orang 20, 15, 10, 5 tahun lalu dibandingkan sekarang. Cara menggendong bayi, cara ngobrol keluarga, bentuk rumah, pilihan transportasi, macen-macem.
Terkait dengan tahap perkembangan keluarga, beda banget rumah keluarga dari setiap tahapan. Rumah yang di dalamnya ada balita, “penampakannya” beda dengan rumah yang bungsunya udah remaja. Bahkan, hal “sederhana” ini kalau dirunut bisa jadi sumber permasalahan sekaligus sumber pemecahan masalah. Misalnya, pernah ada masalah tumbuh kembang, setelah dirunut…… anak tinggal di rumah kakek nenek yang rumahnya penuh dengan kristal. Anak balita, lagi butuh lari-lari sana sini, lompat-lompat manjat-manjat, di sekelilingnya kristal mahal, tidak ada alternatif tempat, jadinya ya….apa yang harusnya berkembang menjadi tidak berkembang. Trus, bisa juga loh masalah fisik ini jadi solusi masalah “berat” dalam keluarga. Masalahnya, yang “berat-berat” itu selalu berawal dari yang “ringan”. Misalnya nih….Ruang kerja suami ada di lantai 1. Kamar suami istri di lt 2. Orangtua suami sudah sepuh di lantai 1. Suami seringkali harus ngerjain kerjaannya sampai malem. Sering abis kerja ketiduran di depan tv lantai 1. Istri tidur di lantai 2. Suami jadi lebih menghabiskan waktu di lantai 1 karena enak sekalian kerja. Istri marah karena merasa suami tidak peduli padanya. Suami marah karena merasa dituduh. Ketika susunan ruangan diubah, permasalahan berkurang.
Saya tuh seneeeng banget kalau berkunjung ke sebuah rumah yang masih punya balita, trus di kamar mandinya teh ada mainan haha…gak tau ya, seneng aja. Meskipun konon katanya sekarang, rumah yang ada balita-nya pun kini bisa rapi bersih tanpa berantakan mainan karena mainannya tak perlu di bereskan, tak perlu banyak-banyak, karena mainannya hanya satu……gadget. Hiks…
Nah, kenapa saya bilang “bener” banget di awal tulisan ini, karena saya merasakannya. Sejak 2 tahun lalu, sejak si sulung keluarga kami tumbuh menjadi seorang remaja, kami masuk pada tahap perkembangan keluarga yang ke5, yaitu family with teenager. Salah satu yang berubah adalah “tema obrolan” saya dengan si abah. Berubaaaaah banget. Dan, salah satu obrolan seru yang muncul setahun belakangan ini adalah tentang….calon mantu … haha……
Tema ini muncul antara saya dan si abah karena diendorse oleh faktor luar sih, teman-teman saya dan teman-teman si abah kan sebagian udah masuk fase ini juga, jadi mulailah muncul kejadian anaknya diapelin lah, anaknya curhat dan bingung harus gimana ketika dia ditembak lah, dan semacam itu. Nah yang seru adalah, karena ini pertama kalinya saya melihat fenomena ini dari sudut pandang sebagai orangtua. Ternyata gak kalah seru dengan waktu menjalaninya dulu sebagai anak haha….
Misalnya ya, waktu itu seorang teman kita, cerita kalau anaknya yang kelas 1 SMP, diapelin sama anak SMA. Dia kaget banget, trus menginterogasi dan marah-marahin si cowok yang ngapelin anaknya itu. Ujungnya dinasehatin. Total 3 jam. Hwahaha…duh, nikmat banget waktu itu ketawanya.Tapi saya menangkap bahwa …. ini adalah proses yang harus dijalani oleh kita sebagai orangtua. Proses yang wajar …biar pada saatnya beneran harus melepas nanti, kita sudah sepenuhnya “ikhlas”.
Melepaskan anak pada orang lain, itu memang tak mudah. Mempercayai orang lain untuk “membawa” anak kita, itu tak mudah. Kalau seorang ibu “cemas”, itu sih udah biasa. Tapi seorang ayah, juga ternyata tak kalah cemasnya loh. Terutama pada anak perempuannya. Saya pernah dengar senior saya menyampaikan kecemasannya melepas ketiga putrinya saat akan menikah. Saya juga pernah nonton serial “Castle”, salah satu episodenya menggambarkan kecemasan sang ayah kala anak gadisnya mulai “berkencan”. Trus, saya suka pengen ngakak guling-guling mendengar ekspresi kecemasan si abah. “Nanti kalau ada yang ngelamar si sulung trus kita gak kenal sama sekali kita sewa dekektif swasta ya de” hahahaha…. “Pokoknya nanti harus di test Psikologi dulu ya De. Valid kan testnya untuk menggambarkan kepribadian dia?” kkkkk…saya teh ngebayangin si anak laki-laki itu ngerjain serangkaian test psikologi …. atau “pokoknya nanti pas ketemu aku, aku akan tanya bla..bla..bla… Pas aku tanya, dirimu observasi ya de…” hahahaha….
Itu bagian lucunya. Kalau bagian reflektifnya…kita pernah ngobrol: “gimana ya rasanya … gimana caranya untuk percaya 100% sama orang yang akan menentukan selamat-tidaknya kehidupan anak yang kita cintai dan sayangi”. Bla…bla…bla… obrolan itu pun berujung pada satu tema lanjutan yang tak kalah lucunya : perjodohan hahaha….
