Peluk Hangat Untuk Andung …

Timeline saya hari ini bertabur doa dan kenangan baik atas kembalinya sahabat, guru, kolega kami; Ibu Elmira N. Sumintardja. Andung, begitu panggilan “sayang” kami di Fakultas kepada beliau. Meskipun kabar drop-nya kesehatan beliau telah kami ketahui beberapa hari lalu, namun tetap saja, kabar semalam  yang menyampaikan kembalinya beliau pada Sang Maha Kuasa jam 00:00, menyesakkan dada kami.

Tentu tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula Andung. Namun ketika memori kita  dipenuhi oleh kebaikan seseorang, maka untuk saya sendiri, orang tersebut adalah orang yang baik. Dan memori saya, dipenuhi oleh kebaikan Andung.

Belasan tahun lalu, waktu saya masih mahasiswa S1, saya mengikuti projek beliau. Berminggu-minggu kami bermalam di rumah beliau….Yang saya ingat, kala kami sudah terlelap, beliau dan sahabatnya, Ceu Tetty, masih tetap bekerja mendiskusikan konten projek kami saat itu. Tapi saya ingat juga…nanti beliau akan mengajak kami keluar makan-makan, atau …. terkadang beliau memainkan organnya bernyanyi untuk kami. Working hard – Playing Hard; buat saya kehidupan beliau mempesona sekali.

Waktu saya kuliah profesi, ingat sekali beliau menjelaskan kepribadian …narcissistic, histrionic personality, dll dll dengan suara khasnya yang “merdu” dan keibuan. Setelah jadi kolega, di balik nama besar beliau sebagai salah seorang “suhu” psikodiagnostik, saya menemukan sisi beliau yang lain; humoris. Beberapa kali kami menjadi asisten di kelas psikodiagnostiknya, tak habis rasa kagum kami kepada keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Suatu saat beberapa tahun lalu, beliau mengajak kami, para ‘dosen muda” untuk belajar cara mengajarkan psikodiagnostik pada mahasiswa, di rumahnya jalan harendong. Seruuu banget. Dengan gayanya yang “enakeun”, kami yang merasa super bloon ini tetap merasa nyaman belajar dengan beliau.

Berita sakitnya beliau sudah kami ketahui beberapa tahun lalu. Saya sempat membayangkan…gimana ya beliau…yang tadinya sangat aktif kesana-kesini berbagi ilmu …”down” kah dengan sakitnya ini. Tapi kemudian, kami melihat beliau tak “menyerah”. Beraktifitas menggunakan kursi roda, tabung oksigen… Saat melihat beliau, yang terbayang oleh saya adalah kuda perang. Konon, kuda perang tak akan berhenti berlari sampai menjelang ajalnya.

Saya ingat sekali setahun lalu, saya menjadi panitia sidang promosi doktor seorang teman. Ada seorang dari tim panitia yang bertugas menyambut Andung. Kami sudah menyiapkan jalan khusus untuk kursi roda, dll. Tapi kemudian, saya yang menjaga buku tamu rasanya tak percaya melihat sosok beliau berjalan. Memang menggunakan tongkat, tubuhnya menyusut, tapi semangat itu, sorot semangat mata itu, tak berkurang sedikitpun.

Selanjutnya, keajaiban terjadi. Andung bisa mengajar lagi, terkadang tidak menggunakan tongkat. Saya ingat suatu saat datang bersama, lalu menemani beliau naik tangga ke lantai tiga. Sampai di lantai dua, beliau bilang: “udah Fit, duluan, saya harus istirahat dulu 20 menitan, biasa….”. Kata-kata itu diiringi senyum manisnya. Tak ada keluhan, meskipun saya membayangkan bahwa untuk bisa “legowo” dengan kondisinya tersbeut, pasti tak mudah.

2 Desember akhir tahun lalu, kami sefakutas “liburan” ke Ciater. Beliau ikut. Paginya, kami bert”tea-walk” ria. Beliau ikut! Kami sempat degdegan dengan kondisi beliau, tapi beliau menikmati sekali. Sampai kami yang “muda” merasa “malu” oleh semangatnya.

Akhir tahun 2013, beliau menulis puisi yang sangat indah, menggambarkan pengalaman beliau mendampingi kepergian sahabat kami, Mas Harry Suherman

Begini bagian akhir dari puisi indah itu:

Ya ALLAH, aku belajar dari wajah yang pergi dengan ikhlas//Kematian tidak harus dilalui dengan kengerian dan kesakitan, //Ketika pasrah pada ILLAHI lebih utama //Mas Harry ….. Selamat jalan adikku //ALLAH sudah bersama-mu // Terima kasih atas ilmu terakhir yang kamu berikan padaku//Dan yang harus kusampaikan kepada semua teman-teman kita // Kematian pasti datang // Detik kapan-pun itu pasti terjadi atas ketentuannNYA, // dan Allah SWT Maha Pengasih Maha Melindungi, // Menyambut datangnya insan yang tulus ikhlas beriman dan bertaqwa pada NYA // 

Tadi pagi, seorang perawat di ujung pulau jawa meng-sms saya. Ia adalah salah seorang mahasiswa yang pernah kami bimbing bersama. Ia bertanya apakah benar berita yang ia terima tentang kepulangan Andung? Lalu panjang lebar ia mengatakan betapa sedih hatinya, ia paparkan kebaik-kebaikan Andung.

Andung, saya tak bisa menulis puisi seindah Andung. Tapi saya yakin, kembalinya Andung pada sang Maha Rahman Rahim seindah puisi yang Andung tuliskan.

Tugas Andung sudah selesai. Rasa sakit yang mendera Andung, menjadi pembersih jiwa Andung. Kini tak ada rasa sakit lagi. Secara fisik kami tak bisa memeluk Andung lagi. Yang tertinggal adalah kenangan indah mengenai sorot mata semangat Andung, kata-kata bijak yang Andung pesankan pada kami, kedalaman ilmu yang terpapar lewat suara merdu Andung, dan jiwa pantang menyerah sampai detik ajal menjemput.

Sesaknya dada kami, kesedihan kami, kristal-kristal air mata kami, doa-doa yang dilantunkan oleh orang-orang yang terpapar kebaikan Andung, akan menjelma menjadi pelukan hangat untuk Andung di alam barzakh.  Keluasan dan kedalaman ilmu yang Andung bagikan dengan tulus, akan menjadi penerang bagi Andung.

Allahummaghfilaha warhamha waafihi wa’fuanha.