Jadi pernah waktu kita mudik tahun lalu, si abah ngajak berkunjung ke rumah salah seorang temannya. “Dia punya anak kelas 1 SMA de, anaknya bagus, aktif berorganisasi, perilakunya baik, sekolahnya di sekolah yang kualitasnya bagus banget. Nanti kita jodohin sama si sulung” hahahaha…. Tapi setelah diobrolin, bener juga sih… nilai-nilai keluarga, bagaimana seorang anak dibesarkan … sedikit banyak akan mewarnai tumbuh kembang seorang individu. Mengenal orangtuanya, nilai yang tumbuh di keluarga tempat seseorang tumbuh dan berkembang, adalah salah satu ikhtiar, upaya yang bisa dilakukan. Dulu kan sebagai anak anti banget sama model “Siti Nurbaya”, tapi sekarang setelah jadi orangtua jadi “make sense”. Tentu saja gak pake acara paksa-paksaan, sebagai alternatif aja. Yang menentukan tetap yang akan menjalani, yaitu si anak. “Coba de, kita list yuks siapa-siapa aja temen-temen kita yang punya anak laki-laki umur 14-17 tahun” kata si abah…hahahha….baiklah….teh ini, kang itu, mas ini, mbak itu, bu ini, om itu….
Trus yang lucu lagi beberapa kali si abah cerita tentang rencana masa depannya terkait bisnis-bisnisnya. “Nanti CEO-nya harus orang teknik atau orang IT. Tapi kayaknya anak-anak kita gak ada yang tertarik ke teknik atau IT ya…Berarti kita cari calon mantu orang teknik atau orang IT.” hahahhaha…“Kaka, nanti kamu cari calon suami orang teknik atau orang IT ya” ….. kkkk. Si sulung langsung cemberut “apa sih abah…geje banget. Insyaf bah, bu….Kaka tuh masih 14 tahuuuuuuun” katanya. Saya godain gimana kalau nanti yang si sulung pilih orang yang jauh banget dunianya dari dunia kita. Misalnya artis, seniman, gitu… “iya ya…gimana ya de?” kata si abah. Dan kita pun ngobrolin itu. Gimana kita bisa “ridho” kalau ada perbedaan “selera” sama anak.
Etapi ya, selain seru, ngobrolin tema ini menurut saya termasuk obrolan yang “berkualitas” loh. Tatarannya “dalam”. Kenapa? kita-saya dan mas- seperti “mengkalibrasi value” kita berdua. Biasanya, “nilai hidup” seseorang itu, kita sadari dan kita pedulikan hanya pada saat-saat tertentu. Misalnya, yang jelas adalah saat menentukan saya mau menerima dia sebagai pasangan hidup saya atau engga. Kita evaluasi nilai hidupnya, match engga sama nilai hidup saya. Kalau match, oke, menikah. Nah…rutinitas keseharian bisa membuat kita masing-masing mengalami perubahan nilai hidup. Apalagi pada pasangan macam saya. Yang masing-masing ; saya dan mas punya aktifitas profesi sendiri-sendiri dengan segala macam pengalaman dan informasinya.
Saya banyak menemukan pasangan yang tiba-tiba “kaget”; salah satu atau salah dua nya…telah berubah nilai. Salah satu faktor yang menyadarkannya biasanya adalah pilihan yang terkait anak. Mau masukin sekolah kemana? yang satu pengen ke pesantren tradisional yang satu pengen ke sekolah yang berwawasan internasional. Negeri atau sekolah Islam? dll. Bukan masalah pilihannya. Tapi alasan dibalik pilihan itu yang menunjukkan nilai yang kita pegang. Apa yang penting dan apa yang tidak penting. Ini tidak melulu soal benar dan salah. Tapi soal sejalan atau tidak.
Kenapa ngobrolin calon mantu bisa mengkalibrasi nilai kehidupan saya dan mas? Karena dengan proses “memilih” (secara imajiner ya, da kan kenyatannya mah masih jauh kkk); sebenarnya kita memproyeksikan nilai-nilai kita pada calon-calon pilihan (imajiner) itu. Waktu rame-rame di medsos orang secara vulgar mengeluarkan nilai-nilai kehidupannya di medsos, itu jadi “studi kasus” buat ita. “Mau gak punya mantu yang peduli sama isu-isu kemanusiaan, tapi menganggap cukup menjadi muslim yang baik dengan hanya berperilaku baik, gak peduli aturan fikih”. “Mau gak punya mantu yang “gak peduli” pada pengembangan potensi dirinya, yang penting ritual agama ia penuhi secara sempurna”. “Kalau gabung madzhab ini?”. “Pergaulannya sama komunitas itu?”
Perbedaan seperti apa dan dalam hal apa yang masih dalam lingkup toleransi kita? yang mana yang di luar lingkup toleransi kita? Kenapa? … Itu pembicaran yang “dalam” menurut saya. Pembicaraan yang berkualitas dan bergizi. Tak jarang kami berdebat panjang lebar…. ada nilai-nilai yang bergeser….lalu masing-masing kita saling mengungkapkan … ada sebagian yang lalu kita sepakat, ada yang sebagian tak sepakat tapi kita merasa “ridho” dengan ketidaksepakatan itu. Ada juga nilai-nilai yang kita seneng banget karena ternyata kita tetap sama. Terutama untuk nilai-nilai yang dasaaaar banget.
Buat saya pribadi, pembicaraan tentang calon mantu ini selain menghibur, memfasilitasi kalibrasi nilai, juga menumbuhkan kesadaran … mulai berdoa untuk memohon pasangan yang baik bagi anak-anak saya. Juga mulai berikhtiar mendidik anak-anak saya untuk menjadi individu-individu yang matang, baik dan benar. Kalau sudah demikian, kita bisa percaya bahwa dia akan memilih pasangan yang “frekuensi”nya tak beda jauh dengannya.
Recent Comments